Memandang lingkungan sekitar dari ketinggian memberikan pandangan berbeda. Memberikan sebuah gambaran yang berbeda dari yang biasa kita sangka. Saya katakan dengan “persangkaan” karena kita hanya mampu memandang “sebagian” dari sesuatu yang besar, sisanya kita hanya “menyangka” dari pandangan sebagian itu. Cara memandang dan menyimpulkan kita mungkin mirip dengan majas sinekdok pars pro toto (sebagian mewakili total keseluruhan).
Karena keterbatasan pandangan itu, kita dapat memandang dengan lebih luas dengan cara menaikkan sudut pandang, memandang dari sebuah sudut yang lebih tinggi, sehingga dapat berharap mendapat gambaran lebih baik, tapi tetap tidak akan bisa menyeluruh. Meski sampai memandang dari luar kotak (out of the box) selalu saja masih ada titik buta (blind spot) dari pandangan kita.
Atau kita bisa menggunakan jasa orang lain, yang kita percaya pandangannya, untuk melihat sisi atau bagian yang kita nilai kita tidak mampu memandangnya. Tapi tetap, sebagai individu, kita yang memutuskan apakah pandangan orang lain kita gunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan atau tidak.
Renungan di Ketinggian
Tinggal lebih dari sepekan di ketinggian gedung, di lantai 4 dengan nomor kamar 403, membongkar sebagian cara berpikir saya. Berpikir ulang tentang apa yang penting dalam hidup ini?! Apa yang penting dalam setiap fase kehidupan?! Apa yang sebenarnya penting dalam berkarir, bekerja, atau berkarya?!
Saya belum bisa menyimpulkan apa-apa, kecuali pada sebuah inti bahwa “Kita diciptakan Tuhan untuk beribadah kepada-Nya”.
Lamunan saya melaju pada, bentuk-bentuk ibadah, dan ibadah seperti apa yang dapat kita lakukan dalam kondisi tidak berdaya secara fisik. Bahkan, sangking lemahnya, berpikir saja seolah tak mampu. Oooh…. Alangkah lemahnya fisik dan tubuh yang fana ini. Alangkah indahnya kesabaran Nabi Ayyub yang ia berharap sakitnya tidak sampai pada hati dan lisannya.
Kehidupan –terlebih sebagai karyawan– terlalu sayang jika hanya dilewatkan di kantor, rumah, sedikit politik kantor, dibumbui sedikit gunjingan, bekerja rutinitas harian kantor 8 sampai 12 jam sehari. Setiap tanggal 25 terima gaji, sebulan berikutnya menghabiskan gaji itu. Ah, nampaknya terlalu sayang. Waktu 10, 20 atau 33 tahun dihabiskan hanya untuk itu. Mungkin ditambah dengan sedikit persiapan setelah pensiun.
Saya pikir, perlu sesuatu yang lebih berkemanfaatan, yang bernilai ibadah sebagai hamba Tuhan. Mungkin bisa dimulai dari meniatkan setiap kegiatan sebagai ibadah kepada Tuhan.
Semoga kita menjadi hamba Allah yang senantiasa meniatkan kegiatan untuk ibadah, meski hanya rebahan di ruang isolasi rumah sakit ataupun di kamar pribadi.
(Wiyanto Sudarsono)