Posted on Leave a comment

Kerabat

Sebagian orang menyebutnya Saudara. Yakni orang yang memiliki hubungan darah – keturunan-. KBBI Memaknai kerabat sebagai yang dekat (pertalian keluarga); keluarga atau anak saudara. Saya cek melalui aplikasi KBBI V.

Kerabat, berarti memiliki hubungan yang berkaitan dengan keturunan. Peranakan. Atau kaitannya dengan rahim. Itulah mengapa kita diperintahkan menyambung tali silaturahim. Atau silaturahmi. Dalam Bahasa Indonesia, yang baku adalah silaturahmi.

Menurunkan penjelasan Ustadz kami, Ustadz Ahmad Sabiq, Lc. Sebagian ulama, membatasi kerabat. Yang wajib disambung. Yang Wajib disilaturahmi. Yang dilarang untuk diputuskan tali silaturahminya. Batasannya adalah sampai 4 generasi. Jika masih bersambung 4 layer/generasi dalam silsilah keluarga, itulah kerabat. Jika sepupu (anak paman atau bibi), berarti kerabat dekat.

Kadang dengan kerabat atau bahkan saudara kandung ada perselisihan. Tapi, masing-masing kita harus belajar lapang dada. Padang atine. Jembar pikire. Jangan sempit atau cupet. Jika salah pun, jangan sungkan meminta maaf. Namanya juga saudara.

Kadang, saudara atau kerabat itu, jika tidak ada di cari. Jika ada dicubiti.

Foto : Istimewa

Semoga kita dengan Saudara atau Saudari kita selalu diberi kerukunan. Dengan kerabat kita senantiasa dikokohkan tali silaturahminya. Hanya kepada Yang Membolakbalikan Hati kita bermohon, Allah Subhanahu wa Ta’ala.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pilar Ketiga, Responsibility – Tanggung Jawab.

Seri Ketujuh, Serial Jualan dengan Karakter

Manusiawi. Setiap manusia memiliki tanggung jawab. Tanggung jawab diri sendiri. Hanya untuk dan berdampak bagi diri sendiri. Baik atau buruknya. Sukses atau gagalnya. Dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.

Tapi, sebagian tanggung jawab berkaitan dengan orang lain. Terlebih lagi seorang penjual. Kegagalan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab dapat mengganggu kinerja orang lain di dalam sistem. Karena itu ada pembagian tugas dan tanggung jawab. Setiap orang tinggal menjalankan hal tersebut.

Prinsip #7, Ikuti Prosedur, Disiplinkan Diri Kita

Sebelum mengikuti prosedur, sudahkah kita mengetahui prosedur dalam lingkup tugas dan tanggung jawab kita? Atau sudah adakah prosedur dalam kegiatan penjualan kita?

Ada kalanya, sering mungkin. Penjual menganggap prosedur itu hanya pekerjaan tambahan yang menambah beban. Perlu kita pahami bahwa, prosedur dibuat oleh perusahaan untuk mendukung pekerjaan yang dilakukan karyawan.

Misal, prosedur tentang : “apa saja yang harus dibawa oleh penjual saat kunjungan?”. Ini untuk kebaikan penjual. Apa jadinya jika penjual bertemu calon pelanggan dalam kondisi tidak bawa kartu nama, brosur ketinggalan, baterai HP atau gawai habis?

Dalam menjalankan prosedur dan kegiatan penjualan harus disiplin. Harus dipaksa di awal. Agar terbiasa. Perlu kesadaran pribadi. Hal pertama yang harus kita renungkan, adalah melakukan prosedur dan disiplin akan bermanfaat bagi kita, penjual.

Ada tips untuk membentuk sikap disiplin. Yakni menyediakan 1 jam dalam sehari, 5 jam seminggu. untuk satu aktivitas atau rencana penting. Semakin lama dilakukan, aktivitas penting ini jadi rutin. Bukan sekadarnya, jika ada waktu. Yang akhirnya tidak terlaksana.

Misal, 1 jam sehari kita sediakan untuk kontak pelanggan. Hubungi pelanggan lama kita. Mungkin hanya menyapa atau menyampaikan info. Seperti yang dilakukan salah satu Salesman Informa kepada saya. Ia rutin memberi info produk yang dijualnya.

Salesman Informa mengirimkan pesan melalui aplikasi WA. (foto : tangkapan layar – istimewa).

