Pertanian adalah sebuah seni yang khusus. Seperti dua seni lainnya : pengobatan dan pengajaran.
Demikian yang dinyatakan oleh penulis buku How to Read a Book, Mortimer J Adler & Charles Van Doren, 1972.
Petani, atau pekebun, bisa melakukan banyak hal. Memilih benih atau bibit terbaik. Memberi pupuk dan sistem pengairan terbaik. Tetapi pada akhirnya tanaman itu sendiri yang harus tumbuh. Menunjukan kualitas dan kuantitas panennya. Atau tepatnya, Tuhan-lah yang menumbuhkan dan membuatnya bisa dipanen. Baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Persis seperti pengobatan. Dokter, tabib, mungkin pasien sendiri, bisa melakukan banyak hal. Diagnosa menggunakan alat tercanggih. Menggunakan obat paten, terbaik – dan mahal biasanya-. Tapi Tuhan jugalah yang menyembuhkan.
Karena itu hendaknya kita hanya bersandar kepada Tuhan. Dalam hal apapun. Karena tanpa kehendak dan pertolongan Tuhan, tidak ada daya dan kekuatan.
Tidaklah kita boleh menyandarkan kepada kemampuan diri. Kita juga tidak boleh menyandarkan pada upaya kita. Yang mungkin kita nilai maksimal. Terbaik. Hanya kepada Tuhan lah kita bersandar dan berserah diri.
Tuhan mencontohkan, dan mengajarkan kepada kita. Melalui firman-Nya. Di salah satu kitab yang diturunkan-Nya. Yang kitab itu dijamin penjagaan-Nya. Tuhan berfirman ketika menceritakan salah satu dialog hamba-hamba-Nya : “Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan ‘Masya Allah, la quwwata illa billah’, (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud), tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah…. “. Silakan bukan kembali Quran surat ke-18, Al kahf ayat 39.
Hendaknya kita membaca “Masya Allah, la quwwata illa billah“, ketika memasuki kebun. Atau menyaksikan pertumbuhan tanaman yang bagus. Atau mungkin rumah yang bagus. Atau ketika kita merasakan nikmat-nikmat Tuhan yang lain, yang serupa dengan kandungan ayat di atas.
Untuk menghilangkan Kesombongan diri. Kebanggaan diri. Atas pencapaian-pencapaian yang diperoleh. Dan menyadarkan diri. Bahwa semuanya adalah atas kehendak dari Allah. Bukan semata-mata atas kehendak kita. Bukan semata-mata karena upaya kita. Tapi karena kehendak dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Silakan membuka kembali surat Al Kahf ayat 32 – 44 untuk kisah pemilik dua kebun selengkapnya.
Pun kita harus merenung. Apakah nikmat dan karunia dari Allah yang kita terima itu sebagai rahmat dan kasih sayang Allah, ataukah sebagai istidraj?
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur.
(Wiyanto Sudarsono)