Posted on Leave a comment

Sedikit tapi Berarti

Pandemi dan Pemasaran

Ada tiga kaidah epidemi. Pertama, Hukum tentang Yang sedikit (Law of Few), Kedua, Faktor kelekatan (Stickiness Factor), dan Kekuatan Konteks (Power of Context). Kaidah ini saya ambil dari The Tipping Point karya Malcolm Gladwell.

Kaidah hukum yang sedikit, memberikan penjelasan bagi kita tentang bagaimana sebagian kecil orang atau perilaku mampu memberikan pengaruh luar biasa kepada kelompok masyarakat, baik dalam penyebaran informasi, pengaruh, maupun penyakit.

Pada kasus epidemi atau pandemi, ada orang-orang yang baik sadar atau tidak menjadi perantara penyebaran atau penularan penyakit lebih banyak dibanding yang dilakukan orang lain. Perbedaan penularan ini pada rentang yang signifikan. Ia betul-betul luar biasa–dalam penyebaran atau penularan.

Orang dengan tipe ini adalah orang yang supel, pergaulan luas, mungkin orang ini adalah orang yang berkarakter “nggak ada LO, nggak rame“. Mungkin pemimpin komunitas ngopi bisa masuk kelompok yang sedikit ini. Orang dengan Karakter ini, kalau terinfeksi virus tertentu yang menyebar lewat percikan air liur, atau bersin–apalagi jika tanpa gejala, akan menyebarkan ke lebih banyak orang dari pada yang orang lain mampu lakukan.

Gladwell mengelompokkan orang-orang ini dalam satu kelompok yang terdiri dari Para Penghubung, Para Bijak Bestaru dan Para Penjaja. Kelompok orang yang mampu memengaruhi orang lain.

Kaidah di Pemasaran

Di pemasaran, juga ada orang-orang yang bersifat seperti ini. Berjumlah sedikit, tapi mampu memberi pengaruh besar pada keputusan Pembelian orang lain.

Para pemasar selalu berusaha mencari orang-orang semacam ini. Duta merek (brand ambassador) salah satunya. Di era media sosial saat ini, penggunaan oleh orang berpengaruh (influencer) atau endorsement adalah penggunaan kaidah yang sedikit. Kalau di pertanian mungkin penggunaan petani kunci (key farmer) sebagai pemasar lepas adalah contoh yang tepat.

Para penjual seharusnya senantiasa memperbanyak jumlah orang yang sedikit ini, agar virus “brand dan produk” yang dijajakan semakin menyebar.

Sesuai kaidah, bahwa orang-orang semacam ini sedikit. Aktivitas dan perkataan bisa sama, tapi keistimewaan orang yang sedikit ini menjadi pembeda dengan orang lain. Kejelian mencari orang-orang ini akan menentukan kesuksesan getok tular yang diharapkan akan terjadi.

Pemimpin kelompok, ulama, orang yang menguasai banyak informasi lokal, Penghubung orang-orang sekitar, tukang gosip–mungkin, ustadz, petani sukses, pemuka agama dan adat, para Salesman, mungkin termasuk orang yang bisa masuk dalam kaidah hukum tentang yang sedikit.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Dua Kejutan

Bangun tidur siang duduk sebentar menatap jendela. Awal pekan ini, Senin 20 Juli 2020. Sepi. Hanya angin bertiup di luar tanpa suara, karena tidak terdengar, tertutup jendela. Dari kamar 403.

Aha, ada tamu yang menengok saya dari luar jendela. Burung cinta tampaknya. Love bird.

Cukup lama ia bertengger di pinggir kaca jendela. Ia tampaknya mengantuk juga. Tertidur sebentar. Ia Merespon ketika saya mainkan jari di kaca. MasyaAllah, merah, hijau, kuning bulunya begitu indah. Saya sengaja membangunkan tidurnya, karena di sayapnya menempel semut rangrang.

Cukup lama ia di sana. Ingin masuk namun tak bisa. Ada kaca. Sungguh istimewa. Makhluk Allah yang sangat cantik. Itu kejutan pertama.

