Posted on Leave a comment

Bahasa Iklan

Merayakan Bulan Bahasa dan Sastra

Iklan besar dari sebuah produk yang digemari sebagian masyarakat Indonesia: Rokok. Jelas tidak ada menampilkan gambar orang sedang merokok.

Kelincahan dalam bermain kata adalah cara yang ditempuh untuk mendapat perhatian. Terutama bagi media berupa papan iklan (billboard) statis. Penulisan naskah iklan (copywriting) menjadi penting di media tersebut.

Berlokasi di pertigaan Jalan Proklamasi Gresik. Sebuah papan iklan besar bertuliskan “YANG KECIL DISIMPAN SAMPE KETEMU TEMPATNYA”.

Pembaca tidak perlu terlalu memikirkan maksud kalimat iklan tersebut. Tujuan naskah iklan itu adalah membuat pembaca bertanya-tanya. Tapi saya tergelitik untuk mengulasnya.

Penulisan imbuhan “di-” sudah tepat. Sebagai imbuhan, “di-” ditulis bersambung dengan kata berikutnya, sedangkan “di” sebagai kata depan dipisah penulisannya.

Kata “sampe”, tidak saya temukan di dalam KBBI. Kata “sampe” sering digunakan dalam percakapan sebagai pelafalan untuk kata “sampai”.

Demikian pula dengan kata “ketemu”. Tidak ada di KBBI. Jika kita mengetik di KBBI daring, maka akan diarahkan kepada makna “temu” yakni sua atau jumpa.

Kata “ketemu” digunakan dalam percakapan untuk makna “bertemu” atau “ditemukan”. Katanya “ketemu” di papan iklan tersebut, tampaknya bermakna “ditemukan”.

Naskah iklan rokok di atas bukan kalimat sempurna. Subjek kalimat tersebut tidak ada, paling tidak subjeknya belum lengkap.

Saya menduga makna atau kalimat yang hendak disampaikan adalah sebuah teka-teki: “Barang apa yang kecil, disimpan, kemudian dicari, sampai ditemukan tempatnya?”. Jawabannya tentu rokok. Karena rokok disimpan di dalam tempat. Rokok yang dimaksud tentu saja adalah yang diiklankan. Bukan main (hebatnya)!

Kita mungkin tidak perhatian atau tidak peduli. Karena itu, mungkin menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam naskah iklan, tidak akan menjadi masalah. Misalnya, khusus bulan Oktober, naskah iklan menggunakan kata baku. Anggap saja sebagai bentuk penghargaan kepada para pemuda dan pemudi yang bersumpah pada 92 tahun lalu.

Mari budayakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar! Meski tidak harus merokok.

#hariandisway
#BulanBahasaDisway

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Belajar Menulis (lagi)

(Freepik)

Hari ini (23/10) kami belajar menulis lagi. Kali ini, Gurunya adalah Pak Kris Budiman dari UGM. Pengusulnya adalah dua senior saya: Pak Made Wirya dan Pak Sukodim. Tajuknya adalah Menulis: Beberapa Aspek Dasar.

Materinya sesuai dengan harapan kami. Benar-benar tentang dasar-dasar menulis. Mulai dari membuat paragraf. Dan cukup menulis artikel.

Menulis itu seperti memasak. Ada bahannya, ada alatnya, ada cara masaknya. Demikian kata Pak Kris.

Saya akan tambahkan. Sebelumnya, ada jenis masakan yang akan dimasak dan terakhir ada cara menyajikannya. Itulah memilih jenis tulisan dan seperti apa disajikan. Tidak selalu persisi seperti itu. Tapi mirip.

Bahan Tulisan

Adalah hal yang tidak masuk akal, jika kita beralasan tidak punya bahan tulisan. Padahal, seumur hidup kita adalah bahan. Pengalaman dan cerita orang lain adalah bahan. Bacaan kita adalah bahan. Yang kita lihat, kita dengar, kita rasa adalah bahan.

“Saya melihat kucing, bisa jadi tulisan”. Pak Kris mencontohkan. Kalau saya pernah sampaikan ke kolega saya; ” Saya melihat roda berputar bisa jadi tulisan”.

Cara Menulis

Menulis, sebenarnya adalah menata gagasan. Merupakan proses berfikir dan bernalar. Karena itu, menulis perlu sistematika. Sistematika inilah cara menulis. Demikian kira-kita saya kutip dari materi tayangan.

Sedikit berbeda dengan memasak. Sistematika menulis dan susunan gagasan, menurut saya boleh diabaikan. Terutama di awal menulis.

Yang penting, tulisan kita masih di topik atau tema kita. Menyusun siatematika bisa menyusul, termasuk membuang yang dinilai tidak relevan.

Alat Menulis

Menulis adalah bentuk komunikasi. Kita sebagai penulis mengimunikasikan suatu gagasan kepada pembaca.

Juga merupakan ketrampilan. Bagi saya, persis sama dengan memasak dan berkendara. Butuh latihan. Latihan menggunakan alat.

Alat menulis adalah bahasa tulisan, dalam bentuk huruf dan sepuluh angka. Kepiawaian kita merangkai huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat, kalimat menjadi paragraf itulah ketrampilan menulis.

(Wiyanto Sudarsono)

Gambar: <ahref=”https://www.freepik.com/photos/business”>Business photo created by freepik – www.freepik.com</a>

Posted on Leave a comment

Kartu Tani: Memupuk Asa Pertanian Rakyat

Oleh: Wiyanto Sudarsono

Kartu Tani tepat jika disebut terobosan besar dalam penyaluran pupuk bersubsidi. Transformasi dalam kebijakan subsidi pupuk. Begitu Radikal, begitu mendasar.

Bukan hanya untuk pupuk bersubsidi tapi untuk Pertanian Indonesia. Melalui Kartu tani, bantuan sosial pertanian bisa masuk, KUR (Kredit Usaha Rakyat), termasuk digunakan dalam penjualan hasil pertanian dan lain lagi. Besar sekali cita-cita kartu tani ini.

Saya memberikan sedikit tanggapan atas tulisan Abah Dahlan Iskan “Kartu Pupuk” yang terbit di disway.id. Terbit juga di Harian Disway (22 Oktober 2020, Hal.18).

Kartu tani menjadi jawaban untuk beberapa persoalan pupuk bersubsidi. Penerima pupuk bersubsidi akan dipastikan tepat. Selama penentuan penerima kartu tani juga tepat.

Harga beli petani juga akan tepat, tidak dimahal-mahalkan. Kecuali ada biaya bayangan. Seperti petani tidak punya uang, sehingga harus pinjam dulu ke Pengecer. Tentu bisa tidak bebas biaya.

Sebagaimana kebijakan umumnya, perlu tahapan dan persiapan matang dalam implementasinya. Saat ini, kartu tani masih berproses menuju implementasi secara menyeluruh.

Harapannya tanpa keributan. Tidak perlu petani ikut-ikutan turun ke jalan. Mereka turunnya ke sawah. Petani adalah entrepreneur, pengusaha.

Menilai Kartu Tani pada fase saat ini sebagai prestasi, bisa jadi terlalu dini. Bisa menyakiti petani yang terkendala kartu tani.

Dari sisi gagasan, benar ini adalah terobosan dan baik. Namun masih ada beberapa perbaikan yang harus dilakukan. Kegagalan dalam melakukan perbaikan, prestasi melalui kartu tani hanya isapan jempol.

Belum semua petani menerima kartu tani. Padahal sudah terdaftar. Juga, tidak semua kartu tani yang diterima petani dapat berfungsi. Yang berfungsi pun, belum tentu dapat digunakan. Alat gesek kartu (EDC) belum tersedia, rusak, atau ditarik Bank dan belum kembali.

Mulai 01 September 2020, seluruh Jawa, Madura, Sumbawa, Sumbawa Barat, Pinrang, beberapa kecamatan di Dairi, Bengkulu, dan Jambi, sudah wajib diberlakukan Kartu Tani. Namun, karena permasalahan di atas, dilakukan pengecualian.

Petani yang masih bermasalah kartu taninya, diperkenankan melakukan pembelian secara manual. Dengan melampirkan rekomendasi dari PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan). Permasalahan ini juga terjadi karena infrastruktur, sinyal. Seperti pulau-pulau di Kabupaten Sumenep.

Tidak ada salahnya dilakukan pengecualian wilayah yang permasalahannya sangat ekstrem. Lebih baik 80% telah jalan, dari pada tidak jalan sama sekali.

Siapa Berhak

Untuk mendapatkan kartu tani, Data pribadi petani dimasukkan ke dalam sistem Rencana Definitif kebutuhan Kelompok tani (RDKK) elektronik (e-RDKK). PPL yang memasukkannya.

Datanya mulai nama, NIK, tanggal lahir, nama, ibu kandung, sampai kebutuhan pupuknya. Termasuk di kios pengecer mana petani membeli pupuk bersubsidi. Total data yang harus diinput PPL ada 34 data untuk seorang petani.

Salah satu syarat untuk dapat masuk ke dalam e-RDKK adalah petani melakukan usaha tani dengan luasan paling luas 2 ha, kecuali perikanan, paling luas 1 ha (Permentan 01 tahun 2020 dan perubahannya). Sehingga dapat dimaknai bahwa jika petani melakukan usaha tani seluas 5 ha, tidak berhak mendapat pupuk bersubsidi sama sekali.

Maksud dari “melakukan usaha tani” perlu diartikan dengan jelas oleh Kementerian Pertanian. Apakah pemilik lahan, penyewa lahan, penggarap, atau apa?

Tampak betapa strategisnya peran PPL. Mereka harus paham petaninya siapa, luas lahannya berapa, dan terpenting: harus jujur.

Harga

Harga Urea Bersubsidi yang tepat adalah Rp 1.800,-/kg. Sedang harga non subsidi di tingkat petani bisa mencapai Rp 5.300,- per kg. ZA bersubsidi Rp 1.400,-/kg, Non sunsidinya bisa sampai Rp 3.000,-/kg. SP-36 bersubsidi Rp 2.000,-/kg, Non subsidinya mencapai Rp 6.000,- /kg, NPK bersubsidi Rp 2.300,-/kg, Non subsidinya bisa Rp 7.000,- /kg.

Begitu besar disparitas/selisih harga subsidi dan non subsidi. Begitu menarik hasrat sebagian orang. Karena itu masih perlu diwarnai. Toh, saat ini sudah terlanjur diwarnai, pupuk Urea (pink) dan ZA (Orange).

Layanan

Kunci sukses implementasi kartu tani ini adalah kecepatan pelayanan dan tindak lanjut permasalahan. Mungkin semua program juga ini kuncinya. Kartu tani dan pupuk berkaitan dengan tanaman. Jika telat memupuk bisa tidak panen, atau panennya rendah.

Misal, petani belum punya kartu tani, padahal ia berhak. Cukup dengan PPL memasukkan data di sistem. Petani membawa data hasil inputan itu ke bank cabang setempat, bank mencetak kartu taninya, beres. Jika cetak kartu tani harus di Kanwil atau dikirim dari Jakarta, bisa lama sekali.

Pengurusan dan pembagian kartu tani juga perlu melibatkan kelembagaan petani: Kelompok tani. Jika pihak Bank harus membagi langsung ke petani satu per satu, akan lama prosesnya.

Hubungan sosial ekonomi perdesaan masih begitu terasa. Asas kepercayaan dalam hubungan ekonomi. Namun, untuk menghindari potensi penyelewengan dan penyalahgunaan kartu tani, Dinas Pertanian Jawa Timur melarang kios menyimpan kartu tani milik Petani.

Kartu tani ini tahun ini belum mampu mengukur efektivitas serapan anggaran subsidi pupuk secara riil. Karena petani masih ada tiga pilihan: pakai kartu tani (dengan potensi kendala), tanpa kartu tani (dengan rekomendasi), atau memampukan diri membeli pupuk nonsubsidi.

Kesuksesan implementasi kartu tani membutuhkan kerja sama segenap pihak. Kementerian Pertanian hingga PPL, Bank, Pabrik Pupuk (Pupuk Indonesia Grup), Distributor dan Pengecer, dan tentu saja petani dan kelompok tani sendiri. Kartu tani bisa menjadi pupuk dan siraman hujan bagi pertanian rakyat. Tapi jangan sampai berubah menjadi banjir.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

BEBAS: Bukan Fotografer

Harian Disway Hal. 20

Oktober adalah Bulan Bahasa dan Sastra Nasional. Di bulan inilah, Pemuda dan Pemudi hebat mengikrarkan tiga sumpah pada tahun 1928 silam.

Tahun ini, Disway kembali mengadakan perayaan. Kali ini tentang penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. Reklame, spanduk, poster, brosur, papan petunjuk, dan pamflet.

Meski judulnya bulan bahasa dan sastra, kali ini cukup dengan mengirim foto. Foto dari media di ruang publik yang kurang tepat penggunaan katanya.

Saya menemukan yang menarik. Sebuah papan petunjuk bertuliskan: Area Bebas Parkir. Terletak di salah satu swalayan di Jalan Sumatera, GKB, Gresik.

Foto tersebut saya unggah di Instagram (IG). Saya tandai tujuh orang teman. Syarat mengikuti perayaan bulan bahasa dan sastra disway, harus menandai minimal tujuh orang teman dan mencantumkan beberapa tanda pagar (tagar/hastag).

Karena saya bukan fotografer, saya tambahkan beberapa kalimat agar lebih menarik. Termasuk sedikit penjelasan dari sisi penggunaan bahasa dalam papan petunjuk tersebut.

Berikut unggahan saya di IG:

Papan Petunjuk: Area Bebas Parkir

BEBAS
Penggunaan kata “bebas” tentu seharusnya tidak lepas dari enam makna ‘bebas’ dalam KBBI. Mari kita coba mencocokkan enam makna tersebut dengan frasa “Area Bebas Parkir” untuk makna yang diinginkan: lokasi parkir tidak berbiaya.

1. Lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa). Dengan makna ini penggunaan kata “bebas” pada frasa tersebut malah bertentangan dengan makna yang diinginkan.

2. Lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan sebagainya). Ini juga menjadikan kata bebas pada frasa menjadi tidak sesuai untuk makna yang diinginkan.

3. Tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan sebagainya). Ini bisa ke arah makna yang diinginkan, namun pada posisi kata yang tidak tepat. Pada akhir tulisan ini akan kita sampaikan alternatif penggunaannya.

4. Tidak terikat atau terbatas oleh aturan dan sebagainya.
5. Merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing).
6. Tidak terdapat (didapati) lagi.

Makna keempat sampai keenam juga menunjukkan ketidakkesesuaian makna “area bebas parkir” sebagai “lokasi atau tempat untuk parkir bebas biaya”.

Bahkan jika kita mencari makna “bebas parkir” di KBBI lebih terkejut lagi: bebas dari kendaraan terparkir; dilarang parkir.

Alternatif frasa atau kalimat untuk “tempat parkir tidak berbiaya” di antaranya:
1. Area Parkir Bebas Biaya
2. Area Parkir Gratis
3. Tempat Parkir Gratis

Jika subjek kalimat hendak dihilangkan untuk menyingkat penulisan karena telah diketahui makna bahwa tempat atau area ini:
1. Bebas Biaya Parkir
2. Parkir Gratis
3. Parkir Tak Berbayar.

Salam bulan bahasa dan sastra.

(Wiyanto Sudarsono)

#hariandisway #medianyaDahlanIskan #BulanBahasaDisway

Foto saya tersebut ternyata dimuat di harian disway edisi 18 Oktober 2020 di Halaman 20. Alhamdulillah. Tentu saja saya akan mendapatkan bingkisan menarik dari harian disway. Sebagaimana pesan langsung (DM) dari harian disway kepada saya Senin lalu.

