Oleh: Dian Lusiyanti
Juli 2020 menjadi waktu yang istimewa. Beberapa saudara kami sedang diuji. Sebagian yang lain diuji melalui sakit, entah dirinya sendiri atau keluarganya.
Sakit menyapa. Ujian mendera. Namun iman selalu di dada.
Seperti dandelion kecil ketika hujan deras dan banjir melanda. Dia ingin hidup. Seketika itu angin datang dan meniupkan helaian-helaian tipis mahkotanya. Jatuh ke tanah lain. Lalu hujan pula yang melahirkan dandelion-dandelion baru. Tumbuh menawan. Cantik memesona. Kehidupan baru lahir lebih indah.
Di sebuah titik–hampir jenuh– ujian datang, ada sebuah lilin menerangi. Guru TK ku. Hubungan kami terjalin kembali setahun yang lalu. Kemudian semakin erat atas proyek akhirat kami bersama.
Setidaknya sebulan sekali kami saling bertukar kabar dan melangitkan doa. Begitu banyak doa mengalir untuk kami. Semoga Allah memberkahi keduanya. Aamiin.
“Kami sedang diuji, suami kurang sehat beberapa hari ini”, jawab saya ketika ditanya kabar. Lalu simaklah menuturan dari lisan beliau.
“Saya dulu juga pernah diuji sakit keras, mbak. Alhamdulillah sekarang sehat. Rungokno mbak (dengarkan mbak), sekarang nomor 1 yaitu syukur. Syukur atas nikmat sakit yang telah diberi. Bersyukur dulu. Artinya Allah sayang dan ingin dekat dengan kita lewat ujian sakit. Kalau tidak bersyukur bagaimana kita sadar bahwa ini adalah sayangnya Allah kepada kita?” Begitulah tamparan keras bagi kami. Dan memang benar, kami lupa akan bersyukur atas ujian ini.
“Maka ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku. – (Q.S Al-Baqarah: 152)
“Kalau sudah syukur, nomor 2 yaitu yakin. Yakin kalau kita diberi ujian dan kita akan lulus dengan ujian itu. Kalau kita diberi sakit, kita harus yakin sembuh. Allah itu berdasarkan atas prasangka hambanya. Kalau kita berprasangka baik dan kita yakin, maka Allah bersama kita. Dekat.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. (HR. Bukhari dan Muslim)
Deg, tamparan keras kembali untuk kami. Namun kali ini semakin sakit rasanya. Tentunya, keyakinan ini yang belum kami bangun kuat. Kami hanya fokus dengan usaha dan doa namun mengesampingkan keyakinan. Dicatat, ini pelajaran penting dari seorang sepuh 80 tahunan yang masih sangat sehat dan masih mengajar KB TK pribadinya.
“Setelah dua poin di atas, selanjutnya adalah naik kelas. Bagaikan siswa, kalau ingin naik kelas ya harus diuji dulu”. Sebagaimana dua tamparan sebelumnya, poin ketiga ini kami rasakan tak sesakit syukur dan yakin. Ujian ini menentukan dimana level kita berada. Tentunya, ujian anak SD tak sesulit anak SMP. Pun SMA tak sesulit Perguruan Tinggi. Tapi, sebelum ujian datang pada masing masing jenjang, kita sudah dibekali berbagai macam materi kehidupan. Sesuai level. Naik kelasnya pun sesuai level. Dimana level syukur, yakin, sabar, dan doa doamu terpanjatkan yakinlah bahwa disitu posisi terbaikmu.
Lalu apa lagi yang akan kamu cemaskan? Semua sudah dalam genggamanNya.
(Ummu Ahnaf. Gresik, 9 Juli 2020)