Posted on 2 Comments

Nilai Cat Tembok

“Apalagi Pak?”.  Tanya pramuniaga salah satu toko bangunan besar di GKB. Gresik Kota Baru.

“Cat Tembok, yang anti noda dari Ni***n Paint”. Jawab saya. “Warna Putih”.

Beberapa waktu lalu, saya beli cat tembok. Untuk mengecat tembok rumah. Putih, agar terang.

“Nggak, Jo**n saja tah Pak. Yang pertama tadi hanya bisa sampai 5 tahun. Kalau ini bisa 8 tahun. Harga hanya selisih 25 ribu”. Tawarnyi.

Oh, lebih bernilai ini, pikir saya. Sambil menduga, pasti margin merek yang ditawarkan lebih tinggi.

“Bagaimana Om, pilih mana?”. Tanya saya ke tukang yang akan mengerjakan.

“yang Jo**n ae mas”. Jawabnya.

Jadi saya beli sesuai pilihan tadi yang lebih bernilai.

Nilai Bagi Pelanggan

Pelanggan itu tidak selalu memilih yang harga murah. Tapi pelanggan akan memilih yang bernilai. Sesuai dengan kemampuannya.

Nilai produk bagi pelanggan berbanding lurus dengan manfaat produk. Baik dari fungsi maupun emosi.

Itu mengapa produk dengan fungsi yang sama, ada yang harganya 10 kali lipat, tapi tetap ada yang beli. Ada manfaat dan nilai emosi. Entah karena gengsi pakai merek itu, atau yang lainnya.

Ada yang karena memang fungsinya. Seperti cat tadi. 8 tahun melawan 5 tahun.

Nilai berbanding terbalik dengan harga dan biaya lainnya. Harga mahal jika fungsinya memadai akan tetap dibeli. Selisih 25 ribu, untuk kasus cat tadi. Nambah 25 ribu, dapat 4 tahun.

Biaya lainnya misalkan antre dalam membeli. Menunggu kiriman barang. Termasuk, penjual hanya senang miscall. Agar pembeli nelpon balik.

Nilai bagi pelanggan, juga bisa dipengaruhi oleh penjual. Yang menjelaskan nilai tersebut. Menjelaskan hitungannya. Keluar tambahan biaya berapa, hasilnya dapat berapa. Konsumen, pelanggan akan berhitung.

Jangan lupa, sampaikan nilai produk yang kita jual. Tanpa harus menjelekkan produk lain yang kadang mengganjal.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Kelompokkan Saja

Seri ke-21, Serial Catatan Seorang Penjual

Kita itu berbeda dengan orang lain. Orang satu berbeda dengan orang yang lain. Tidak sama. Unik.

Pun pelanggan. Juga tidak sama. Meski menggunakan produk yang sama. Permasalahan bisa berbeda. Responnya bisa berbeda.

Gambar Matriks Hubungan Pelanggan (Sales Breakthrough, Hal. 101)

Pelanggan ada yang potensinya besar, menarik. Mungkin karena lahannya luas. Komoditasnya beragam. Ini contoh untuk pelanggan sarana produksi pertanian.

Pelanggan ini, selain potensial, juga memiliki hubungan dekat dengan kita. Kuat sekali hubungannya. Kita bisa memperkirakan bahwa, pelanggan ini menilai kita lebih baik dari pesaing. Layanan kita dan produk kita. Satu kesatuan.

Pelanggan ini dapat kita masukkan ke kelompok “Cultivate Existing Account“. Pelanggan yang terus dapat dikembangkan.

Pengembangan dapat dilakukan dengan jual produk serupa dengan harga dan fitur lebih baik (up selling) . Atau produk lain yang melengkapi yang sudah ada. Atau yang menjadi solusi permasalahan lainnya (cross selling). Dan kita sangat layak meminta referensi calon pelanggan kepadanya.

Pelanggan ini harus dijaga betul. Berikan kejutan-kejutan kecil dengan mengucapkan selamat di hari spesialnya atau keluarganya.
Jadwalkan menelepon dan mengunjungi, rutin. Sering.

Ada pelanggan yang potensinya bagus. Tapi tidak terlalu dekat. Atau lebih dekat dan kuat ke kompetitor. 

