Mukadimah, Seri Mendengarkan untuk Melayani

“(Hamba-hamba Allah yang mendapatkan kabar gembira yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat)“.
(Az-Zumar [39]:18)
Layanan atau pemberian layanan erat kaitannya dengan kepedulian. Dan tidak mungkin peduli tanpa memerhatikan kebutuhan pelanggan. Perhatian tidak dapat diberikan kecuali dengan mengetahui keinginan atau kegelisahan. Mendapatkannya bisa dengan mendengarkan.
Dalam interaksi dengan orang lain, kita menggunakan sebagian besar waktu untuk mendengarkan. Hingga 40% bagian digunakan untuk mendengarkan orang lain. Untuk Berbicara 35%. Membaca 16%, dan menulis 9%. (Madelyn Burley-Allen, 1995).*
Proporsi di atas mungkin bisa berbeda di era sekarang. Jika kita memasukkan aktivitas mendengarkan / menonton Youtube, mendengarkan berita, membaca media sosial, membalas pesan singkat (WA, Twitter,DM IG, dll), dan mengomentari postingan. Terkadang sampai memperdebatkannya.
Tampaknya, mendengarkan masih mengambil porsi terbesar. Dan sayangnya, kita -termasuk saya tentunya- jarang belajar tentang ketrampilan ini: ketrampilan mendengarkan.
Kita lebih sering belajar berbicara, membaca, menulis. Kalau sempat. Bahkan ada pelatihannya. Public speaking misalnya. Mendengarkan seolah hal yang sudah tidak perlu dipelajari selama telinga berfungsi normal.
Padahal, kemampuan berbicara dan menulis, bahkan seluruh aktivitas pembelajaran kita, bergantung pada kemampuan kita dalam mendengarkan. Gangguan pendengaran juga akan mengganggu kemampuan berbicara.
Jika kita ingin memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan, tidak ada jalan lain kecuali belajar mendengarkan. Mendengarkan suara pelanggan. Bahkan, yang mungkin belum sempat terkatakan. Tapi sebagai standar, kita berdiskusi terkait mendengarkan yang terkatakan. Artinya, belajar menjadi pendengar yang baik.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kita dua telinga dan satu mulut. Hikmahnya agar kita banyak mendengarkan dibandingkan berbicara. Lidah berada di dalam rongga, ditutup bibir, gigi, dan tukang rahang. Sedangkan telinga dibuka lebar tanpa tutup. Semakin menambah keutamaan mendengarkan. Namun, apakah mendengarkan lebih mudah dibanding berbicara?
Di catatan berseri ini ke depannya, insyaAllah kita akan banyak diskusi tentang mendengarkan. Ini adalah aktivitas membaca saya yang saya catat dan bagikan. Mungkin ada yang kurang pas, silakan beri saya masukkan dan nasihat. Semoga Bermanfaat.
(WS)
Catatan: saya akan banyak mengambil manfaat dari buku kecil yang saya baca berjudul Terampil Mendengarkan buku terjemahan yang ditulis oleh Muhammad Ibrahim Al-Nughaimish yang diterbitkan oleh Penerbit Zaman tahun 2011. Buku ini saya peroleh sebagai hadiah dari Mentor dan Guru saya Ir. Rohmad, M. M. Semoga Allah membalas segala kebaikan beliau.
*Terampil Mendengarkan Hal. 13