Terima kasih Pak Rifki
“Siapa sih itu, jadi imam shalat bacaannya salah-salah terus. Diulang-ulang terus“. Itu adalah suara batin Pak Rifki Haris DP (selanjutnya akan disebut Eyang Didik), sekitar 10 tahun lalu. Gumaman itu ia tujukan untuk karyawan baru. Saat itu, ada tiga karyawan baru sedang OJT –Ora Jelas Tugase, ups, On The Job Training— di Departemen Punjualan Pupuk Retail Wilayah II (luar Jawa dan Bali). Departemen dimana Pak Rifki waktu itu memimpin sebuah bagian yang disebut PRW Sumatera.
Kegiatan karyawan OJT waktu itu adalah merapikan kertas Do (sekarang SO). DO-DO itu telah ditanda tangani oleh pejabat berwenang. Salah satu pejabat itu adalah Eyang Didik. Agar rapi, pinggiran kertas DO dibuang, dengan cara di sobek. Itulah kegiatan yang diingat Eyang Didik dengan “nyoweki DO- – menyobeki DO”. Diingatnya sampai sekarang.
Tak terasa waktu telah berlalu. Kejadian di atas, tepatnya sudah Sepuluh tahun empat bulan yang lalu. Berarti selama itu Eyang Didik telah menjadi Kepala Bagian Penjualan Pupuk Retail atau Penjualan Retail di berbagai wilayah. Hanya satu dari tujuh wilayah penjualan retail di Indonesia yang secara de yure belum pernah ditangani, yaitu Jabar dan Banten. Jika secara de facto, wilayah tersebut sudah pernah di pegang juga. Saat ditinggal Kabagnya pensiun.
Selama menjadi Kabag di lingkup Penjualan Retail, telah berlalu enam Manajer: Pak Rohmad (PPRW II), Pak Agus Susanto (PPRW II) , Pak Luqman Harun (PPRW II), Pak Joko Margono (PPRW II), Pak Luqman Harun (PRW I), dan Pak Iyan Fajri (PRW I). Telah tujuh rekan kerja dan anggota timnya sudah menjadi Kabag (sekarang Superintendent) atau setingkat juga: Pak Ki Hari Purnomo, Pak R. Daeng Sugiarto, Pak Bambang Prasetyono, Wiyanto Sudarsono, Pak Donald Tambunan, Pak Isnan, dan Pak Warjono.
Belajar Integritas
Selama enam tahun saya menjadi bawahan Eyang Didik. Semoga saya termasuk bawahan yang baik. Saya bersyukur tidak sempat jadi atasannya, –karena di pasar Gresik, katanya “atasan” itu 100 ribu dapat tiga.–
Enam tahun, eh tidak hanya enam, tapi 10 tahun lebih saya belajar integritas dari Beliau. Termasuk kesulitan dan perjuangannya menjaga integritas.
Menurut saya, Eyang Didik termasuk tipe orang yang menjaga integritas dari awal. Menutup potensi pelanggaran sejak awal muncul. Dengan cara menghindari sumber yang bisa membawa pada rusaknya integritas.
Karena itu, ia jarang kontak langsung dengan Distributor. Selalu mengusahakan lewat SPDP. Ia juga relatif jarang atau enggan keluar kota. Atas hal itu – enggan ke lapangan- ia sering kami kritik. “Orang penjualan kok jarang bertemu pelanggan”. Sindir kami.
Itu mungkin, karena sejak awal ia adalah orang personalia, demikian cerita Eyang Didik saat awal masuk kerja. Personalia yang dimaksud adalah bagian administrasi penjualan. Pada tahun 1984, ia menyebut segala pekerjaan administrasi dengan personalia.
Pernah suatu ketika, ia di marahi oleh salah seorang Sales Supervisor –anggota timnya–. Karena Eyang Didik menolak dengan keras bingkisan dari Distributor. Sehingga dinilai “mempermalukan anggota timnya”. Sales Supervisor ini jelas mengelola atau memiliki mitra para Distributor. Pimpinan Distributor ingin memuliakan tamunya. Umumnya, jika tamu hendak pulang dibawakan oleh-oleh. Demikian budaya di daerah itu. Tapi Eyang Didik tolak.
Itu cerita lama sebelum ada upacara penyematan pin anti-gratifikasi. Eyang Didik memberikan contoh untuk memutus potensi gratifikasi sejak awal.
“Kita semua butuh dan suka dengan uang. Saya, kalau sampean kasih uang 10 ribu rupiah cuma-cuma, itu loh mau. Tapi kalau yang memberi Distributor, saya tidak bisa terima itu”. Demikian, pernyataannya kepada saya beberapa kali.
Teliti Tingkat Tinggi
“Surat ini ada yang salah“. Koreksinya.
“Yang mana Pak? “
“coba cari sendiri, pokoknya ada yang salah“.
Itu adalah gaya Eyang Didik mendidik kami. Dalam membuat surat bisnis. Memo atau surat ke eksternal. Begitu detail. Seolah-olah kesalahan huruf, tanda baca, ataupun angka akan bersinar di mata Eyang Didik.
Sering kali, kesalahan itu hanya berupa tanda titik (full stop) terketik dua kali. Atau tanpa tanda titik. Semua angka yang disampaikan akan dicek ulang. Pakai kalkulator sayur.
“dalam bekerja, kalian harus punya jenama (brand) diri. Kalian harus dikenal minimal dengan satu keahlian dan spesialisasi. Misal dalam membuat presentasi. Atau bagian-bagian tertentu di unit kerja kalian. Karena itu brandinglah diri kalian.” Itu adalah nasihat Beliau kepada kami para karyawan yang pernah jadi timnya.
Berintegritas dan Teliti, itu mungkin jenama diri Eyang Didik di mata saya. Dan saya pikir, Eyang Didik berhasil menjaga itu selama 36 tahun 7 bulan masa kerjanya. Tampak dari 10 tahun 7 bulan saya mengenal Beliau.
Semoga senantiasa sehat, dan bahagia selalu Eyang Didik, Drs.Ak. Rifki Haris Didik Prasetiawan. Semoga kesalahan beliau selama bertugas di PT Petrokimia Gresik diampuni, upaya dan usaha dicatat sebagai ibadah.
Terima kasih Eyang Didik, Jazakumullahu khairan.
(Wiyanto Sudarsono)
Dulu, ketika lembur yang tak berkesudahan.
Eyang Didik sering tiba-tiba menelpon, meminta saya turun ke lantai dasar – beliau mengantarkan bungkusan nasi goreng atau ayam penyet (I haven’t decided to be a vegan at the moment), ditambah es jeruk/teh dengan gula setengah gelas – manis banget.
Saya belajar banyak dari eyang Didik, meski belum mampu seteliti beliau, tapi setidaknya saya selalu membanjiri Distributor setiap bulan dengan surat – penyampaian lisan saja tidak cukup, pesan beliau kepada saya…