Itu akan menemani kaos disway yang telah saya peroleh tahun lalu. Tahun lalu kita diajak mengamati unggahan disway (disway.id) dan pesohor Indonesia di media sosial. Kemudian, kita diminta menanggapi penggunaan bahasanya. Menarik, ayo ikut!!

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

OJO NGOMONG-NGOMONG

Rencanakan apa yang ingin dilakukan. Demikian nasihat para bijak bestari dalam kaitannya dengan pengelolaan dan pengembangan diri. Atau dengan ungkapan lainnya seperti: Rencanakan Suksesmu, atau seperti nasihat Bapak dalam film “Sabtu Bersama Bapak”; Rencana, Rencana, Rencana.

Ada tiga tipe orang, berdasarkan hubungan rencana pribadi dengan kehidupan sosial. Bisa cita-cita, bisnis, karier, atau politik. Apakah rencana-rencana tersebut perlu diungkapkan atau tidak.

Tipe pertama, Penyimpan Rahasia. Orang tipe ini adalah orang yang menyimpan rencananya untuk dirinya sendiri. Mungkin ia akan nyatakan secara terus terang dalam bentuk doa kepada Tuhannya.

Bisa juga ia akan ungkapkan dalam catatan pribadi: buku harian, atau ia pendam dalam hati dan perasaan. Cukup dia sendiri yang tahu, demikian pendapatnya.

Ia tidak membiarkan orang lain mengetahuinya. Sampai ia mewujudkan sebagai bentuk kesuksesan dari rencana tersebut. Bahkan istrinya sendiri tidak tahu.

Tipe, selektif. Orang yang mengungkapkan rencana hanya kepada orang tertentu. Jelas kepada orang yang biasa dipercaya dalam bidang yang ia rencanakan.

Bisa istri, sahabat, sekretaris, mentor, atau gurunya. Ia mengungkapkan secara singkat ataupum secara detail rencana, cita-cita atau ambisinya. Tergantung kepuasan hati yang diharapkannya.

Contoh ideal untuk tipe orang ini adalah Marcus Tulius Cicero. Salah satu Konsul Roma kuno di sekitar tahun 50an SM. Silakan baca cerita lengkapnya (fiksi histori) trilogi Cicero karya Robert Harris.

Ia (Cicero) mengungkapkan rencananya kepada sekretaris kepercayaannya: Tiro.yang kemudian menulis kisah hidupnya. Juga kepada adiknya: Quintus dan sahabatnya: Atticus. Ya itu, jika saya tidak salah ingat tentang penokohan di novel tersebut.

Pengungkapan ini dipandang perlu untuk menunjukkan komitmen dan keseriusan. Serta mendapatkan nasihat dan masukan. Siapa tahu ada arah yang lebih baik dari rencana yang disusun.

Tipe ketiga, penyiar. Orang yang menyiarkan rencana atau harapannya kepada khalayak, kepada publik. Khalayak dalam arti kepada banyak orang. Dia tidak memilah atau memilih dengan siapa akan disampaikan rencananya.

Penyiaran bisa seluas tentang pertemanan dan kenalannya. Bisa jadi kepada setiap orang yang berkaitan dengannya, misal rekan kerja, rekan pengajian, atau kawan olah raga. Jumlahnya tidak sedikit.

Zaman sekarang sangat mudah, melalui status di media sosial. Rencana yang disiarkan ini bisa berfungi untuk menarik dukungan, mengetahui respon orang lain, atau ingin mengajak dan menginspirasi.

Ada rencana yang mungkin pernah dialami orang seperti saya dan kebanyakan lainnya. Rencana mengatur pola makan dan menyehatkan badan. DIET. Dalam ini, orang-orang juga terbagi menjadi tiga.

Kalau saya tipe orang yang senang berbisik pada orang “ojo ngomong-ngomong, aku jek diet!!” Jika Anda, termasuk tipe yang mana?

