Konsep tulisan ini telah lama tersimpan di aplikasi catatan dalam gawai saya. Sejak Agustus 2020. Alhamdulillah tidak jadi fosil intelektual. Haha
Alhamdulillah sejak awal September saya memutuskan untuk kembali ke masjid lagi. Setelah lebih dari sebulan lamanya cukup salat #dirumahsaja. Pasca sembuh, isolasi mandiri dan ehm merasa kurang pede untuk berkumpul dengan jamaah lainnya.
Masjid kami, sebagaimana sebelumnya, setelah pelonggaran PSBB, tetap menjalankan protokol kesehatan dengan menyediakan pembersih tangan (hand sanitizer), tempat wudu otomatis, dan tentu saja, pemberian jarak fisik antarjamaah salat (Physical Distancing). Berjarak 1,5 meter antarjamaah dalam satu saf dan antara satu saf dengan saf berikutnya.
Jamaah di saf kedua tidak sejajar, atau tidak dibelakang persis jamaah di depannya. Tapi berada di belakang tengah antara jamaah kanan dan kiri di depannya. Membentuk segitiga. Agak repot menggambarkan dengan kata. Perhatikan gambar di atas saja.
Saya tidak selalu lima waktu berjamaah di masjid kami. Kadang bangun kesiangan saat subuh, kadang jamaah di kantor, kadang terlambat sehingga jamaah dengan keluarga di rumah. Semoga Allah mengampuni kami.
Sebar salam masih berjalan seperti biasa. Saling menyapa, tos, atau berjabat tangan ala wakanda. Bercanda sedikit dan saling goda saat bertemu The Coviders (penyintas Covid-19).
Makna Jarak
Saya memaknai pemberian jarak ini sebagai sarana belajar ikhlas. Jarak memberikan kesan, meski kita berjamaah di masjid, hakikatnya kita itu beribadah sendiri-sendiri kepada Sang Maha Pencipta. Kita akan dinilai secara individu. Karena itu kita harus ikhlas. Mirip dengan ujian bersama di satu ruangan.
Jarak mengajarkan bahwa baik jamaah maupun sendiri, kita tetap harus sama. Sama dalam kualitas dan ikhlas. Saya belum bisa sepenuhnya. Kita diajarkan jiga untuk fokus pada ibadah sendiri, baik ibadah individu maupun sosial.
Fokusnya adalah diri kita. Tidak butuh pujian. Tidak perlu mengomentari orang.
Jikalau salat wajib berjamaah itu bukan syariat yang ditekankan (banyak ulama yang mewajibkan bagi laki-laki), niscaya untuk saat pandemi ini lebih memilih shalat di rumah. Salat jamaah juga merupakan syiar agama karena itu tetap harus diperjuangkan, dan memiliki memiliki keutamaan.
Aktivitas di masjid juga secukupnya, datang, beribadah, dan pulang. Minim pertemuan dan belum ada majelis ilmu. Baru kemudian diadakan majelis ilmu bakda subuh. Jamaah relatif terbatas dan terkontrol pada waktu subuh.
Semoga kita tetap ikhlas dalam jamaah, khusyu dalam “kesendirian” menghadap Ar-Rahman.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).“
QS.Al-Bayyinah [98]:5
(Wiyanto Sudarsono)