Posted on Leave a comment

Epilog –  Praktiklah Yang Membedakan

Penutup Serial Jualan dengan Karakter

Selling with Character adalah buku yang sangaaaaat menarik. Dengan lima “a”. Tidak hanya karena isinya. Namun desain bukunya pun menarik. Bolak Balik. Dari kedua sisi (depan dan belakang) bisa digunakan untuk memulai membaca.

Tidak banyak saya memiliki buku dengan desain demikian. Hanya tiga. Selling with Character salah satunya. Dua lainnya : Marketing with Heart oleh Hermawan Kartajaya, dan Jelajah Alam bersama Alquran oleh Dr. Zakir Naik. Semuanya berbahasa Indonesia.

6 pilar dengan 18 Prinsip Jualan dengan Karakter telah kita bagi bersama. Artinya 18 seri telah selesai. Sayapun bersyukur bisa membaca buku Selling With Character dengan tuntas.

Sebagaimana telah disampaikan di beberapa seri lalu. Dalam catatan atau maklumat. Bahwa Serial Jualan dengan Karakter diambil dari buku dengan :
Judul : Selling with Character
Penulis : Hermawan Kartajaya dan Ardhi Ridwansyah (The Principles) serta Jacky Mussry, Ryan Nasution dkk. (The Stories).
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama.
Tahun : 2012.

Jika di industri musik ada fenomena cover lagu. Sampai ada ratunya. Ratu cover lagu.

Nah, Serial Jualan dengan Karakter kita ini, bolehlah dianggap semacam cover atau kisah lainnya. Dengan perbedaan penuturan dan cerita di dalamnya, sesuai dengan industri dimana kita berada. Disebut parodinya, saya juga tidak keberatan.

Semoga, Serial Jualan dengan Karakter ini memberi manfaat bagi pembaca. Dan yang lebih penting adalah semoga dapat dipraktikan. Keseluruhannya. Ini yang menjadi harapan dan cita-cita kita.

Dapat dipraktikan sebagiannya saja, alhamdulillah. Sebagian kecilnya, tidak mengapa.

Praktiklah yang membedakan hasil. Konsep sebaik apapun. Teori secanggih apapun. Tidak akan berguna jika tidak dipraktikan.

Dunia penjual adalah dunia praktik. Terapan. Bukan teori. Namun membutuhkan sedikit konsep. Yang benar. Yang ideal. Sebagaimana pernah saya ungkapkan dibeberapa kesempatan:

“teori tanpa praktik, itu bullshit. Praktik tanpa teori atau konsep, itu stupid“.

Sampai bertemu di Serial penjualan berikutya. InsyaAllah.

Semoga bermanfaat.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pilar Citizenship (3), Keberlanjutan Lingkungan

Seri Terakhir, Serial Jualan dengan Karakter

Sebagai seorang penjual, kita juga turut bertanggung jawab apabila produk yang kita jual membawa dampak buruk bagi lingkungan. Karena penjuallah yang membawa produk tersebut ke pasar.

Dampak buruk produk dapat timbul dan berpengaruh pada manusia. Hewan dan tumbuhan. Atau tanaman. Atau tanah, air, udara. Meski tanpa serangan dari negara api.

Baik karena sifat dan kandungan produknya. Ataupun cara pengambilan bahan bakunya. Bisa juga karena prosesnya. Maupun pemakaiannya yang tidak tepat. Baik karena penjual tidak menjelaskan dengan baik. Atau karena pelanggan tidak memedomani petunjuk penggunaan.

Prinsip #18, Maksimalkan Potensi Produk untuk Keberlanjutan Lingkungan

Bagi seorang penjual, makin banyak produk digunakan konsumen, makin senang. Umumnya demikian. Artinya makin cepat pelanggan membeli lagi.

Apalagi produk yang diketahui berdampak besar dalam tujuan penggunaan produk. Seperti pupuk anorganik (pupuk kimia).

Tidak pakai pupuk anorganik, dipastikan panen akan menurun. Bisa jadi malah tidak panen.

Tapi tidak demikian dengan pabrik pupuk satu ini. PT Petrokimia Gresik. Pabrik pupuk di bawah holding PT Pupuk Indonesia (Persero). Pabrik pupuk yang namanya tidak ada kata “pupuk”-nya.

Beberapa penjual Petrokimia Gresik yang saya temui, mengampanyekan penggunaan pupuk yang mangkus dan sangkil. Efektif dan efisien. Serta melarang menggunakan pupuk banyak-banyak.

Kampanye penggunaan pupuk yang tepat.

Selain itu, mereka (para penjual pupuk) juga mengombinasikan pupuk anorganik dengan pupuk organik.

Menurut mereka pupuk anorganik itu dapat mencemari tanah. Jika penggunaannya terus menerus tanpa diimbangi penambahan bahan organik ke tanah. Karena itu, pengguna pupuk harus berimbang dan tepat. Jumlah dan waktunya.

Penggunaan pupuk kimia berlebihan, malah dapat merusak kesuburan tanah. Mereka mengistilahkan dengan – – maaf– “memperkosa” tanah.

Tanah dipaksa untuk menahan bahan anorganik, sebagai makanan untuk tanaman. Tanpa dipikirkan “kesejahteraannya”.

Kampanye penggunaan produk pupuk yang tepat selalu disuarakan dalam berbagai kesempatan penyuluhan. Pengunaan yang tepat. Baik untuk tanaman. Baik untuk lingkungan. Langsung. Bertemu dengan petani. Pengguna pupuk. Untuk tanamannya.

Meski untuk produk yang bersubsidi (pupuk bersubsidi), di kemasan pupuk mereka belum ada cara penggunaan pupuk yang baik dan benar. Jadi tidak setiap waktu petani bisa melihat cara penggunaan pupuk yang tepat. Saya tidak tahu apakah ada larangan. Setahu saya tidak ada larangan, menampilkan cara pengguna produk di pupuk bersubsidi.

Jika kita bisa memberikan pendampingan tentang cara pengguna produk yang tepat, cara yang ramah lingkungan, itu tentunya akan berdampak positif. Positif terhadap lingkungan dan persepsi pelanggan.

Pendampingan secara langsung. Bisa juga melalui tulisan. Dalam bentuk petunjuk di kemasan.

Seperti mi instan. Yang masih saja mencantumkan cara memasaknya. Meski pembeli sudah tahu. Sejak lama.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

PAHLAWAN

Orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pejuang yang gagah berani.

Membela berarti menjaga baik-baik; memelihara; merawat; dan menolong.

Bagi saya, masuk di dalam arti membela adalah mengetahui dan menjalankan. Memedomani dan menegakkan. Menyuarakannya.

Tidak bisa membela kalau tidak tahu. Tidak bisa merawat kalau tidak pernah berbuat.

Berani menjalankan, dan menyuarakan. Termasuk memperingatkan dari hal yang berkebalikan dengan kebenaran.

Siap berkorban. Bisa jadi itu adalah popularitas yang hilang. Jabatan melayang. Keuangan yang suram. Atau nyawa yang terancam. Bahkan ikut melayang. Untuk kebenaran.

Sebagai tantangan. Sebagai ujian. Karena kebenaran banyak musuhnya. Agar orang tidak hanya mengaku Pahlawan. Tanpa pembuktian. Tidak hanya mengaku benar. Atau di atas kebenaran. Tanpa diuji. Padahal sebenarnya hanya kedustaan.

“Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.
(Q.S Al – ‘Ankabut [29] :3)

Meneladani pahlawan, berarti mengetahui, mengamalkan dan membela kebenaran. Menyerukan kebenaran. Berani berkorban untuk kebenaran. Itulah yang diperjuangkan para pahlawan.