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Kere Minggat

Bekerja, bertugas atau hanya sekedar perjalanan dinas di kampung sendiri selalu terasa istimewa. Berasa mudik, pulang ke kampung halaman; mudik, pulang ke udik.

Memerintahkan seorang tim atau staf untuk bertugas di kampungnya sendiri, sering disebut oleh senior-senior saya sebagai: nyangoni kere minggat. Memberi uang saku kepada orang yang papa untuk pergi.

Arti sebenarnya dari “nyangoni kere minggat” saya tidak tahu. Jadi saya perlu bertanya.

Alhamdulillah baru-baru ini saya ditambahkan ke dalam WA Grup “Trah Wongsonadi”. Wongsonadi adalah buyut saya dari garis ayah dari Yogyakarta.

Berikut jawaban dari Om saya atas pertanyaan tentang makna: “Nyangoni kere minggat”:

Nyangoni kere minggat meniko aslinipun tembung engkang salah kaprah. Saget kawastanen tembung engkang radi kasar, namung ngemu teges ekang lebet.

Tembung nyagoni saget dipun artekaken ngasih sesuatu niku mboten kedah sesuatu yang nyata, saget wewarah utawi pitutur.

Kere: saget dipun artekaken ndak punya apa-apa atau sudra.

Minggat: saget dipun arteaken pergi utawi ninggal aken sesuatu sae kanti pamit menopo mboten .

Dados, nyagoni kere minggat artos ipun mekaten “memberikan sesuatu itu harus ikhlas secara lahir dan batin; jangan terlalu berharap atas apa yg kita berikan kepada seseorang untuk mengabdikan dirinya pada sesuatu yang telah pergi dari kita.” Kalau mau dijabarkan disini terlalu banyak.

Saya akan kunci maknanya: tentang keikhlasan memberi. Seperti memberikan sesuatu kepada orang yang tak berpunya sebagai bekal untuk pergi, sehingga tidaklah dapat diharapkan sesuatu darinya. Harus IKHLAS.

Semoga kita dapat ikhlas. Melebihi keikhlasan perusahaan saya menugaskan saya ke Lampung, kampung halaman saya.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Ke Masjid Lagi

Konsep tulisan ini telah lama tersimpan di aplikasi catatan dalam gawai saya. Sejak Agustus 2020. Alhamdulillah tidak jadi fosil intelektual. Haha

Alhamdulillah sejak awal September saya memutuskan untuk kembali ke masjid lagi.  Setelah lebih dari sebulan lamanya cukup salat #dirumahsaja. Pasca sembuh, isolasi mandiri dan ehm merasa kurang pede untuk berkumpul dengan jamaah lainnya.

Masjid kami, sebagaimana sebelumnya, setelah pelonggaran PSBB, tetap menjalankan protokol kesehatan dengan menyediakan pembersih tangan (hand sanitizer), tempat wudu otomatis, dan tentu saja, pemberian jarak fisik antarjamaah salat (Physical Distancing). Berjarak 1,5 meter antarjamaah dalam satu saf dan antara satu saf dengan saf berikutnya.

Jamaah di saf kedua tidak sejajar, atau tidak dibelakang persis jamaah di depannya. Tapi berada di belakang tengah antara jamaah kanan dan kiri di depannya. Membentuk segitiga. Agak repot menggambarkan dengan kata. Perhatikan gambar di atas saja.

Saya tidak selalu lima waktu berjamaah di masjid kami. Kadang bangun kesiangan saat subuh, kadang jamaah di kantor, kadang terlambat sehingga jamaah dengan keluarga di rumah. Semoga Allah mengampuni kami.

Sebar salam masih berjalan seperti biasa. Saling menyapa, tos, atau berjabat tangan ala wakanda. Bercanda sedikit dan saling goda saat bertemu The Coviders (penyintas Covid-19).

Makna Jarak

Saya memaknai pemberian jarak ini sebagai sarana belajar ikhlas. Jarak memberikan kesan, meski kita berjamaah di masjid, hakikatnya kita itu beribadah sendiri-sendiri kepada Sang Maha Pencipta. Kita akan dinilai secara individu. Karena itu kita harus ikhlas. Mirip dengan ujian bersama di satu ruangan.

Jarak mengajarkan bahwa baik jamaah maupun sendiri, kita tetap harus sama. Sama dalam kualitas dan ikhlas. Saya belum bisa sepenuhnya. Kita diajarkan jiga untuk fokus pada ibadah sendiri, baik ibadah individu maupun sosial.

Fokusnya adalah diri kita. Tidak butuh pujian. Tidak perlu mengomentari orang.

Jikalau salat wajib berjamaah itu bukan syariat yang ditekankan (banyak ulama yang mewajibkan bagi laki-laki), niscaya untuk saat pandemi ini lebih memilih shalat di rumah. Salat jamaah juga merupakan syiar agama karena itu tetap harus diperjuangkan, dan memiliki memiliki keutamaan.

Aktivitas di masjid juga secukupnya, datang, beribadah, dan pulang. Minim pertemuan dan belum ada majelis ilmu. Baru kemudian diadakan majelis ilmu bakda subuh. Jamaah relatif terbatas dan terkontrol pada waktu subuh.

Semoga kita tetap ikhlas dalam jamaah, khusyu dalam “kesendirian” menghadap Ar-Rahman.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).
QS.Al-Bayyinah [98]:5

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Terbang Lagi

Hari ini merasakan kembali menggunakan moda transportasi pesawat terbang. Montor mabur. Setelah enam bulan lebih.

Sebenarnya berencana pekan lalu. Tapi hasil tes cepat (tapid test) saya: reaktif. Oh ya, hasil ini telah diprediksi, karena saya adalah penyintas Covid-19. Bagi para coviders, kami masih memiliki antibodi paling tidak untuk 2-3 bulan setelah kesembuhan. Demikian kata dokter dalam acara sharing session Agustus lalu. Karena itu, tes rapidnya akan reaktif.

Karena rapid reaktif, maka dokumen hasil tes tidak bisa digunakan sebagai Dokumen perjalanan di fase I normal baru. Karena itu harus PCR Swab test.

Perjalanan dinas saya kali ini, karena diundang oleh unit kerja sebelah ke lokasi yang saya sulit menolaknya: Lampung. Untuk promosi buku terbaru saya: MANTAP. Eh bukan ding, untuk berdiskusi terkait kartu tani.

Senin lalu saya mendaftar tes Swab. Dijadwalkan Rabu. Swab dilakukan di poli Swab yang di sebelah kamar jenazah. Ehem. Sekalian mengingat pemutus kenikmatan itu.

Hasilnya keluar pada Kamis siang. Alhamdulillah, hasil Negatif. Acara saya Jumat. Seharusnya saya berangkat kamis sore atau malam, kemudian lanjut ke Lampungnya Jumat pagi.

Tapi penerbangan ke Lampung Jumat pagi habis. Adanya siang. Jadi saya putuskan dari Surabaya Jumat pagi saja. Semoga masih ada waktu untuk diskusi.

Setiap konter meminta hasil itu. Sebelum masuk bandara dokumen hasil test di cek dan di stampel. Konter laporan kedatangan, mau masuk ruang tunggu, mau masuk pesawat, konter transit, semuanya.

Sebelum keluar bandara kami harus mengisi data di aplikasi e-HAC (Health Alert Card). Aplikasi untuk pencegahan penyebaran penyakit, khususnya Covid-19.

Mendapat di Lampung pukul 13.15 WIB. Sebelum keluar QR code dari e-HAC di pindai. Selesai cerita penerbangan pertama saya. Kemudian….

Dalam penerbangan selalu teringat meme yang dibagikan beberapa kali oleh kawan-kawan. Setiap menatap jendela.

Dimana rumah mewah yang dibanggakan itu? Mana mobil mewah yang harganya milyaran itu? Mana kebun yang luasnya hektaran itu? Mana pejabat yang berkedudukan tinggi itu? Meski saya belum memiliki rumah mewah, mobil mewah, ataupun ratusan hektar lahan, atau jabatan tinggi, tapi renungan itu selalu terngiang.

Bagi kita semua, mungkin pertanyaan yang umum: mana diri yang selalu merasa paling baik dan benar, sehingga berjalan dimuka bumi dengan sombong? Tidak nampak dari ketinggian 25.000 kaki.

” Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18)

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Meja Belajar

Belajarlah di waktu kecil. Belajar di waktu kecil seperti mengukir di atas batu. Demikian pepatah bijak itu saya ingat.

Dahulu, mamak (ibu) saya sering mendendangkan sebuah qasidah dengan lirik itu. Saya mencoba cari di mesin pencari. Ketemu! Ternyata judulnya Menuntut Ilmu. Saya tidak tahu versi mana yang didendangkan mamak saya waktu itu. Berikut potongannya:

Belajar di waktu kecil // Bagai mengukir di atas batu // Belajar sesudah dewasa //Laksana mengukir di atas air

Ilmu dunia akhirat // Wajib dituntut dipelajari // Dari kecillah engkau mendapat // Sudah dewasa berguna kemana pergi

Anak-anak saya saat ini masih katagori kecil. Paling besar berusia 8 tahun, disusul usia 3,5 tahun dan 1,25 tahun. Yang sudah belajar secara formal yang pertama. Tapi saya tidak perlu saya dendangkan qasidah yang sama.

Saat pandemi ini, tepatnya setelah saya sembuh dari Covid-19, saya merasa membutuhkan meja untuk bekerja atau menulis di rumah. Saya tempatkan di ZTM (Zona Tempat Membaca, Menulis, Menghafal, Mengaji). Meja itu juga bagian dari SKM (Sarana Khusus Menulis). Seharusnya saya khusyuk di situ saat ZWM (Zona Waktu Menulis).

Saya memesan dua set meja dan kursi. Karena dapat gratis satu set, saat membeli satu set meja kursi yang sama. Sedang ada promo di toko mebel favorit. Satu buat Mas, anak saya yang paling besar. Meski sering kali diambil alih adiknya.

Di meja belajar itu, ia memiliki ZTM dan SKMnya sendiri. Tapi dengan tambahan M yang lain: MAIN. Di Meja itu juga ia belajar secara daring, menata mushaf dan buku-bukunya.

Saya berharap ia dan adik-adiknya belajar sejak kecil, sehingga ukiran itu kuat di dalam hati. Ilmu itu menancap kuat di sanubari. Sehingga berguna ketika masanya tiba.

“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Tatu Ati

(Freepik)

Tatu ki artine opo?” Tanya seorang anggota tim saya di kantor. (“Tatu” itu artinya apa?).
Tatu itu ketika kita merasa sakit karena diejek, diremehkan, dikecewakan, dikhianati. Ini soal hati dan perasaan“. Jawab seseorang. “Tatu” pada diskusi waktu itu lebih pada luka pada hati secara maknawi. Tatu ini bisa membekas lama, tak tentu obatnya.

Seorang wanita bercerita tentang “tatu” ini. Sebuah kisah haru.

Pernah suatu waktu dia menjalin hubungan dengan kawan masa kecil. Cinta remaja, yang terbawa hingga dewasa.

Orang tua sang pria tidak setuju. Alasannya karena tidak sederajat. Dan yang lebih menyakitkan, karena dia anak seorang janda. Dan itu terungkapkan. Dibumbui keyakinan khurafat.

Sakit, nyesek, dan menjadikan hatinyi TATU. Sampai saat ini. Setelah 13 tahun berlalu. Bahkan dia hampir menangis saat menceritakan kembali.

Tapi, saya pikir dia akan bisa bangkit dari TATUnya. Tidak mudah, tapi bisa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.
QS.Al-A‘rāf [7]:199

(Wiyanto Sudarsono)

Sumber Gambar: Background photo created by rawpixel.com – www.freepik.com