Panggilan Video Tak Terduga

Kejutan kedua datang. Kali ini dari kepolisian sektor Gresik. Menyatakan bahwa Bapak Kapolres AKBP Arief Fitrianto yang saat itu berada di Polsek Gresik ingin video call. Ah soal apa gerangan?!

Ternyata beliau ingin berbincang tentang pandemi Covid-19. Tepatnya, tentang kondisi saya yang tengah proses penyembuhan dari Covid-19. Dan menawari saya vitamin dari Polda. MasyaAllah kejutan hari ini. Pemimpin Kepolisian Kabupaten Gresik sampai menanyakan kondisi warga masyarakatnya.

Semoga Allah memudahkan tugas Pak Polisi dalam mengawal Covid-19, terutama dalam Penegakan pelaksanaan protokol kesehatan.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Tenaga Kesehatan

Gambar: cnbcindonesia.com

Mengamati lalu lalang tenaga kesehatan di tempat parkir rumah sakit, begitu haru. Ganti giliran kerja (shift) di pagi, sore dan malam hari. Mereka yang merawat dan memantau kondisi kesehatan kami, para pasien.

Saya juga begitu ingat tenaga kesehatan yang melakukan pengambilan sampel darah untuk rapid secara masal. Di sebuah gedung olah raga di kota kami. Mereka bekerja 6 hari sepekan, senin sampai sabtu. Tampak sebagian mereka dalam kondisi lelah.

Tiba giliran saya diambil sampel darah. Kami harus rapid test karena ada salah satu karyawan di kantor yang satu lantai dengan kami positif Covid-19.

Saya dilayani oleh seorang tenaga kesehatan. Ia menulis nama saya di tabung sampel darah, dan di beberapa lembar kertas, sangat lambat ia melakukan itu. Saya mencoba berempati dengan bertanya: “sudah berapa lama tugas di sini?”
“Dua bulan, setiap senin sampai sabtu”.
“Mas harus jaga kesehatan, jangan sampai kelelahan”.

Tampaknya ia sadar, bahwa dirinya Kelelahan, dan mungkin jenuh. Ia bertanya “saya yang ambil darah nggak papa?”.
“nggak papa, pembuluh vena saya besar, relatif mudah mengambil darahnya”.

Ya, itu adalah sedikit gambaran bagaimana tenaga kesehatan di era Covid-19 ini. Mereka betul-betul bekerja ekstra. Dengan kondisi fisiknya yang relatif sama, mereka membutuhkan istirahat, asupan gizi, dan kondisi psikologi yang lebih baik.

Saya berpikir sejenak, sebagai masyarakat umum (bukan tenaga kesehatan), bagaimana kita dapar membantu tenaga kesehatan yang berjuang di depan? Mungkin dengan menjaga kesehatan, dengan tetap sehat, dan mendukung sepenuhnya protokol pencegahan Covid-19 adalah salah satu cara terbaik membantu mereka.

Bagi kita yang sudah terinfeksi,–sudah kadung sakit (qadarullah), mungkin dengan menggunakan masker saat diperiksa dan dikunjungi tenaga kesehatan yang merawat kita adalah salah satu cara lainnya. Paling tidak memberikan rasa aman bagi mereka dalam menjalankan tugas merawat kita.

Oh ya, tetap bersemangat dan berharap segera mendapat kesembuhan adalah upaya terbaik bagi pasien dalam menghadapi sakit, baik Covid-19 atau sakit lainnya. Sebagaimana banyak tulisan beredar, ketenangan (apalagi semangat dan optimisme) adalah separuh obat, kesabaran adalah awal kesembuhan.

Tetap sehat wahai para tenaga kesehatan. Semoga Allah merahmati setiap usaha njenengan semua.

Semoga kita senantiasa diberi kesehatan, dan segera diberi kesembuhan bagi yang sedang sakit.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Optimisme Komunal

Ilustrasi Putus Asa (fiqihislam.com)

Salah satu hikmah munculnya Covid-19 adalah semakin banyaknya kepedulian terhadap kesehatan. Dan upaya menjaga kesehatan. Paling tidak semakin banyak orang yang mengakses pengetahuan tentang kesehatan, virus, dan hal hal terkait lainnya.