Awalnya mungkin agak memaksa diri. Seiring waktu, akan terbiasa. Lebih mudah sebenarnya di era sekarang. Banyak aplikasi untuk disiplin. Agenda, alarm, pengingat.

Kita sudah merasakan akibat tidak disiplin. Hari ini. Serial ini terbit terlambat. Karena saya tidak disiplin. Harusnya bangun jam 03.50 WIB. Tapi tidak disiplin. HP, alarm nya jauh, tidak terdengar. Kesiangan. Salat, bersiap, dll, terlambat. Menulisnya pun jadi siang. Ketabrak rapat. Makin siang terbitnya. Karena tidak disiplin.

Penjual dituntut bertanggung jawab terhadap tugas dan pekerjaan. Sesuai prosedur. Disiplin terhadap dirinya. Ini untuk kebaikan bersama. Pelanggan, mitra kerja, perusahaan, dan penjual itu sendiri. Saya pun masih terus belajar dalam hal ini.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Hospitality Online – Keramahan Daring

Keramah tamahan ternyata tidak hanya dapat diperlihatkan dari bahasa tubuh. Dan bahasa lisan, tentunya. Keramah tamahan, hospitality, dapat ditunjukkan melalui bahasa tulisan, dan interaktif, melalui media online.

Beberapa waktu lalu saya merasakannya. Salah satu Unicorn di Indonesia, satu dari 2 calon decacorn. Traveloka. Memberikan pelayanan yang luar biasa. Meski, saya belum bisa memberinya penilaian sebagai pelayanan yang sempurna. Karena sulit mencapai level sempurna. Dalam hal apapun. Terutama dalam layanan.

Singkat ceritanya begini. Saya memesan Hotel Amaris di dekat Bandara Soetta. Melalui aplikasi Traveloka. Setelah saya bayar, ternyata voucher tidak keluar. Beberapa saat, muncul pesan di kotak pesan aplikasi Traveloka. Mengenai kondisi ini. Ternyata, tepat setelah saya bayar, kamar penuh, sebelumnya sisa satu.

Oleh Traveloka, saya ditawari dua pilihan : #1. Dipindahkan ke FM7 Resort Hotel (****). Tanpa tambahan biaya. Padahal sebelumnya saya sudah cek, hampir 2 kali lipat dibandingkan Hotel Amaris. #2. Uang dikembalikan, saya diminta menyebutkan nomor rekening.

Saya hanya konfirmasi ke melalui pesan di Traveloka lho. Karena ternyata Traveloka menelepon saya tapi tidak terangkat. Pesan diterima service officer. Ada namanya. Komunikasinya enak. Terstandar. Ragam bahasa tulis memang lebih mudah distandarkan. Dibanding bahasa lisan. Terlebih komunikasi tatap muka. Yang dipengaruhi lebih banyak faktor. Pilihan kata, intonasi, posisi tubuh. Namun, tidak demikian dengan bahasa tulis. Lebih sederhana. Cukup pilihan kata saja. Kecepatan mengetik, mungkin.

Selain kemudahan, yang tampak adalah kejelasan batas waktu layanan. Ini, kasus saya, membutuhkan waktu paling lama 10 menit. Pembatalan pesanan akan di lakukan dalam waktu 30 – 40 menit. Begitu presisi.

Pelayanan bisnis jasa, dipadukan dengan teknologi, memang benar-benar mantap. Ah, semoga kita di sektor manufaktur dan penjualan barang, pupuk, bisa mendekati pelayanan mereka.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pilar Respek (3), Konsultan

Seri Keenam, Serial Jualan dengan Karakter

Zaman sekarang, pelanggan bisa mencari informasi hanya menggunakan jarinya. Dan gawai tentunya. Lalu, apakah Sales Person – Penjual – masih diperlukan?

Bahkan di sinilah peran Penjual. Yang baik dan benar. Penjual bertugas mengarahkan informasi dan pilihan, agar tidak tersesat di jutaan informasi yang berseliweran.

Prinsip #6, Pandu Pelanggan, Biarkan Mereka yang Putuskan.

Tugas penjual adalah memberi penjelasan. Menjawab pertanyaan pelanggan. Dan sekaligus memberikan keleluasaan pelanggan untuk memutuskan.

Penjual adalah pendamping, pengarah, dan konsultan bagi pelanggan. Bukan zamannya lagi penjual mendikte pelanggan. Penjual hanya memberikan panduan kepada pelanggan. Agar tidak terjebak dalam lautan pilihan. Penjual juga harus menghargai pilihan pribadi pelanggan.