Ini butuh perhatian. Lebih sering ditelpon dan bertemu. Agar kita bisa menangkap bisnis tambahan dan menambah kedekatan.

Pelanggan tipe kedua ini kita Kelompokkan ke kelompok “Catch“. Tangkap bisnis tambahan dengan melakukan up selling dan cross selling. Minta referensi, nanti setelah naik Kelas. Dengan naiknya tingkat kedekatan.

Ada yang sebaliknya, sangat dekat dan kuat hubungan dengan kita. Tapi, potensinya relatif rendah.

Pelanggan kelompok ini bisa kita jadikan jalan untuk memperoleh peluang baru. Calon pelanggan baru. Dari referensi yang diberikannya.

Pelanggan tipe keempat, tidak ada potensi yang bisa digali lagi. Dan pelanggan ini, juga tidak dekat dengan kita. Bahkan sangat dekat dan kuat ke Pesaing.

Bisa jadi diawal ia atau dia hanya coba-coba produk kita. Atau dengan sangat terpaksa pilih layanan kita. Atau hanya kasihan kepada kita, seorang penjual yang gigih.

Kita dapat evaluasi ulang, apakah betul-betul tidak ada potensi lagi. Jika benar, energi kita lebih baik kita fokuskan untuk pelanggan lain. Dan cari pelanggan baru. Tapi tidak ada salahnya sesekali ditengok. Meski, pelanggan ini kita kelompokkan ke tipe Cut-Off. Putuskan saja.

Dengan pengelompokan kita lebih mudah dalam mengelola. Mungkin bisa juga dengan pengelompokan lain. Misal, berdasar bulan istimewanya pelanggan. Berdasar siklus penggunaan produk, dll. Pokoknya, kelompokkan saja. Untuk memberikan pelayanan yang lebih baik.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Menangkan Lagi dan Lagi

Seri ke-20, Serial Catatan Seorang Penjual

Gambar dari https://www.diana-boettcher.com/

Lagi-lagi ini. Penjual harus mampu membina hubungan dengan pelanggan. Dan mantan pelanggan. Atau calon pelanggan. Bahkan, dengan mantan calon pelanggan.

Hubungan yang baik perlu di kelola. Karena jika tidak dikelola bakal lupa. Karena semakin banyaknya pelanggan. Biasanya ada yang terlupa. Terutama yang lama-lama.

Semoga kita mengerti jika menjadi yang dilupakan.

Ada prosesnya ternyata. Pengelolaan pelanggan yang baik. Saya pikir ini masuk dalam bagian manajemen hubungan pelanggan (customer relationship management).

Pertama, untuk menjadi pelanggan, penjual harus mendapatkan pelanggan tersebut. Istilahnya, diakuisisi. Akuisisi dimulai ketika penjual telah menyelesaikan seluruh proses penjualan. Dari prospecting sampai closing. Tentu penjualannya berhasil.

Para pakar, memberikan perbandingan. Biaya mendapatkan pelanggan baru 5 sampai 6 kali lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan pelanggan yang puas. Ini di sebut tahap Get, mendapatkan pelanggan.

Kedua, bagi pelanggan yang telah menggunakan produk kita, dan puas, perlu kita arahkan. Untuk menciptakan loyalitas dan bertahan dengan kita. Perlu lah kiranya kita melihat data pelanggan lagi.

Saat periode penggunaan barang habis misalnya, kita harus siap sedia mengingatkannya. Untuk kita melayani mereka. Dengan produk dan layanan yang kita punya.

Berikan yang WOW di momen spesial pelanggan. Berikan pengalaman yang tak terlupakan. Jika bisa. Agar pelanggan terkesan dengan WOW-nya pelayanan kita. Dan agar pelanggan memberikan advokasi / pembelaan / menyarankan produk kita kepada teman-temannya. Ini tahapan keep (menjaga pelanggan).

Ketiga, pelanggan yang sudah loyal, dan telah terbiasa menggunakan produk kita, kita bisa arahkan untuk memperbesar penjualan kita.

Bisa menambah pembelian produk yang sama (up selling), pembelian produk lain yang kita jual (Cross selling) atau meminta referensi calon pelanggan baru dari pelanggan loyal kita. Ini yang disebut tahap Grow (tumbuh).

