Kawan saya berkata atau menulis tepatnya, di kolom Facebook miliknya:
Menulis itu, sebuah laku spiritual juga. Seperti halnya meditasi atau berzikir. Semakin khusuk seseorang menulis, semakin dia menemukan kenikmatan dalam hidupnya. Pada puncaknya, dia akan mengalami ekstase. Saya melihat hal tersebut dalam diri kawan muda yang hampir tiap hari menulis artikel tentang pemasaran dan penjualan, kemudian dibagikan di Facebook dan WAG. Konon, dia akan menerbitkan sebuah buku. Kelak jika buku pertama jadi, saya yakin akan disusul dengan buku ke dua dan seterusnya. Tidak akan bisa berhenti. Seperti mengonsumsi candu.”
Itu postingan senior dan kawan saya, Pak Made Wirya. Meski saya kurang sepakat di bagian menyamakan menulis dengan berzikir. Zikir dalam konotasi mengingat Tuhan. Kecuali yang ditulis adalah kalam Tuhan, atau sepenuhnya menulis tentang zikir.
Tapi dari sisi bahwa menulis itu nagih, benar. Bahkan jika sudah mendeklarasikan diri sebagai penulis, semua laku adalah laku penulis.
Membaca sebagai penulis. Nonton TV, sinetron, atau film sebagai penulis. Mengamati, melihat sebagai penulis. Demikian penjelaskan dari Coach kami malam tadi.
Bahkan, saya sering disindir oleh beberapa kawan dengan frasa “dasar penulis”. Mungkin laku tidur pun sebagai penulis.
Jika sehari tanpa menulis atau mengetik rasanya ada yang kurang. Tidak lengkap. Bahkan seolah bangun tidur harus ada hal yang terkait “menulis”.
Saya mengingatkan diri dan pembaca dan atau penulis semua, jangan lupa meniatkan menulis sebagai sebuah laku ibadah. Bukankah hidup kita, adalah hanya untuk ibadah kepada Allah?
Karena itu pula, jangan sampai menulis kita melenakan segalanya. Sampai Lupa atau terlambat ibadah.
Kartu Tani saya pikir merupakan kebijakan publik yang dilaksanakan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian. Kebijakan di sektor pertanian, wa bil khusus pupuk subsidi.
Kebijakan Publik adalah apa yang dipilih oleh pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan [Thomas R Dye (1978), kompas.com].
Menjadi kewenangan Pemerintah untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu untuk masyarakat. Ingat, Pemerintah masyarakat juga yang pilih. Melalui sebuah mekanisme pemilihan yang telah disepakati. Paling tidak oleh mayoritas warga negara.
Pemerintah melaksanakan kebijakan subsidi pupuk. Pupuk subsidi disalurkan menggunakan kartu tani. Salah satunya agar tepat sasaran, tepat harga.
Kebijakan Publik juga didefinisikan sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat [David Easton (1965), kompas.com].
Salah satu dari yang saya ingat dari bangku perkuliahan adalah, suatu kebijakan layak dilaksanakan jika manfaat yang diterima masyarakat lebih banyak dari biaya yang dikeluarkan. Atau, masyarakat yang menerima manfaat lebih banyak daripada yang mendapatkan dampak. Jika pakai Pareto mungkin 80% manfaat, 20% dampak, kebijakan masih layak.
Alasan
Kebijakan diambil atau dipilih jelas ada alasan dan permasalahan sebelumnya. Untuk pupuk saya pikir isu utamanya adalah ketepatan sasaran.
Ketepatan sasaran mejadi masalah penting. Paling tidak, karena itu (tepat sasaran) yang menjadi objek pemeriksaan para auditor eksternal.
Masalahnya, produsen penanggung jawab penyaluran tidak memiliki solusi yang tepat. Bahkan setelah Indonesia memasuki era digitalisasi. Padahal sudah belasan tahun menyalurkan pupuk bersubsidi.
Karena itu, ada inisiatif untuk melibatkan Perbankan secara langsung dalam penyaluran pupuk bersubsidi. Terjadilah yang terjadi sekarang. Diambilah kebijakan yang sekarang diambil.
Jalan Bercabang
Kartu tani saat ini hanya sekedar untuk Kartu Identitas penerima dan alat bayar, sekaligus skema untuk pembuktian penyaluran. Pemegang kartu (sesuai nama) adalah petani yang berhak membeli pupuk bersubsidi.
Kartu berfungsi sebagai alat bayar yang bersifat cashless (nontunai), kartu debit. Tepat harga telah terjamin.
Hasil transaksi kartu tani yang ada di bank, merupakan pembuktian penyaluran pupuk bersubsidi yang menjadi dasar pembayaran subsidi harga kepada produsen.
Semua itu bisa dikatakan, saat ini nadi bisnis pupuk bersubsidi ada di bank.