Bahkan kita yang relatif kurang peduli, dipaksa memakan pengetahuan itu. Bagaimana tidak, di grup-grup WA berseliweran informasi tentang Covid-19 dan pencegahannya. Mulai dari informasi yang biasa saja, pengetahuan baru, sampai yang menakut-nakuti pembaca, sampai yang tidak benar (hoaks) sekalipun.

Bahkan saya jadi tahu tentang istilah herd immunity atau kekebalan kelompok. Istilah ini saya ketahui pertama kali dari grup WA alumni kampus. Tepatnya grup yang beranggotakan penghuni kosan saya waktu di kampus.

Saya jadi tertarik. Saya berselancar sebentar di google. Herd immunity atau kekebalan kelompok adalah kondisi ketika sebagian besar orang dalam suatu kelompok telah memiliki kekebalan terhadap penyakit infeksi tertentu. Semakin banyak orang yang kebal terhadap suatu penyakit, semakin sulit bagi penyakit tersebut untuk menyebar karena tidak banyak orang yang dapat terinfeksi. (alodokter.com).

Ada 2 cara mendapatkan herd immunity, yang pertama vaksin (secara masal), seperti vaksin influenza, polio, campak. Yang kedua adalah secara alami, kelompok mendapatkan herd immunity secara alami.

Untuk Covid-19 cara pertama belum dimungkinkan, vaksin yang ditemukan masih proses untuk dapat di gunakan secara luas.

Cara Kedua, secara alami, artinya berharap banyak orang terinfeksi, kemudian sembuh, orang-orang yang sembuh tersebut membentuk antibodi. Jika sudah punya antibodi, mereka tidak terinfeksi, atau jika terinfeksi, tubuh mampu melawan, dan menang. Semakin banyak orang terinfeksi dan sembuh, semakin cepat herd immunity terbentuk.

Berharap Herd Immunity?

Berharap pada kekebalan kelompok secara alami, terlalu besar risikonya. Saya belum menemukan referensi terkait laju infeksi Covid-19. Untuk Flu, sudah ada angkanya, yakni laju infeksinya adalah 2%. Artinya seorang penderita Flu, akan menularkan kepada 1 orang dari 50 orang yang kontak dengannya .

Sehingga jika dibiarkan infeksi terjadi, maka penyitas Covid-19 akan tidak terkontrol, karena laju infeksinya tidak atau belum diketahui. 

Mengharap herd immunity untuk Covid-19, sama artinya berharap semakin banyak yang terinfeksi –dan sembuh. Namun siapa yang dapat menjamin “kesembuhan”? Siapakah menjamin yang terinfeksi tidak memiliki penyakit pendamping? Berapa biaya merawat orang yang terinfeksi hingga sembuh?

Saya lebih menilai, berharap herd immunity alami untuk Covid-19, seperti sebuah keputusasaan Komunal. Seolah komunitas masyarakat kita sudah putus asa, dan tidak memiliki upaya pencegahan, upaya penghentian laju penularan/infeksi.

Saya tidak mau menilai upaya Pemerintah dalam pencegahan penyebaran Covid-19. Tapi saya lebih menekankan pada upaya komunitas dan organisasi dimana kita berada. Sosialisasi sudah, penetapan protokol sudah, rapid test sudah. Meski seperti di tulisan saya sebelumnya (SWAB untuk Semua), rapid test tidak menjadi pilihan bagi saya, jika saya sebagai pengambil keputusan. Berdasar pengalaman empiris.

Saya lebih sepakat dengan upaya pencegahan dan pembatasan penularan, dengan pemetaan individu anggota organisasi dengan uji yang lebih akurat. Swab Test untuk semua. Kemudian dilakukan langkah isolasi bagi yang terinfeksi, upaya penyembuhan, penerapan protokol, pengaturan jadwal kerja bagi yang tidak terinfeksi dan seterusnya. Bahkan, uji ini dapat diulang secara periodik. SWAB untuk Semua, dengan metode pool-test agar lebih murah dan cepat.

Dengan langkah tersebut, paling tidak, sikap sebagai organisasi tidak hanya menunggu herd immunity, yang seolah berharap banyak terinfeksi –dan banyak sembuh. Dengan risiko kehilangan sebagian aset SDM yang katanya aset terbesar.

Dengan langkah pemetaan, kita bisa membangun lebih banyak optimisme komunal dalam menghadapi Covid-19. Optimisme yang dibangun di atas data dari uji laboratorium yang akurat. Metode yang menyeluruh dan relatif murah.

Berharap semata-mata pada herd immunity, seperti putus asa secara komunal, tanpa upaya, pasrah, dan hanya melakukan tindakan setelah ada kejadian. Bukankah membangun optimisme lebih baik daripada berputus asa?

Sedangkan kita dilarang berputus asa. “… Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah…” (QS. Az-Zumar [39]: 53).

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pandangan 403

Pemandangan dari 403

Memandang lingkungan sekitar dari ketinggian memberikan pandangan berbeda. Memberikan sebuah gambaran yang berbeda dari yang biasa kita sangka. Saya katakan dengan “persangkaan” karena kita hanya mampu memandang “sebagian” dari sesuatu yang besar, sisanya kita hanya “menyangka” dari pandangan sebagian itu. Cara memandang dan menyimpulkan kita mungkin mirip dengan majas sinekdok pars pro toto (sebagian mewakili total keseluruhan).

Karena keterbatasan pandangan itu, kita dapat memandang dengan lebih luas dengan cara menaikkan sudut pandang, memandang dari sebuah sudut yang lebih tinggi, sehingga dapat berharap mendapat gambaran lebih baik, tapi tetap tidak akan bisa menyeluruh. Meski sampai memandang dari luar kotak (out of the box) selalu saja masih ada titik buta (blind spot) dari pandangan kita.

Atau kita bisa menggunakan jasa orang lain, yang kita percaya pandangannya, untuk melihat sisi atau bagian yang kita nilai kita tidak mampu memandangnya. Tapi tetap, sebagai individu, kita yang memutuskan apakah pandangan orang lain kita gunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan atau tidak.

Renungan di Ketinggian

Tinggal lebih dari sepekan di ketinggian gedung, di lantai 4 dengan nomor kamar 403, membongkar sebagian cara berpikir saya. Berpikir ulang tentang apa yang penting dalam hidup ini?! Apa yang penting dalam setiap fase kehidupan?! Apa yang sebenarnya penting dalam berkarir, bekerja, atau berkarya?!

Saya belum bisa menyimpulkan apa-apa, kecuali pada sebuah inti bahwa “Kita diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya”.

Lamunan saya melaju pada, bentuk-bentuk ibadah, dan ibadah seperti apa yang dapat kita lakukan dalam kondisi tidak berdaya secara fisik. Bahkan, sangking lemahnya, berpikir saja seolah tak mampu. Oooh…. Alangkah lemahnya fisik dan tubuh yang fana ini. Alangkah indahnya kesabaran Nabi Ayyub yang ia berharap sakitnya tidak sampai pada hati dan lisannya.

Kehidupan –terlebih sebagai karyawan– terlalu sayang jika hanya dilewatkan di kantor, rumah, sedikit politik kantor, dibumbui sedikit gunjingan, bekerja rutinitas harian kantor 8 sampai 12 jam sehari. Setiap tanggal 25 terima gaji, sebulan berikutnya menghabiskan gaji itu. Ah, nampaknya terlalu sayang. Waktu 10, 20 atau 33 tahun dihabiskan hanya untuk itu. Mungkin ditambah dengan sedikit persiapan setelah pensiun.

Saya pikir, perlu sesuatu yang lebih berkemanfaatan, yang bernilai ibadah sebagai hamba Tuhan. Mungkin bisa dimulai dari meniatkan setiap kegiatan sebagai ibadah kepada Tuhan.

Semoga kita menjadi hamba Allah yang senantiasa meniatkan kegiatan untuk ibadah, meski hanya rebahan di ruang isolasi rumah sakit ataupun di kamar pribadi.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 1 Comment

SWAB untuk Semua

SWAB Test (detik.com)

Jumlah penyitas Covid-19 di tingkat perusahaan semakin mengkhawatirkan. Muncul pandangan, bahwa sebenarnya banyak diantara kita yang terinfeksi tapi tidak menunjukkan gejala. Karena daya tahan tubuhnya yang bagus. Jika suatu saat daya tahan tubuh turun, maka “welcome to the club” menurut sebagian kelompok pasien dan pemerhati Covid-19.

