Posted on Leave a comment

Puasa Menulis Membaca

Bagi pengaku penulis mula bergenre nonfiksi, membaca mestinya adalah hobi utama. Tanpa membaca, bahan menulis juga terbatas. Betul memang, menulis pengalaman, keseharian bisa menjadi topik sendiri. Tapi membaca akan memperkaya khazanah kata dan sudut pandang.

Pengalaman, perenungan, dan ungkapan rasa memang menjadi hal menarik untuk diuraikan. Namun, membaca juga akan memberikan hal baik, minimal inspirasi.

Menulis dan membaca –membaca mestinya didahulukan–, adalah satu kesatuan. Dalam aktivitas menulis ada pembacaan. Namun belum tentu sebaliknya.

Belakangan saya kurang sekali membaca. Buku tertumpuk di dalam kardus. Baru beberapa hari ini berhasil dibongkar. Belum semua.

Sebentar lagi puasa ramadan. Kesempatan untuk kembali membaca referensi tentangnya. Fikih puasa, hikmah puasa, keutaman dan nilai-nilai di dalamnya, termasuk aktivitas utama mengisi bulan mulia.

Mari kita persiapkan kembali ilmu, jiwa dan fisik kita menyambut bulan puasa. Agar tidak sekadar lapar dan dahaga.

Bulan Ramadan ibadah utamanya adalah puasa. Menahan diri dari hal yang tidak berguna. Sehingga seharusnya bulan ini adalah bulan produktif bagi hati, pikiran dan jiwa. Saya pikir menulis dan membaca salah satu yang harus meningkat.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Orang Baik

Serial kisah Keluarga

Bangun pagi. Jam berapapun, dia selalu sudah bangun dan bekerja. Jika tidak demikian, maka pertanda kurang baik: sakit.

Tempat kerjanya sama, dapur. Menanak nasi, menyiapkan bumbu, sayur, dan lauk. Sembari menunggu azan subuh.

Sejak dulu. Mulai dari subuhku sering kesiangan, sampai subuhku bisa bersama Bapak di langgar terdekat.

Saat ini ukuran keberhasilan harian itu berubah. Jika bisa subuh bersama Bapak di langgar Baitus Salam adalah keberhasilan. Syukur tidak kedaluan Bapak yang azan. Jika bisa menggantikan Bapak ikamah,sudah suatu keberhasilan tambahan.

Jamaah subuh di langgar kami tidak banyak. Imam dengan tiga atau empat jamaah sudah bagus.

Sepulang subuh, dia –mamak kami– sudah salat dan bekerja kembali. Menyiapkan sarapan kami. Saat ini disambi mesin cuci berputar ke kanan ke kiri, mengucek baju kotor. Dulu, pakaian itu direndam untuk kemudian tangannyi menguceknya kemudian.

Sarapan “berat” adalah menu wajib kami. Tidak ada sekolah tanpa sarapan. Nasi, lauk dan sayur. Minimal nasi dan lauk. Seringkali ditambah segelas susu kental manis. Kebiasaan wajib sarapan itu bekerja dengan baik. Tidak ada acara tidur di kelas yang membuat kapur atau penghapus melayang ke arah kami.

Satu hal yang kami perjuangkan untuk mereka -mamak dan Bapak–. Berkata dan bersikap baik. Lembut tutur kata, halus dalam sikap. Berat sekali bagi kami.

Terbiasa bahasa ngoko, suara lantang dan keras. Ngobrol berasa adu mulut. Kami keluarga yang ramai.

Ya Allah, mudahkan kami mengikuti perintah-Mu:
Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.” –QS. Al-Isrā’ [17]:24–

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Waktu, Tempat, dan Hadiah Diri

Oleh: Wiyanto Sudarsono

Ternyata saya tidak seproduktif itu. Tidak seproduktif yang saya sangka. Dalam tulis menulis. Tujuh tulisan di bulan Maret ini. Sepuluh di Februari lalu. Tujuh dan 23 catatan di bulan Desember dan Januari. Januari cukup bagus.

Saya sedang kehilangan tempat menulis. Pindahan yang belum selesai cukup mengganggu. Waktu menulis juga jadi kacau. Bukan alasan memang. Saya harus mengubah dan menetapkan ulang ZTM saya: zona tempat menulis.

Saya juga sedikit kurang antusias melanjutkan dan mengembangkan ide dikepala. Terlalu banyak alasan yang dibuat-buat. Untuk menuliskan ini pun saya harus paksakan.