Dengan kartu tani, ke depannya subsidi harga pupuk bisa tidak dilewatkan produsen. Langsung masuk ke kartu.
Jalan cabang berikutnya, pupuk yang dibeli tidak harus dari produsen saat ini. Pupuk yang terdaftar di EDC boleh dibeli pakai kartu tani. Lebih ekstrem lagi, selama pupuk terdaftar dan ber-SNI boleh dibeli pakai kartu tani dengan skema subsidi.
Dan cabang dari kebijakan kartu ini yang seharusnya ditakutkan di khawatirkan oleh produsen pupuk subsidi saat ini.
Kepercayaan
Pupuk bersubsidi itu bisnis, karena ada laba. Bisnis kepercayaan. Untuk tetap bisa menyandang predikat ‘penanggung jawab penualuran’ produsen pupuk harus menjaga kepercayaan mitra bisnis yaitu Pemerintah.
Kartu Tani saat ini membuat produsen tidak bisa berbuat banyak. Kecuali ada upaya luar biasa untuk mengubah kebijakan, dan produsen memiliki sistem pembuktian yang lebih dapat diandalkan.
Jika tidak punya, harusnya tidak ada alasan untuk mengubah kebijakan kartu atani ini.
Tidak ada pilihan bagi produsen untuk tetap relatif pasif. Tetap pilihannya hanya PROAKTIF dan SUPPORTIF terhadap kebijakan ini. Untuk tetap dapat kepercayaan dari stakeholder, terutama Pemerintah.
Jika masih mau menyalurkan pupuk. Kecuali, siap tarung di nonsubsidi 100%. Siapkah?
“Zaman berubah, belanja semakin mudah. Semua serba digital. Pupuk bersubsidi adalah amanah. Yang tidak menyesuaikan akan ditinggal.”
Kartu tani adalah kartu debit plus. Saya sebut demikian, karena kartu tani adalah kartu debit (ATM) yang sekaligus sebagai tanda pengenal sebagai petani yang berhak memperoleh pupuk bersubsidi.
Sebagian wilayah saat ini telah menggunakan kartu tani. Tepatnya, HANYA menyalurkan pupuk bersubsidi melalui skema kartu tani.
Periode Juli, persentase pupuk bersubsidi yang resmi disalurkan oleh Petrokimia Gresik (salah satu pabrik pupuk penyalur pupuk bersubsidi) menggunakan kartu tani masih sangat kecil. Hanya 0,94 persen dari total penyaluran pupuk bersubsidi periode Juli 2020.
Terhitung mulai 1 Agustus 2020 lalu, implementasi kartu tani bertambah beberapa wilayah di 7 provinsi: Bengkulu, Sumut, Jambi, Jateng, Jatim, Jabar, NTB. Secara jumlah wilayah, cukup banyak, total 46 kecamatan yang sudah mengimplementasikan kartu tani.
Kejutan
Sabtu lalu banyak yang terkejut. Tidak sampai setengah mati, seperempatnya pun tidak, hanya terkejut. Kejutan itu berupa Surat Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Subsidi Pupuk. Muncul untuk kali ke enam.
Sudah ada enam SK terkait penyaluran dan penagihan subsidi pupuk menggunakan kartu tani. SK itu menetapkan wilayah wilayah dan waktu dimulainya penyaluran dan penagihan HANYA berbasis kartu tani.
Yang membuat terkejut adalah wilayahnya. Seluruh Jawa, Sumbawa dan Pinrang (Sulsel). Lebih cepat dari dugaan saya. Saya menduga bahwa Jawa, akan berlaku di akhir tahun, itupun hanya Jatim dan Jateng yang seluruh provinsi. Ternyata lebih cepat.
Ini akan memaksa petani untuk lebih modern. Ups, tidak hanya petani, tapi penyalurnya juga: Pengecer, Distributor, dan produsen.
Siapkah? Siap tidak siap. Yang memiliki kuasa atas uang atau anggaran subsidi pupuk sudah memutuskan.
Saya biasanya memuji pelayanan satu bank ini. Bank dimana payroll/penggajian dari perusahaan saya bekerja masuk setiap tanggal 25.
Hari ini saya kecewa. Pelayanan salah seorang personel mereka (bank yang sama) mengecewakan. Sudah lama saya tidak merasakan sensasi yang seperti ini. Jengkel, marah, meski saya hanya ungkapkan lewat protes. Dan tentu saja tulisan ini. Meski kondisi kejiwaan seperti ini tidak saya suka. Tapi tidak nyaman juga jika tidak diungkapkan. Ini mungkin bisa saya sebut kondisi “mendodok/dongkol yang terungkapkan”.
Saya datang mepet jam 15.00, 14.55 mungkin. Bank tutup jam 15.00. Saya tidak protes, misal dengan: “ini belum jam 3 sore”.
