Posted on Leave a comment

Restu

Oleh: Wiyanto Sudarsono

Ada satu momen pagi yang bertahun lamanya saya rindukan. Meski sesekali tetap dilakukan. Momen itu: cium tangan orang tua.

Sejak SD kami melakukannya. Setiap hendak ke sekolah. Jika ada keduanya. Jika tidak ada, kepada salah satunya, Bapak atau Mamak. Sampai kami SMA, kami tinggal bersama kedua orang tua. Tentu “ritual” itu terus berjalan.

Saat mulai merantau momen itu jarang dilakukan. Bahkan hari-hari kuliah, paginya tanpa cium tangan. Tangan siapa mau dicium. Tapi saya sempatkan menelpon orang tua. Hanya saat pulang atau hendak pergi lagi, baru bisa cium tangan orang tua.

Belakangan, Alhamdulillah bisa mengulang momen itu seminggu sekali. Paling tidak dalam sebulan ini. Saat pulang ke kampung halaman. Luar biasa nikmat.

Setelah menikah, bukan saya yang mencium tangan. Tangan saya yang dicium. Gantinya, saya dapat kening, pipi, dan ehm…

Setelah punya anak, Anak-anak yang mencium tangan saya. Baik ketika saya pergi bekerja atau mereka yang hendak belajar.

Entah mengapa saya menyukai tradisi tersebut. Ada rasa nyaman dan tentram dalam perilaku takzim itu.

Tanpa terucap seolah restu tercurah. Doa-doa dimohonkan untuk kebaikan.

رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ
Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin pada hari diadakan perhitungan (hari Kiamat).”
Aamiin

(Wiyanto Sudarsono)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *