Posted on 2 Comments

Belajar Kuliah

Foto: Mikael Blomkvist (pexels.com)

Akhir pekan ini kami menjalani kuliah perdana. Kami adalah mahasiswa pascasarjana di Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi (SIMT), ITS. Program studinya Magister Manajemen Teknologi, dengan konsentrasi Technomarketing. Kerja sama ITS dengan Markplus.

Saya belajar lagi. Bukan soal materinya. Saya belajar untuk mengikuti perkuliahan. Belajar untuk kuliah dengan baik.

Tidak Mudah. Untuk belajar kuliah. Belajar fokus, mendengarkan, mencatat,  dan menangkap informasi. Berasa ngebul kepala ini, saat mengikuti mata kuliah pertama: Teknologi Marketing.

Ini bukan soal sulitnya pembelajaran dan materi peerkuliahan. Tapi lebih pada penyesuaian. Bagi saya, yang kuliah terakhir di 2009. Sudah 14 tahun.

Setiap pekan kami akan mengikuti enam mata kuliah. Satu di Kamis malam. Dua di Jumat malam. Dan tiga di Sabtu pagi hingga sore hari. Daring, dalam jaringan, alias online via zoom meeting. Pekan pertama telah selesai. Dari 16 pekan yang direncanakan, InsyaAllah.

Kami diminta komitmen dalam belajar. Dengan menyalakan kamera. Masa Sudah daring, tidak bertemu fisik, juga tidak pernah melihat wajah. Demikian pesan Prof. Nyoman, dekan SIMT ITS. Meski ada dosen yang memaklumi untuk mematikan kamera karena jaringan atau alasan lainnya.

Kelas kami menarik. Berbagai latar belakang. Saya merasakan atmosfer perkuliahan yang dinamis. Bismillah, semoga perkuliahan kami berjalan lancar. Ilmu yang didapat bermanfaat.

(WS)

Posted on Leave a comment

Ear, Hear, Learn

Foto: cottonbro studio (pexels.com)

Sebuah otak-atik-gatuk (cocokologi) yang menarik bagi saya. Kita dianugerahi dua telinga (ear). Dengannya kita bisa mendengar (hear) -meski saya lebih menyukai listen (mendengarkan) untuk hal ini-. Kemudian kita bisa belajar (learn). Semua denganĀ  huruf e, a, dan r, secara berurutan. Menarik. Cocokologi yang menarik.

Sebagian besar kita, belajar dengan mendengar dan melihat. Mendengar lebih dahulu dialami dibandingkan melihat. Bayi mendengar sejak di dalam kandungan. Darinya, mungkin bayi mulai belajar. Tanpa melihat.

Pendidikan formal di Indonesia pun turut mendukung dan menuntut perkembangan belajar berbasis mendengarkan. Mendengarkan untuk belajar. Meski kita jarang belajar mendengarkan. Sebagaimana sering saya singgung di berbagai kesempatan di seri-seri sebelumnya.

Belakangan saya berusaha lebih banyak menggunakan telinga kiri saya. Ups, ya, telinga kanan saya memang ada sedikit masalah. Menggunakan ear untuk lebih banyak hear. Mengurangi bicara yang sifatnya reaktif. Meski masih sering tergoda. Tapi lumayan. Ternyata hati lebih tentram, alhamdulillah.

Ternyata tidak sesusah yang terbayang selama ini. Dan tidak ada yang kurang atau salah, untuk hanya sekadar mendengarkan. Bahkan di situasi tertentu tanpa perlu menanggapi.

Kita perlu dan layak mencobanya: menjadi pendengar yang baik.

(WS)

Posted on Leave a comment

Jadilah Pendengar yang Baik

Seri Pamungkas, Mendengarkan untuk Melayani

Luangkan Waktu untuk Menyendiri. Belajarlah Mendengarkan wahai diri.

Saya ingin menutup seri “Mendengarkan untuk Melayani” dengan epilog kemarin. Namun, saya mendapati sebuah tulisan bagus sekali, tentang menjadi pendengar yang baik, dari buku karya Richard Carlson, “Jangan Membuat Masalah Kecil Jadi Masalah Besar (Don’t Sweat The Small Stuff … And It’s All Small Stuff)”. Saya menghendaki beberapa bagian dari artikelnya itu sebagai pamungkas serial ini.

Mendengarkan dengan efektif, lebih dari sekadar menghindari melakukan kebiasaan buruk: menginterupsi/menyela pembicaraan seseorang atau menghentikan kata-katanya. Sebenarnya, akan lebih memuaskan bila kita mendengarkan seluruh pikiran seseorang, daripada menanti dengan tak sabar giliran kita untuk meresponsnya.

