Posted on Leave a comment

Ikatlah Pembicaraan

Seri-7, Mendengarkan untuk Melayani

Mencatat Pembicaraan (www.pexels.com)

Pada diskusi kita sebelumnya, disampaikan bahwa mendengarkan adalah kegiatan aktif. Melibatkan seluruh anggota tubuh dan pikiran. Termasuk indra peraba.

Setelah menangkap inti pembicaraan, kita dapat mencatat poin pentingnya. Mencatat adalah cara pas untuk membantu kita menangkap maksud pembicara atau kawan dialog kita. Apalagi pembicaraan via telepon, panggilan video atau aplikasi rapat. Kita memiliki keterbatasan untuk mengkonfirmasi.

Poin yang perlu dicatat adalah apa yang penting untuk kita tanyakan atau kita tanggapi. Apa yang perlu kita konfirmasi, perjelas, atau kita sanggah. Namun, jangan dulu memikirkan respon yang akan kita berikan. Catat dulu, karena ada pembicaraan yang masih perlu kita dengarkan.

Manfaat terbesar membuat catatan adalah kita mengurangi kelupaan saat ingin bertanya. Dan mengurangi kehilangan hal muskil yang perlu kita jelaskan, tanggapi dan beri solusi. Kita bisa maksimal merespons pembicaraan, atau maksimal dalam mendapatkan pemahaman.

Sangat lucu, sebagai penjual atau pemasar, kita lupa saat petani mengeluhkan tentang hama. Kita terlewat nama apa yang menyerang. Tanaman apa yang diserang. Kapan serangan. Sudah berapa lama. Sehingga kita perlu meminta petani mengulang. Menjengkelkan.

Terlebih dialog (pembicaraan dua orang). Mencatat akan memberikan kesan berarti. Bahwa kita benar-benar memperhatikan isi pembicaraan. Dan kita memang mencatat, bukan pura-pura mencatat.

Lebih penting lagu jika kita mendengarkan ilmu. Ilmu agama, ilmu pemasaran, ilmu peningkatan kompetensi. Mencatat adalah hal wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قيِّدُوا العِلمَ بالكِتابِ
Jagalah ilmu dengan menulis.” (Shahih Al-Jami’, No.4434)

Saya lebih senang mencatat dengan buku atau stylus pen (jika ada). Dibandingkan mencatat dengan mengetik di gawai. Mengetik menggunakan gawai di depan pembicara, memberikan dua pandangan. Serius mencatat atau membalas pesan, artinya tidak mendengarkan dan tidak menghargai pembicara (phubbing – phone snubbing).

Apalagi saat mengetik di gawai, terpencet status WA kawan, notifikasi IG atau Tiktok. Bisa buyar dan mangkel itu prospect kita.
(WS)

Posted on Leave a comment

Menangkap Inti

Seri-6, Mendengarkan untuk Melayani

Menangkap inti pembicaraan. Bukan memilih apa yang ingin didengarkan. Pendengar yang terampil ia mendengarkan lebih banyak dari lawan bicara. Namun mampu membedakan mana inti dan mana bukan.

Ini tidak mudah. Bagi saya ini sangat tidak mudah. Banyak pengganggu untuk menangkap inti pembicaraan.

Kunci utamanya adalah memperhatikan ciri inti pembicaraan. Awal kata atau kalimat pembuka menjadi ciri utama. Seperti beberapa kalimat berikut:


“Mumpung ketemu Mas, saya ingin menyampaikan kondisi pertanaman cabai saya, sudah 30 hari tapi masih…… “
“Pertemuan kelompok tani kali ini, saya ingin menyampaikan perubahan peraturan…….. “
“Poin utama pembicaraan kita adalah……”
“Ada empat poin utama rapat kerja koperasi tani kali ini….. “
“Sebelum saya akhiri kesempatan bicara kali ini, saya ingin mengingatkan…… “
Dan kalimat serupa lainnya.

Kalimat itu tidak hanya muncul di awal. Atau di akhir pembicaraan. Namun bisa jadi ditengah. Di sela-sela penyampaian, penjelasan, contoh atau perkataan lainnya. Namun jika diawali dengan kalimat atau frasa itu maka layak mendapat perhatian.