Yah, namanya juga proses. Kadang ada tidak tepatnya. Tidak setiap pelanggan mampu kita berikan layanan dan produk yang pas, dan langsung puas. Kadang (jangan sering-seringlah), ada kecewa ya.

Saat menghadapi kondisi ini, kita perlu melakukan layanan pemulihan (recovery services) untuk menenangkan dan mengobati kekecewaan pelanggan. Meski pelanggan mungkin telah pindah ke lain hati.

Service recovery kita mulai dari tahap penjajakan (probbing) lagi. Dua tahap penjualan sudah kita lewati (prospecting dan approaching) . Ini karena calon pelanggan adalah mantan calon pelanggan kita. Yang pernah gagal kita menangkan atau pernah kita kecewakan. Ini tahap keempat, yaitu Win Back (menangkan balik).

Kisah Indah
Win Back

Sebuah perusahaan besar Agrokimia pernah memiliki pelanggan loyal. Untuk salah satu produknya, Amoniak.

Saking loyalnya, pelanggan ini rela menangis untuk memperoleh Amoniak. Demikian kisah, mantan VP (vice president) Penjualan perusahaan agrokimia ini.

Suatu ketika perusahaan ini harus menghentikan suplai amoniaknya. Karena kebijakan yang harus mengutamakan untuk bahan baku produk strategis. Karena kekhawatiran akan ketersediaan Amoniak. Yang menurut VP ini, terlalu berlebihan. Dan mengorbankan pelanggan.

Pelanggan ini kecewa. Marah. Tapi marahnya orang punya duit.

Pelanggan ini bangun tanki sendiri dan impor Amoniak sendiri. Putus sudah cinta selama ini. Lepas sudah pelanggan yang rela menangis ini.

Sang VP menilai mantan pelanggan ini masih bisa didekati. Seperti biasa, mantan yang mendekat seperti apa.

Sang VP mendekati tidak hanya pimpinan perusahaan, atau bagian pengadaan. Orang teknisnya didekati. Sampai betul-betul dekat. Dapatlah kebutuhan perusahaan pelanggan. Dapatlah permasalahan yang dialami calon pelanggan.

Pelanggan atau mantan pelanggan ini, saat impor dengan kapal besar, tanki yang dibangunnya tidak cukup. Sehingga biaya akan cukup besar. Karena demmurage kapal impor, dll.

Ketemu, pikir sang VP. Diajukanlah opsi ke pelanggan. “Boss, saat ini njenengan impor kapal besar, bolehlah, sebagian Amoniaknya, ditampung ke tanki kami, sewa. Kan nggak cukup itu tanki njenengan. Tapi, pengambilan berikutnya, ambillah lagi Amoniak dari kami”. Demikian, nego sang VP. 

Pelanggan setuju, Direksi perusahaan Agrokimia inipun sudah setuju dengan opsi ini.

“Kami jamin, kedatangan kapal impor aman, tidak ada demmurage, dan soal pengambilan amoniak dari tanki kami, akan kami prioritaskan.” Demikian sang VP meyakinkan.

Dan betul, pelanggan ini berhasil di “Win back”.

Sang VP memberikan tips, dekati orang teknisnya jangan hanya orang atasnya. “berikan solusi untuk mereka, maka keuntungan untuk kita”.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Jangan Cepat Berlalu

Seri ke-19, Serial Catatan Seorang Penjual

Proses penjualan belum berakhir setelah kita sukses melakukan penjualan. Kita masih harus membangun hubungan dengan pelanggan.

Pastikan produk yang kita jual telah diterima oleh pelanggan dengan baik. Dalam kondisi yang baik. Jangan hanya menyerahkan kepada bagian logistik atau distribusi. Yang bertugas mengirim barang.

Jika penjualan online, pastikan kita melacak posisi pengiriman barang. Jangan dilepas begitu saja.

Tanyakan kepada pelanggan : “Apakah barang sudah diterima dengan baik? Kondisinya bagaimana? Apakah ada kesulitan dalam penggunaan?”.

Jangan sungkan menawarkan bantuan kepada pelanggan. Termasuk menanyakan testimoni, atau pendapat pelanggan setelah menggunakan produk kita.

Inilah bagian dari layanan purna jual. Dengan layanan purna jual yang baik, pelanggan akan kembali tertarik. Saat ia membutuhkan produk atau layanan kita.

Layanan purna jual juga akan membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan. Saat Ia butuh solusi melalui produk dan layanan kita, pelanggan akan kontak kita.

Hal utama untuk hubungan jangka panjang adalah, KEPERCAYAAN. Dengan kepercayaan, pelanggan siap berinteraksi dengan kita tanpa rasa khawatir dan curiga. Dengan kepercayaan, setiap tahap proses penjualan (approaching sampai closing) dapat dilakukan dengan lebih cepat.

Kepercayaan ternyata ada rumusnya. Saya juga baru tahu. Hahaha menarik ini konsepnya.

Jadi kepercayaan itu dibangun dengan kredibilitas dalam penyelesaian masalah. Ditambah dengan keandalan (Realibility)  kita dalam memenuhi janji. Dibumbui dengan intimasi, bukan intimidasi.

Intimasi menunjukan pemahaman kita kepada pelanggan sebagai seorang yang memiliki kebutuhan, emosi, dan perasaan. Sehingga menyentuh ranah emosi diperlukan.

Kepercayaan dapat terkurangi secara signifikan dengan adanya orientasi pribadi dari kita. Orientasi pribadi juga mengacu pada ego pribadi penjual (yang harus dikurangi). Ego pribadi akan menghalangi penjual untuk senantiasa siap bagi kepentingan pelanggan.

Semakin besar tiga komponen pertama semakin besar kepercayaan pelanggan. Dan adanya serta semakin besarnya tingkat ego pribadi penjual, semakin rendah kepercayaan pelanggan.

Rumus di atas tidak hanya dalam penjualan, dalam pernikahan dan rumah tangga juga berlaku. Dalam hubungan persahabatan, dan kemitraan usaha.

Jika kepercayaan tinggi, hubungan tidak akan cepat berlalu. Bahkan bisa langgeng. Saklawase. Tidak pedot nang ujung jalan.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 2 Comments

Paw Patrol Leadership

Salah satu buku tentang leadership, kepemimpinan (saya lupa judulnya), menyatakan bahwa kepemimpinan dibangun atas tiga hal : pengelolaan atas diri, pengelolaan atas tugas, dan pengelolaan orang  – – anggota tim.

Ternyata, prinsip ini ada di dalam serial Paw Patrol. Serial favorit anak-anak saya. Tayang di saluran tv Nick Jr. (Nick Junior).

Pengelolaan terhadap Diri
Ryder (raider), seorang anak manusia, Pemimpin tim Paw Patrol yang terdiri dari anak-anak anjing – – yang bisa bicara tentu saja–. Begitu teratur langkahnya. Begitu tanggap.

Ia sering menyerukan frasa yang memotivasi diri dan tim. “Tidak ada pekerjaan yang terlalu sulit buat kami!!”. Demikian pekik Ryder saat menerima tugas penyelamatan.

Pengelolaan Tugas
Ryder begitu cakap mengatur penugasan. Siapa yang ikut serta dalam sebuah misi. Termasuk jenis kendaraan dan peralatan apa yang harus dibawa oleh para anak anjing. Juga, apa yang harus dilakukan dengan alat – alat tersebut.

Jika membutuhkan tambahan bantuan pun, ia dengan cakap memilih anggota tim yang sesuai.

Tim Paw Patrol, yang beranggotakan anak anjing memiliki karakter yang berbeda – berbeda. Karena menang dari jenis anjing yang berbeda-beda.

Masing-masing anggota tim memiliki ketakutan atau alergi terhadap sesuatu. Ryder paham sekali siapa harus menangani apa. Dan terkadang dengan cerdas memanfaatkan alergi atau ketakutan anggota timnya.

Ia memberikan motivasi dan tentu saja apresiasi. Terhadap setiap tugas dan keberhasilan.

Ah, ternyata di serial anak-anak yang membuat kami ndomblong – – terpana/terkesima- setiap melihatnya, ada pelajaran yang berharga.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Gerbang Layanan

Teringat saya dengan pelajaran mulok (muatan lokal). Dulu waktu SMP. Sebuah mata pelajaran yang mengangkat kebijaksanaan lokal. Bahasa dan budaya Lampung.

Dalam ingatan saya, ada falsafah hidup masyarakat asli Lampung. Pil Pesegiri namanya. Tentang hal yang membuat bahagia dan tidak suatu negeri, kampung, rumah atau keluarga.

Salah satu yang membuat bahagia adalah kebersihan rumah. Di depan dan belakangnya.

Ada hikmah yang bisa kita ambil. Bahwa kebaikan itu harus nampak di depan, dan terimplementasi di dalam sampai di belakang. Bisa rumah. Bisa orang. Bisa organisasi. Bisa perusahaan.

Aktivitas Layanan (+)

Falsafah di atas bisa di bawa ke dunia pelayanan. Services. Di bab Layanan Prima.

Saya pernah mendapatkan layanan. Kali ini di layanan kesehatan. Rumah sakit.

Sedang dinas di Bali. Qadarullah, sakit faringitis. Radang tenggorokan. Setelah hari kedua, memutuskan ke rumah sakit. Yang terkenal. Memiliki banyak jaringan.

WOW saya dibuatnya. Meski sedang sakit, perasaan WOW, terlintas sepanjang waktu saya berada di rumah sakit tersebut. Mungkin karena sering membaca WOW di referensi pemasaran dan penjualan.

Mulai Satpam di depan dan pendaftaran. IGD dan dokternya. Kasir dan farmasinya.

Senyumnya terasa begitu tulus. Penjelasannya terasa ramah.

Penjelasan tentang radang begitu memuaskan. Dengan hanya bermodal gambahan Google di layar monitor.

Diperlihatkan jenis peradangannya. Kondisi saat ini – – gambar yang sama dengan radang saya–.Dan penyebabnya. Yang ternyata bakteri. Bukan virus. Sehingga diberi antibiotik. Resep ditulis jelas, bukan tulisan steno yang tidak diketahui pasien.

Di depan. Satpam sebagai gerbang pelayanan begitu ramah dan santun. Pendaftaran, IGD, Dokter ditengah sangat memuaskan.

Kasir dan farmasi di akhir layanan begitu transparan dan gamblang. Terima kasih untuk RS Siloam Bali. Telah memberi contoh layanan prima. Mungkin WOW Services.

Kesan Layanan (-)

Ada juga sebuah komplek di dekat rumah kami. Ada pujasera, ada swalayan, ada klinik kesehatan. Bisa disebut Kompleks Niaga.

Layanannya ehm…..  WOW, belum lah. Good, belum juga. Fair, cukup, mungkin. Secara umum.

Kita ikuti Yuk, perjalanannya.

Gerbang layanan. Ada 2 orang kadang 1 orang di sebuah tempat di samping gerbang pintu masuk – – dan keluar. di sisi kiri pintu masuk komplek. Entah apa kegiatannya. Satpam, kadang ada yang seragamnya begitu – – satpam yang merangkap front office–.

Atau itu mungkin tukang parkir, saya jarang melihat adanya pengaturan parkir. Mungkin karena saya tidak pas di puncak kesibukan aktivitas di sana.

Paling pas, nampaknya pemungut retribusi. Pembayaran parkir. Pembayaran tiket masuk. Tapi, kertasnya tertulis “parkir gratis”. Meski sering kali saya menemukan, tulisannya dicoret dengan semacam paraf atau tanda tangan. Entahlah. Sudah jarang saya mengambilnya.

Tapi anehnya, loketnya hanya ada 1. Jadi masuk ambil karcis. Keluar – – harusnya – – menyerahkan karcis, dan bayar (jika mau membayar) di loket yang sama.

Bisa tabrakan itu. jika di lebay-kan. Di dramatisasi.

Dan senyuman, ehm….  Kita nampaknya tidak bisa berharap banyak. Mendapat senyuman. Apalagi seperti saya yang mukanya – – mungkin– nyebelin.

Ya, gerbang layanan akan menunjukan kesan pertama.

Bagaimana, dengan di tengah dan belakangnya? Layanan swalayannya? Kliniknya? Atau Pujasera dengan berbagai menu makanannya? Semoga lebih baik dari gerbangnya.

Silakan pembaca kunjungi sendiri.

Saya mungkin hanya mengungkapkan unek-unek di gerbang layanannya. Layanan di gerbang masuk pertama. Semoga manajemen komplek membaca, dan melakukan langkah perbaikan. Untuk memberikan layanan prima. Sejak gerbang masuk. Sehingga masuk di hati pelanggan.

Kesan pertama begitu menggoda…..  Jika menarik, baik dan berkesan positif.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Semua Ada Tekniknya

Seri ke-18, Serial Catatan Seorang Penjual

Ada banyak cara untuk menciptakan gol. Bisa lewat tendangan gawang atau touchdown di ujung lapangan. Untuk Futbol Amerika.

Bisa pakai tendangan kaki, sundulan kepala atau bahkan pakai goyang bokong. Untuk sepakbola, soccer. Masing-masingnya pun ada banyak variasi.

Dan tidak ada cara atau metode yang memiliki rasio 100%. Pasti berhasil. Yang di depan mata seperti tendangan penalti saja, ada gagalnya.

Demikian juga dengan teknik penutupan Penjualan. Yang diperlukan adalah menyiapkan beberapa metode dan memilih yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik calon pelanggan.

Tujuan teknik penutupan ini, tidak hanya menutup penjualan saat itu. Tapi yang terpenting adalah adalah bagaimana kita dapat menjalin hubungan baik dengan calon pelanggan hingga kemudian hari.

Ada teknik dengan cara coba – coba saat presentasi. Ini untuk melihat tingkat keseriusan dan kesungguhan calon pelanggan dalam melakukan pembelian.

Teknik ini dilakukan dengan menanyakan :
Mana yang lebih Anda sukai? Pupuk Phonska Plus atau Petronitrat?”.
Saat penggunaan apakah diperlukan kami, dan tim teknis kami mendampingi?”.
Teknik ini disebut Trial Close (coba-coba menutup).

Ada juga teknik mendorong pelanggan segera beli. Dengan iming-iming diskon, bonus, atau promo lainnya. Dan ada batas waktu.
penawaran sampai hari ini saja lho Pak, Senin harga naik“. “Bonusnya hanya didapat jika pembelian hari ini“.

Ada lagi closing dengan cara merangkumkan masalah dan bagaimana produk jadi solusinya. “Jika Bapak beli pupuk kami minimal 10 ton, pemupukan di kebun kami yang lakukan”.

Ada yang jelas dan sederhana. Ini cocok untuk prospek yang cepat dan tegas dalam pengambilan keputusan. Tidak cocok jika terlalu dini digunakan. “Kalau demikian, apakah Bapak jadi beli berapa?“. “Bagaimana Bu, cocok dengan bonus yang kami sediakan?“.

Teknik terakhir, memberi pilihan kepada calon pelanggan. Pilihan jawabannya “ya” dan “ya”. “Pilih mana Pak untuk musim tanam kali ini, Petro Nitrat atau Petro Ningrat?”.
Mau dibawa langsung atau diantar sampai lahan Pak pupuknya?“.

Gunakan teknik sesuai dengan situasi.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Semua Tergantung Akhirnya…

Seri ke-17, Serial Catatan Seorang Penjual

Sebaik apapun materi pemain. Ditambah  Pelatih yang terkenal, – – dan mahal–. Penguasaan bola selalu di atas 50%. Kalau tidak mampu memenangi pertandingan – – apalagi memenangi kompetisi–, semua itu PERCUMA.

Hanya membuat suporter geram. Mangkel. Meski jangan sampai anarki. Apalagi mutung. Pindah jadi suporter tim sebelah. Yang lebih sering menang.

Jika prospecting, sampai presentasi sudah baik, tapi tidak bisa closing. Atau tidak bisa menghasilkan penjualan, berarti ada yang kurang pas.

Jangan Berhenti

Ada proses penjualan yang butuh waktu lama. Penjual dan calon pembeli bisa sangat dekat. Tapi penjual jangan lupa tujuannya, Jualan.

Kadang kala, penjual tidak enak hati. Untuk menyampaikan tujuan utamanya. Karena sudah lama bersahabat. Takut kesannya memaksa. Bahkan menilai bisa merusak hubungan.

Penjual, meski sudah sangat dekat, tetap harus melanjutkan proses penjualan. Harus melakukan closing.

Agar kekhawatiran penjual tentang hubungan dan Jualan tadi hilang, Closing harus dilakukan di waktu dan dengan cara yang tepat.

Closing butuh momen, waktu yang tepat. Salah waktu, bisa berbalik. Tadinya tertarik, bisa jadi tidak.

Jangan kelamaan memainkan bola, sehingga lupa. Bola harus ditendang, ke arah gawang.

Semua Ada Tandanya

Penjual harus mampu melihat tanda-tanda saatnya menentang bola, eh… Melakukan closing.

Jika pelanggan sudah tanya : “Garansinya berapa lama?” atau “Layanan tambahan apa yang diberikan?”, “Apa produksinya selalu ada?”, “Bagaimana cara bayarnya?”.

Atau calon pelanggan memuji produk, manfaat produk, atau memuji kita sebagai penjual.

Atau meminta sesuatu. Misal, jaminan kualitas sama dengan contoh. Manfaat harus benar-benar sama dengan yang dijelaskan. Meminta kita bisa dihubungi jika ada permasalahan dengan produk.

Itu semua tanda-tanda waktunya melakukan closing. Tanda yang terucapkan.

Selain tanda yang terucapkan/verbal, ada juga yang hanya bisa dilihat. Tidak bisa didengar.

Wajah calon pelanggan yang senang dan tertarik. Pelanggan menganguk – angguk. Bukan karena mengantuk. Tapi karena setuju. Dan bahasa tubuh lainnya yang menunjukkan ketertarikan dan antusiasme.

Sama mungkin. Saat dulu kita bersiap menyatakan cinta. Calon kita, mungkin mukanya semerah tomat. Saat kita bicara.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pelanggan dan Kawan

Catatan Senin Bahagia

“Jika pelanggan salah dalam cara menggunakan produk, tentu kita ingatkan. Apalagi sahabat dan kawan, jika terdapat kesalahan, sikap, kata, tindakan,  dan keputusan, tentu kita bersedia mengingatkan bukan?”

“Jualah kepadaku pena ini?”. Kalimat pembuka dari seorang pembicara dan motivator penjualan yang ulung. Potongan terakhir dari adegan film Wolf of Wall Street (2013, R). Terinspirasi dari novel dengan judul yang sama. Tulisan Jordan Belfort (2009).

Jordan Belfort, seorang pialang saham yang jago. Ia begitu bersemangat mengejar kesuksesan. Dalam Penjualan. Dan kekayaan tentunya.

Fasih berbicara. Jago bernegosiasi. Tapi seolah yang ia kejar hanya duit, duit, dan duit. Kurang memanusiakan para pelanggannya. Dan karyawannya.

Pelanggan = Kawan

Friendly, Sahabat bagi siapa saja. Demikian salah satu tips dalam pendekatan kepada calon pelanggan.

Seorang penjual — pemasar– harus mampu menjadi sahabat, kawan, dan teman. Demikian pula sebaliknya. Pelanggan adalah sahabat bagi seorang penjual.

Hubungan persahabatannya begitu dekat, begitu hangat. Tidak hanya sekedar transaksional. Bukan setelah closing (transaksi), terus plencing (pergi).

Apakah tanpa masalah? Jelas tetap ada masalah. Sebagaimana hubungan persahabatan lainnya. Pasti pernah dan akan ada masalah.

Jika pelanggan yang bersalah. Terlambat datang pada pertemuan penjualan. Penandatanganan SPJB misalnya. Padahal sudah jelas di undangan. Pelanggan sudah minta maaf dan menjelaskan alasan. Sahabat yang baik akan memaafkan bukan?

Barang yang datang tidak sesuai dengan pesanan. Sebagaimana sering kita alami. Penjual meminta maaf, bisanya ditambah kompensasi. Diskon, atau produk baru yang lain. Gratis.

Menjadi sahabat bagi pelanggan, hadir tanpa topeng. Senyum dan sapaan yang tulus. Bersikap wajar, dalam bicara, gestur, hingga penawarkan produk secara halus.

Dengan begitu kita bisa menjadi manusia bagi pelanggan yang juga kawan, bukan serigala yang siap menerkamnya.

Kawan = Pelanggan

Agni S. Mayangsari, pembicara yang beberapa kali saya ikuti kelasnya. Bidangnya “Service Excelent”. Bukunya, Hearty Service, Service itu di sini (di hati).