Dalam beberapa segi, kegagalan kita untuk menjadi pendengar yang baik, merupakan cerminan cara hidup kita. Kita sering memperlakukan suatu komunikasi seolah-olah sedang melakukan perlombaan. Seolah-olah, tujuan kita adalah untuk tidak memberi jeda waktu, antara kesimpulan pembicaraan orang yang kita ajak bicara, dengan awal kalimat kita sendiri.

Memperlambat respons, akan menjadikan kita sebagai pendengar yang baik. Akan membantu kita menjadi orang yang lebih tenteram. Akan menghilangkan tekanan dalam diri.

Bila dipikir-pikir, kita akan merasa butuh sejumlah besar energi dan sangat membuat stres, bila kita ingin dengan cepat bangkit dari bangku kita, kemudian mencari tahu apa yang borang di depan kita (atau di ujung saluran telepon) ingin katakan, sehingga kita melancarkan serangan balasan. Pasti melelahkan.

Tetapi, bila kita menunggu orang yang berkomunikasi dengan kita untuk menyelesaikan perkataannya, dan sekadar mendengarkan dengan penuh minat apa yang diucapkannya, kita akan merasakan bahwa tekanan yang bisanya kita rasakan akan menghilang. Kita akan segera merasa santai, begitu juga lawan bicara kita.

Mereka (lawan/kawan diskusi) akan merasa aman memperlambat respons mereka sendiri, karena mereka tidak merasa sedang berkompetisi dengan kita.

Menjadi pendengar yang baik tidak hanya akan membuat kita menjadi orang yang lebih sabar, tetapi juga akan meningkatkan kualitas hubungan kita. Setiap orang senang berbicara dengan orang yang benar-benar mendengarkan apa yang mereka katakan.

Jika saya dapat rangkumkan, menjadi pendengar yang baik dimulai dengan niat mendengarkan. Dengarkan, jangan menyela. Pahami pembicaraan. Berikan jeda antara pemahaman/kesimpulan kita dengan respons yang akan kita berikan. Tahan, perlambatan respons kita. Respons, hanya kalau diperlukan. Sebagian besar yang kita dengarkan, jika dipikir ulang, mungkin lebih baik jika tidak direspons.

(WS)

Posted on Leave a comment

Epilog Mendengarkan

Seri Final, Mendengarkan untuk Melayani

Mendengarkan menjadi bagian terpenting bagi kita dalam memahami orang lain, termasuk pelanggan industri kita. Dengan memahami pelanggan kita dapat memberikan layanan terbaik. Hanya dengan keinginan dan ketrampilan mendengarkan, kita bisa memberikan layanan yang memuaskan.

Mendengarkan bukan sebuah bakat, atau kemampuan khusus. Ia adalah ketrampilan. Meningkat dengan latihan. Memahami konsep dan beberapa pengetahuan dalam mendengarkan, akan memberikan kelebihan dalam meningkatkan ketrampilan.

Sebagai epilog bab Mendengarkan untuk Melayani, saya ingin mengetengahkan tips dari buku Terampil Mendengarkan karya Muhammad Ibrahim An-Nughaimish. Tips yang menarik untuk disimak.
1. Jangan menebak apa yang hendak dikatakan lawan bicara kita. Dengarkanlah saja. Kita bisa salah menebak hama dan kebutuhan tanaman -atau banyak hal lainnya- jika tidak mendengarkan dengan saksama.
2. Jangan menyela. Bahkan jangan sampai ada keinginan menyela atau berbicara sebelum lawan selesai bicara. Selain tidak sopan. Ini akan mengganggu ritme dialog. Bisa jadi, keberatan kita akan pernyataan di awal dialog, akan terjawab kemudian. Jika kita sabar mendengarkan.

3. Jangan sibuk mengurusi ekspresi wajah. Perhatikan apa yang disampaikan. Itu akan membuat penilaian kita lebih jernih. Dan tidak menebak apa pikiran lawan bicara, sehingga mengganggu bangunan pemahaman kita.

4. Bayangkan poin-poin utama pembicaraan. Tuliskan jika dibutuhkan.

5. Jujur dalam mendengarkan. Jangan berpura-pura mendengarkan, akan ketahuan. Dari ekspresi, gestur, dan tanggapan yang kita berikan. Jika kita sudah memutuskan untuk mendengarkan maka jujurlah.
Semoga bermanfaat.
Walhamdulillahi rabbil ‘alamiin.

(WS)

Posted on Leave a comment

GantinTopik

Seri-22, Mendengarkan untuk Melayani

Foto: Hassan Ouajbir (pexels.com)

Dalam mendengarkan ditelepon, pada kasus kita yang ditelepon, topik pembicaraan sepenuhnya milik penelpon. Pendengar hanya memberikan respons atas topik, pertanyaan atau pernyataan yang disampaikan.

Tidak seharusnya kita mengubah topik pembicaraan. Hal tersebut akan memperpanjang durasi bertelepon. Jika kita mengubah topik, sedangkan topik awal belum selesai, penelepon akan kembali ke topik tersebut.

Jika dilakukan beberapa kali, kita sebagai pendengar akan terlihat tidak menguasai topik, terkesan menghindar, dan tidak menjadi solusi bagi penelepon. Penelepon menghubungi kita, karena kita dinilai memiliki sesuatu yang bisa memberi atau membuka jalan bagi permasalahan mereka.

Jika petani menelpon kita terkait, budi daya terong, tentu tidak pas jika cerita kita sampai ke tanaman padi atau cengkeh.

Mengubah topik apakah betul-betul dilarang? Tentu tidak. Selama dilakukan setelah topik selesai dan kita melihat manfaat melemparkan topik baru.

(WS)

Posted on Leave a comment

Maksud Basa Basi

Seri-21, Mendengarkan untuk Melayani

Basa basi perlu. Tapi seperlunya saja. Jangan melebihi porsi sehingga mengaburkan tujuan mendengarkan. Basa-basi pendengar adalah menanggapi dengan pernyataan atau pertanyaan yang memancing pembicaraan yang menjauhkan tujuan.

Maksud Penelepon

Sebagai pendengar melalui panggilan telepon atau video, perlu kita tanyakan segera maksud mengapa seseorang menelpon kita. Ini agar pembicaraan terarah. Semakin dini diketahui semakin baik.

Penelpon yang baik akan menyatakannya. Jika tidak, pendengar yang baik kita dapat segera menanyakannya.

Hindari Basa Basi

Hindari basa basi berlebihan. Bertanya kabar, anak, istri, pekerjaan, bahkan hewan peliharaan. Langsung ke inti pembicaraan setelah bicara pembukaan atau merespons seperlunya.

Jangan Menyela

Tidak di telepon, dan juga tidak di pembicaraan tatap muka. Menyela pembicaraan harus dihindari. Mengacaukan pikiran lawan bicara. Juga bentuk ketidaksopanan.

Pembicaraan atas lebih lama. Karena lawan bicara akan berpikir ulang. Dan menjelaskan ulang.

Biarkan selesaikan lawan berbicara. Baru kita tanggapi dengan singkat dan padat. Bergantian. Bukan menyela, atau saling potong.

(WS)

Posted on Leave a comment

Telepon Serius

Seri-20, Mendengarkan untuk Melayani

Kita sudah tidak bisa lepas dari gawai. Yang fungsi awalnya adalah untuk menelepon, kemudian berkirim teks. Pada perkembangan selanjutnya untuk memenuhi segala kebutuhan, dan keinginan. Yang sebagiannya bisa jadi tidak benar-benar dibutuhkan.

Fungsi utama, gawai, termasuk gawai pintar, tampaknya belum hilang: Menelepon. Hanya saja salurannya yang berbeda. Mungkin sudah jarang yang menelepon menggunakan saluran telepon bukan internet. Sekarang bertelepon pun menggunakan panggilan suara aplikasi sosial. Bahkan panggilan video.

Dalam konteks mendengarkan, saya kira masih relevan kita mempelajari bagaimana menjadi pendengar yang baik di telepon. Bahkan lebih penting lagi saat panggilan video. Yang wajah kita umumnya terlihat. Baik panggilan pribadi ataupun panggilan grup/kelompok.

Serius dan Fokus

Jika kita telah mengangkat panggilan telepon, kita secara tidak langsung sudah mendeklarasikan kebersediaan mendengarkan. Dengan mengangkat telepon kita harus bersedia mengalihkan fokus kita dari aktivitas, pandangan, bacaan, suara, yang lain ke speaker telepon kita. Karena itu, dilarang bertelepon saat mengemudi.

Keseriusan kita dituntut saat menelepon. Fokus kita juga diuji. Lawan bicara diujung saluran akan tahu jika kita sedang tidak fokus. Jadi tidak ada jalan lain selain, serius dan fokus ketika kita menerima panggilan suara atau video.

(WS)

Posted on Leave a comment

Salah Keyakinan

Seri-19, Mendengarkan untuk Melayani

Foto: fauxels (pexels.com)

Tidak sedikit orang -bahkan terkadang muncul dalam diri saya- yang memiliki pandangan bahwa sikap diam dan mendengarkan itu tidak keren. Menjadi pendengar yang baik seolah memosisikan diri kita sebagai orang dungu dan bodoh dalam forum.

Tidak sedikit kita dapati orang berebut bicara. Di forum apapun. Di rapat besar atau kecil. Bahkan yang hanya sekadar obrolan dua atau tiga orang.

Kita tanpa sadar berkeyakinan bahwa, jika ada dua orang -yang salah satunya saya- sedang berbincang, maka saya yang harus berbicara dan didengarkan. Bahkan tidak jarang saling potong.