Pendengar yang terampil mesti jeli. Tidak terlena dengan panjangnya penjelasan, atau lalai dari esensi pembicaraan.
(WS)

Posted on Leave a comment

Biru Asik

Aplikasi pesan singkat WhatsApp (WA) mengajarkan saya tentang fairness. Keadilan dalam berpikir dan bersikap.

“Laporan dibaca (Read reciepts)” Adalah fitur yang saya maksud. Jika opsi ini dimatikan, Anda tidak dapat mengirim atau menerima Laporan dibaca. Laporan dibaca dikirim untuk chat grup. Di grup kita seperti ngobrol bareng di kedai kopi.

Fitur ini hidup ditandai dengan centang “biru dua”. Jika pesan terkirim dan sudah dibaca. Jika dimatikan, hanya centang dua jika terkirim. Tidak berwarna biru. Sehingga tidak tahu sudah dibaca atau belum.

Adil atau wajarnya adalah jika kita mematikan fitur ini, kita tidak akan ditandai sudah membaca pesan atau belum. Juga, pesan kita otomatis tidak akan ditandai sudah dibaca atau belum. Sama-sama. Tidak ingin terlihat, maka tidak bisa melihat.

Mungkin fitur ini untuk melindungi privasi atau sikap kita. Terkadang, memang sulit menanggapi suatu pesan. Karena sulit atau tidak sempat. Atau tidak ingin menyakit: sudah baca kok tidak balas. Sehingga kita tidak mau diketahui status sudah membaca atau belum.

Asiknya kita dapat mematikan fitur ini. Seolah kita berkata: “Saya tidak menanggapi bisa jadi karena saya belum baca”. Dan demikian pula sebaliknya.

Saya pribadi senang berkomunikasi via WA dengan lawan bicara yang mengaktifkan fitur “Laporan dibaca” alias centang biru. Saya berterima kasih. Saya memaknai komunikan (Rekan WA) yang bercentang biru dengan “saya siap berkomunitas dua arah. Anda tahu saya sudah baca WA Anda, demikian pula saya tahu jika pesan saya telah sampai.”. Masalah membalas atau tidak itu yang kedua. Bisa karena tidak perlu dibalas. Belum punya balasan. Atau karena terlewat, terlupa, dan siap diingatkan.

Terlebih bagi personel pemasaran. Ada kompetensi customer focus. Yang berguna untuk menerapkan layanan yang bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan dan organisasi.

Saya pernah dengan sengaja memberi apresiasi dengan rekan/kontak WA baru:
“Oh iya, saya sampaikan apresiasi karena Mbak mengaktifkan centang biru di WA. Bagi saya itu berharga dan berarti. Artinya siap berkomunikasi dua arah.” Tulis saya.

Saya juga sampaikan terima kasih kepada kawan-kawan yang mengaktifkan centang biru. Tentu dengan tetap menghargai pilihan bagi kawan yang menonaktifkan itu.

Centang biru dua bagi saya mungkin bermakna positif yang dinanti. Seperti garis dua dalam testpack. Ditunggu pasutri yang menantikannya.

(WS)

Posted on Leave a comment

Menjadi Pendengar yang Terampil

Seri-5, Mendengarkan untuk Melayani

Saya sepakat dengan memasukkan “mendengarkan” sebagai sebuah ketrampilan. Bukan anugerah yang didapat begitu saja. Namun didapat dengan usaha, dan terus saja atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, ketrampilan mendengarkan bisa dilatih. Bisa diasah. Bisa ditingkatkan. Asal mau.

Seperti ketrampilan lainnya: membaca, menulis, mengemudi, mendengarkan perlu latihan dan pembiasaan. Saya senang menganalogikan semua ketrampilan seperti mengemudi mobil. Kita bisa mengemudi karena belajar, berlatih, dan mempraktikkan dengan lebih sering.

Tidak ada kaitannya dengan bakat. Kita tidak akan mengatakan kepada orang yang bisa mengemudi: “oh kamu bakat mengemudi“.

Menjadi pendengar yang terampil perlu belajar mendengarkan. Berlatih mendengarkan. Mempraktikkan mendengarkan di berbagai kesempatan berbincang ataupun aktivitas mendengarkan lainnya. Saya pun masih belajar. Ternyata tidak mudah, tapi bisa. Terlebih bagi saya yang memang ekstrover dan tidak segan mengeluarkan suara.

Ada beberpa poin penting yang saya pelajari dalam ketrampilan mendengarkan. Dan ini perlu mendapatkan perhatian serius.
1. Diam, fokus, dan memasang telinga lebar-lebar saat orang sedang berbicara.
2. Menangkap inti pembicaraan.
3. Mencatat atau mengingat poin-poin penting.
4. Melontarkan pertanyaan yang menggugah lawan bicara.

Jika berbicara itu ibarat perak, maka diam ibarat emas
(WS)

Posted on Leave a comment

Mengapa Mendengarkan?

Seri-4, Mendengarkan untuk Melayani

Mengapa kita mendengarkan? Pertanyaan yang mungkin tak perlu jawaban. Alami kita membutuhkannya. Sebagai makhluk sosial dan hubungan membutuhkan-dibutuhkan orang lain, membuat kita merasa tidak perlu mencari banyak alasan dan jawaban pertanyaan itu.

Terkadang, pertanyaan ini mungkin akan menarik jika coba dijawab, ditulis dan direnungkan dengan baik. Terlebih bagi kita di dunia penjualan sektor pertanian.

Mengapa kita harus mendengarkan pelanggan? Atau apa yang membuat kita ingin mendengarkan secara serius yang dikatakan pelanggan? Jawaban yang mungkin muncul:
1. Ingin mengetahui kondisi terbaru pelanggan. Bisnisnya, pertanamannya, teknologi baru yang diterapkannya. Permasalahan yang dihadapinya.
2. Ingin mengetahui dan memastikan pengetahuan pelanggan. Tentang produk, tentang pesaing. Cara penggunaan produk.
3. Minat, perhatian, dan kebutuhan kepada pelanggan karena seperti kawan..
4. Membangun hubungan yang tidak sekedar transaksional. Hubungan yang manusiawi.
5. Mungkin juga karena takut kehilangan pelanggan.

Semakin penting balasan kita untuk mendengarkan, semakin serius kita akan mendengarkan. Dan kita harus hati-hati dengan jebakan kepentingan dalam mendengarkan.

Jika yang bicara adalah pelanggan dengan transaksi milyaran kita akan mendengarkan dengan saksama. Jika yang datang adalah calon pelanggan, yang sekilas tidak berpengalaman, kita tidak serius mendengarkan. Terkadang disambi membalas pesan singkat.
(WS)

Posted on 3 Comments

Mendengarkan Pekerjaan

Seri-3, Mendengarkan untuk Melayani

Bagi orang penjualan, mendengarkan adalah kemampuan utama yang paling asasi. Dengannya, penjual tahu kebutuhan pelanggan.

Mendengarkan, menjadi lebih penting lagi ketika kita harus berbicara sebagai tanggapan atas penyampaian lawan bicara. Sangat aneh ketika pelanggan mengeluhkan serangan hama, kita tanggapi dengan pemupukan berimbang.

Bagi orang dewasa dan bekerja, ketrampilan mendengarkan menjadi sangat penting. Proporsi mendengarkan bagi orang dewasa adalah 42% dari total waktu komunikasinya. Demikian menurut salah satu penelitian. Alokasi waktu ini lebih  besar dibandingkan berbicara (32%), membaca dan menulis (masing-masing 15% dan 11%). (Terampil Mendengarkan, Hal. 22).

Kita tentu sepakat bahwa pelanggan adalah kawan. Kawan akan senang didengarkan. Tidak sekedar mendengar pasif. Tapi mendengarkan secara tulus dan aktif.

Dalam pengembangan kompetensi penjual, mendengarkan adalah kuncinya. Proses Coaching. Penilaian kinerja. Dan mungkin perlu diuji juga kompetensi mendengarkan kita.