Satu outline buku yang sudah disetujui Sang Mentor masih terbengkalai. Empat proyek yang berdiri dari buku mandiri, dengan istri, dan dengan Saudara Saudari belum tersentuh. Terlalu muluk mungkin. Tapi kadang tidak juga, jika pembandingnya adalah usia diri dan penulis lainnya. Ah sedihnya.

Tapi tak apa. Selalu ada kesempatan untuk memulai lagi, selama napas masih berhembus.

Pertama, saya ingin bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian menghadiahi diri atas sebelas tahun karir. Tentu bukan dengan judul Sebelas Ganjil. Setelah tahun lalu buku pertama saya: Sepuluh Genap hadir sebagai rasa syukur dan hadiah bagi diri atas sepuluh tahun karir.

Saya kira sudah cukup beberapa tulisan terkait pekerjaan untuk dikumpulkan jadi satu buku. Siapa tahu bermanfaat bagi kawan seprofesi. Minimal memotivasi diri untuk berkarya kembali, dan terus menulis. Menyelesaikan proyek yang sudah dicanangkan.

Kedua, bismillah saya tetapkan ZTM saya: di teras rumah, mobil dan teras masjid. ZWM: zona waktu menulis, selepas subuh, selepas zuhur atau asar, dan saat istirahat diperjalanan. SKM: Sarana Khusus Menulis, masih sama: Smartphone.

Bismillah. Kembali aktif menulis.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Kacang Pupuk

Oleh: Wiyanto Sudarsono

Kacang Pupuk

Meyakinkan itu tak mudah. Namun selama yakin, sesuai ilmu, dan teguh pendirian InsyaAllah akan mampu meyakinkan yang semula meragukan.

Tanah itu tidak luas. Untuk ukuran sebuah usaha tani di luar Jawa. Bukan lahan pertanian sesungguhnya. Sekadar memanfaatkan pekarangan kosong.

Kacang tanah menjadi komoditas pilihan yang ditanam musim kali ini. Setelah sebelumnya ditanam terong ungu dan sedikit terong hijau

Sedikit sengketa soal perlakuan dalam usaha tani terjadi. Anak – Orang tua saling sindir. Soal keputusan: apakah kacang tanah perlu dipupuk?

Dari dulu, Mamak menanam kacang tanah itu tidak pernah dipupuk. Toh nyatanya panen“. Argumentasi orang tua menggunakan pengamatan empirisnya.
Nggak gitu Mak, coba dulu lah setiap tanaman butuh makanan. Makanannya tanaman ya unsur hara dalam pupuk itu“. Jelas si anak mencoba meyankinkn.

Hasilnya, kacang tanah itu dipupuk. Dengan segala perjuangan dan kedongkolan -yang tampaknya muncul- dari kedua pihak.

Kacang kok di pupuk toh Mbak?” Protes tetangga yang lewat saat pemupukan berlangsung. Mungkin ada 5 pertanyaan senada terdengar oleh Mamak dan Anak selama proses pemupukan di area pertanaman.
Ya nggak papa, anakku punya sisa pupuk banyak. Nggak ke pakai“. Sergah Mamak dengan nada ketus. Menyindir si anak. Seolah berkata: “sudah saya bilang kan?! Kacang tanah TIDAK perlu dipupuk.”

Sang anak melipir pulang. Tidak tahan telinganya –juga perasaanya– mendengar protes tetangga. Sebelum 10 tetangga memprotes, lebih baik ia tidak mendengar. Pulang pilihannya. Pemupukan tetap erjalan.

Tiga bulan berlalu. Sebagian kacang tanah sudah di panen. Luasan 7,3m x 35m menjadi ubin/petak pertama panen. Hasilnya kurang lebih 103  kg kacang tanah kulit.

Relatif cukup lebih tinggi dari ekspektasi Mamak. Bahkan bisa jadi sampai tingkat WOW. Terkejut dengan hasil panennya.

Sehingga, di lahan yang lain, Bapak dan Mamak melakukan pemupukan dengan jenis pupuk yang sama dengan jenis pupuk sebelumnya. Berubah karena fakta.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Degan

Oleh: Wiyanto Sudarsono

Pagi –agak siang– bertanam singkong dan lengkuas. Tanaman kedua (lengkuas), di desa kami menyebutnya laos. Tanaman obat dan bumbu dapur.

Hingga menjelang dzuhur. Haus menerpa.
Minum air degan enak ini mak“. Celetuk saya.
Neng omahe Kang Edi ono wit kelopo ndek, –di rumah Kang Edi ada pohon kelapa yang pendek–“. Kata mamak saya memberi hadapan.
Ya wes ayo rono“.

Pohon sangat pendek. Sekitar dua meter setengah saja. Sekali panjat, tangan saya sudah bisa meraih satu buah kelapa muda.

Setelah saya jatuhkan, saya buka sisi bawah kelapa muda itu. Saya minum sebagian airnya bersama mamak. Segaaar sekali. Haus seketika berkurang.

Saya panjat lagi. Empat buah saya turunkan. Saya angkut pakai angkong (gerobak sorong).

Berjalan bersisian dengan Mamak. Momen yang jarang terjadi. Sambil ngobrol kami kembali ke rumah. Sesekali saya memekik, “degan, degan, degan” seolah menawarkan dagangan. Iseng.

Saya buka keempat degan atau kelapa muda itu. Anak gadis mamak, yang tidak lain adik saya, ku minta siapkan air gula. Jadilah air kelapa muda. Nikmat hidup di desa.

Kelapa mengajarkan banyak hikmah bagi kita. Salah satu pohon yang kaya manfaat. Banyak yang tela menuliskannya.Semoga kita berkesempatan menuliskan hikmah dari pohon kelapa dari sudut pandang lain.

Goresan cerita sederhana
Untuk membangkitkan dan mempertahankan gairah merangkai kata
Tampak sepele, tapi semoga berguna
Paling tidak bagi saya
Jika berguna bagi pembaca
Itu adalah bonus sahaja

Bercerita hal sehari-hari
Berharap kenangan dapat diingati
Karena tampaknya masa itu terbatas
Dituliskan agar tak hilang dan berbekas

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Restu

Oleh: Wiyanto Sudarsono

Ada satu momen pagi yang bertahun lamanya saya rindukan. Meski sesekali tetap dilakukan. Momen itu: cium tangan orang tua.

Sejak SD kami melakukannya. Setiap hendak ke sekolah. Jika ada keduanya. Jika tidak ada, kepada salah satunya, Bapak atau Mamak. Sampai kami SMA, kami tinggal bersama kedua orang tua. Tentu “ritual” itu terus berjalan.

Saat mulai merantau momen itu jarang dilakukan. Bahkan hari-hari kuliah, paginya tanpa cium tangan. Tangan siapa mau dicium. Tapi saya sempatkan menelpon orang tua. Hanya saat pulang atau hendak pergi lagi, baru bisa cium tangan orang tua.

Belakangan, Alhamdulillah bisa mengulang momen itu seminggu sekali. Paling tidak dalam sebulan ini. Saat pulang ke kampung halaman. Luar biasa nikmat.

Setelah menikah, bukan saya yang mencium tangan. Tangan saya yang dicium. Gantinya, saya dapat kening, pipi, dan ehm…

Setelah punya anak, Anak-anak yang mencium tangan saya. Baik ketika saya pergi bekerja atau mereka yang hendak belajar.

Entah mengapa saya menyukai tradisi tersebut. Ada rasa nyaman dan tentram dalam perilaku takzim itu.

Tanpa terucap seolah restu tercurah. Doa-doa dimohonkan untuk kebaikan.

رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ
Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat).”
Aamiin

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Drakor Buku

Oleh: Wiyanto Sudarsono

Macam Jenis Buku

Buku sebagaimana sumber informasi lainnya, terdiri bagian-bagian. Dapat berisi informasi berguna, seperti pengetahuan, pandangan, atau sekadar cerita dan hiburan.

Mengonsumsi buku, seperti sumber informasi dan perilaku konsumsi lainnya, dilakukan bertahap. Dari bagian satu ke bagian lain. Dari bab satu ke bab yang lain.

Buku non fiksi akan tampak jelas bagiannya. Ada judul bab atau bagian. Bahkan ada judul subbab yang menggambarkan isi yang menyertainya. Terdapat juga daftar isi yang memudahkan kita mengetahui isi buku secara cepat dalam membaca inspeksional.

Buku jenis bisa dibaca secara lompat. Tanpa harus urut dari satu ban ke bab yang lain. Ini karena untuk memahami bab 2, tidak diharuskan membaca lebih dulu bab 1.baca bab 10 tidak terlalu membutuhkan pemahaman atau informasi dari bab 3.

