Bagian 2

Anak menghafal
Para pakar pengasuhan mengungkapkan bahwa setiap anak itu istimewa, unik. Keunikan itu mungkin seperti wajah atau sidik jari, tidak ada yang persis sama. Mirip mungkin iya, tapi tidak persis sama. Saya pikir begitu. Yang mirip ini yang bisa dikelompokkan, sehingga bisa ditentukan ragam kelompoknya.
Karena unik, cara menghafal anak – anak akan berbeda. Ada yang cukup mendengar. Adanya cukup membaca sendiri, ada yang harus mendengar, membaca/melihat, serta mengulangi sekaligus, dan masih ada macamnya lagi.
Anak-anak yang berasal dari satu kandungan, satu rahim, ayah ibu sama, bisa berbeda sekali.
Kompromi
Karena unik, maka orang tua harus menyesuaikan keunikannya. Orang tua telah dewasa, sehingga dituntut mampu menyesuaikan dengan anak. Buka sebaliknya.
Karena itu dibutuhkan kemampuan mengompromikan antara karakter dan keinginan anak dengan metode, emosi, dan keinginan orang tua.
Misal saat jadwal sudah seharusnya menghafal, anak masih ingin bermain, atau mengerjakan pelajaran lain. Atau jika pagi, sudah seharusnya mandi, zikir, salat dhuha, dilanjut mengulang hafalan,anak masih harus dirayu untuk mandi.
Kontrol emosi negatif haruslah dilakukan. Jangan sampai meledak hingga suasana hati anak menjadi rusak. Oh, tantangan luar biasa bagi kami.
Setiap hari kami belajar untuk kendalikan emosi negatif. Masih sering gagal. Berusaha lagi, lagi,dan lagi, karena cita-cita kami, saya pikir cita-cita kita juga, adalah cita karena cinta bukan?
Demikian juga saat anak berhasil satu surat misal, atau satu juz. Perlu jaga emosi positif, bahagia, senang. Jaga dengan mengucap syukur bahwa ini adalah karunia Allah.
Terlalu bahagia hingga meledak juga akan membuat terlalu bangga bagi anak. Sehingga ia bisa meremehkan dan bangga diri. Setoran berikutnya bisa keteter. Apresiasi harus, namun jangan sampai membuat anak terlalu bangga diri dengan capaiannya.
Ternyata bercita-cita memiliki anak penghafal Alquran butuh perjuangan. Bukan hanya untuk anak, tapi orang tua juga berjuang. Bahkan mungkin perjuangan orang tua yang harusnya lebih besar. Dengan keteladanan dan kesalehan. Kami masih belajar, anak anak kami masih belajar. Baru mulai. Semoga Allah memudahkan.
Berharap Allah meridai perjuangan kami, dengan berusaha ikhlas melakukannya hanya untuk mengharap rida dari Yang Menciptakan Alam Semesta.
Semoga Allah memudahkan kita semua mencapai cita-cita yang mengantar pada kebahagiaan dunia akhirat.
(Wiyanto Sudarsono)