Untuk pekerjaan dan layanan yang lebih baik, para penjual harus belajar. Dan tidak bisa belajar, jika tidak mau mendengarkan.

(WS)

Posted on Leave a comment

Mendengar atau Mendengarkan?

Seri-2, Mendengar untuk Melayani

Mendengar adalah aktivitas menerima suara atau informasi berupa gelombang bunyi melalui indra pendengaran. Kita, menangkap sebuah pembicaraan menggunakan telinga. Disengaja ataupun tidak. Bahkan termasuk mendengar pembicaraan dari diri kita sendiri.

Mendengarkan lebih dalam dan lebih aktif dibanding mendengar. Melibatkan perhatian serius terhadap perkataan lawan bicara. Melibatkan seluruh anggota tubuh dan pikiran. Serta bukan suatu kepura-puraan atau dibuat-buat.

Mendengarkan, mengesampingkan gangguan yang ada di sekitar. Bahkan gangguan yang disebabkan oleh pikiran dan keinginan diri. Seperti keinginan mendengarkan hanya yang kita sukai. Atau hanya mendengarkan hal yang kita cari celah kesalahannya. Atau pikiran yang bermain karena hasrat untuk segera menanggapi.

Saya lebih sepakat mendekatkan makna mendengar dengan hearing. Sedangkan mendengarkan dengan listening. Itu mengapa ada listening skill, bukan hearing skill. Keduanya terdapat perbedaan dalam keseriusan menangkap informasi.

Pembedaan mendengar (hearing) dengan mendengarkan (listening) memberi pemahaman kepada saya: Mengapa aspirasi rakyat sering dinikai tidak sampai. Mungkin karena biasanya aktivitas yang dilakukan adalah hearing. Bukan listening. Rapat mendengar pendapat. Bukan rapat mendengarkan pendapat.

(WS)

Posted on Leave a comment

Mendengar vs Mendengarkan

Seri-1, Mendengar untuk Melayani

Mendengar atau mendengarkan?

Tampaknya sama. Namun berbeda. Sama-sama menggunakan telinga, namun dengan hasil yang tak sama.

Saya memiliki ilustrasi. Yang mungkin akan membantu kita membedakan kedua aktivitas ini.

Ilustrasi Pertama – Mendengar


Di warung kopi pinggir sawah. Terjadi obrolan singkat antara petani dengan seorang salesman pupuk. Di sela-sela aktivitas panen petani.


Petani: Panen padi kali ini alhamdulillah ‘alaa kulli haal, hanya 5 ton. Di awal musim tanam pupuk tidak ada. Baru ada di umur ……tuuut……… Telat. Air ……..wkwkwkwkwk……..wereng ……tiiiiit……….. hari. Juga ada ………..twitwitwit…… Semoga pupuk di musim tanam besok bisa tersedia.

Salesman: semoga depan selain penyediaan pupuk lebih awal. Saya janji.

Perkataan petani terpotong-potong. Ini di sisi pendengaran dan pikiran Salesman. Karena ia seorang Salesman Pupuk, ia hanya ingin mendengarkan soal pupuk. Setelah mendengar, pikirannya berputar, menyiapkan jawabannya. Salesman di ilustrasi pertama ini hanya MENDENGAR.

Ilustrasi kedua – Mendengarkan

Di warung kopi pinggir sawah. Terjadi obrolan singkat antara petani dengan seorang salesman pupuk. Di sela-sela aktivitas panen petani.

Petani: Panen padi kali ini alhamdulillah ‘alaa kulli haal, hanya 5 ton. Di awal musim tanam pupuk tidak ada. Baru ada di umur 30 HST (hari setelah tanam). Telat. Air juga relatif terbatas. Ada serangan wereng coklat pada umur 55 hari. Juga ada sedikit serangan tikus menjelang panen. Semoga pupuk di musim tanam besok bisa tersedia lebih awal.

Salesman: Alhamdulillah Pak. Saya mohon maaf karena sempat ada kendala distribusi pupuk. Ke depan selain penyediaan pupuk lebih awal, saya akan usahakan mengajak kawan dari pestisida untuk lakukan pemantauan melalui kegiatan Siaga Wereng. Juga gropyokan tikus. Saya mohon dikabari Pak jika kumpulan P3A (Perkumpulan Petani Penggunaan Air) siapa tahu ada program yang bisa kami bantu lewat CSR kami.