Saya berusaha ingin menjadi orang yang “mudah” dalam menerima pelayanan. Saya berpikir pegawai sektor jasa, atau unit pelayanan, bekerja dengan sebaiknya. Jika ada lambatnya, pasti ada kendala yang mereka juga tidak inginkan.
Saya disambut oleh frontliner (sebagian kita menyebutnya security). Ia sambut dengan ramah: “mohon maaf Bapak sudah tutup, masih banyak yang antre. Bapak mau ke mana (teller atau CS)?” “Saya mau ke CS, mobile banking saya bermasalah”, saya bilang. “Sebentar Bapak ya”. Ia melihat antrean, dan saya duga mengusahakan satu nomor untuk saya. Jika ini berhasil, mungkin tulisan ini ada bernuansa positif dan pujian.
Ditengah Ia melihat antrean dan mendekat mesin antrean, datang frontliner lain. Namanya: ah tidak usah disebut. Nama itu saya dapat setelah saya tanya ke orang.
Ditengah pelayanan kepada saya berlangsung, Frontliner kedua ini, langsung berkata: “maaf Pak bank sudah tutup”. Sambil menunjuk ke pengumuman. Saya lihat jam 14.57. 3 manit lagi. Setelah itu,plencing ia pergi ke tempat duduk di dalam. Tampaknya sambil bersungut-sungut ke kawannya.
Bukan masalah hampir tutupnya bank yang saya kecewakan, tapi cara dia memotong pelayanan rekannya yang membuat saya “mendodok” alias dongkol.
Saya tahu saya datang hampir tutup. Dan ada tulisan TUTUP/CLOSE sebelum jam 15.00. Makanya saya tidak langsung masuk. Saya di depan pintu dengan ragu, sambil baca pengumuman, dan berharap ada yang memberi pelayanan. Dan memang ada, tapi… Ah sudahlah. Saya lanjut cerita saja.
Menyampaikan Kekecewaan
Sambil mendodok, saya masuk ke ruangan ATM Center. Hendak melakukan transfer antar bank.
Ini bahayanya marah, jengkel, kecewa, atau mendodok. Saya salah pencet, 2 atau 3 kali. Mau transfer keliru tarik tunai, atau transfer sesama bank.
Setelah transaksi selesai dan benar, saya keluar. Saya menyampaikan protes saya ke personel pertama. Terlebih lagi saya protes keras ke personel kedua (yang memotong pelayanan).
Saya masuk danprotes di dalam, kemudian, sambil menerima protes, personel kedua berjalan keluar sambil saya ikuti. Saya kena namanya “mirroring“.
Inti protes saya: jangan begitu lah. Jangan memotong pelayanan yang diberikan ke saya. Jika dipotong untuk diberikan yang lebih baik, ini bisa WOW. Jika dipotong untuk ditolak, ini ” arrrrgh”.
Ia minta maaf, saya maafkan, tapi masih menyisakan rasa “mendodok”. Tulisan ini saya harap mengakhiri rasa “mendodok” ini.
Marah ituTidak Enak
Satu pelajaran. Bagi saya, marah itu nggak enak. Melampiaskannya juga tidak enak. Tidak dilampiaskan juga tidak enak. Paling penting, jangan marah. Sebagaimana pesan Rasullullah.
Eh dua pelajaran, satu lagi. Mungkin itu cerminan jika pelayanan, sikap, atau tanggapan saya sedang tidak tepat. Bikin orang lain mendodok.
Itu yang menjadikan saya terkadang berpikir, pelayanan kita kadang tidak pas. Tidak memuaskan Pelanggan. Jika sesekali dapat pelayanan yang tidak pas, ya tidak apa apa lah.
Itu jika pikiran, dan emosi sedang bagus. Kalau lagi buru-buru, atau perlu sekali, seperti kejadian barusan, bisa meledak-ledak saya. Semoga tidak terulang.
Banyak Personel
Kejadian itu, menyemangati saya untuk mengikuti kelas Service Operation,dan sertifikasinya. Agar paham cara melayani pelanggan dengan baik. Dan agar saya bisa memaklumi jika melesetnya pelayanan yang diberikan orang lain.
Banyaknya personel belum tentu berbanding lurus dengan kualitas pelayanan. Belum tentu, semakin banyak personel semakin bagus pelayanan. Seperi kejadian tadi. Satu orang yang pertama saja sebenernya cukup. Karena saya hanya seorang. Datang yang kedua, malah ambyar.
Semoga Allah menjauhkan kemarahan, dan semoga pelayanan kita selalu memuaskan pelanggan.
Setiap ide yang muncul harus segera dituliskan. Tujuannya agar tidak lupa. Karena lupa ide untuk ditulis, rasanya nyesek, galau.
Menulis ide juga akan memudahkan memilih dan memilah, mana ide yang akan dikembangkan menjadi tulisan. Demikian tips yang saya pahami saat membaca tulisan mentor kami. Tulisan yang membahas tentang kebanjiran ide.
Kemarin dan sampai saat ini saya berpotensi kehilangan ide. Bukan ide untuk menulis. Tapi kumpulan ide yang telah muncul, termasuk pikiran pokok ide tersebut. Saya menyengaja menulis pikiran pokok (kerangka tulisan) yang akan dikembangkan jadi paragraf. Untuk memudahkan penulisan dan pengembangan, terutama saat kegiatan menulis harus terjeda.
Tulisan ini juga terjeda. Saya mulai di GraPARI, sambil antre menunggu layanan. Kemudian saya lanjutkan di kantor saat rehat sebentar.
Dengan adanya kerangka, melanjutkan jeda tulisan akan lebih mudah. Sisa menulis apa yang sudah ditulis pokok kalimatnya.
Ide biasanya saya ditulis di gawai pintar. Di aplikasi “catatan” (Notes). Sekitar pukul 15.00 WIB Selasa kemarin (18/8) gawai bermasalah. Gawai memulai ulang (restart/reboot) berulang dan tidak selesai. Salah satu solusinya harus di kembalikan ke penyetelan awal. Potensinya, data hilang semua. Termasuk catatan tentang ide tulisan. Semoga catatan itu tercadangkan di aplikasi awan (cloud) milik produsen gawai. Saat ini gawai itu dengan ditangani “dokter” gawai.
Sinkronkan
Tulisan sebaiknya kita cadangkan di lokasi lain. Jika hanya di kertas, bisa hilang, sobek, atau basah. Di komputer atau di penyimpan digital (flashdisk atau hardisk) bisa terkena virus, atau terselip.
Saya mencoba menyimpan di minimal dua tempat berbeda. Di komputer, flashdisk, atau dikirim ke WA sendiri. Bisa juga disinkronkan dengan aplikasi penyimpanan daring semisal Google Drive atau aplikasi cloud.
Bisa juga diunggah di media sosial. Jika sudah berbentuk tulisan. Jika masih ide, bisa juga, mungkin dengan membuatnya jadi kalimat pendek.
RezekiIde
Ide belum tentu muncul dua kali. Karena itu segera pindahkan ke media tertulis. Itu prinsip yang baik.
Kehilangan ide yang belum tentu muncul lagi, tentu sedih, tapi tidak seharusnya seharusnya menyesal. Cukup segera bangkit menulis lagi, mengamati lagi, membaca lagi, belajar lagi.
Jika ide itu bagian dari rezeki kita, akan muncul lagi atau datanya tidak hilang. Jika bukan rezeki kita, mau dikejar sampai manapun tak akan dapat.
Para pakar pengasuhan mengungkapkan bahwa setiap anak itu istimewa, unik. Keunikan itu mungkin seperti wajah atau sidik jari, tidak ada yang persis sama. Mirip mungkin iya, tapi tidak persis sama. Saya pikir begitu. Yang mirip ini yang bisa dikelompokkan, sehingga bisa ditentukan ragam kelompoknya.
Karena unik, cara menghafal anak – anak akan berbeda. Ada yang cukup mendengar. Adanya cukup membaca sendiri, ada yang harus mendengar, membaca/melihat, serta mengulangi sekaligus, dan masih ada macamnya lagi.
Anak-anak yang berasal dari satu kandungan, satu rahim, ayah ibu sama, bisa berbeda sekali.
Kompromi
Karena unik, maka orang tua harus menyesuaikan keunikannya. Orang tua telah dewasa, sehingga dituntut mampu menyesuaikan dengan anak. Buka sebaliknya.
Karena itu dibutuhkan kemampuan mengompromikan antara karakter dan keinginan anak dengan metode, emosi, dan keinginan orang tua.
Misal saat jadwal sudah seharusnya menghafal, anak masih ingin bermain, atau mengerjakan pelajaran lain. Atau jika pagi, sudah seharusnya mandi, zikir, salat dhuha, dilanjut mengulang hafalan,anak masih harus dirayu untuk mandi.
Kontrol emosi negatif haruslah dilakukan. Jangan sampai meledak hingga suasana hati anak menjadi rusak. Oh, tantangan luar biasa bagi kami.
Setiap hari kami belajar untuk kendalikan emosi negatif. Masih sering gagal. Berusaha lagi, lagi,dan lagi, karena cita-cita kami, saya pikir cita-cita kita juga, adalah cita karena cinta bukan?
Demikian juga saat anak berhasil satu surat misal, atau satu juz. Perlu jaga emosi positif, bahagia, senang. Jaga dengan mengucap syukur bahwa ini adalah karunia Allah.
Terlalu bahagia hingga meledak juga akan membuat terlalu bangga bagi anak. Sehingga ia bisa meremehkan dan bangga diri. Setoran berikutnya bisa keteter. Apresiasi harus, namun jangan sampai membuat anak terlalu bangga diri dengan capaiannya.
Ternyata bercita-cita memiliki anak penghafal Alquran butuh perjuangan. Bukan hanya untuk anak, tapi orang tua juga berjuang. Bahkan mungkin perjuangan orang tua yang harusnya lebih besar. Dengan keteladanan dan kesalehan. Kami masih belajar, anak anak kami masih belajar. Baru mulai. Semoga Allah memudahkan.
Berharap Allah meridai perjuangan kami, dengan berusaha ikhlas melakukannya hanya untuk mengharap rida dari Yang Menciptakan Alam Semesta.
Semoga Allah memudahkan kita semua mencapai cita-cita yang mengantar pada kebahagiaan dunia akhirat.
Setiap orang tua menginginkan anak-anaknya lebih baik dari diri mereka. Demikian yang saya dapatkan dari beberapa seminar pengasuhan.
Cita Cinta
Orang tua yang pendidikannya hanya sampai SMP atau SD, ingin anaknya berpendidikan lebih tinggi. Minimal SMA atau bahkan sampai perguruan tinggi.
Orang tua yang setiap hari bekerja berkeringat dengan hasil yang cukup, ingin anaknya bekerja dan berpenghasilan lebih baik menurut mereka. Mereka berpikir: “Kehidupan ke depan tidak lebih mudah. Anakku harus memiliki bekal yang lebih baik dariku“.
Demikian juga di bidang lain. Orang tua yang belum menghafal Alquran, bercita-cita anak-anaknya menjadi hufaz, para penghafal Alquran.
Mereka mengajari anak mengenal huruf dan bahasa Alquran sejak dini. Memasukkan ke sekolah berbasis islam. Memasukkan ke program atau ekstra kurikuler khusus menghafal. Mendaftar ke pesantren tahfiz (menghafal) Quran.
Orang tua bercita cita. Sebagai bentuk cinta. Tentu tidak seharusnya memaksa. Tapi berjuang. Alhamdulillah anak jika juga bercita yang sama.
Ada anak yang bahkan berkata: “aku besok akan memakaikan mahkota kepada Abah dan Bunda. Mahkota indah di surga”.
Bukan Perjuangan Sendiri
Tidak ada yang mudah tentunya. Tapi bisa diupayakan. Karena Alquran dimudahkan oleh Allah untuk dihafal.
Menjadikan anak seorang hafiz, bukan semata-mata perjuangan anak itu sendiri. Terlebih di tengah pandemi. #dirumahsaja menjadikan orang tua menjadi pendamping, mitra, guru bagi anak (baca: Memahami dan Merasakan).
Berbeda dengan di sekolah atau di pesantren yang relatif steril. Tantangan di rumah relatif lebih hebat. Menurut perkiraan saya, misal di rumah ada adik yang suka usil. diaajak menghafal belum bisa. Si adik sering membuyarkan fokus dan konsentrasi, dengan segala polah tingkahnya. Mungkin lagi, ada TV bagi yang sudah terlanjur ada TV. Menghilangkan TV, adalah perjuangan lainnya.
Semoga Allah memudahkan orang tua dan anak yang berjuang menghalalkan Alquran.
Hasrat dan Tekad
Masih dari pelatihan menulis Rabu malam lalu (baca: Belajar Menulis Buku). Dibutuhkan juga hasrat dan tekad kuat untuk menghafal. Mungkin, kita dulu (semasa SMA) tidak suka yang namanya pelajaran “menghafal”. Pelajaran yang sifatnya menghafal. Pelajaran yang lebih pada sekadar membaca dan mengingat, seperti sejarah, biologi, dan ehm geografi mungkin. Rasanya seperti siksaan, tau mungkin karena kemalasan. Lebih senang yang ke pemahaman, seperti matematika, dan fisika.
Ketika direnungkan lagi, ternyata kuncinya sama: pada ingatan. Nah, cara mengingatnya yang berbeda. Jika pelajaran “menghafal” dengan membacanya, dan memahami alurnya. Tentu ada istilah yang mau tidak mau harus dihafal. Kalau kata turunan atau gabungan, ada juga ilmu tentang kata-kata itu.
Sedangkan pada pelajaran “memahami”, tentu mengingat melalui kasus dan persoalan yang dihadapi. Akan tetapi, kita ingat dan hafal konsep sebelumnya. Atau lebih pada kesukaan, dan hasrat tadi sebenarnya.
Poinnya, untuk menghafal membutuhkan hasrat. Butuh memaknai “menghafal Alquran”. Memahami tujuan dan manfaat menghafal Alquran.
Juga tekad yang kuat. Hasrat yang dinyatakan dengan aksi nyata. Itu tekad. Membuat jadwal menghafal, target per waktunya, dan langkah memulainya. Oh… Kapan ya dimulai?