Diam dan mendengarkan seolah menjadikan kita sebagai orang yang tidak memiliki pengetahuan. Sementara yang berbicara adalah yang berpengetahuan dan menguasai topik.

Saya memiliki pengalaman, jika kita mendengarkan sedari awal, hanya mendengarkan, kita memiliki pengetahuan yang lebih luas. Setelah mendengar berbagai pendapat. Sehingga bisa mengambil pendapat sana sini, dan bisa memberikan tanggapan terbaik.

Saya pernah, dan belakangan memaksa diri untuk diam dan cukup mendengarkan dalam rapat. Saya berusaha tidak berbicara kecuali diminta dan disilakan oleh pimpinan rapat. Atau atas permintaan seorang peserta rapat lainnya. Menjadi tidak enak ketika diminta menjadi orang yang pertama berpendapat.

Saya harus melatih diri ketika pada forum dan obrolan non formal. Atau di saluran telepon. Masih sering terpancing. Bahkan memotong. Saya harus hilangkan keyakinan yang salah tentang berbicara dan mendengarkan. Yang tanpa sadar muncul.

Padahal keyakinan bahwa berbicara adalah lebih keren adalah salah besar. Dan ia adalah penghalang dari mendengarkan.

Sebaliknya, saya harus memunculkan sikap diam dan serius mendengarkan. Dengannya berharap dapat pengetahuan atau sudut pandang baru. Kalaupun tidak dapat, sikap diam sudah cukup sebagai pembelajaran.

(WS)

Posted on Leave a comment

Pengalaman Mendengarkan

Seri-18, Mendengarkan untuk Melayani

Penahkah Anda mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya dari lawan bicara? Atau tersinggung dengan materi yang disampaikan seorang pembicara? Apa kiranya yang Anda rasakan pertama jika Anda mendapatkan kesempatan kembali berbincang atau mendengarkan ia pembicara tersebut kembali?

Agak malas. Lebih baik tidak hadir. Atau memasang mode tuli sehingga kita tidak mendengarkan.

Namun, di dunia penjualan itu tidak dapat dilakukan. Kita harus bersedia mendengarkan. Terhadap apa yang dikatakan konsumen. Bahkan yang pernah menolak kota. Menolak presentasi kita. Menolak produk, bahkan sebelum mendengar merek kita.

Hal ini harus diatasi. Pengalaman buruk akan menggangu. Namun membangun asumsi dan keyakinan berdasarkan pengalaman buruk tidaklah tepat. Terutama untuk interaksi sosial.

Jika kita punya pengalaman buruk dalam mendengarkan seseorang, mungkin kita dapat anggap ia sebagai orang baru jika bertemu kembali. Sehingga kita tidak memiliki asumsi dan dugaan di awal waktu.

(WS)

Posted on Leave a comment

Salah Tanya

Seri-17, Bertanya untuk Melayani

Astaghfirullah, salah aku“. Kata kita dalam hati ketika pertanyaan kita -umumnya pertanyaan pembuka- tidak mampu mengarahkan narasumber bercerita yang kita inginkan. Ini adalah penghalang mendengarkan sehingga tidak mendapatkan informasi yang relevan.

Jelas ini bukan kesalahan pembicara. Yang bertanya yang salah. Baik karena kurangnya informasi mengenai karakter pembicara atau bertanya secara serampangan.

Salah tanya tidak hanya terjadi di depan. Bisa di tengah, bisa diakhir pembicaraan. Tidak hanya pertanyaan, respons dalam bentuk pernyataan pun bisa berdampak yang sama.

Bagaimana perkiraan panen musim tanam ini Pak? Apa dulu benihnya?”Seorang penjual pestisida berbasa-basi. Inginnya merunut sistem budidaya petani.
Kurang bagus karena benihnya nggak tepat. Saat beli bibit di toko sana benih baru datang. Ada sales benih yang menjelaskan tentang kehebatan benihnya. Saya terbujuk. Ternyata seperti ini. Sebenarnya benihnya...”. Tek terasa setengah jam berlalu, tanpa menyinggung pestisida. Pemicunya salah tanya.

Bertanya dapat langsung ke poin permasalahan. Termasuk bertanya yang baik adalah menunggu pembicara menyelesaikan pembicaraan atau jawaban sebelumnya.

Menyiapkan daftar pernyataan atau bertanya atas dasar catatan pembicaraan, akan lebih memudahkan. Lebih terstruktur. Dan mencegah dari pertanyaan yang jawabannya panjang/lebar.

Tidak ada masalah dengan bertanya. Yang masalah adalah ketika salah bertanya. Malu bertanya sesat di jalan. Salah tanya, terbuang percuma waktu di jalan.
(WS)