Orang-orang yang tidak menunjukan gejala fisik  Covid-19, atau yang bergejala namun tidak teruji, tentu sulit dimasukkan dalam katagori “Kasus Konfirmasi”. Terlebih bagi yang tidak menunjukan gejala apapun, dan segar bugar, yang dulu disebut OTG (orang tanpa gejala).

Kasus Konfirmasi adalah seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus Covid-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium real time. Baik dengan gejala atau tanpa gejala (kompas.com).

Untuk melakukan konfirmasi perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Sebaiknya untuk semua anggota komunitas atau organisasi. Dengan diketahui hasil laboratorium masing-masing orang, akan lebih mudah dilakukan pencegahan dan tindak lanjut.

Perlukah konfirmasi untuk semua?

Rapid Test tidak menjadi pilihan saat ini. Paling tidak itu menurut pengalaman saya. Dalam rentang waktu 10 hari demam, saya melakukan dua kali rapid Test dengan hasil non reaktif. Namun setelah ke spesialis paru, dan dilakukan Swab hasilnya positif. Positif terinfeksi virus Covid-19. Menurut saya Swab (konfirmasi laboratorium) bagi seluruh anggota organisasi atau perusahaan adalah hal yang saat ini dibutuhkan.

Biaya Swab mandiri kurang lebih 1,6 juta rupiah. Untuk sekelas organisasi/perusahaan yang ingin mengkonfirmasi kondisi karyawannya secara menyeluruh, bisa dilakukan dengan sistem pool – Test yang sudah berhasil dijalankan di Padang oleh dr. Andani Eka Putra. Lebih murah. Sampel sekelompok orang (tiap orang diambil 2 sampel) di Test menjadi satu, jika ada virus, baru di uji sampelnya satu-satu. Untuk mengetahui siapa orang yang bervirus.

Universitas Andalas dengan bantuan Pemprov Sumbar mampu memberikan layanan Test secara percuma. Perusahaan dengan pendapatan triliunan rupiah per tahun tentu lebih mampu. Dibanding sekedar menunggu karyawan satu per satu masuk karantina secara bergantian.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Secangkir Teh

Rabu, 15 Juli 2020, Waktu matahari terbit

Oleh Dian Lusiyanti

Teh Lemon. DL/istimewa

Ngobrol yuk” sambil menyodorkan secangkir teh. Bukan sekedar iklan, tapi memang fakta membuktikan. Bagi saya dan suami, kami mengawali ngobrol malam dengan secangkir teh. Cangkir jumbo untuk berdua. Dijodohkan pula dengan cemilan ringan. Waktu malam, selepas anak-anak tidur.

Ngobrol yang ringan-ringan saja. Tentang bagaimana harimu ini, bagaimana kantor, bagaimana anak-anak. Atau ngobrol dewasa. Ehm, masalah masa depan anak dan masa depan kita. Rencana masa depan. Proyek akhirat, bisa juga.

Beberapa orang mengilustrasikan teh dengan interpretasinya sendiri. Tergantung perasaan si penikmat teh. Selera orang beda, begitulah katanya. Rasa teh menggambarkan siapa dirimu saat itu. Sebegitunya ya.

Seperti teh poci, yang cara menikmatinya adalah tidak boleh diaduk setelah gula dimasukkan ke dalam teh. Kenapa? Supaya rasa pahit dan alami teh perlahan dapat dinikmati lalu berakhir dengan manis bersama bercampurnya gula. Happy ending, ceritanya.

Sebagian yang lain menikmati teh dengan campuran rempah. Jahe, sereh, dan daun pandan dicampur bersama rebusan teh. Lalu dinikmati. Aroma teh bersanding dengan hangatnya jahe, sedapnya sereh, dan harumnya daun pandan. Cocok di sripit kala udara dingin. Resep ini saya peroleh dari senior saya, tetangga terbaik saya. Alhamdulillah lidah saya menerimanya dengan baik.

Kreasi lain yaitu teh dijodohkan dengan lemon. Jadilah lemon tea. Rasa ini sudah lama kita kenal. Bahkan ada brand teh celup ternama yang menyajikan model begini. Kalau dinikmati di resto, kita tukar dengan uang 30 ribu per cangkirnya.

Teh, telah menjadi primadona sejak ratusan tahun yang lalu. Beragam rasa, beragam penyajian, bahkan telah ada upacara minum teh. Teh menyatukan kita. Mulai dari ujung daun hijaunya yang langsung bisa diseduh, atau melalui beberapa tahap pengolahan untuk menghasilkan cita rasa teh sesuai selera.

Namun yang saya suka dari teh bukan hanya rasanya yang menenangkan, tapi yang lebih utama adalah momen dimana teh dinikmati bersama siapa. Iya kamu, bersamamu, yang hampir 9 tahun ini bersamaku.

(Dian Lusiyanti Puspitasari)

Posted on Leave a comment

KESADARAN

Bisa karena biasa. Biasa karena awalnya mungkin dipaksa. Meski, tidak perlu dipaksa sih seharusnya, asal sudah muncul yang namanya kesadaran. Umumnya ini terkait kebiasaan dan pembiasaan sebuah perilaku –yang baik–.

Semalam saya mendengarkan kajian, lupa saya pematerinya siapa. Poinnya begini, saat kita diberi sakit oleh Allah, artinya Allah lagi, masih, dan terus akan sayang. Allah mengingat kita, dan membangunkan kesadaran kita untuk kembali sadar, bersandar, dan mengingat kepada Allah.

Saat sehat, badan fit, mungkin nilai ingatan kita kepada Allah tidak sedahsyat saat sakit dan sedih. Mungkin shalat kita, tilawah kita, tasbih kita, tahmid kita, tahlil kita, semuanya itu saat sehat hanya semacam rutinitas dan gugur kewajiban. Kadar kesadaran dan ingatan kepada Allah masih amat sangat kurang.

Dengan memberi sakit, seolah Allah berkata: “wahai hamba-Ku, kemari, kembalilah kepada-Ku, ingatlah, kembali kepada-Ku, sadarlah dengan kesadaran yang benar, bahwa hidupmu, matimu, shalatmu, Ibadahmu, adalah untuk-Ku“.

Dengan kondisi sakit, kesadaran itu hadir secara penuh, tidak sambil lalu. Tidak bercampur dengan informasi atau gangguan yang lain.

Jika kita sakit, maka syukurilah. Istirahat lah. Introspeksi diri lah. Dst.

Alhamdulillah.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Tiga Nasihat Kehidupan

Oleh: Dian Lusiyanti

Juli 2020 menjadi waktu yang istimewa. Beberapa saudara kami sedang diuji. Sebagian yang lain diuji melalui sakit, entah dirinya sendiri atau keluarganya.
Sakit menyapa. Ujian mendera. Namun iman selalu di dada.

Seperti dandelion kecil ketika hujan deras dan banjir melanda. Dia ingin hidup. Seketika itu angin datang dan meniupkan helaian-helaian tipis mahkotanya. Jatuh ke tanah lain. Lalu hujan pula yang melahirkan dandelion-dandelion baru. Tumbuh menawan. Cantik memesona. Kehidupan baru lahir lebih indah.

Di sebuah titik–hampir jenuh– ujian datang, ada sebuah lilin menerangi. Guru TK ku. Hubungan kami terjalin kembali setahun yang lalu. Kemudian semakin erat atas proyek akhirat kami bersama.
Setidaknya sebulan sekali kami saling bertukar kabar dan melangitkan doa. Begitu banyak doa mengalir untuk kami. Semoga Allah memberkahi keduanya. Aamiin.

“Kami sedang diuji, suami kurang sehat beberapa hari ini”, jawab saya ketika ditanya kabar. Lalu simaklah menuturan dari lisan beliau.
Saya dulu juga pernah diuji sakit keras, mbak. Alhamdulillah sekarang sehat. Rungokno mbak (dengarkan mbak), sekarang nomor 1 yaitu syukur. Syukur atas nikmat sakit yang telah diberi. Bersyukur dulu. Artinya Allah sayang dan ingin dekat dengan kita lewat ujian sakit. Kalau tidak bersyukur bagaimana kita sadar bahwa ini adalah sayangnya Allah kepada kita?” Begitulah tamparan keras bagi kami. Dan memang benar, kami lupa akan bersyukur atas ujian ini.
“Maka ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku. – (Q.S Al-Baqarah: 152)

“Kalau sudah syukur, nomor 2 yaitu yakin. Yakin kalau kita diberi ujian dan kita akan lulus dengan ujian itu. Kalau kita diberi sakit, kita harus yakin sembuh. Allah itu berdasarkan atas prasangka hambanya. Kalau kita berprasangka baik dan kita yakin, maka Allah bersama kita. Dekat.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. (HR. Bukhari dan Muslim)
Deg, tamparan keras kembali untuk kami. Namun kali ini semakin sakit rasanya. Tentunya, keyakinan ini yang belum kami bangun kuat. Kami hanya fokus dengan usaha dan doa namun mengesampingkan keyakinan. Dicatat, ini pelajaran penting dari seorang sepuh 80 tahunan yang masih sangat sehat dan masih mengajar KB TK pribadinya.

“Setelah dua poin di atas, selanjutnya adalah naik kelas. Bagaikan siswa, kalau ingin naik kelas ya harus diuji dulu”. Sebagaimana dua tamparan sebelumnya, poin ketiga ini kami rasakan tak sesakit syukur dan yakin. Ujian ini menentukan dimana level kita berada. Tentunya, ujian anak SD tak sesulit anak SMP. Pun SMA tak sesulit Perguruan Tinggi. Tapi, sebelum ujian datang pada masing masing jenjang, kita sudah dibekali berbagai macam materi kehidupan. Sesuai level. Naik kelasnya pun sesuai level. Dimana level syukur, yakin, sabar, dan doa doamu terpanjatkan yakinlah bahwa disitu posisi terbaikmu.

Lalu apa lagi yang akan kamu cemaskan? Semua sudah dalam genggamanNya.

(Ummu Ahnaf. Gresik, 9 Juli 2020)

Posted on 1 Comment

Belajar Integritas dan Ketelitian

Terima kasih Pak Rifki

Siapa sih itu, jadi imam shalat bacaannya salah-salah terus. Diulang-ulang terus“. Itu adalah suara batin Pak Rifki Haris DP (selanjutnya akan disebut Eyang Didik), sekitar 10 tahun lalu. Gumaman itu ia tujukan untuk karyawan baru. Saat itu, ada tiga karyawan baru  sedang OJT –Ora Jelas Tugase, ups, On The Job Training— di Departemen Punjualan Pupuk Retail Wilayah II (luar Jawa dan Bali). Departemen dimana Pak Rifki waktu itu memimpin sebuah bagian yang disebut PRW Sumatera.

Kegiatan karyawan OJT waktu itu adalah merapikan kertas Do (sekarang SO). DO-DO itu telah ditanda tangani oleh pejabat berwenang. Salah satu pejabat itu adalah Eyang Didik. Agar rapi, pinggiran kertas DO dibuang, dengan cara di sobek. Itulah kegiatan yang diingat Eyang Didik dengan “nyoweki DO- – menyobeki DO”. Diingatnya sampai sekarang.

Tak terasa waktu telah berlalu. Kejadian di atas, tepatnya sudah Sepuluh tahun empat bulan yang lalu. Berarti selama itu Eyang Didik telah menjadi Kepala Bagian Penjualan Pupuk Retail atau Penjualan Retail di berbagai wilayah. Hanya satu dari tujuh wilayah penjualan retail di Indonesia yang secara de yure belum pernah ditangani, yaitu Jabar dan Banten. Jika secara de facto, wilayah tersebut sudah pernah di pegang juga. Saat ditinggal Kabagnya pensiun.

Selama menjadi Kabag di lingkup Penjualan Retail, telah berlalu enam Manajer: Pak Rohmad (PPRW II), Pak Agus Susanto (PPRW II) , Pak Luqman Harun (PPRW II), Pak Joko Margono (PPRW II), Pak Luqman Harun (PRW I), dan Pak Iyan Fajri (PRW I). Telah tujuh rekan kerja dan anggota timnya sudah menjadi Kabag (sekarang Superintendent) atau setingkat juga:  Pak Ki Hari Purnomo, Pak R. Daeng Sugiarto, Pak Bambang Prasetyono, Wiyanto Sudarsono, Pak Donald Tambunan, Pak Isnan, dan Pak Warjono.

Belajar Integritas

Selama enam tahun saya menjadi bawahan Eyang Didik. Semoga saya termasuk bawahan yang baik. Saya bersyukur tidak sempat jadi atasannya, –karena di pasar Gresik, katanya “atasan” itu 100 ribu dapat tiga.–

Enam tahun, eh tidak hanya enam, tapi 10 tahun lebih saya belajar integritas dari Beliau. Termasuk kesulitan dan perjuangannya menjaga integritas.

Menurut saya, Eyang Didik termasuk tipe orang yang menjaga integritas dari awal. Menutup potensi pelanggaran sejak awal muncul. Dengan cara menghindari sumber yang bisa membawa pada rusaknya integritas.

Karena itu, ia jarang kontak langsung dengan Distributor. Selalu mengusahakan lewat SPDP. Ia juga relatif jarang atau enggan keluar kota. Atas hal itu – enggan ke lapangan- ia sering kami kritik. “Orang penjualan kok jarang bertemu pelanggan”. Sindir kami.

Itu mungkin, karena sejak awal ia adalah orang personalia, demikian cerita Eyang Didik saat awal masuk kerja. Personalia yang dimaksud adalah bagian administrasi penjualan. Pada tahun 1984, ia menyebut segala pekerjaan administrasi dengan personalia.

Pernah suatu ketika, ia di marahi oleh salah seorang Sales Supervisor –anggota timnya–. Karena Eyang Didik menolak dengan keras bingkisan dari Distributor. Sehingga dinilai “mempermalukan anggota timnya”. Sales Supervisor ini jelas mengelola atau memiliki mitra para Distributor. Pimpinan Distributor ingin memuliakan tamunya. Umumnya, jika tamu hendak pulang dibawakan oleh-oleh. Demikian budaya di daerah itu. Tapi Eyang Didik tolak.

Itu cerita lama sebelum ada upacara penyematan pin anti-gratifikasi. Eyang Didik memberikan contoh untuk memutus potensi gratifikasi sejak awal.

“Kita semua butuh dan suka dengan uang. Saya, kalau sampean kasih uang 10 ribu rupiah cuma-cuma, itu loh mau. Tapi kalau yang memberi Distributor, saya tidak bisa terima itu”. Demikian, pernyataannya kepada saya beberapa kali.

Teliti Tingkat Tinggi

Surat ini ada yang salah“.  Koreksinya.
Yang mana Pak? “
coba cari sendiri, pokoknya ada yang salah“.

Itu adalah gaya Eyang Didik mendidik kami. Dalam membuat surat bisnis. Memo atau surat ke eksternal. Begitu detail. Seolah-olah kesalahan huruf, tanda baca, ataupun angka akan bersinar di mata Eyang Didik.

Sering kali, kesalahan itu hanya berupa tanda titik (full stop) terketik dua kali. Atau tanpa tanda titik. Semua angka yang disampaikan akan dicek ulang. Pakai kalkulator sayur.

“dalam bekerja, kalian harus punya jenama (brand) diri. Kalian harus dikenal minimal dengan satu keahlian dan spesialisasi. Misal dalam membuat presentasi. Atau bagian-bagian tertentu di unit kerja kalian. Karena itu brandinglah diri kalian.” Itu adalah nasihat Beliau kepada kami para karyawan yang pernah jadi timnya.

Berintegritas dan Teliti, itu mungkin jenama diri Eyang Didik di mata saya. Dan saya pikir, Eyang Didik berhasil menjaga itu selama 36 tahun 7 bulan masa kerjanya. Tampak dari 10 tahun 7 bulan saya mengenal Beliau.

Semoga senantiasa sehat, dan bahagia selalu Eyang Didik, Drs.Ak. Rifki Haris Didik Prasetiawan. Semoga kesalahan beliau selama bertugas di PT Petrokimia Gresik diampuni, upaya dan usaha dicatat sebagai ibadah.

Terima kasih Eyang Didik, Jazakumullahu khairan.

(Wiyanto Sudarsono)