Saya bahagia, saya berkesempatan belajar menulis. Tadi malam, saya mengikuti Webinar atau Zoominar menulis (“Zoominar” istilah ini saya temukan di Di’s Way, seminar daring menggunakan aplikasi Zoom Meeting). Kelas belajar menulis yang diadakan oleh seorang penulis produktif, pakar pengasuhan dan solusi keluarga, pembicara pelbagai seminar.
Pemateri, mentor (coach) pernah mengisi seminar yang diadakan sekolah anak saya. Saya hadir disitu. Nama beliau adalah, ah rahasia.
Saya perlu sampaikan bahwa, jika tulisan saya kurang enak dinikmati, bukan salah mentor atau coach dalam pelatihan tersebut.
Saya belum pernah mengikuti kelas belajar menulis. Perihal menulis, saya dapat dari artikel daring, buku, dan tentu saja menulis skripsi.
Buku tentang menulis, saya pernah membeli beberapa. “Menulis tanpa rasa takut”, saya beli untuk dihadiahkan untuk adik saya. Tepatnya, saya letakkan di perpustakaan pribadi di rumah orang tua di kampung halaman. Tentu saya baca sedikit-sedikit, tidak selesai.
Saat membaca terjemahan “How To read a Book” karya Adler, saya mendapati ada promosi terjemahan buku “Menulis Tanpa Guru” Peter Elbow. Saya cari di toko daring, ketemu. Saya baca sedikit-sedikit, tentu belum selesai juga. Tapi membantu saya mengubah pandangan/paradigma saya tentang menulis.
Menulis dan menghasilkan buku, minimal satu buku seumur hidup. Itulah target pelatihan ini. Untuk mencapainya ada dua hal yang diperlukan. Itulah materi pelatihan semalam. Masih akan ada lima sesi lagi.
Alasan
Pertama, alasan menulis. Jawaban dari pertanyaan “mengapa harus menulis”. Dalam video, bacaan prapelatihan, materi, dan diskusi selama zoominar, mentor memberikan beberapa alasan menulis buku itu perlu, penting, dan harus.
Buku mengabadikan kebaikan. Demikian salah atau alasannya. Meski saya sampaikan permohonan maaf bahwa saya kurang nyaman dengan kata “keabadian”. Saya menilai kata “abadi” dan turunannya tidak cocok untuk makhluk.
Saya lebih senang dengan alasan menulis buku adalah memperpanjang, memperluas, dan memperbanyak kebaikan, sebagai ganti “mengabadikan kebaikan“. Itu lebih sesuai untuk makhluk, karena seluruh makhluk akan sirna.
Buku memperlama usia kemanfaatan kita. Umur kita paling 60, 70 atau 80an tahun. Sedikit yang lebih dari itu. Melalui buku karya kita, keberadaan kita akan bisa dirasakan lebih lama dari usia kita. Imam Bukhari contohnya. Namanya masih disebut sampai sekarang.
Dengan datangnya manfaat, maka insyaAllah jadi amal jariah. Ikhlas dalam hal ini diperlukan. Ikhlaskan niat.
Buku juga hadiah indah untuk diri, keluarga, orang tercinta, dan segala hal yang dialami. SEPULUH GENAP, adalah hadiah saya untuk diri saya atas satu dekade karier saya. AKU DAN COVID-19 adalah hadiah untuk diri, istri, keluarga, perusahaan, sahabat, kolega, tetangga, ustaz, dan tenaga kesehatan yang membantu dan telah berjuang atas Covid-19.
Menulis buku, atau menulis saja adalah cara mengikat ilmu. Ilmu mudah lepas. Ilmu harus diikat. Dengan menuliskannya, ilmu akan terikat dan dapat dipelajari generasi berikutnya, setelah kita. Meski tidak dari kita secara langsung.
Saya dapat tambahkan. Menulis buku juga saran berbagai ilmu, pengetahuan, keyakinan, ideologi, pandangan, dan pengalaman. Bisa tentang apapun.
Menulis buku juga bisa jadi pengingat. Baik pagi pribadi saya atau pembaca. Tentang nilai, norma, keyakinan yang kita pegang, atau mungkin juga orang lain pegang erat. Termasuk apa yang terlintas di hari dan pikiran.
Menulis (buku), bisa menjadi pagar. Pagar yang kita bangun sendiri. Pagar yang membatasi dan menjaga jika terbesit keinginan yang menyimpang dari prinsip dan Nilai yang telah kita tulis.
Karena itu tidak ada TERLAMBAT memulai menulis buku.
Modal
Kedua, modal menulis. Menulis bukan sesuatu yang gratis. Menulis memerlukan modal, bukan uang.
Juga tidak butuh bakat. Meski jika ada Alhamdulillah, akan mempermudah. Dan tidak butuh menunggu datangnya suasana hati (mood) yang baik. Meski jika punya itu, akan jadi sangat mudah.