Ilustrasi kedua ini menggambarkan aktivitas MENDENGARKAN. Dengan mendengarkan, tanggapan yang diberikan pun lebih baik dan lengkap.

Jika kita masih sering menangkap bagian depan atau belakang pembicaraan, maka kita baru mendengar. Jika kita menangkap utuh isi pembicaraan, kita mungkin sudah mulai bisa MENDENGARKAN.

(WS)

Posted on Leave a comment

Mendengarkan adalah Keutamaan

Mukadimah, Seri Mendengarkan untuk Melayani

(Hamba-hamba Allah yang mendapatkan kabar gembira yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat)“.
(Az-Zumar [39]:18)

Layanan atau pemberian layanan erat kaitannya dengan kepedulian. Dan tidak mungkin peduli tanpa memerhatikan kebutuhan pelanggan. Perhatian tidak dapat diberikan kecuali dengan mengetahui keinginan atau kegelisahan. Mendapatkannya bisa dengan mendengarkan.

Dalam interaksi dengan orang lain, kita menggunakan sebagian besar waktu untuk mendengarkan. Hingga 40% bagian digunakan untuk mendengarkan orang lain. Untuk Berbicara 35%.  Membaca 16%, dan menulis 9%. (Madelyn Burley-Allen, 1995).*

Proporsi di atas mungkin bisa berbeda di era sekarang. Jika kita memasukkan aktivitas mendengarkan / menonton Youtube, mendengarkan berita, membaca media sosial, membalas pesan singkat (WA, Twitter,DM IG, dll), dan mengomentari postingan. Terkadang sampai memperdebatkannya.

Tampaknya, mendengarkan masih mengambil porsi terbesar. Dan sayangnya, kita -termasuk saya tentunya- jarang belajar tentang ketrampilan ini: ketrampilan mendengarkan.

Kita lebih sering belajar berbicara, membaca, menulis. Kalau sempat. Bahkan ada pelatihannya. Public speaking misalnya. Mendengarkan seolah hal yang sudah tidak perlu dipelajari selama telinga berfungsi normal.

Padahal, kemampuan berbicara dan menulis, bahkan seluruh aktivitas pembelajaran kita, bergantung pada kemampuan kita dalam mendengarkan. Gangguan pendengaran juga akan mengganggu kemampuan berbicara.

Jika kita ingin memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan, tidak ada jalan lain kecuali belajar mendengarkan. Mendengarkan suara pelanggan. Bahkan, yang mungkin belum sempat terkatakan. Tapi sebagai standar, kita berdiskusi terkait mendengarkan yang terkatakan. Artinya, belajar menjadi pendengar yang baik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kita dua telinga dan satu mulut. Hikmahnya agar kita banyak mendengarkan dibandingkan berbicara. Lidah berada di dalam rongga, ditutup bibir, gigi, dan tukang rahang. Sedangkan telinga dibuka lebar tanpa tutup. Semakin menambah keutamaan mendengarkan. Namun, apakah mendengarkan lebih mudah dibanding berbicara?

Di catatan berseri ini ke depannya, insyaAllah kita akan banyak diskusi tentang mendengarkan. Ini adalah aktivitas membaca saya yang saya catat dan bagikan. Mungkin ada yang kurang pas, silakan beri saya masukkan dan nasihat. Semoga Bermanfaat.

(WS)

Catatan: saya akan banyak mengambil manfaat dari buku kecil yang saya baca berjudul Terampil Mendengarkan buku terjemahan yang ditulis oleh Muhammad Ibrahim Al-Nughaimish yang diterbitkan oleh Penerbit Zaman tahun 2011. Buku ini saya peroleh sebagai hadiah dari Mentor dan Guru saya Ir. Rohmad, M. M. Semoga Allah membalas segala kebaikan beliau.

*Terampil Mendengarkan Hal. 13

Posted on Leave a comment

Kolaborasi Belajar

Diskusi sambil ngopi. Khas majelis kami. Para penjual kala bertemu dalam suatu kesempatan.