Semoga kita termasuk orang yang diberi petunjuk kepada kebenaran dan mengikutinya. Dan diberi petunjuk untuk mengetahui kesalahan (kebatilan) dan mendapat hidayah untuk menjauhinya. Aamiin…..

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 2 Comments

Bakso Istimewa

Time to DREAM. Makan Bakso. (Foto : Istimewa).

Makanan favorit. Mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia pernah menikmatinya. Mungkin menjadikannya makanan istimewa. Di momen istimewa. Bersama keluarga atau sahabat. Atau teman. Yang mesra.

Variannya macam-macam. Bakso sapi, yang paling umum. Bakso ayam. Atau campuran keduanya. Bakso ikan juga ada. Varian berdasarkan bahannya.

Penyajiannya, bakso sapi-pun ada banyak macamnya. Ada bakso biasa, bakso campur, bakso kikil, bakso balungan (tulang), bakso iga, bakso sumsum, dan bakso beranak. Beranak di mangkuk. Tidak di dalam kubur.

Semua varian penyajian bakso sapi di atas, ada di kota kami. Gresik. Namanya Bakso Kaki Sapi. Mengklaim sebagain bakso terbaik di kawasan GKB. Gresik Kota baru.

Bakso Kaki Sapi di Jl. Kalimantan GKB, Gresik

Tamu kami dari Lampung tak kalah penasaran. Ingin kuliner yang tidak biasa. Yang belum ada di sana.

Bakso iga jadi pilihan kami. Siang ini. Tulang iga dengan sedikit urat. Dibalut adonan Bakso. Istimewa sekali. “nggak ada di sana (Lampung)”, kata salah satu tamu kami.

Makan bakso, yang istimewa. Yang belum pernah dicoba, mungkin menjadi impian sebagian orang. Sebagaimana tamu istimewa yang duduk di depan saya. Menjadikannya sebagai mimpi. Mungkin. Sehingga ia memakai kaos dengan tulisan time to dream.

Keturutan. Kesampaian juga. Kuliner yang tidak biasa. Istimewa. Soal harga, kita akan terkejut, karena sangat bersahabat.

Anda harus coba.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 2 Comments

Penjual yang Radikal

Radikal. Kata yang begitu populer beberapa hari ini. Karena sesuatu. Sebagian besar kita mungkin sudah tahu.

Tak ketinggalan. Acara talk show politik dan hukum-pun mendiskusikannya. ILC. Edisi 5 November 2019. Judulnya “Apa dan Siapa yang Radikal?”. 3 jam 17 menit 47 detik. Versi YouTube.

Saya tidak akan mengulas itu. Silakan tengok sendiri di kanal YouTube “Indonesia Lawyers Club”.

Saya ingin mendiskusikan radikal dalam dunia pemasaran. Dan penjualan.

Menunjuk ke KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Andalan saya saat diskusi “Provinsi vs Propinsi”. Makna radikal :
Ra.di.kal
1. Secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) : perubahan yang radikal.
2. Amat keras menuntut perubahan(undang-undang, pemerintahan).
3. Maju dalam berfikir dan bertindak.

Di dunia pemasaran, penjualan, bisnis, dan organisasi-pun ada kegiatan dan program yang radikal. Dan harus radikal. Jika tidak radikal tidak berhasil.

Kegiatan dan program itulah TRANSFORMASI.

Transformasi bisnis dapat diartikan sebagai setiap perubahan RADIKAL dalam suatu organisasi perusahaan atau bisnis.

Demikian yang disampaikan salah satu majalah bisnis dalam edisinya tentang corporate transformation. Perubahan yang Radikal, mendasar.

Tak lepas dari itu. Penjual, salesperson, atau salesman pun harus radikal. Harus mendasar. Sampai kepada hal yang prinsip. Dalam pengetahuan penjualannya. Dalam upaya penjualannya.

Penjual-pun harus radikal. Sebagai makna yang ketiga. Maju dalam berfikir dan bertindak. Maju dalam berjualan.

Untuk maju dan radikal tadi dalam penjualan, harus mampu dan mau mendobrak kebuntuan. Karena itu saya tertarik dengan buku “Sales Breakthrough.”

Agar tidak buntu dalam berjualan. Agar bisa radikal. Maju untuk bertindak dalam penjualan.

Mari kita menjadi penjual yang radikal.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pilar Kewarganegaraan (2) – Pengembangan Masyarakat

Seri ketujuhbelas, Serial Jualan dengan Karakter

Prinsip #17, Libatkan masyarakat sekitar Kita untuk meningkatkan kesejahteraan mereka

Industri, atau bisnis, apapun itu membutuhkan masyarakat. Tidak bisa berdiri sendiri. Sebagai sumber faktor produksi -misal tenaga kerja atau bahan baku- atau sebagai pasar.

Untuk kelangsungan bisnis yang berkesinambungan, hubungan dengan masyarakat harus baik. Harus berorientasi masa depan. Dan masyarakat sekitar kita juga harus sejahtera. Kita harus berpikir ke arah sana. Sebagaimana kita ingin sejahtera.

Pertanian, atau lebih luasnya agroindustri, sangat dekat dengan itu. Dengan masyarakat dan lingkungan. Karena itu, saya senang berada di lingkungan industri yang memiliki misi pengembangan masyarakat.

“Mengembangkan potensi usaha untuk mendukung industri kimia nasional dan berperan aktif dalam community Development”. Demikian bunyi dari misi ketiga sebuah perusahaan pupuk nasional.

Misi itu bukan sekedar tulisan. Dalam Praktiknya pun demikian. Dengan CSR jelas. Karena kewajiban. Namun, unit pemasaran perusahaan tersebut tampaknya juga sadar akan hal itu.

Karena itu, unit pemasaran mereka melaksanakan Pelatihan Anak Tani Remaja (Patra). Seingat saya sudah tiga kali. Setahun sekali. Dengan format yang berbeda.

Melatih anak tani (putra-putri petani) menjadi salah satu pengembangan masyarakat. Selain juga menjamin keberlangsungan keberadaan petani. Kegiatan ini juga menjamin ketersediaan pasar bagi produk perusahaan tersebut.

Pemilihan anak Petani remaja ini saya nilai tepat. Tepat sebagai sasaran program. Pertama, remaja, sebentar lagi dewasa. Sudah bisa mengambil keputusan. Dan dihargai pendapat dan keputusannya. Di dalam keluarga. Di desanya.

Kedua, para Petani sudah banyak yang tua. Mau tidak mau harus di delegasikan. Atau diwariskan.

Ketiga, ayahnya atau petaninya, sehari hari memiliki kesibukan dengan sawah, kebun, atau ternaknya.

Dan keempat, usia lebih mudah dinilai lebih mudah menerima inovasi dan mengadopsi teknologi.

Pelatihan bagi anak Tani remaja ini
seperti menyediakan pelari estafet bagi pasar produk. Pelatihan ini juga ibarat mempersiapkan pasar masa depan.

Berkontribusi untuk masyarakat sekaligus meningkatkan penjualan.

Secara lingkup kecil, tiap-tiap penjual, semestinya berfikir yang sama. Mengembangkan masyarakat. Mencerdaskan mereka. Menyejahterakan mereka. Sehingga penjual bisa lebih di cinta.

Kalau sudah cinta. Paite kopi rasane legi.

(Wiyanto Sudarsono).

Posted on Leave a comment

Pilar Keenam – Kepatuhan Sebagai Warga Negara

Seri ke-16, Serial Jualan dengan Karakter

Saya agak kesulitan menerjemahkan pilar keenam ini. Agar pas dengan lingkup penjualan. Citizenship. Demikian sebutan pilar keenam ini. Kewarganegaraan, terjemahan kamusnya. Bagaimana seorang penjual tetap menjadi warga negara yang baik.

Pilar ini – citizenship-, dengan tiga prinsip di dalamnya, terkait dengan etika bisnis. Etika dan kepedulian terhadap lingkungan bisnis. Karena itu saya terjemahkan dengan Kepatuhan sebagai warga negara. Dalam berjualan. Dalam menjalankan bisnis.

Prinsip #16, Produknya Legal, Dijual dengan Cara yang Benar

Becik ketitik ala ketara. Filosofi yang menarik. Yang baik akan nampak, yang buruk akan kelihatan.

Baik dalam menjual adalah menjual barang yang baik. Sesuai dengan hukum yang berlaku. Bukan palsu, bukan oplosan. Tidak kedaluwarsa.

Termasuk atribut yang melekat di produk. Tugas penjual juga sebenarnya, memastikan barang yang dijual itu layak. Secara fisik dan ketentuan. Meski sudah ada quality control dalam prosesnya. Karena penjual-lah yang berhubungan dengan pelanggan.

Baik dalam menjual, juga bermakna menjual dengan cara yang baik dan benar.

Salah satu tutor saya di suatu pelatihan pernah menceritakan. Ia pernah bekerja sebagai vice president atau tepatnya saya lupa. Di perusahaan multinasional. Bidang pelumas kendaraan dan mesin.

Suatu ketika ia bekerjasama dengan salah satu agensi periklanan. Untuk memasang iklan. Setelah kontrak ditanda tangani, dan pekerjaan selesai. Tiba-tiba tutor saya tadi mendapat kiriman. Mobil. Belanja iklannya cukup besar.

Pesan yang disampaikan pengirimnya : “mobil dari Pak A untuk Bapak.” Pak A adalah bos dari agen iklan tadi. Ditolaklah mobil ini. Padahal zaman itu, mobil ini seharga 80 jutaan.

Esok harinya, tutor saya memerintahkan agar pembayaran dan invoice ke agensi periklanan ini dipotong 80 juta.

Ditegurlah tutor saya tadi oleh direkturnya. Ia menjelaskan bahwa, karena vendor ini berani mencoba memberi “gratifikasi”, senilai 80 juta, berarti paling tidak, harga yang kita berikan terlalu mahal. Minimal terlalu mahal 80 juta.

Masalah etika begitu penting untuk kita pegang bersama. Sebagai penjual. Dan sebagai Warga Negara.

Ada cerita lain yang mirip. Tapi ternyata, bos vendor dari suatu proyek, pernah menjadi senior dari atasan si karyawan yang mencoba untuk diberi Gratifikasi. Mungkin, vendor ini ngetes. Menguji karyawan tadi.

Apa jadinya jika karyawan tadi tergiur pada tawaran itu. Habislah dia.

Berpegang pada “cara jualan yang lurus”, kadang dianggap sulit dilakukan. Memang jika kita hanya ingin hasil instan, cara apapun bisa dilakukan. Namun jika kita ingin yang berkelanjutan, “cara lurus” adalah jalan terbaik.

Saya ingat pesan, di salah satu cerita tentang etika penjualan, “Ingatlah, sekali coba melakukan penjualan tidak etis, kita akan tergoda untuk mengulanginya lagi. 99% bersih itu susah! 100% bersih itu lebih mudah!”

Semoga kebaikan selalu menyertai kita semua.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Kebun

Pertanian adalah sebuah seni yang khusus. Seperti dua seni lainnya : pengobatan dan pengajaran.

Demikian yang dinyatakan oleh penulis buku How to Read a Book, Mortimer J Adler & Charles Van Doren, 1972.

Petani, atau pekebun, bisa melakukan banyak hal. Memilih benih atau bibit terbaik. Memberi pupuk dan sistem pengairan terbaik. Tetapi pada akhirnya tanaman itu sendiri yang harus tumbuh. Menunjukan kualitas dan kuantitas panennya. Atau tepatnya, Tuhan-lah yang menumbuhkan dan membuatnya bisa dipanen. Baik secara kualitas maupun kuantitasnya.

Persis seperti pengobatan. Dokter, tabib, mungkin pasien sendiri, bisa melakukan banyak hal. Diagnosa menggunakan alat tercanggih. Menggunakan obat paten, terbaik – dan mahal biasanya-. Tapi Tuhan jugalah yang menyembuhkan.

Karena itu hendaknya kita hanya bersandar kepada Tuhan. Dalam hal apapun. Karena tanpa kehendak dan pertolongan Tuhan, tidak ada daya dan kekuatan.

Tidaklah kita boleh menyandarkan kepada kemampuan diri. Kita juga tidak boleh menyandarkan pada upaya kita. Yang mungkin kita nilai maksimal. Terbaik. Hanya kepada Tuhan lah kita bersandar dan berserah diri.

Tuhan mencontohkan, dan mengajarkan kepada kita. Melalui firman-Nya. Di salah satu kitab yang diturunkan-Nya. Yang kitab itu dijamin penjagaan-Nya. Tuhan berfirman ketika menceritakan salah satu dialog hamba-hamba-Nya : “Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan ‘Masya Allah, la quwwata illa billah’, (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud), tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah…. “. Silakan bukan kembali Quran surat ke-18, Al kahf ayat 39.

Hendaknya kita membaca “Masya Allah, la quwwata illa billah“, ketika memasuki kebun. Atau menyaksikan pertumbuhan tanaman yang bagus. Atau mungkin rumah yang bagus. Atau ketika kita merasakan nikmat-nikmat Tuhan yang lain, yang serupa dengan kandungan ayat di atas.

Untuk menghilangkan Kesombongan diri. Kebanggaan diri. Atas pencapaian-pencapaian yang diperoleh. Dan menyadarkan diri. Bahwa semuanya adalah atas kehendak dari Allah. Bukan semata-mata atas kehendak kita. Bukan semata-mata karena upaya kita. Tapi karena kehendak dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Silakan membuka kembali surat Al Kahf ayat 32 – 44 untuk kisah pemilik dua kebun selengkapnya.

Pun kita harus merenung. Apakah nikmat dan karunia dari Allah yang kita terima itu sebagai rahmat dan kasih sayang Allah, ataukah sebagai istidraj?

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 1 Comment

Pilar Peduli (3), Jangan Mengganggu Pelanggan

Seri Kelimabelas, Serial Jualan dengan Karakter

Kriiiiiiiiiing, dengan 10 “i”. Bisa jadi suaranya berbeda tergantung nada dering gawai kita. Saat dilihat (021) 123456, Great Jakarta. Atau 08wwxxyyzz46. Atau nomor tak dikenal lainnya. Dan bisa jadi nomor sudah kita simpan dengan nama kontak “kartu kredit”. Atau “sales berisik”. Atau nama dengan konotasi negatif lainnya.

Tidak kita angkat. Karena saat kita angkat, langsung banyak kalimat yang meluncur dari speaker gawai kita. Dengan alasan hanya ingin menjelaskan. Dua menit saja.

Bagaimana perasaan kita? Terbantu atau terganggu? Meski ada teman saya yang berusaha menghargai. Atau berempati dengan setia mendengarkan. Punya banyak waktu, mungkin. Meski pada akhirnya tetap menolak. Tapi sebagian besar mengeluhkan perilaku penjual melalui telepon tersebut.

Prinsip #15, Pastikan Upaya Penjualan Kita Tidak Mengganggu Pelanggan

Sebelum berkomunikasi dengan pelanggan, atau melakukan pendekatan dengan calon pelanggan, kita harus perhatikan 3M-nya. Momen, Media, dan Mood.

Pastikan waktunya tepat. Medianya pas. Pastikan kita perhatian dengan kondisi pelanggan dan kita siap untuk berempati.

Membuat janji, khususnya untuk pelanggan B2B adalah hal yang wajib. Agar kita tidak mengganggu mereka. Bisa janji bertemu atau janji menelepon. Janjiannya melalui SMS atau WA. Atau lewat sekretarisnya.

Saya senang dengan penjual sarana produksi pertanian. Yang mereka melakukan pendekatan atau presentasi kepada petani pada malam hari. Tepat, setelah salat Isya. Tidak pagi atau siang harinya. Saat petani – pelanggan-, sedang sibuk dengan tanamannya.

Atau mungkin, malah bertemu di sawah atau kebunnya. Saat petani mengamati tanamannya. Tergantung momen yang sesuai untuk pelanggan kita.

Termasuk ada pelanggan yang lebih senang dihubungi melalui pesan tertulis. SMS atau WA. Dari pada telepon atau bertemu langsung. Lebih memiliki fleksibilitas meresponnya.

Jangan sampai, kehadiran kita atau suara kita justru menjadi gangguan bagi pelanggan. Apa yang kita harapkan dari seorang penjual, itu yang harus kita penuhi saat kita menjadi Penjual.

Jika kita mengharapkan penjual itu harus mampu menjelaskan produk dengan baik, maka kita juga harus menguasai product knowledge yang kita jual. Agar tidak plegak pleguk saat menjelaskan ke pelanggan kita.

Poinnya, penjual, kita, harus berperilaku yang membuat pelanggan kita nyaman ketika berkomunikasi. Tidak berlebihan sebenarnya, jika kita bercita – cita menjadi penjual yang kehadirannya dinanti oleh pelanggan.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 2 Comments

Pilar Peduli (2) – Memenangkan Hati Pelanggan

Seri Keempatbelas, Serial Jualan dengan Karakter

Pasal 1, pelanggan selalu benar. Pasal 2, jika pelanggan salah, lihat pasal 1.

Ah, pelanggan selalu benar? Tentu tidak. Pelanggan bisa “salah”. Secara teknis, pengalaman, keumuman, dalam industri tempat kita berada.

Namun yang pasti adalah, pelanggan adalah selalu pelanggan. Dan penjual, berperan memberikan solusi atas permasalahan mereka, meskipun pelanggan kita, berada pada posisi yang “salah.”

Kita, penjual, harus menjadi solusi bagi pelanggan kita. Terlebih setelah ada penetapan sebagai solusi agroindustri. Solusi dalam industri pertanian.

Prinsip #14,Fokus pada Kebutuhan Pelanggan, Menangkan Hati Mereka

Dalam pasar B2B, dan sebenarnya di semua pasar faktor produksi. Pertanian apalagi. Kalimat pertama yang harus muncul di benak kita sebagai penjual adalah “kapan uang pelanggan bisa kembali, kapan pelanggan kita bisa untung”. Ini yang kita pelajari dari para Business Consultant United Tractor -sebutan untuk Salesman atau penjualnya UT-.

Disisi lain, perusahaan, khususnya penjual, sering kali lebih peduli pada keuntungan. Atau komisi. Bonus dari transaksi. Kalau ada. Dan seberapa sering pelanggan beli produk kita.

Contoh kecil. Petani membeli produk kita (benih, pupuk, pestisida, Probiotik, dll) Bukankah harapannya panennya dapat meningkat? Peningkatan hasil yang diharapkan, adalah lebih besar dari biaya tambahan yang dikeluarkan untuk membeli produk? Atau soal biaya yang dikeluarkan, apakah menjadi lebih murah tanpa mengurangi hasil yang didapat?

Seberapa seringkah kita memikirkan kepentingan pelanggan yang demikian?

(Wiyanto Sudarsono)