Modal utamanya adalah hasrat, tekad, disiplin, komitmen dan waktu.
Hasrat dimunculkan dengan memaknai aktivitas menulis kita. Menetapkan tujuan menulis. Dan mengetahui manfaat atau benefitnya.
Tekad merupakan aksi nyata. Bukan omong kosong dan angan-angan panjang. Hasrat harus dinyatakan direalisasikan dengan tekad yang kuat dan langkah memulai. Semoga mengikuti pelatihan menulis adalah sebagai bentuk tekad. Pelatihan yang berbayar, sebagai ukuran kekuatan tekad.
Disiplin, dalam waktu, tempat, dan sarana. Ini terkait dengan komitmen jiwa. Kalau tidak disiplin berarti komitmen rendah.
Disiplin juga berkaitan dengan waktu. Harus meluangkan, tepatnya mengalokasikan waktu dari 24 jam itu. Jika nunggu waktu kosong, ya kita semua sibuk, merasa sibuk, atau sok sibuk bukan?! Tanpa alokasi waktu, empat modal pertama akan menguap.
Memperbaiki Penulisan
Pelatihan menulis semalam, saya mendapat manfaat besar. Mengokohkan modal menulis salah satunya.
Saya juga perlu memperbaiki penulisan saya. Meski terkadang, saya lebih senang tanpa aturan sama sekali. Tulis saja, sebagaimana saya sering berkata pada diri.
Saya jadi tahu jenis-jenis tulisan dan jenis buku. Saya jadi paham rumitnya proses penyuntingan. Sebagai tambahan wawasan tentang penulisan.
Dilema kerangka dan tanpa kerangka tulisan berputar di pikiran saya. Saya akan mencoba menggabungkannya. Tulisan ini adalah salah satu contoh penggabungan yang saya lakukan. Kerangka besarnya ada, tapi pada yang lebih kecil, saya akan tetap pada prinsip “menulis bebas” yang saya dapat dari Peter Elbow.
Kami, tepatnya saya sedang dan akan belajar ulang. Tentang sesuatu yang seharusnya kami miliki ilmunya paling tidak 9 atau 10 tahun lalu. Saya akan belajar lagi tentang Pengasuhan anak (parenting). Sebuah ilmu yang seharusnya dimiliki sebelum anak lahir. Bahkan, seharusnya sebelum menikah.
Sekarang belajar ulang lagi. Belajar melalui membaca. Ternyata, Saya telah memiliki 15 atau 16 buku pengasuhan anak. Lima diantaranya setebal 395 sampai 905 halaman, yah dapat digenapkan 400 sampai 1.000 halaman. Mulai dari terjemah buku yang ditulis ulama klasik (Ibnul Qayyim) hingga penulis terkini. Dan hanya satu buku kecil yang sudah saya baca dari awal hingga akhir. Sisanya baru baca di sana sini, sebagiannya lagi masih dibungkus plastik. Sedihnya… Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah.
Agar fokus, dan semoga bisa menyelesaikan membaca buku – buku itu, saya menetapkan Bulan Agustus sebagai Bulan Pengasuhan. Penetapan untuk saya pribadi. Mengapa bulan Agustus, tidak Maret, Mei atau November misalnya? Itu karena pada bulan Agustus ini, kami dikarunia dan diberi amanah oleh Allah berupa seorang anak untuk kali pertama.
Pada bulan ini, saya bertekad tidak akan membaca buku apapun selain tentang pengasuhan. Baca disway.id masih boleh lah, menulis artikel mungkin masih bisa, termasuk artikel ini, atau menyunting naskah yang telah saya tulis. Sebagai bentuk kekuatan tekad dan fokus, sebisa mungkin saya batasi informasi yang masuk: tentang pengasuhan.
Pengasuhan Anak = Seni?
Mendidik dan mengasuh anak berbeda dengan hal lain. Kalau Adler menyebutkan seni dasar kehidupan adalah kesehatan, pertanian dan pendidikan, mungkin pengasuhan ini masuk ke dalam Pendidikan. Atau mungkin seni tersendiri. Seni mendidik dan mengasuh anak. Karena seni, maka hasilnya penuh dengan misteri. Teori, konsep, dan perlakuannya bisa sama, tetapi hasilnya bisa berbeda.
Demikian (prinsip seni) pula yang bisa terjadi dalam pengasuhan anak. Kita bisa melakukan konsep terbaik, perlakuan (termasuk sekolah) yang terbaik, komunikasi yang terpilih, namun hasilnya, anak menjadi seperti apa, bisa jadi tidak akan sama. Allah yang menentukan, kemudian anak tersebut yang harus tumbuh, berkembang sendiri.
