Serial kisah Keluarga
Bangun pagi. Jam berapapun, dia selalu sudah bangun dan bekerja. Jika tidak demikian, maka pertanda kurang baik: sakit.
Tempat kerjanya sama, dapur. Menanak nasi, menyiapkan bumbu, sayur, dan lauk. Sembari menunggu azan subuh.
Sejak dulu. Mulai dari subuhku sering kesiangan, sampai subuhku bisa bersama Bapak di langgar terdekat.
Saat ini ukuran keberhasilan harian itu berubah. Jika bisa subuh bersama Bapak di langgar Baitus Salam adalah keberhasilan. Syukur tidak kedaluan Bapak yang azan. Jika bisa menggantikan Bapak ikamah,sudah suatu keberhasilan tambahan.
Jamaah subuh di langgar kami tidak banyak. Imam dengan tiga atau empat jamaah sudah bagus.
Sepulang subuh, dia –mamak kami– sudah salat dan bekerja kembali. Menyiapkan sarapan kami. Saat ini disambi mesin cuci berputar ke kanan ke kiri, mengucek baju kotor. Dulu, pakaian itu direndam untuk kemudian tangannyi menguceknya kemudian.
Sarapan “berat” adalah menu wajib kami. Tidak ada sekolah tanpa sarapan. Nasi, lauk dan sayur. Minimal nasi dan lauk. Seringkali ditambah segelas susu kental manis. Kebiasaan wajib sarapan itu bekerja dengan baik. Tidak ada acara tidur di kelas yang membuat kapur atau penghapus melayang ke arah kami.
Satu hal yang kami perjuangkan untuk mereka -mamak dan Bapak–. Berkata dan bersikap baik. Lembut tutur kata, halus dalam sikap. Berat sekali bagi kami.
Terbiasa bahasa ngoko, suara lantang dan keras. Ngobrol berasa adu mulut. Kami keluarga yang ramai.
Ya Allah, mudahkan kami mengikuti perintah-Mu:
“Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada waktu kecil.” –QS. Al-Isrā’ [17]:24–
(Wiyanto Sudarsono)