Apalagi di pasar ritel. Pasar ritel adalah pasar layanan. Produk plus layanan. Pelayanan sifatnya personal. Maka person, individu pelanggan, adalah penting. Individu itu unik. Spesifik. Sehingga detail layanan adalah penting.

Penjual pupuk itu seperti Ahli Gizi. Penjual pestisida itu seperti apoteker. Ahli gizi dan apoteker anak. Mirip. Karena yang berkonsultasi orang tuanya -Petani-. Yang diberi nutrisi dan obat adalah anaknya – tanaman-.

Penjual Pupuk dan Penjual Pestisida harus paham. Kandungan hara dan bahan aktif. Manfaatnya. Dan kondisi pasien, eh tanaman. Dan kondisi petaninya. Sehingga rekomendasinya pas.

Foto : Penjual (paling kiri) menerima konsultasi dengan pelanggan, Petani.

Saya membayangkan kita memiliki penjual yang berperan sebagai konsultan pertanian. Menjadwalkan kunjungan – rutin- ke kios dan membukan klinik yang menerima konsultasi pertanian. Pasiennya eh pelanggannya adalah para petani di wilayah kerja kios tersebut. Yang berkonsultasi terkait anak asuhnya yang berupa tanaman budi daya. Bisa sambil ngopi atau ngeteh.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Hari Santri, Putih, dan Persatuan

Toko baju muslim dikunjungi banyak orang. Ibu dan anaknyi. Ayah dengan anaknya. Ayah dan ibu bersama putra dan atau putrinya. Malam tadi. Misinya sama. Mencari dan membeli baju putih. Baju muslim atau muslimah. Koko atau baju takwa. Atau gaun panjang.

“Besok hari santri.” kata salah satu ibu di sebuah toko baju muslim. “Ada instruksi Ibu gubernur.” katanyi. “Harus putih. Anak sekolah, guru, dan ASN.” Penjaga toko menjelaskan. “Bahkan ada imbauan mengheningkan cipta. Selama 1 menit.” imbuhnyi. Pada pukul 08.00 WIB. Mengheningkan cipta selama semenit. Sesuai Surat edaran Gubernur Jatim. Setelah saya mencari di internet.

Foto : Santri berangkat mengenakan seragam koko putih (istimewa).

Hari santri, 22 Oktober. Memperingati hari difatwakannya resolusi jihad oleh Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari. Yang mengatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan bangsa adalah fardhu ‘ain, kewajiban setiap individu muslim.

Santri. Orang yang mendalami agama islam. Demikian makna dalam KBBI. Berarti, seharusnya, setiap individu muslim adalah santri. Bukankah mendalami, belajar, mempelajari ilmu agama wajib bagi setiap Muslim? Wajib sampai meninggal dunia.

Putih. Warna dasar yang serupa dengan warna kapas. Murni, suci, tidak ternoda. Demikian makna putih. Menunjukan kemurnian cita-cita tulus ikhlas.

Foto : Santri tiba di lokasi belajar (Istimewa)

Hari Santri, berseragam baju putih. Seragam, sama. Diharapkan, kaum muslimin ikhlas (putih) , satu visi dan bersatu (sama). Tidak hanya fisik. Tidak hanya seragam. Apapun warna kulit dan bentuk rambutnya. Bersatu dalam keragaman.

Satu visi di hati, pikiran, dan amal perbuatan. Visi memerdekakan diri, dalam tauhid. Merdeka dan bersatu dengan tauhid. Dalam ibadah, hanya kepada dan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak dijajah pula oleh harta, oleh jabatan, atau oleh dunia. Seperti beberapa ingatan saya terhadap kajian subuh pagi ini. Mencoba mengingat materi kajian tafsir Ba’da subuh. Mendengarkan sembar bertarung dengan rasa kantuk. Semoga bisa merdeka. Merdeka dari kantuk saat belajar ilmu. Bismillah.

Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita dan semoga kita termasuk orang-orang yang mempelajari dan mengamalkan ilmu.

(Wiyanto Sudarsono).

Posted on Leave a comment

Pilar Respek (2), Membaur

Seri kelima dari Serial Jualan dengan Karakter

Prinsip #5, Jadilah Inklusif, Rayakan Keberagaman

Inklusif lawan dari eksklusif. Eksklusif bersifat khusus. Spesial. Terpisah dari yang lain. Penjual tidak eksklusif. Tapi Inklusif. Dalam bergaul. Dalam cara pandang. Pun dalam memandang calon pelanggan. Penjual harus mampu membaur.

Penjual tidak boleh membedakan calon pelanggan. Atau orang-orang yang terkait dengan pelanggan. Ini orang penting, oh ini biasa saja. Bisa jadi, orang yang kita anggap biasa tapi lebih berguna bagi proses penjualan kita.

Pernah seseorang menceritakan kepada saya. Ia berhasil dalam intelijen pasar, dan mendapatkan pelanggan korporasi, karena hubungan baiknya dengan seseorang dalam perusahaan. Bukan pemiliknya. Buka direkturnya. Tapi dengan office boy. Tukang fotokopi. Banyak informasi yang ia dapat darinya. Sebulan sekali ia mengajak office boy tersebut pulang kampung bareng. Setelah sebelumnya mengobrol, ternyata dari kabupaten yang sama.

Penjual sukses tadi tidak pilih-pilih dalam bergaul. Dalam berbincang. Bisa jadi pemilik. Isteri atau suami dan anak-anaknya. Atau karyawannya. Atau sopirnya. Atau tukang bersih-bersihnya.

Mentor saya pernah menasihatkan, lebih pada instruksi sih. Bahwa kami harus tahu nama pemilik kios, nama istrinya, anak-anaknya, dan ulang tahun mereka. Serta ulang tahun pernikahan mereka. Oh… kami pikir. Ternyata itu berguna. Untuk membuat pelanggan terkesan, secara emosional. Perhatikan pula foto yang ia atau dia pasang. Ada bahan di sana.

Bahkan ada cerita, seorang penjual pada kunjungan pertama bertemu 10 karyawan dari perusahaan calon pelanggan. Berbagai level. Pertemuan kedua, dia menyapa 10 karyawan tersebut. Dengan nama mereka masing-masing. Mereka terkesan. WOW. Kunjungan ketiga, dia berhasil closing dengan perusahaan tersebut.

Mengingat nama adalah hal sederhana. Namun, tidak semua penjual punya “cukup waktu” melakukannya. Tapi saat ini, harusnya, dengan bantuan teknologi, kita bisa menuliskan kontak. Mencari di media sosial. Terkait dengan pelanggan dan orang-orangnya.

Pahami latar belakang budaya pelanggan. Karena pelanggan kita sangat beragam. Di Jawa saja, ada Sunda sampai Osing. Apalagi di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Tapi, tidak perlu terlalu detail, secukupnya saja, karena kita buka budayawan, antropolog. Kita seorang Salesperson.

Istilah setempat perlu tahu, makanan khas, tradisi, dll. Untuk bumbu obrolan.

Poinnya kita harus membaur. Memahami keragaman. Bahasa kerennya celebrate diversity, merayakan keragaman. Prinsip utamanya adalah persepsi. Jangan membedakan orang berdasarkan warna kulit, warna dan bentuk rambut, agama, suku. Samakan dalam pelayanan, dan pahami untuk memberikan pelayanan yang lebih baik.

Jika kita mampu memahami dan menyesuaikan diri, berarti main kita sudah jauh, tidur kita sudah cukup malam, dan kopi kita sudah cukup kental.

(Wiyanto Sudarsono).

Maklumat :

Seluruh Serial Jualan dengan Karakter diambil dari Buku “Selling With Character” Karya Hermawan Kertajaya dan Ardhi Ridwansyah, Terbitan PT Gramedia Pustaka utama Cetakan Kedua, 2012. Dengan penyesuaian gaya penuturan dan cerita.

Posted on Leave a comment

Pilar Kedua, Respect – Menghargai

Seri Keempat dari Serial Jualan dengan Karakter

Sebagaimana kita, orang lain juga ingin dihargai. Rekan, atasan, anggota tim, Distributor, Pengecer, dan pelanggan – Petani-. Semua wajib kita hargai. Semua hendaknya diberikan pelayanan yang sama. Sama baiknya. Dan penghargaan yang sama. Sama-sama dihargai.

Prinsip #4, Hargai Pesaing, Jadilah Penjual yang Beradab

Menghargai pelanggan dan orang-orang yang saya sebutkan di atas, wajib dan sudah seharusnya. Menghargai kompetitor, pesaing, itu baru istimewa.

Sekitar sebulan lalu, bulan September, ada kejadian menarik. Jika tidak bisa dibilang menghebohkan. Di dunia makanan cepat saji. Di beberapa negara, Burger King menghentikan penjualan Whooper, burger andalan mereka. Sehari penuh. Melalui kampanye “A Day Without Whooper“. Sehari tanpa Whooper. Dan meminta pelanggan mereka membeli BigMac. Burger andalan dari McDonald’s. Saingan Burger King.

Foto : behance.net

Burger King melakukan itu guna mendukung dan menghargai McD yang sedang melakukan penggalangan dana untuk Kanker. Yang menyumbangkan 2 USD dari setiap penjualan BigMac.

Ada juga kisah Al-Baik, restoran ayam goreng di Timur Tengah yang membantu pesaingnya membangun gerai.

Kita mungkin tidak harus “berkorban” sampai sejauh itu. Namun cerita-cerita penghargaan terhadap Pesaing dan penghargaan terhadap orang lain, memberikan pelajaran kepada kita. Dalam menjual, dalam memasarkan, perlu ada adab dan perhargaan kepada orang lain. Pesaing sekalipun. Disitu kita bisa melihat seberapa beradab kita.

Apakah kita akan percaya kepada orang yang suka membicarakan kejelekan orang lain? Jangan-jangan dia juga membicarakan kejelekan kita di depan orang lain. Menjelekan Pesaing, hanya akan menjatuhkan martabat kita di depan pelanggan.

Hargai Pesaing, dan pelanggan akan lebih menghargai kita. Dengan penghargaan yang lebih baik.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Tahun Baru

Saat ini masih pertengahan Oktober. Masih 2,5 bulan lagi, tahun baru. Tahun baru masehi. Ternyata sudah ada yang bersiap. Mempersiapkan pergantian tahun. Menyediakan apa yang akan berguna selama tahun depan. Jika umur memungkinkan.

Perusahaan menyiapkan rencana kerja dan anggaran perusahaan. Rencana biaya. Rencana pendapatan. Program kerja. Dan proyeksi laba. Mungkin sudah tahap finalisasi.

Pedagang juga tidak kalah heboh. Mulai menjajakan, menawarkan barang. Yang dibutuhkan di tahun depan. Selama setahun. Menjual investasi kecil. Yang jika terlambat akan mubazir. Kalender. Sebagian kita menyebutnya tanggalan.
Ya, mereka mulai menjual kalender untuk tahun depan.

Orang pemasaran –dan penjualan– pun harusnya demikian. Mulai mendistribusikan kalender tahun depan yang telah dicetak. Agar dapat dibagikan sebelum tahun ini berakhir. Karena seingat saya, tahun depan, awal tahun dimulai tanggal 1 Januari. Bukan 1 Februari. Bukan pula 1 Maret atau 1 April.

Kalender yang isinya kampanye perusahaan atau produk dan brand-nya. Dengan kalender yang dibagikan, dan dipasang di rumah atau toko pelanggan, ada harapan. Brand diingat, melekat di benak pelanggan. Dibeli dan digunakan.

Karena itu, pencetakan, pendistribusian, dan pembagian kalender tidak boleh terlambat. Hingga kehilangan momen. Diterima oleh pelanggan di bulan Maret atau April. Yang membuat kalender hanya berakhir sebagai bungkus paket saat pengiriman barang. Atau alas baju dilemari. Atau penutup tembok di dapur. Sayang.

(Wiyanto Sudarsono).

Posted on Leave a comment

Ganti Kulit

Sungguh sempurna Allah mencipta. Jika terkadang kita anggap ada yang kurang, pasti ada hikmahnya.

Seperti kulit pohon trembesi. Setahu saya namanya trembesi. Kulitnya menua. Katanya, pohon itu menyerap polusi di udara.

Saat kulitnya menua, rayap menaikinya. Memakan kulitnya. Kulit yang tua. Sehingga kulit mudanya tampak.

Rayap. Sebagai hal eksternal bagi trembesi. Bahkan menjadi musuh bagi kebanyakan hal-hal terkait perkayuan. Namun, kali ini menjadi pembantu bagi trembesi dalam meremajakan kulitnya. Membantu ganti kulit.

Terkadang, sesuatu yang kita anggap gangguan, sering kali dari luar, adalah hal membantu kita. Membantu jadi lebih baik. Memotivasi kita berubah. Jadi lebih baik.

Semoga menjadi pelajaran.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Levi’s Pertamaku

Cerita tentang penampilan

Peringatan :
Jika Anda bukan pembaca yang menikmati aliran cerita, silakan lompat ke paragraf 4.

Levi’s atau kami di desa dulu menyebutnya lepis. Yang kemudian saya ketahui bahwa itu adalah merek, brand. Untuk pakaian, khususnya celana, dari bahan Denim atau jins –Jeans–. Jangan-jangan jeans pun merek. Saya tidak tahu pastinya. Karena begitu kuatnya kekuatan merek itu. Menjadikannya seolah-olah merepresentasikan jenis produk yang di beri merek Levi’s. Seperti Aqua untuk AMDK dan Odol untuk pasta gigi.

Alhamdulillah, akhirnya pada suatu malam, tepatnya Rabu malam Kamis, saya berhasil membeli lepis pertama saya. Eh jins dengan merek Levi’s. Saya harus berterima kasih kepada dua sahabat saya (Bung Sukodim dan Bung Rohandi), yang mendorong saya untuk melakukan eksekusi pembelian Levi’s pertama saya. 505 Stretch. Setelah ragu-ragu beberapa lama. Yang saya pakai pertama kali pada Rabu, seminggu kemudian. Di acara pembinaan kios, komitmen tertib HET dan Administrasi Kios di Kediri. Setelah dipotong bagian bawahnya pada hari Ahad sebelumnya. Di Icon Mall. Mal terbesar di Gresik.

Malam itu, saya mengurungkan untuk membeli sepatu sport. Namun, seminggu kemudian saya membeli sepatu lapang Anaconda seri 2.5 di gerai Eiger. Dia – isteri saya- menilai tipe ini pas dan cocok bagi saya sebagai penggemar celana dengan potongan di atas mata kaki. Saya patut berterima kasih kepadanyi (“-nyi” adalah akhiran pengganti “-nya” untuk perempuan) yang mensupport, bahkan ketika saya menampakkan sikap yang sensitif terhadap harga.

Foto : Istimewa

Belakangan ini, saya sedang memikirkan untuk melakukan “grooming“, dandan, memperbaiki penampilan. Ketika bertemu pelanggan. Agar lebih sesuai. Sesuai ungkapan yang pernah dinasihatkan kepada saya. Oleh adik perempuan saya. Ajining diri ono ini busono, eh salah. Ajining diri ono ing lati, ajining rogo ono ing busono. Kualitas diri ada di perkataan, kualitas raga ada di pakaian. Kira-kira begitu.

Angan-angan saya melambung pada pertanyaan, “penampilan seperti apa yang pas bagi seseorang yang berkecimpung di dunia penjualan saprodi pertanian?” Sales pertanian. Ketika di lapang, bertemu petani dan Kios. ketika ke kantor pemerintahan, ke Distributor. Ke pelanggan B2B.

Saya mendapati benchmark-nya, pembanding yang menarik. Salah satu brosur produk pupuk dengan merek yang kuat, menampakkan beberapa tampilan Salesman mereka. Di media online. Kaos polo dengan logo perusahaan di dada kiri. Sederhana. Bukan baju spanduk dengan berbagai merek yang melekat. Celana jins, jam tangan lapang, sepatu lapang, rambut rapi, sedang menunjukan tablet-nya kepada petani, di lahan pertanian. Terlihat profesional. Kualitasnya, ditentukan apa yang dikatakan dan dihasilkan di lahan pertanian.

Pun, para salesman, eh banker dari perusahaan jasa keuangan. Pakaian mereka mirip. Pakaian lapang. Ketika menemui pelanggan funding, pendanaan, umumnya para kios-kios prancangan, kelontong. 3 hari dari 5 hari kerja. Itu pakaian mereka.

Berbeda jika bertemu pelanggan B2B, mereka berdasi. Untuk produk seperti payroll, penggajian, dan pembiayaan besar.

Grooming atau dandanan yang terstandardisasi, bagi seorang Salesman, menurut saya adalah hal yang penting. Menjadi penarik bagi pelanggan. Apakah anda pernah bertemu dengan sales yang dilihat saja tidak enak? Bukan soal ganteng atau cantik, tapi bagaimana menunjukan diri ke pelanggan.

Ternyata grooming ini, menjadi hal yang dibahas dalam sales force management. Paling tidak, demikian yang saya ketahui dari diskusi dengan konsultan pemasaran terkemuka di Indonesia.

Salah satu hal terpenting, dari tips pendekatan konsumen yang sukses adalah berpenampilan yang sesuai dan menarik bagi pelanggan. Menarik dalam arti yang positif.

Jadi, selamat ber-grooming.

(Wiyanto Sudarsono)