Saya mengambil pelajaran dari kisah Nabi Nuh alaihi salam, Sang Rasul Pertama. Saya tidak berani berpendapat Nabi Nuh tidak mendidik anak dengan baik. Ia sorang Nabi dan Rasul. Namun, anaknya ada yang menyimpang dari jalan Tuhan yang Ia dakwahkan.
Ada juga kisah Nabi Ibrahim alaihi salam dan Bapaknya. Bapaknya, seorang pembuat dan penyembah berhala. Anaknya seorang Nabi dan Rasul, bahkan Nabi Ibrahim bergelar khalilullah dan disebut sebagai Bapaknya Para Nabi.
Orang tua tentu mendidik anaknya sesuai dengan kepercayaan, nilai, dan norma yang diyakini. Namun, anak tidak selalu begitu. Tidak selalu sesuai dengan orang tuanya. Kepada Allah-lah kita memohon hidayah dan istikamah di jalan kebenaran.
Banyak Baca Banyak Praktik
Ilmu sebelum berkata dan berbuat/ beramal, adalah ungkapan yang bisa digunakan di semua hal. Karena itu, saya belajar ulang. Lebih baik terlambat tapi kemudian sadar dan memulai, dari pada terlambat dan terus terlambat.
Saya beberapa kali mengikuti seminar dan pelatihan terkait pengasuhan. Saat ini saya memilih belajar dengan membaca. Agar mendapat manfaat dari buku yang telah saya miliki. Sehingga tidak menjadi orang bodoh di tengah-tengah tumpukan buku. Atau agar tidak menjadi seperti keledai yang membawa kitab, tidak bisa memanfaatkannya. Baca, praktik, baca praktik, sesuaikan dengan karakter anak. Saya harus benar-benar belajar, berubah, dan menyesuaikan, lagi.
Banyak Berdoa
Menurut salah satu pakar pengasuhan anak (parenting), saya lupa namanya, keistimewaan pengasuhan dalam islam (islamic parenting), parenting nabawi (PropheticParenting), atau sebagian menyebut positive Parenting, adalah DOA. Doa kepada Maha Memberi Petunjuk (Al-Hadi).
Selain mengaplikasikan ilmu, konsep, komunikasi yang telah dipelajari, juga banyak berdoa. Hati anak ada di genggaman Allah. Allah yang membolak balikan hati. Allah juga yang memberi petunjuk. Karena itu hanya kepadanya kita berdoa dan berserah diri, setelah memberikan usaha yang terbaik.
Saya berpemahaman bahwa, pengasuhan bukan soal anak itu sendiri, tapi soal kita sebagai orang tua. Bagaimana ilmu dan persiapan orang tua, bagaimana usaha kita, bagaimana kita memberi yang terbaik sesuai kemampuan kita. Anak menjadi seperti apa, mari kita berdoa agar anak menjadi saleh dan salehah, menjadi anak yang berbudi, bermanfaat bagi diri, orang tua, lingkungan, alam dan orang lain.
Semoga Allah memudahkan kami dan kita dalam mengasuh anak dengan sebaik baiknya.
Bismillah. Alhamdulillah, buku elektronik (e-book) dengan judul “Aku dan Covid-19” telah terbit. Buku tersebut berisi kumpulan artikel tentang opini, ungkapan rasa, berbagi pengalaman saya dan keluarga terkait dengan Covid-19.
Buku ini telah saya luncurkan (launching) pada Rabu, 5 Agustus 2020 dalam webinar: “Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 pada Karyawan dengan Komorbiditas”. Mulai hari ini saya bagikan berkas pdf melalui WA dan tentu saja blog ini. Setelah saya belajar mengunggah dokumen di WordPress. Semoga pembaca berkenan menyimak buku tersebut.
E-book Aku dan Covid-19 DISILAKAN dan DIZINKAN untuk dikutip (dengan mencantumkan sumber), dicetak, diperbanyak dan/atau dibagikan, sebagian (dengan menyebutkan sumber) atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penulis, selama kegiatan membawa manfaat secara pribadi, sosial, atau komersial. Semoga kemanfaatannya lebih luas.
Covid-19 begitu populer. Berbagai informasi tentangnya berkelindan di hampir setiap aspek kehidupan audio visual kita. Informasi mulai dari penyebab, gejala, hingga pencegahannya dapat ditemukan di berbagai media.
Sebenarnya masih sangat banyak yang bisa didiskusikan dari Covid-19 ini. Akan tetapi cukuplah itu diwakili dari informasi resmi dari Pemerintah, media arus utama, dan khusus secara individu, sudah banyak di grup WA atau media sosial.
Sebagai bentuk kontribusi dalam kebaikan di era Covid-19 ini, kami susun e-book Aku dan Covid-19 ini. Semoga bermanfaat.
Silakan klik tautan di bawah ini untuk mendapatkan e-book dalam pdf secara langsung. Silakan dibagikan ke sebanyak mungkin orang yang mungkin e-book ini bermanfaat. Selamat membaca.