Dia pernah berkata pada suatu waktu. “Kita harus memberikan service excelent, layanan prima, kepada pelanggan. Siapa pelanggan utama kita?” Dia bertanya kepada kelas. Macam-macam jawabannya. Dia melanjutkan : “Keluarga”.

Yang juga termasuk Pelanggan  adalah kawan, sahabat, teman, tetangga, atasan di kantor, tim kita. Itu semua juga adalah pelanggan. Pelanggan, tidak hanya pembeli produk kita. Tapi lebih luas dari itu.

Pelanggan adalah yang merasakan keberadaan kita. Yang menerima hasil kerja kita.

Dan kita mungkin bisa bersepakat, bahwa sahabat, tetangga, atasan, tim kita, adalah pelanggan utama. Selain bisa saja menjadi pembeli produk kita, tapi juga akan membantu kita.

Terdampak dengan kebaikan sikap kita, – – ataupun yang sebaliknya. Karena begitu seringnya interaksi dan pertemuan.

Gangguan persahabatan, bisa saja. Pasti ada. Yang teman hidup saja bisa ada gangguan.

Kalau tidak ingin ada gangguan, berarti tidak menginginkan adanya hubungan dan persahabatan.

Jika pelanggan salah dalam cara menggunakan produk, tentu kita ingatkan. Apalagi sahabat, jika terdapat kesalahan, sikap, kata, tindakan,  dan keputusan, tentu kita bersedia memaafkan dan mengingatkan bukan?

Tidak hanya mengingatkan. Tapi Memaafkan. Meluruskan kesalahan. Kadang hanya masalah pemahaman.

Bahkan, terkadang perlu ketegasan. Namun, bukan lantas mendiamkan, tidak memberi sapaan. Apalagi salam.

Kita bisa jadi tidak cocok dengan satu dua pemahaman, dan keputusannya. Namun, kita harus yakin lebih banyak kecocokannya.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Tidak Perlu Alasan

Catatan Minggu Pagi

“Apakah engkau menyukai laut, nak?”. Tanya seorang pengemudi bus kepada salah satu penumpangnya yang masih anak-anak.
“ya”. Jawabnya.
“Mengapa engkau begitu menyukai ya? “. Tanya sang Pengemudi lagi.
“Apakah aku harus memiliki alasan, [untuk menyukai laut]?”. Jawab sang anak.
“Ah, kamu benar [tidak perlu alasan untuk menyukai]”. Tutup sang Pengemudi.

Ah, demikian simpel rasa suka itu. Sebagaimana rasa cinta, dan rasa lainnya yang berkebalikan dengan itu.

Terkadang kita berpikir terlalu banyak syarat untuk suka dan cinta. Yang kalau banyak syarat, harus gini-harus gitu. Kata Sujewo Tedjo, bukan cinta, itu kalkulasi.

Padahal kalau sudah suka, sudah cinta, kita seringkali tanpa kalkulasi. Mengapa untuk suka harus ada kalkulasi atau alasan?

Tak Terduga

Cuplikan percakapan di atas adalah potongan adegan dari film pendek Korea berjudul “Musim Panas, Bus”. Judul aslinya tentu dalam huruf dan bahasa Korea.

Penumpang anak-anak tadi, sebelum percakapan tadi adalah seorang penumpang yang selalu menggambar di kaca bus. Gambar ikan. Atau laut. Suatu saat crayonnya tertinggal.

Sang pengemudi mengembalikannya. Ternyata ia sedang sakit.

Pada suatu kesempatan, sang anak naik bus itu kembali. Ia begitu kaget, terpesona. Bus telah di dekorasi, di gambar, dengan gambar laut dan berbagai jenis ikan.

Dalam dunia pemasaran dan penjualan, bisa juga di kehidupan romansa, ini sering terjadi. Atau bahkan perlu diciptakan.

Kejutan, mempesona, mengagetkan, yang positif. Agar timbul rasa. Rasa suka, rasa cinta, yang tanpa alasan, tanpa kalkulasi.

Membuat loyalitas tanpa batas. Kalau sudah cinta, suka, loyal, paite kopi rasane legi.

(Wiyanto Sudarsono)

Link video film pendek “Musim Panas, Bus”, https://youtu.be/-MliIE5PGrI