Lain halnya dengan buku fiksi atau novel. Kadang tanpa daftar isi. Tanpa judul bab. Hanya I, II, III dst. Atau Bagian 1, bagian 2,dst. Buku fiksi atau novel memang seharusnya dibaca secara urut.

Buku kategori ini hendaknya dinikmati perlahan. Bab per bab. Halaman per halaman. Jika tidak urut, maka akan bingung. Mengapa begini? Kok bisa begitu? Buku jenis ini mungkin mirip dengan serial drakor (drama korea) atau sinetron Indonesia.

Buku yang hampir tamat saya baca: Hikayat Karya Gagal, termasuk buku jenis non fiksi. Bisa lompat ke sana kemari. Bab sana lalu kembali ke bab sini. Tapi saya memilih menikmati dalam membacanya. Seperti sebagian orang menikmati serial favorit, atau drakor favorit.

Perlunya buku dibaca ulang tergantung kebutuhan. Kadang ada yang harus dibaca ulang agar tertanam pemahaman. Atau ada yang cukup sambil lalu, bahkan tidak perlu diulang. Seperti hiburan berupa tontonan. Tergantung jenis buku dan kebutuhan pembaca.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

M. E. N. G. A. L. A. H

Serial Ada Cinta di Rumah

Oleh Wiyanto Sudarsono

Sayup-sayup teringat kisah pesan memesan antara seorang istri dengan ibu mertuanyi. Sebuah pesan untuk keutuhan.

Suamimu itu gampang marah. Kalau Ia lagi marah diemo. Nek dijawab, makin marah. Apalagi dibantah. Tapi marahnya itu cepat reda, nggak lama“. Pasan Sang Ibu mertua.
Njeh Mak.” Jawab menantu, ini pelan.
Nanti jika sudah tenang baru jelaskan, pasanganmu“. Pungkas mertua.

Ibu mertua ini menasihatkan untuk mengalah. Untuk jangan ikut marah. Agar mengambil sikap menjadi air bagi api kemarahan suami.

Marah itu salah. Apapun alasannya. Tapi melawan marah dengan marah adalah kesalahan kuadrat. Marah dan kesalahan hendaknya disikapi dengan kelembutan. Apalagi dalam rumah tangga.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Rasulullah sekaligus sebagai pedoman bagi umatnya:

“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Nabi Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekitarmu. Oleh karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam segala urusan (penting). … (Āli ‘Imrān [3]:159)

Mengalah bukan berarti kalah. Mengalah adalah pilihan untuk sebuah kebaikan dan keutuhan. Kalah adalah sebuah kondisi yang tak diinginkan.

Mengalah bukan hanya untuk istri kepada suami. Bahkan untuk suami lebih ditekankan. Menunjukkan kebijaksanaan dan kewibawaan.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

P. I. N. D. A. H.

Oleh: Wiyanto Sudarsono

Beralih dari suatu kondisi ke kondisi lain. Bisa kosan, hunian atau tempat tinggal, bisa tempat kerja. Berubah posisi dari satu hal ke hal lainnya, biasanya terkait dengan tempat.

Banyak yang terkait dengan pindah dan kepindahan. Ada emosi, energi, rasa, orang, keluarga, dan sahabat atau tetangga. Sedih, bahagia, lelah, haru, semangat bercampur aduk. Coba kita ambil sedikit hikmah yang mampu kita tuliskan terkait pindah.

Ada yang menarik dari kata pindah. Ya, ada kata INDAH. Ketambahan huruf P di depannya. Huruf P mungkin kita bisa maknai dengan: Peluang. Pindah, artinya peluang untuk mendapatkan sesuatu yang indah. Cocokologi tapi menarik.

Paling tidak, dengan pindah kita dapat memahami luas dan beragamnya bumi Allah. Baik dari sisi wilayah maupun dari sisi masyarakatnya. Sebuah kondisi yang indah, jika dibandingkan dengan keseragaman.

“… Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. …
(Q.S. Al-Ḥujurāt [49]:13)

Pindah juga mengajarkan kita tentang kefanaan dan kesementaraan kita. Kita akan digantikan, kita juga menggantikan.

Saat kita pindah, bisa jadi adalah giliran kita menggantikan. Pada tempat dan waktu ini. Yang juga digantikan orang lain. Saat ini juga atau nantinya. Demikian seterusnya. Berganti berpindah.

“… Masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan Allah mengetahui orang-orang beriman (yang sejati) dan sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Allah tidak menyukai orang-orang zalim.
(Q.S. Āli ‘Imrān [3]:140)

Pindah juga mengingatkan kita akan perjalanan kita sebelum ini. Dan perjalanan setelah ini. Ini yang dimaksud adalah dunia. Kehidupan kita di alam dunia.

Sebelumnya alam ruh, dan kandungan. Kemudian dunia kita ini. Yang bukan sandiwara. Dunia ini betulan. Bukan rekaan. Tempat berbekal. Meski sebentar.

Setelahnya lebih panjang. Lebih lama. Masa tunggu di alam barzakh, alam kubur. Sampai kiamat. Entah berapa lama. Berpindah dari satu alam ke alam lain.

Semoga kita bisa mengambil hikmah kepindahan. Menikmati keindahannya. Menyadari kefanaan dunia dan tidak terlena dengannya. Semoga dapat kita raih kejayaan dalam perpindahan, semoga kepindahan akhir kita adalah ke surga Allah yang kekal abadi.

Aamiin

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Bersemangatlah

Bismillah. Teruntuk:
Diriku dan Saudaraku yang Sedang Menghadapi Perubahan

Perubahan adalah hal yang niscaya. Belakangan ini begitu terasa bagi kita. Situasi dan organisasi perusahaan kita bekerja begitu dinamis terasa.

Perubahan itu begitu dekat. Bahkan kita termasuk bagian dari perubahan itu. Sebagai pekerja, tentu harus siap menyongsong perubahan itu. Lahir batin.

Siap dengan ketidaknyamanan, siap dengan perubahan lingkungan. Tidak hanya bagi diri, bagi keluarga juga. Istri dan anak-anak harus disiapkan, diberi pengertian.

Saya adalah orang yang berkerja di bidang pemasaran. Jadi sering bepergian bahkan dipindah tugaskan. Apakah siap untuk ikut aku kemanapun juga?“. Demikian tanyaku kepadanyi dulu, sebelum saya meminang.

     “InsyaAllah, siap“. Demikian jawaban yang terdengar ditelinga.

Dimana saya bekerja disitu anakku dilahirkan, apakah sanggup?

    “InsyaAllah sanggup” Tegasnyi kepadaku begitu meyakinkan.

Dan alhamdulillah itu terbukti. Ia menemani ketika di Palopo. Anak pertama kami lahir di sana. Dan kamipun saat ini tengah bersiap, Lampung tujuan kami berikutnya.

Ada ketidaknyamanan, ada kekhawatiran. Tentu saja.

Saya pernah mengalami perubahan. Bisa jadi perubahan yang tidak diperkirakan. Lama saya merenungkan. Ada kemarahan, ada kejengkelan, ada kekecewaan. Lama saya beranjak dari kondisi itu.

Sampai saya diingatkan pada firman Allah:
“”… Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah [2]:216).

Tersadar saya. Meski godaan untuk sesal sering menjejal. Tapi ingatan juga sering hadir dalam perasaan. Apalagi celetukkan dari sekitar.

Kecewa Malas

Ketidaknyamanan yang mengganggu pikiran akan berujung padan kemalasan. Bukan malas sebenarnya, tapi lebih pada kecewa. Ketika perubahan tidak sesuai harapan. Perubahan yang tidak menguntungkan, menurut kalkulasi pribadi. Padahal bisa jadi tidak begitu.

Kesadaran bahwa, kondisi ini yang terbaik menurut Allah terus hadir. Namun, diri tak bisa memungkiri. Mengapa, mengapa, mengapa?! Tanya yang sering menyapa. Seolah tidak terima. Kepada Allah memohon ampunan.

Saya berharap bahwa diri ini senantiasa semangat dan memiliki keyakinan, bahwa Allah akan memberi kemudahan. Selama kekecewaan tidak berlarutan. Malas tidak berterusan.

Tetap semangat adalah jalan terbaik. Karena selainnya hanya akan merugikan diri dan keluarga. Bukankah bekerja dimana pun adalah sebuah kemanfaatan?!

Rasulullah pernah menasihatkan. Yang tampaknya cocok dengan kondisi kita sekarang ini:
Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun, keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah. Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law (seandainya) dapat membuka pintu setan.” (HR. Muslim)

Dariku: Wiyanto Sudarsono