Hari ini merasakan kembali menggunakan moda transportasi pesawat terbang. Montor mabur. Setelah enam bulan lebih.
Sebenarnya berencana pekan lalu. Tapi hasil tes cepat (tapid test) saya: reaktif. Oh ya, hasil ini telah diprediksi, karena saya adalah penyintas Covid-19. Bagi para coviders, kami masih memiliki antibodi paling tidak untuk 2-3 bulan setelah kesembuhan. Demikian kata dokter dalam acara sharing session Agustus lalu. Karena itu, tes rapidnya akan reaktif.
Karena rapid reaktif, maka dokumen hasil tes tidak bisa digunakan sebagai Dokumen perjalanan di fase I normal baru. Karena itu harus PCR Swab test.
Perjalanan dinas saya kali ini, karena diundang oleh unit kerja sebelah ke lokasi yang saya sulit menolaknya: Lampung. Untuk promosi buku terbaru saya: MANTAP. Eh bukan ding, untuk berdiskusi terkait kartu tani.
Senin lalu saya mendaftar tes Swab. Dijadwalkan Rabu. Swab dilakukan di poli Swab yang di sebelah kamar jenazah. Ehem. Sekalian mengingat pemutus kenikmatan itu.
Hasilnya keluar pada Kamis siang. Alhamdulillah, hasil Negatif. Acara saya Jumat. Seharusnya saya berangkat kamis sore atau malam, kemudian lanjut ke Lampungnya Jumat pagi.
Tapi penerbangan ke Lampung Jumat pagi habis. Adanya siang. Jadi saya putuskan dari Surabaya Jumat pagi saja. Semoga masih ada waktu untuk diskusi.
Setiap konter meminta hasil itu. Sebelum masuk bandara dokumen hasil test di cek dan di stampel. Konter laporan kedatangan, mau masuk ruang tunggu, mau masuk pesawat, konter transit, semuanya.
Sebelum keluar bandara kami harus mengisi data di aplikasi e-HAC (Health Alert Card). Aplikasi untuk pencegahan penyebaran penyakit, khususnya Covid-19.
Mendapat di Lampung pukul 13.15 WIB. Sebelum keluar QR code dari e-HAC di pindai. Selesai cerita penerbangan pertama saya. Kemudian….
Dalam penerbangan selalu teringat meme yang dibagikan beberapa kali oleh kawan-kawan. Setiap menatap jendela.
Dimana rumah mewah yang dibanggakan itu? Mana mobil mewah yang harganya milyaran itu? Mana kebun yang luasnya hektaran itu? Mana pejabat yang berkedudukan tinggi itu? Meski saya belum memiliki rumah mewah, mobil mewah, ataupun ratusan hektar lahan, atau jabatan tinggi, tapi renungan itu selalu terngiang.
Bagi kita semua, mungkin pertanyaan yang umum: mana diri yang selalu merasa paling baik dan benar, sehingga berjalan dimuka bumi dengan sombong? Tidak nampak dari ketinggian 25.000 kaki.
” Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18)
(Wiyanto Sudarsono)