Kali ini tentang perlunya pembelajaran. Kami sepakat bahwa, secara sistem kita kurang belajar. Bahkan untuk hal yang pokok dan inti dalam kompetensi penjualan. Saya meminta maaf kepada seluruh penjual yang pernah saya kelola. Melalui mereka.

Diskusi Para Penjual

Ada sebuah ide sebenarnya yang belum tereksekusi. Ide dasarnya adalah belajar dengan skema kolaborasi. Mendidik AE atau AAE -atau apapun sebutannya, untuk para penjual, salesman– dengan berkolaborasi dengan perusahaan komplementer pupuk. Misalnya perusahaan benih.

Saya ambil contoh, kita dapat berkolaborasi dengan salah satu perusahaan benih di Kediri. Para Calon Penjual atau Penjual dengan sisa masa kerja tertentu kita karantina. Untuk mengikuti pelajaran di perusahaan benih tersebut.

Perlu diketahui, salah satu perusahaan benih di Kediri, memberikan pembelajaran kepada para Calon Penjualnya. Sebelum diterjunkan di lapangan. Sebuah metode hal yang menurut saya luar biasa. Maksud saya jika dibandingkan dengan pola kita.

Calon Penjual dikarantina selama tiga bulan. Diberi pelajaran budi daya semua benih-benih yang mereka akan pasarkan.

Mereka juga diajari praktik budi dayanya. Diajari cara bercocok tanamnya. Sampai Mengendarai traktor sendiri. Menyemprotkan pestisida sendiri.

Mereka diajari cara menjual yang baik. Panduannya: WOW Selling. Kalau kita, InsyaAllah cukup dengan panduan buku MANTAP.

Kita perlu mencoba melakukan kolaborasi dengan mereka. Para Penjual kita -AE, AAE, Sales Force- “disekolahkan” di sana. Biaya tentu bisa dibicarakan. Dengan tambahan materi pupuk dan pemupukkan menggunakan pupuk produk PI Grup.

Mengapa perusahaan benih kok mau dengan pola itu? Jika Salesman pupuk mereka didik, tentu tida akan ragu merekomendasikan  produk benih yang mereka punya. Ini adalah kolaborasi, sebuah Nilai AKHLAK di penjualan. Tidak hanya internal, eksternal kita ajak kolaborasi.

Kawan diskusi saya sepakat akan satu hal. Kita jago jika berbicara soal padi. Tetapi ketika bicara seledri, gambas/oyong, pare, selada, bawang, kubis, wortel, cabai, kakao, karet?! Silakan tanya diri sendiri.

Sistem pembelajaran kita belum ke sana. Meskipun menjadi sebuah tanggung jawab pribadi, menuntut kita senantiasa harus belajar. Belajar dengan pengalaman lapang. Saya yakin sebagian kita melakukan itu.

Saya teringat bahwa saya mulai belajar secara tersistematis itu setelah tujuh tahun bekerja. Mei 2017, saya berkenalan dengan Markplus dan Kompetensi Penjualan: Sales Operation. Yang kemudian secara bertahap, mulai Agustus 2017, seluruh AE PKG waktu itu, saya buatkan kelas serupa.

Setelah itu,  baru saya memprogramkan setahun dua kali untuk belajar khusus tentang penjualan dan seluk-beluknya. Untuk pribadi dan tim. Bisa terlaksana satu, alhamdulillah, yang penting tidak kosong.

Saya pikir ide belajar berkolaborasi dengan perusahaan lain akan memberikan perspektif baru dalam pembelajaran. Belajar tidak harus dengan lembaga pembelajaran, bukan?. Sekaligus juga merefleksi diri. Apakah sistem pembelajaran kita sudah baik dibandingkan industri sejenis? Dalam hal ini Pertanian.

Langit Nusantara, 27 Nov 2022.

Terima kasih untuk teman diskusi saya, Mas Rohandi Fadilah, Mas Aris Setyowiyono, dan Mas Farhan Mustofa. Diskusi sambil ngopi pada 24 November 2022.

(WS)