Posted on Leave a comment

Optimisme Komunal

Ilustrasi Putus Asa (fiqihislam.com)

Salah satu hikmah munculnya Covid-19 adalah semakin banyaknya kepedulian terhadap kesehatan. Dan upaya menjaga kesehatan. Paling tidak semakin banyak orang yang mengakses pengetahuan tentang kesehatan, virus, dan hal hal terkait lainnya.

Bahkan kita yang relatif kurang peduli, dipaksa memakan pengetahuan itu. Bagaimana tidak, di grup-grup WA berseliweran informasi tentang Covid-19 dan pencegahannya. Mulai dari informasi yang biasa saja, pengetahuan baru, sampai yang menakut-nakuti pembaca, sampai yang tidak benar (hoaks) sekalipun.

Bahkan saya jadi tahu tentang istilah herd immunity atau kekebalan kelompok. Istilah ini saya ketahui pertama kali dari grup WA alumni kampus. Tepatnya grup yang beranggotakan penghuni kosan saya waktu di kampus.

Saya jadi tertarik. Saya berselancar sebentar di google. Herd immunity atau kekebalan kelompok adalah kondisi ketika sebagian besar orang dalam suatu kelompok telah memiliki kekebalan terhadap penyakit infeksi tertentu. Semakin banyak orang yang kebal terhadap suatu penyakit, semakin sulit bagi penyakit tersebut untuk menyebar karena tidak banyak orang yang dapat terinfeksi. (alodokter.com).

Ada 2 cara mendapatkan herd immunity, yang pertama vaksin (secara masal), seperti vaksin influenza, polio, campak. Yang kedua adalah secara alami, kelompok mendapatkan herd immunity secara alami.

Untuk Covid-19 cara pertama belum dimungkinkan, vaksin yang ditemukan masih proses untuk dapat di gunakan secara luas.

Cara Kedua, secara alami, artinya berharap banyak orang terinfeksi, kemudian sembuh, orang-orang yang sembuh tersebut membentuk antibodi. Jika sudah punya antibodi, mereka tidak terinfeksi, atau jika terinfeksi, tubuh mampu melawan, dan menang. Semakin banyak orang terinfeksi dan sembuh, semakin cepat herd immunity terbentuk.

Berharap Herd Immunity?

Berharap pada kekebalan kelompok secara alami, terlalu besar risikonya. Saya belum menemukan referensi terkait laju infeksi Covid-19. Untuk Flu, sudah ada angkanya, yakni laju infeksinya adalah 2%. Artinya seorang penderita Flu, akan menularkan kepada 1 orang dari 50 orang yang kontak dengannya .

Sehingga jika dibiarkan infeksi terjadi, maka penyitas Covid-19 akan tidak terkontrol, karena laju infeksinya tidak atau belum diketahui. 

Mengharap herd immunity untuk Covid-19, sama artinya berharap semakin banyak yang terinfeksi –dan sembuh. Namun siapa yang dapat menjamin “kesembuhan”? Siapakah menjamin yang terinfeksi tidak memiliki penyakit pendamping? Berapa biaya merawat orang yang terinfeksi hingga sembuh?

Saya lebih menilai, berharap herd immunity alami untuk Covid-19, seperti sebuah keputusasaan Komunal. Seolah komunitas masyarakat kita sudah putus asa, dan tidak memiliki upaya pencegahan, upaya penghentian laju penularan/infeksi.

Saya tidak mau menilai upaya Pemerintah dalam pencegahan penyebaran Covid-19. Tapi saya lebih menekankan pada upaya komunitas dan organisasi dimana kita berada. Sosialisasi sudah, penetapan protokol sudah, rapid test sudah. Meski seperti di tulisan saya sebelumnya (SWAB untuk Semua), rapid test tidak menjadi pilihan bagi saya, jika saya sebagai pengambil keputusan. Berdasar pengalaman empiris.

Saya lebih sepakat dengan upaya pencegahan dan pembatasan penularan, dengan pemetaan individu anggota organisasi dengan uji yang lebih akurat. Swab Test untuk semua. Kemudian dilakukan langkah isolasi bagi yang terinfeksi, upaya penyembuhan, penerapan protokol, pengaturan jadwal kerja bagi yang tidak terinfeksi dan seterusnya. Bahkan, uji ini dapat diulang secara periodik. SWAB untuk Semua, dengan metode pool-test agar lebih murah dan cepat.

Dengan langkah tersebut, paling tidak, sikap sebagai organisasi tidak hanya menunggu herd immunity, yang seolah berharap banyak terinfeksi –dan banyak sembuh. Dengan risiko kehilangan sebagian aset SDM yang katanya aset terbesar.

Dengan langkah pemetaan, kita bisa membangun lebih banyak optimisme komunal dalam menghadapi Covid-19. Optimisme yang dibangun di atas data dari uji laboratorium yang akurat. Metode yang menyeluruh dan relatif murah.

Berharap semata-mata pada herd immunity, seperti putus asa secara komunal, tanpa upaya, pasrah, dan hanya melakukan tindakan setelah ada kejadian. Bukankah membangun optimisme lebih baik daripada berputus asa?

Sedangkan kita dilarang berputus asa. “… Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah…” (QS. Az-Zumar [39]: 53).

(Wiyanto Sudarsono)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *