Posted on Leave a comment

Kerja Lagi

Sepi, lift kantor pukul 07.00 WIB/WS

Alhamdulillah, 30 Juli tiba. Hari dimana saya diperbolehkan untuk kembali beraktivitas setelah dinyatakan sembuh dari Covid-19. Tentu saya WAJIB menerapkan protokol kesehatan dalam berkegiatan.

Saya masuk kantor pada Kamis, 30 Juli lalu. Sebagai hari pertama kembali bekerja. Atau hari kedua saya bekerja di bulan Juli, selain pada tanggal 1 Juli. Pembuka dan penutup bulan, semoga Allah memberkahi rezeki kami di bulan Juli, dan bulan sebelum dan sesudahnya. Hari sisanya, saya gunakan untuk berjuang melawan SARS-Cov-2, isolasi di RS atau di rumah.

Hari kedua saya bekerja pasca-Covid-19, adalah pada Senin 3 Agustus 2020. Suasana kantor masih sepi. Mungkin hanya 50% tingkat okupansi kantor pada hari itu. Lift pada jam 07.00 WIB juga lengang, hanya ada beberapa orang. Biasanya, jam-jam itu adalah jam padat.

Pengetatan protokol kesehatan dalam bekerja masih diberlakukan. Protokol seperti karyawan berusia lebih dari 50 tahun wajib bekerja dari rumah, wajib memakai master, sering cuci tangan, termasuk penjadwalan karyawan yang bekerja di kantor. Pengetatan protokol diperpanjang hingga 14 Agustus.

Saya gunakan kesempatan di awal ini untuk memperbaharui informasi pekerjaan. Aplikasi digital office saya plototi (saya lihat dengan saksama) pada setengah hari pertama.

Kemudian saya juga gunakan awal bekerja kembali ini untuk diskusi dengan pihak-pihak strategis terkait dengan pekerjaan saya. Saya kunjungi pejabat dan unit kerja terkait. Sebelumnya, tentu saya telepon, apakah berkenan menerima saya. Alhamdulilah dua unit yang saya kunjungi menerima dengan baik.

Saya sangat mengapresiasi respons orang-orang dan kolega saat pertama bertemu saya. Mereka tentu menanyakan kabar, kesehatan, dan kabar keluarga. Saya bersyukur, tidak ada yang bertanya lagi, “kok bisa kena Covid-19 bagaimana ceritanya?”.  Kalau ada yang bertanya, saya akan minta merdeka membaca artikel “Aku dan Covid-19”.

Saya memaklumi sikap sebagian orang yang masih enggan salat bareng saya, mungkin mereka juga tidak akan mau jika saya ajak makan di tempat, di salah satu restoran di Icon Mall (mal di Gresik). Saya hanya bercanda: “masih belum mau salat bareng saya ya, aku insyaallah aman, saya bersin paling bangkai virus yang keluar. Lha kalau kalian yang bersin, aku tidak tahu apa yang keluar“.  Dibuat asik dan positif saja. Dan saya berkalakar, mengancam orang saat ini mungkin tidak perlu dengan senjata tajam atau kata-kata kasar, cukup dengan berkata: “kalau tidak, saya bersin di hadapanmu sekarang“.

Tidak perlu berkecil hati, mereka waspada. Itu bagus. Artinya mereka berusaha menghindari dari tertular virus corona jenis baru ini. Semangat pertama, utama, dan terpenting bagi orang yang belum terinfeksi.

Saya juga gunakan kesempatan di awal ini kerja ini untuk berbagi pengalaman. Pengalaman sebagai Covider, pasien yang telah sembuh dari Covid-19. Alhamdulillah.

Saya jelaskan mulai dari gejala, baik umum, maupun yang saya rasakan. Saya gambarkan foto thorax saya dari waktu ke waktunya. Dan intinya, kena Covid-19 itu tidak enak, meski tetap ada yang bisa dinikmati dan disyukuri. Saya juga memberi candaan: “bobot saya turun 5 kg, jadi kalau mau turun berat badan, ya kena Covid-19”. Kata saya sambil tertawa. Semoga tidak ada sahabat, kolega, dan pembaca sekalian yang terkena Covid-19.

Karena itu, pertama, jangan sampai terinfeksi, bagi yang belum terkena. Jaga kondisi dan daya tahan tubuh, jangan terlalu lelah dalam berkegiatan, patuhi protokol, sering cuci tangan, dan berdoa kepada Allah agar terhindar dari penyakit ini.

Jika ada gejala, Jangan terlambat. Pahami gejala Covid-19.  Jika kita merasakan gejala itu, tidak harus semua, dua atau tiga gejala (salah satunya gejala utama), maka segeralah minta swab test. Agar tidak terlambat penanganannya. Terlebih bagi orang yang memiliki komorbiditas (penyakit penyerta lainnya).

Jangan Takut, jika ada yang terkena atau positif Covid, jangan takut. Segera saja mendatangi fasilitas layanan kesehatan untuk mendapatkan perawatan sesuai prosedur Covid-19. Jangan menolak layanan, misal tidak mau diisolasi, dan sekali lagi jangan takut. Untuk meringankan sedikit beban pikiran, berwasiatlah. Kemudian fokus pada membangun optimisme, dan semangat kesembuhan, jangan lupa berdoa kepada Allah.

Semoga Allah menjaga kita semua. Amin…

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Hari Raya Tahun Istimewa

1441 Hijriah, sebagian bulan dan harinya bertepatan dengan tahun 2020 masehi. Tahun yang istimewa. Mungkin tahun yang berbeda pada selang 75 tahun terakhir.

Itu karena munculnya virus corona baru, SARS-CoV-2. Makhluk Allah yang sangat kecil, yang dengan izin-Nya menjadi penyebab penyakit Covid-19. Penyakit ini menjangkiti orang-orang di banyak negara (atau semua negara), sehingga jadilah pandemi.

Dua shalat id, idul fitri dan idul adha, dilaksanakan di tengah pandemi ini. Namun, khutbah idul adha kali ini hanya menyinggung pandemi ini sekali, dalam doa.

Setelah membaca pembukaan (khutbatul hajah), dan bertakbir, Khatib mengingatkan perintah berkurban melalui surat dengan tiga ayat. Ya, Surat Al-Kautsar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ
اِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْاَبْتَرُ
1. “Sungguh, Kami telah memberimu (Muhammad) nikmat yang banyak.”
Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).”
2. “Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah).”
3. “Sungguh, orang-orang yang membencimu dialah yang terputus (dari rahmat Allah).”

Begitu lancar Sang Khatib membacakan surat di atas, arab dan terjemahannya.

“Pada hari ini amalan yang paling baik adalah mengalirkan darah. Onta, sapi, atau kambing. Berkurban.” Sang Khatib bersuara lantang.

Kalau melihat kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, maka kita bisa mengambil hikmah, bahwa hakikat berkurban yang disembelih adalah kecintaan terhadap dunia. Karena kecintaan yang pertama dan utama seorang hamba hanyalah untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah uji kecintaan Nabi Ibrahim, tatkala tampak begitu cinta Ia kepada putranya. Dan Nabi Ibrahim berhasil.

Khatib mengingatkan, bukan darah, daging, atau kulit kurban yang sampai kepada Allah, tapi takwa.

Saat ini, kita tidak bisa menyembelih sendiri kurban kita, kita hanya bisa menyaksikan penyembelihan secara virtual melalui panggilan video, dan mungkin tidak bisa memakan daging kurban kita, tapi insyaAllah tidak mengurangi kebaikan dihadapan Allah. Dan semoga Allah menerima amal ibadah kita.

Dan yang paling utama dalam ibadah apapun adalah ikhlas. Karena kita tidakkah diperintahkan kecuali beribadah kepada Allah secara ikhlas.

Sang khatib menutup khutbah dengan doa, agar terhindar dari Covid-19, lepra, gila, kusta, dan penyakit-penyakit yang buruk, memberi kesembuhan kepada keluarga yang sakit, keselamatan dunia dan akhirat. Selesai resume khutbah.

Poin-Poin Khutbah

Saya dapat ceritakan dengan detail khutbah singkat hari ini. Karena tulisan tangan poin – poin khutbah saya dapat. Dan sudah dua id (idul fitri dan idul adha) tahun ini, saya menjadi iman dan khatib salat id kami, di halaman rumah, dibawah pohon jambu dan kelengkeng. Istimewa bersama keluarga satu rumah saja.

Khutbah Idul Adha 1441 Hijriah

TAQABBALALLHU MINNAA WA MINKUM. Semoga Allah menerima amal ibadah kita. Selamat Hari Raya Idul Adha 1441 Hijriah.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 8 Comments

Aku, Ayah, Bunda, dan Kereta

Kereta Stasiun Madiun

Kereta Berhenti di Stasiun Madiun. ANTARA/SISWOWIDODO

Bongkar barang lama saat bersih-bersih rumah, saya menemukan buku agenda lama. Agenda tahun 2016-2017. Seperti biasa, bagian halaman belakang atau sisi kanan buku, berisi hal-hal yang tidak terkait dengan pekerjaan. Biasanya berisi catatan pribadi, ide, atau sekadar pikiran terlintas.

Di buku agenda tersebut, saya menemukan di halaman belakang tulisan berupa Puisi. Puisi yang saya tulis sekitar pertengahan 2016. Tajuknya sama dengan judul tulisan ini.

Saya pikir puisi itu terinspirasi dari obsesi anak sulung kami, Ahnaf. Dulu, kami sering mudik menggunakan kereta api. Surabaya Gubeng (SGU) ke Madiun (MN). Saat Ahnaf kami masih kecil. Hal itu membuatnya terobsesi dengan kereta api. Saya tidak tahu apakah obesesinya mencapai tingkat akut. Tapi yang saya tahu, anak-anak kalau suka sesuatu akan diekspresikan dengan sepenuh kalbu.

Berikut saya sampaikan secara lengkap puisi dari penulis yang masih sedang belajar:

AKU, AYAH, BUNDA, DAN KERETA
oleh Ayah Ahnaf Wiyanto Sudarsono

(Aku)
Aku begitu menyukai kereta
Bentuknya, suaranya, jalannya, aku suka
Jalannya cepat tanpa hambatan
lokomotif di depan, gerbong di belakang, berurutan

(Ayah)
Wahai anakku, alangkah menarik kesukaanmu
Mari kita perhatikan kereta itu
Semoga kita mampu mempelajari dan mengambil ilmu

Jika kehidupan kita ini umpama kereta,
Semoga Ayah menjadi lokomotifnya
Membawa serta membimbing Engkau serta Bunda
Menjalani rel kehidupan menuju surga

Jika kehidupan kita ini adalah kereta
Jadikan Alquran dan Sunah sebagai relnya
Surga sebagai akhir perjalanannya
Dengan kehati-hatian, kesyukuran, dan kesabaran

(Aku dan Bunda)
Demikian pula dengan kami, Wahai Ayah
Semoga menjadi gerbong yang berbakti
Berjalan bersama menapakki
Hingga tiba di stasiun surgawi
Amin …

Posted on 18 Comments

Aku dan Covid-19

Perjuangan dan Harapan

Oleh Wiyanto Sudarsono & Dian Lusiyanti (Ed.)

Aku dan Covid-19

Ini adalah hari-hari karantina/isolasi mandiri. Lamanya tujuh hari, setelah saya diputuskan dapat pulang dari RSPG (Rumah Sakit Petrokimia Gresik) pada 22 Juli.

Syukur terus kami panjatkan, karena Allah berkenan memberi saya kesembuhan dari penyakit yang begitu populer saat ini, Covid-19 (Corona Virus Disease 2019). Covid-19 disebabkan infeksi virus corona baru yang diberi label SARS-CoV-2, dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika lancar, insya Allah, saya sudah kembali beraktivitas pada Kamis, 30 Juli. Saya sudah dapat bertemu orang, dan tentu WAJIB menjalankan protokol kesehatan Covid-19.

Kenalan dengan Covid

Saya pertama kali mengetahui virus corona dari tulisan Pak Dahlan Iskan di blognya disway.id. Begitu sering beliau membahas virus corona, seingat saya mulai Oktober atau November 2019. Begitu seringnya, sehingga pembaca ada yang menanggapi dengan nyinyir, dan nada bosan. Minimal timbul perasaan “corona lagi – corona lagi, atau virus wuhan lagi – virus wahana lagi”. Saya juga tahu, waktu itu, ada yang beranggapan virus corona tidak akan masuk Indonesia, karena panas dan beriklim tropis.

Namun, pada 2 Maret 2020, pembaca seolah bungkam, kaget, tercengang, dan seolah tidak percaya. Kasus pertama Covid-19 muncul di Indonesia. Pembaca seolah merefleksi kembali, “ini toh yang dulu diingatkan untuk hati-hati, untuk mempersiapkan jika datang virus yang membawa penyakit”, kemudian menjadi pandemi ini. Kita sudah diingatkan sebenarnya, oleh Pak Dahlan Iskan, melalui tulisannya yang berulang –ulang. Membahas corona, Wuhan, Tiongkok. Pembahasan seperti itu sampai berseri-seri di disway.id.

Diampiri Covid-19

Saya selalu tidak punya jawaban, atau bingung ketika ditanya: “Kok bisa kena Covid bagaimana?”. Saya bingung mau jawab apa. Karena, kita dapat terkena covid karena terinfeksi virus corona yang disebut SARS-CoV-2. Virusnya tidak terlihat mata secara langsung, sehingga saya tidak tahu pastinya kapan, bagaimana, dan dari siapa si corona masuk ke tubuh saya.

Saya biasanya hanya menjawab: “qadarullah, mungkin pas kondisi tubuh saya sedang kurang fit.” Di satu lantai kantor saya, terlebih dahulu ada anggota keluarga karyawan positif covid, dilanjutkan ada karyawan yang juga positif covid. Tentunya kami satu toilet dan satu musala.

Saya tidak tahu pastinya terinfeksi dimana. Saya juga keluar rumah, untuk kebutuhan sehari-hari. Keluar sudah pakai masker, berusaha sebisa mungkin jaga jarak. Tetap kena, ya berarti sudah takdir Allah, sudah begitu yang tertulis di Lauhful Mahfuz.

Saya terinfeksi virus corona sekitar akhir Juni. Gejala mulai muncul di tanggal 29 Juni. Gejala yang muncul adalah demam dan nyeri sendi. Tanggal 30 Juni saya tidak masuk kantor, izin sakit.

Tanggal 1 Juli saya masuk kantor lagi, tapi sepulang kantor (pukul 16.15-an) langsung ke UGD, karena demam sudah tiga hari. Saya lakukan cek darah, rapid test, dan foto thorax. Pukul 19.30, saya ke UGD lagi, konsultasi hasil rapid dan foto thorax. Hasil rapid saya: non reaktif. Saya ceritakan bahwa saya demam dan persendian terasa sakit. Saya ceritakan juga bahwa saya mengonsumsi Allopurinol 300 mg. Obat penurun asam urat. Sakit sendi itu saya duga asam urat, karena pada Minggu sebelumnya, saya banyak mengonsumsi makanan pemicu asam urat.

Hari-hari berikutnya beberapa gejala menyusul. Setelah Demam (suhu tubuh mencapai 38,8°C) yang merupakan gejala utama, muncul nyeri otot (sebelumnya saya duga asam urat), mudah lelah (inginnya tidur), kemudian hilangnya kemampuan mengecap rasa.

Makanan apa pun yang masuk dalam mulut terasa hambar. Termasuk mi instan goreng yang saya hafal betul kuat micinnya, pun rasanya hambar.

Semua gejala muncul sebelum saya di rawat. Akan tetapi, saat bertemu dokter, gejala yang muncul dan saya ceritakan adalah demam dan nyeri sendi. Sisanya muncul sebelum saya masuk rumah sakit untuk isolasi, setelah bertemu dokter Spesialis Paru.

Berikut kronologi pemeriksaan saya berdasarkan urutan waktu adalah sebagai berikut:

  • 1 Juli 2020, UGD, Cek Darah Lengkap, Rapid Test (NON REAKTIF), Foto Thorax.
  • 6 Juli 2020, UGD, Dirujuk ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam (Sp. PD), di Dokter Sp. PD, diminta Cek Darah Lengkap, Rapid Test. Dikonsultasikan 7 Juli 2012
  • 7 Juli 2020, Dokter Sp. PD, Rapid Test NON REAKTIF, dirujuk ke Spesialis Paru (Sp.P)
  • 8 Juli 2020, Dokter Sp. P, diminta swab test.
  • 9 Juli 2020, swab test dan foto thorax.
  • 11 Juli 2020, malam, hasil swab test keluar, POSITIF. Dan mulai isolasi dan perawatan di RSPG, Kamar 403A. Keluhan utama adalah demam, napas pendek, tidak sesak, tapi tidak dapat mengambil napas panjang. Gejala lainnya adalah hilangnya kemampuan mengecap rasa. Badan terasa lemah.
  • 11 – 22 Juli 2020, perawatan, infus, bantuan oksigen, makanan bergizi, obat dan vitamin.
  • Foto Thorax pada 12, 15, 18 dan 21 Juli 2020.
  • Swab test pada 13, 17, dan 21 Juli 2020.
  • 22 Juli malam, saya diizinkan pulang.
  • 23 Juli pukul 08.50 saya meninggalkan rumah sakit.

Gejala dan Kondisi Kejiwaan

Saya mengalami panas tinggi, berulang-ulang setiap enam sampai delapan jam. Setiap delapan jam saya minum obat Paracetamol 500 mg. Meski saat itu rapid saya Non Reaktif, saya memiliki dugaan kuat ke arah Covid-19. Saya pun bertekad, jika sampai hari tertentu (seingat saya Kamis, 9 Juli) belum di swab, saya akan ke RS di Surabaya. Alhamdulillah tanggal 9 pagi di swab dan cukup di RSPG.

Sejak tanggal 1 Juli, sepulang dari UGD, saya sudah meminta istri saya menyiapkan satu kamar khusus di rumah untuk saya tempati. Saya sudah mengisolasi mandiri. Di kamar tanpa AC, kamar mandi di dalam, dan kamar relatif terpisah dari rumah utama.

Demam tinggi membuat badan tidak nyaman. Badan panas yang benar-benar di rasakan panas, bukan badan panas tapi tubuh menggigil kedinginan.

Pikiran kacau. Dipuncak panas dan gejala, di ingatan dan hati hanya ada “diriku, diriku”. Pikiran dan kejiwaan sedikit tergoncang. Ada ketakutan, bukan pada risiko terbesar orang hidup, yaitu mati. Tapi yang ada pada pikiran saya: apakah dosaku sudah diampuni oleh Allah? Apakah dosa menggunjing akan diampuni dan tidak akan membuat saya rugi, atau…..? Apakah nanti malaikat yang datang berwajah rupawan ataukah menyeramkan?

Saya panggil istri saya. Saya bilang “ambil pulpen dan kertas, tulis”. Dia saya minta menulis wasiat, meliputi seluruh kewajiban yang belum saya tunaikan, amanah yang saya pegang, termasuk folder di komputer kantor tempat saya menyimpan pencatatan – pencatatan terkait itu. Dia menulis sambil menangis. Mungkin hatinyi sudah tidak berbentuk.

Saya masih ingat ada persoalan yang masih mengganjal. Waktu itu tengah malam. Saya duga Istri saya sudah tidur, setelah seharian merawat saya dan anak-anak.

Semalaman saya tidak dapat tidur. Menjelang subuh saya telepon adik perempuan saya. Saya minta Dia ambil kertas dan pulpen. “Tulis!” saya bilang. Beberapa persoalan yang mungkin muncul, langkah yang saya harapkan seperti apa, kewajiban-kewajiban saya, termasuk terkait penghidupan istri dan anak-anak setelah saya. Saya minta dia menulis. Pecah juga tangisnyi.

Saya pikir wasiat ini penting. Istri dan keluarga saya tidak atau belum tentu tahu semua kewajiban, dan amanah yang saya pegang. Karena itu, jika kondisi kritis atau hendak safar/perjalanan jauh saya berwasiat. Kondisi saat itu begitu kritis, paling tidak itu yang saya rasakan. Dan saya ingat berwasiat adalah sunnah Rasulullah.

Salah satu kondisi psikologi yang muncul adalah merana hina. Kok bisa saya terkena infeksi virus SARS-CoV-2? Apakah tidak menerapkan protokol? Apakah saya seceroboh itu? Bagaimana nanti pandangan tetangga, kawan, kolega? Perasaan itu segera saya tepis. Karena saya pikir itu hanya akan menghancurkan semangat. Jika semangat hancur, daya tahan tubuh juga hancur, dan covid akan menghancurkan diri saya. Pesan ini berkali-kali disampaikan istri saya juga.

Setelah kondisi badan membaik, baru perasaan sedikit demi sedikit pulih. Anak-anak mulai hadir di hati dan pikiran. Semakin membaik lagi, kerinduan kepada keluarga mulai muncul. Semakin membaik, kebosanan di ruang isolasi mulai menghampiri. Keinginan untuk segera pulang semakin membuncah.

Saat kebosanan mulai melanda, saya membutuhkan dukungan dan sedikit hiburan. Keluarga, sahabat, kolega, dan bertelepon dengan orang lain bisa menjadi pelipur kebosanan. Kadang saya yang menelepon mereka. Panggilan video (video call) tepatnya, bahkan terkadang dalam grup. Hal itu membuat saya lebih baik.

Keberadaan bahan bacaan sangat penting bagi saya. Saya membawa dan membaca tiga buku berbeda. Sepuluh Genap karya saya sendiri, The Tipping Point karya Malcolm Gladwell, Matinya Seorang Penulis Besar oleh Mario Vargas Llosa. Tidak ada yang selesai saya baca. Kecuali buku saya sendiri, yang tentu telah berulang kali saya baca, saat menulis, menyunting, dan finalisasi. Tapi itu memberi penghiburan, paling tidak pengalih perhatian dari rasa bosan, suntuk, dan ketidak nyamanan perasaan.

Membaca, selain mengusir kebosanan, juga memberi nutrisi bagi pikiran. Itu perlu, untuk menumbuhkan optimisme. Paling tidak saya ada semangat optimisme yang muncul: “ayo berjuang, dengan izin Allah, saya masih perlu untuk berkarya lebih banyak, saya masih ingin menebar manfaat”. Kita membutuhkan semangat untuk berjuang melawan covid. Bisa bermacam-macam alasan untuk menyemangati diri agar berjuang, tidak menyerah, dan tidak berputus asa dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Saya memastikan tidak kurang dari 20GB paket data saya. Saya tidak tahu di RS ada free wifi (bukan wife) atau tidak. Saya tidak bertanya. Dengan paket internet, saya bisa mengakses youtube, facebook, WA, IG, dan tentu saja saya bisa membagi artikel-artikel pendek yang saya tulis dari ruang isolasi. Tentu saya mulai menulis ketika kondisi sudah mulai membaik. Tanggal 18 Juli tulisan saya pertama (Judul: Pandangan 403), yang dilanjutkan pada hari-hari berikutnya dengan tulisan lain terkait covid yang saya alami. Eh, tanggal 12 saya menulis ternyata (Judul: Kesadaran), tapi lebih pada perenungan selama sakit. Dan tanggal 16 Juli saya menyunting dan mengunggah tulisan istri saya.

Perawatan

Bakda Magrib 11 Juli, saya diantar istri saya menuju Rumah Sakit, saya yang mengendarai kendaraan. Tak jauh dari rumah kami, berada dalam kompleks perumahan yang berjarak kurang dari satu KM. Begitu masuk pada 11 Juli malam, saya mendapat kamar yang telah dihuni anggota Tim Auditor Internal SMAP (Sistem Manajemen Anti Penyuapan) yang saya ketuai waktu itu. 403 itu nomor kamar kami. Sejak itu kami menjadi teman berbagi cerita dan berjuang bersama menuju kesembuhan, insya Allah.

Malam pertama, saya lupa dapat obat apa. Esok paginya saya dapat 5 jenis obat kalau tidak salah, dengan total tujuh keping (tablet atau kapsul). Ada vitamin, anti virus, dan lain-lain.

Tanggal 12 pagi atau siangnya, saya minta diinfus. Badan terasa lemas sekali. Hal lainnya, berdasarkan pemeriksaan kadar oksigen, saya butuh bantuan tambahan oksigen. Dengan minimal nilai kadar oksigen yaitu 95, saya berada dinilai 90. Maka saya diberi bantuan selang oksigen di hidung. Saat panggilan video dengan orang tua di Lampung, selang tidak saya pasang, agar tidak bertambah khawatir.

Hari-hari perawatan saya jalani. Mulai 11 Juli, atau efektif mulai 12 Juli hingga 22 Juli 2020. Perawatan mulai bangun tidur, hingga tidur lagi sesuai yang saya ingat meliputi:

  • Pemeriksaan tekanan darah jam 5 pagi, tekanan darah, suhu, dan kadar oksigen.
  • Sarapan dan obat pagi.
  • Pengambilan sampel darah, seingat saya 2 hari sekali dan jika diperlukan.
  • Foto Thorax 3 hari sekali.
  • Pengambilan sampel mukus untuk swab 4 hari sekali.
  • Makan siang dan obat.
  • Suntikan vitamin atau obat via infus jika diperlukan.
  • Cek tekanan darah, seperti pada pagi hari.
  • Makan malam dan obat.
  • Cek tekanan darah seperti pagi dan siang hari.
  • Di sela-sela itu ada kunjungan dokter jaga, atau dokter penanggung jawab pasien/ DPJP (Sp. P)

Dukungan Perusahaan, Keluarga, Sahabat, Kolega, Tetangga, dan Ustaz

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah yang menganugerahi kami keluarga, tempat bekerja, tetangga, sahabat, kolega, teman grup WA, dan ustaz yang perhatian dan mendukung kepada kami. Dan saya pikir dukungan seperti ini yang dibutuhkan pasien covid dan keluarganya.

Ketika saya positif covid dan isolasi di rumah sakit, otomatis keluarga dan yang tinggal serumah dengan saya wajib isolasi mandiri di rumah. Alhamdulillah, hasil swab istri saya Negatif, rapid test anak-anak dan pengasuh anak-anak kami Non Reaktif. Segala puji hanya untuk Allah atas penjagaan terbaik-Nya.

Tiga kali sehari Departemen Pelayanan Umum dari perusahaan mengirim katering sejumlah empat porsi ke rumah. Untuk anak-anak, istri, pengasuh. Bantuan perawatan kesehatan dan uji atau test kesehatan juga diberikan. Walhamdulillah. Semoga Allah menjaga perusahaan kami.

Perhatian dari keluarga (Bapak, Mamak, Adik-Adik, Mas dan Mbak, Paman dan Bibi) juga besar. Video call beberapa kali sehari, menjadi penghibur di kala isolasi. Insya Allah doa dari mereka senantiasa mengalir. Tawaran dana jika membutuhkan pun mereka berikan. “insya Allah masih ada” jawab saya atas tawaran mereka.

Kiriman makanan, bahan makanan, buah, kudapan, probiotik, vitamin, hand sanitizer, masker, desinfektan, dan lainnya, deras mengalir dari tetangga, sahabat dan kolega. Bantuan pengiriman barang, bahkan membelikan kebutuhan saya ketika di rumah sakit pun dilakukan oleh sahabat kami. Pintu pagar depan dan samping rumah menjadi saksi bisu paket cinta mereka. “Mbak, cek pagar ya” begitulah cara mereka menggantungkan paket cintanya. MasyaAllah. Hanya Allah sebaik – baik pemberi balasan kebaikan.

Perhatian, dukungan dan doa dari kolega dan Ustaz juga mengalir. Menanyakan kondisi terkini, melalui WA, beberapa melakukan panggilan video untuk mengobrol, menyemangati, dan mengurangi kebosanan. Beberapa kali saya menelepon mereka. Bahkan sahabat dan kolega sesama Coviders (coviders = nama keren yang kami sematkan untuk sesama penyitas Covid-19) saling menguatkan, saling menyemangati. Sisa grup WA coviders saja yang belum dibuat.

Jazakumullahu kahairan katsiran, terima kasih kepada keluarga, PT Petrokimia Gresik, sahabat, kolega, tentangga, Ustaz, dan tenaga kesehatan RSPG yang telah mendukung kami. Semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan kebaikan yang berlipat.

Kepulangan

Setelah dirawat 11 hari (efektif 12 s.d. 22 Juli 2020), saya diperkenankan pulang. Informasi diberikan 22 Juli malam, pukul 21.05 WIB. Terlalu larut jika saya pulang malam itu juga. Ruang isolasi di rumah belum disiapkan lebih lanjut. Saya minta izin pulang tanggal 23 Juli sekitar pukul 09.00.

Pagi 23 Juli saya masih mendapatkan sarapan dan vitamin, Alhamdulillah. Saya dibantu perawat membawa turun barang-barang. Saya meninggalkan RSPG sekitar pukul 08.50.

Saya kutipkan bagian utama surat keterangan kepulangan saya:

“(Tn. Wiyanto, SE) telah menjalani isolasi di RS Petrokimia Gresik, secara klinis dan radiologis dinyatakan sembuh dan dapat bekerja dan beraktivitas kembali dengan tetap wajib menjalankan protokol kesehatan per tanggal 30 Juli 2020”. Terkait kepulangan ini saya telah menulis artikel dengan judul: “Syukur Kembali Pulang”.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

‘[Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush shalihat]’, Segala puji hanya milik Allah yang dengan segala nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Saya pulang dengan bobot tubuh 76,6 kg. Sebelum sakit, bobot saya 82-83 kg. Saya bertekad, untuk bobot tubuh tidak kembali ke kepala 8. Saya berselancar mencari olah raga yang tepat untuk menurunkan berat badan. Semoga bisa istikamah, sehingga berat badan bisa paling tidak di angka 70 kg, sebagaimana nasihat dokter dua tahun lalu.

Isolasi Mandiri

Dari surat keterangan tertanggal 23 Juli 2020, tersirat bahwa saya harus melakukan isolasi mandiri selama tujuh hari. Yakni mulai 23 sampai 29 Juli. Sebelum tanggal 30-nya saya dapat kembali bekerja dan beraktivitas kembali. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), di bagian pemulangan pasien halaman 105.

Di rumah, saya sudah disediakan kamar. Kamar yang telah saya gunakan untuk isolasi sebelum saya dirawat di RSPG. Kamar itu telah dibersihkan ulang, dirapikan, dan didisinfektan. Tanpa AC, dengan tambahan kipas angin kecil. Cukup nyaman, tentu karena kondisi tubuh telah jauh lebih baik.

Aku dan Covid-19-2

Kamar isolasi saya buat senyaman mungkin. Kasur, meja kecil, meja & kursi, komputer jinjing (laptop), sound system, aroma diffuser (aroma terapi), dan buku-buku.

Isolasi mandiri di rumah tentu ada tantangan. Anak-anak ingin ikut dan ingin masuk kamar. Penjelasan dan pengertian telah diberikan.

Isolasi di rumah bagi saya, tidak berarti tidak keluar rumah atau kamar, saya melakukan beberapa kegiatan di antaranya, bercocok tanam. Saat ini sedang menunggu kecambah dari kangkung dan bayam merah yang saya tanam di halaman rumah. Semoga bisa sampai panen.

Selain itu, saya membersihkan sekeliling rumah. Sebagian sudah berhasil dibersihkan. Saya juga berjemur dan berolah raga ringan. Matras Yoga yang saya beli beberapa bulan lalu saya keluarkan. Untuk berolah raga ringan, agar sehat dan berat badan tidak naik dan semoga bisa turun ke angka yang ideal. Bismillah.

Saya berkeringat dengan mencuci mobil, mulai memvacum, mencuci, dan mendisinfektan kabin mobil. Saya juga memperbaiki beberapa bagian rumah yang tidak tepat. Kunci pintu kamar yang rusak karena sering dibanting anak, kunci pintu yang menjadi tidak pas karena kayunya memuai. Kegiatan isolasi yang bermanfaat, selain tentunya membaca dan menulis artikel.

Perubahan Kecil

Sebagai tindak lanjut protokol kesehatan dan karena telah mengetahui bahwa kena covid tidak enak, saya memesan secara daring: dua set hand sanitizer beserta tatakan (bracket) dinding dan satu set handsanitizer beserta tatakan (bracket) ranjang. Dua isinya saya ganti dengan sabun. Satu untuk di kran samping, satu di kran depan, dan satu hand sanitizer di sebelah pintu kamar isolasi saya. Semoga usaha ini bisa membuat kami lebih sehat dan terhindar dari covid.

Garda terdepan menghadapi Covid-19 adalah diri kita sendiri, dengan menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh, serta melakukan protokol kesehatan dengan disiplin dan tertib. Hal ini akan membantu pencegahan, dan mengurangi laju penyebaran Covid-19, bi idznillah.

Jika qadarullah kena covid, jangan panik. “Isolasi” sering kami (coviders) istilahkan dengan “umrah lokal,” karena lamanya mirip dengan paket umrah. Atau anggap rekreasi, tidur hotel dengan pemantauan kesehatan setiap waktu. Tetap optimis, dan jangan lelah berharap kesembuhan dari Allah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kesehatan, perlindungan, dan penjagaan dari penyakit Covid-19 ini dan penyakit lain yang mengerikan.

Salam sehat dan bugar.

(Wiyanto Sudarsono; Editor: Dian Lusiyanti)

Posted on Leave a comment

Terima Kasihku Untukmu

Setiap ujian yang istimewa akan memunculkan orang, komunitas, ataupun karakter pribadi yang istimewa pula. Sering dijadikan analogi adalah pedang atau pisau, atau perkakas serupa.

Pisau dan pedang terbaik tentu adalah baja damaskus. Untuk memperoleh kekuatan, keelastisitasan, dan ketajaman istimewa, maka baja damaskus harus dipanaskan, ditempa, dilipat, dipanaskan, ditempa, dilipat lagi, berulang hingga baja memiliki 480 lapisan. Sungguh berat ujian bagi baja itu. Namun hasilnya, pedang atau pisau yang tajam, kuat, lentur, dan memiliki pamor yang indah. Soal ketajaman, pedang atau pisau ini bisa membelah (memanjang, bukan memotong) sehelai rambut menjadi dua.

Itu ilustrasi dan analogi bahwa ujian berat atau memunculkan karakter hebat.

Ujian Covid-19

Selama diisolasi (karena terinfeksi virus Covid-19) di RSPG berapa waktu lalu, tentu saya tidak boleh dijenguk oleh keluarga, apalagi ditemani. Biasanya kalau sakit, ada keluarga yang menemani di ruang perawatan.

Meski tidak dijenguk, tetapi masih boleh terima kiriman. Barang kebutuhan, makanan, minuman, masih boleh dikirimkan dari luar rumah sakit.

Pengirimannya via kurir, selain terkadang ada sahabat yang mengantar. Masuk untuk mengantar barang juga begitu dibatasi. Masuk lift khusus pengunjung (dulunya), lift non pasien. Begitu sampai lantai yang dituju (misal lantai 4 untuk kirim ke saya), pintu lift terbuka dan sudah langsung ada semacam loket/counter penerimaan barang. Tertutup. Orang tidak bisa melintas. Barang cukup diletakkan di meja yang disediakan. Nanti akan ada perawat ber-APD lengkap yang akan mengambil dan menyampaikannya ke pasien yang dituju.

Kali ini saya berterima kasih sepenuhnya kepada teman hidup saya, istri saya. Yang begitu bersemangat, telaten, dalam mengusahakan keperluan saya di RS. Disiapkan dari rumah. Karena dia juga harus isolasi mandiri di rumah. Karena saya positif Covid-19. Sehingga seisi rumah harus karantina atau isolasi mandiri, di rumah. Berbagai kebutuhan dan prasarana selama isolasi di RS, disiapkan dan tentunya dikirimkan.

Paling senang karena selalu ada Pesan cinta di setiap kiriman. Membuat bergelora hati ini, terutama saat menjelang kepulangan.

Pesan Cinta

Selama saya diisolasi di kamar 403 RSPG pun, kami (saya dan istri) berbincang lebih sering, via panggilan video. Mungkin frekuensi dan intensitas obrolan kami lebih besar dibanding sebelum dirawat. Biasanya obrolan selesai karena anak-anak sudah mulai ribut. Mungkin sebelum dirawat, beralasan kesibukan, beneran sibuk atau sok sibuk, sehingga jarang ngobrol lama.

Saat saya sudah diperkenankan pulang, dan isolasi di rumah, Sang Istri sering menemani saya. Dia duduk di pintu masuk kamar isolasi mandiri, pakai masker, dan saya di dalam kamar. Ngobrol lama. Ditemani berbagai masakan, dan kudapan istimewa darinyi.

Ujian Covid-19 ini telah menempamu wahai istriku, sehingga terlihat pamor indah, kuat, dan istimewa darimu. You Are The Bestest.

Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang banyak. Terima kasihku padamu begitu besar. Kata-kata di artikel ini tidak cukup menggambarkan rasa syukurku kepada Allah atas dirimu. Barakallahu fiik.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 1 Comment

Memahami dan Merasakan

Orang tua mengajar anak/id.theasianparent.com

Guru, digugu dan ditiru. Perkataannya didengarkan untuk diikuti, perilakunya ditiru dan dicontoh oleh murid-muridnya. Menjadi guru sebuah profesi yang berat, dan hebat, menurut saya. Dan jadi guru–yang baik– itu tidak mudah. Guru disini termasuk berbagai padanannya seperti Ustaz, Ustazah, kiai, ulama, buya, dosen, tutor, pendidik, dan sinonim lainnya.

Rasa “guru” memang terlihat sekali dalam jenjang pendidikan dasar. Guru yang mengajar, mendidik, anak murid SD, TK, dan PAUD. MasyaAllah, betul-betul mendidik. Nah, untuk guru lembaga pendidikan prasekolah dan sekolah dasar, tulisan ini didedikasikan.

Guru Paruh Waktu

Saat ini banyak sekali orang yang bertambah profesi, sebagai guru paruh waktu. Ya, mereka adalah para orang tua yang saat ini menjadi guru paruh waktu bagi anak-anaknya. Mengawasi, membimbing, mencontohkan, mengarahkan, mendampingi aktivitas pembelajaran. Selain kegiatan dan pekerjaan harian para orang tua, yang sebagian mungkin dilakukan dari rumah (Work from Home).

Anak-anak belajar di rumah, sekolah memandu dari jauh, orang tuanya yang mendampingi. Orang tua sebagai pengganti guru secara fisik. Materi tetap dari sekolah.

Bagi sekolah khusus, misal kelas program menghafal Alquran. Sekolah memberikan target hafalan harian. Orang tua yang sepenuhnya menjadi pendamping menghafal, dan mengulang. Orang tua dengan penuh kesabaran, bisa mentalaqi (membaca dan dikuti), atau menyimak hafalan anak, dan seterusnya. Tentu dengan segala keunikan masing-masing anak, anak para orang tua sendiri.

Orang tua sebagai guru paruh waktu, dituntut merasakan upaya membina anak, dengan arah yang dikehendaki orang tua yaitu bercita-cita menjadi orang tua dan memiliki anak penghafal Alquran. Cita-cita yang tidak kecil.

Sebagai orang tua yang juga guru paruh waktu, sebagian orang belajar ulang. Belajar parenting, komunikasi dengan anak, dan juga tentang home schooling (sekolah di rumah).

Orang tua merasakan bagaimana mendidik, mengajar, mengarahkan anak-anak mereka sendiri. Sehingga bagi saya, kita sebagai orang tua jadi tahu, betapa besar perjuangan para guru, Ustaz – Ustazah, dalam membimbing anak-anak kita. Dengan sebagai keunikan dan keistimewaan mereka.

Saya sampaikan Jazakumullahu khairan kepada pada guru, Ustaz – Ustazah, yang telah membimbing anak-anak kami selama ini. Mengarahkan mereka dan mendampingi mereka dalam berkembang secara intelektual, moral dan adab. Jazakumullahu khairan.

Tidak Bisa Instan

Mendidik adalah sebuah aktivitas yang perlahan dan pelan – pelan. Tidak bisa instan.
Memang mendidik dan mencetak generasi penghafal Al-Qur’an itu tidaklah mudah seperti membalikkan tangan.Perlu ekstra kesabaran dan usaha.” Pesan WA salah satu Ustaz sekolah anak kepada saya.

Perlu sabar dan istiqamah. Ini mungkin semangat yang dimiliki para guru, Ustaz -Ustazah di sekolah. Seharusnya sebagai orang tua, kita juga bersikap demikian. Lha yang kita didik anak-anak sendiri. Seharusnya upaya kita, kesabaran kita, keteguhan kita, sudah selayaknya lebih besar.

Terakhir, sekali lagi kami haturkan terima kepada para Guru, Ustaz dan Ustazah. Semoga Allah membalas dengan kebaikan. Perjuangan kalian sangat besar mendidik anak-anak. Jazakumullahu khairan jaza.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Keridaan

Gambar: santossalam.blogspot.com

Sakit adalah musibah, sebuah kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa. Sakit serta musibah adalah bagian dari takdir Allah.

Semalam saya membaca sebuah ayat suci yang menentramkan. Ayat 11 dari surat At-Tagābun [64], Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.At-Tagābun [64]:11).

Sangat indah. Kita sakit, kita tahu itu dengan izin Allah, kita rida, kita beriman, maka hati kita akan mendapat petunjuk.

Ayat itu bukan pembenaran atas kesebronoan kita meremehkan musibah dan sakit/penyakit. Serta bukan motivasi keberanian untuk tidak menghindari sumber musibah, bencana, atau sumber penyakit. Atau seolah menantangnya.

Bahkan, dengan menghindari, melakukan usaha pencegahan, adalah kesempurnaan keimanan terhadap takdir dan keimanan terhadap perlunya “izin Allah” atas segala sesuatu.

Karena di ayat 11 dari surat ketiga belas (Ar-Ra’d) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS.Ar-Ra’d [13]:11)

Menghindari sebab musibah adalah keimanan. Setelah berusaha mencegah dan menghindari, tapi masih kena, maka itu tidak terjadi kecuali atas izin Allah. Keridaan, karena sudah maksimal berusaha, dan keimanan atas izin Allah. Dan yakin, ada hikmah besar di dalamnya.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 3 Comments

Syukur Kembali Pulang

Ilustrasi: Kembali Pulang

Malam tadi, Rabu 22 Juli 2020, sekitar pukul 21.05 WIB dokter jaga (saya agak sulit membedakan tenaga kesehatan, semua memakai, mohon maaf, kami menyebutnya baju astronot) memberikan informasi. Alhamdulillah, saya sudah diperbolehkan pulang. Bahkan malam itu juga.

Setelah menghubungi rumah, dan berbagai pertimbangan saya memutuskan pulangnya esok pagi, hari ini Kamis, 23 Juli 2020. Pukul 08.50 WIB saya meninggalkan rumah sakit, kembali ke rumah.

Ruang khusus isolasi mandiri telah disiapkan. Telah dibersihkan ulang, dan persiapan perlengkapan lainnya. Ruangan relatif terpisah dari rumah utama. Kamar mandi di dalam kamar. Tanpa AC, saya perlu menambahkan kipas angin.

Kamar isolasi mandiri

Pemeriksaan pagi cukup baik tenan darah 120/80, suhu 35,9°C, oksigen darah 97. Saya tidak tahu satuan tingkat oksigen, nampaknya persen (%). InsyaAllah baik. Saya hanya sedikit bercanda dengan perawat. Saya katakan “biasanya pagi saya 110, karena mau pulang mungkin, jantung bergelora.”

Pagi ini saya sempatkan membaca ulang KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.01.07/MENKES/413/2020 TENTANG PEDOMAN  PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN  CORONAVIRUS  DISEASE  2019  (COVID-19). Dokumen yang cukup tebal. Tampaknya juga lengkap, dengan 207 halaman A4, berbentuk file pdf. Lebih tebal dari buku saya, “Sepuluh Genap” yang hanya 269 halaman kertas A5.

Tentu tidak semua Keputusan Menteri saya baca. Cukup mencari sana sini, dengan kata kunci yang saya inginkan. Itu enaknya dokumen/e-book file pdf. Saya baca terutama bagian pemulangan pasien. Agar saya tahu masuk di kriteria yang mana.

Pemulangan Pasien
 
Ada di halaman 104 dan 105 pdf Keputusan Menteri Kesehatan. Berikut kutipannya :
Pasien  dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit, bila memenuhi  kriteria  selesai  isolasi dan memenuhi kriteria klinis sebagai berikut:
a. Hasil assesmen klinis  menyeluruh  termasuk diantaranya gambaran  radiologis menunjukkan perbaikan, pemeriksaan darah menunjukan perbaikan,  yang dilakukan oleh DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pasien) menyatakan pasien diperbolehkan untuk pulang.
b. Tidak ada tindakan/perawatan yang dibutuhkan oleh pasien, baik terkait sakit COVID-19  ataupun masalah kesehatan lain yang dialami pasien.

DPJP perlu mempertimbangkan  waktu  kunjungan  kembali  pasien dalam  rangka masa  pemulihan.

Khusus  pasien  konfirmasi dengan gejala  berat/kritis  yang sudah dipulangkan  tetap  melakukan  isolasi  mandiri  minimal 7 hari  dalam rangka pemulihan  dan kewaspadaan terhadap munculnya  gejala COVID-19,  dan secara konsisten  menerapkan  protokol  kesehatan.
Selesai kutipan Keputusan Menteri.

Saya pulang dengan kriteria “sembuh dan dapat bekerja serta beraktivitas kembali dengan tetap WAJIB menjalankan protokol kesehatan per tanggal 30 Juli 2020“. Demikian surat keterangan dari DPJP saya. Alhamdulillah, puji syukur kami panjatkann kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memberi kesembuhan.

Meski sudah pulang, saya harus isolasi mandiri selama 7 hari. Tepat sesuai rekomendasi hasil asesmen DPJP.

Saya lebih bersyukur lagi, bahwa status sudah aman, dan tidak dalam pantauan. Sehingga dari Rumah Sakit saya dirawat tidak perlu ada kunjungan periodik dan beberapa pemeriksaan parameter kesehatan. Termasuk tidak perlu Swab berkala lagi. Hanya, dokter menginformasikan jika ada keluhan langsung hubungi dokter rumah sakit, untuk mendapatkan penanganan. Termasuk dibekali surat kontrol ke dokter DPJP. Hanya jika ada keluhan. Semoga tidak perlu digunakan.

Alhamdulillah. Kita tidak mengharapkan ada keluhan kesehatan terkait Covid-19 ini lagi. Status dalam surat keterangan begitu membahagiakan. Saya tetap harus waspada, dan hati-hati.

Saya kutipan lagi sebagian Keputusan Menteri Kesehatan untuk kriteria sembuh.

“Pasien  konfirmasi  dengan  gejala berat/kritis  dimungkinkan memiliki hasil pemeriksaan  follow up  RT-PCR persisten positif,  karena pemeriksaan RT-PCR masih dapat mendeteksi bagian  tubuh virus COVID-19 walaupun virus sudah tidak aktif lagi (tidak menularkan lagi). Terhadap  pasien tersebut, maka  penentuan  sembuh berdasarkan hasil assesmen yang dilakukan oleh DPJP.” Selesai kutipan.

Meski Hasil PCR (Swab) positif, kita bisa dinyatakan sembuh, karena sudah tidak menunjukan gejala, dan positifnya hasil Swab karena uji mendeteksi bangkai virus. Bangkai virus, demikian sebagian pihak menyebut agar lebih mudah dipahami.

Syukur Alhamdulillah, dapat kembali pulang. Sembuh secara klinis dan radiologis. Saya masih harus menerapkan protokol kesehatan dan isolasi mandiri paling tidak tujuh hari ke depan. Tidak bisa langsung peluk sana sini, harus hati-hati. Keluarga, terutama anak – anak sudah diberi pembekalan oleh Emaknya.

Alhamdulillah, semoga kawan semua yang juga terinfeksi Covid-19 segera diberi kesembuhan oleh Allah. Dan semoga banyak dari dosa kita yang diampuni Allah.

Bagi yang tidak terinfeksi, berusahalah agar jangan sampai terinfeksi. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kita dengan Sebaik-baik penjagaan. Dan semoga vaksin Covid-19 dapat segera digunakan secara luas.

Kepada tenaga kesehatan Rumah Sakit, dokter DPJP yang namanya sama dengan Bapak saya, dr. Jaga, dr. PJ rawat inap, perawat, segenap karyawan Rumah sakit, yang menjalankan tugas dengan penuh dedikasi, kepada seluruh keluargaku, kawan, sahabat yang terus menyemangati, mendukung dan mendoakan, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. Jazakumullahu khairan. Semoga kondisi ini terus membaik tanpa ada keluhan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas kebaikan panjenengan semua.

Kamis, 2 Dzulhijjah 1441 H, 23 Juli 2020. Kamar 403, RSPG dan Rumah.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 4 Comments

Segera SWAB Saja

Catatan Tentang Kecepatan dan Ketepatan Penanganan

Penanganan atas penyakit yang diderita seseorang, yang paling utama adalah kecepatan si pasien mendapatkan pertolongan dan pelayanan kesehatan. Kedua, adalah keakuratan treatmen yang diberikan atas penyakit atau sakit yang diderita. Nah yang kedua ini, otoritas (karena itu di sebut profesi) penilaian dan langkah tidak lanjutnya ada di tenaga kesehatan, dokter. Dengan diagnosisnya. Karena itu keterangan selengkap-lengkapnya di perlukan oleh dokter. Pasien tidak boleh menutupi atau tidak menyatakan keluhan.

Saya ingin sedikit bercerita. Terkait pengalaman saya. Saya mulai demam pada Senin, 29 Juni 2020. Rabu, 1 Juli 2020 saya ke UGD, karena demam (mencapai 38,8°C) sudah 3 hari. Saya ceritakan bahwa saya sudah mengkonsumsi paracetamol, dan allopurinol 300mg untuk menurunkan asam urat. Akhir pekan saya makan ati ampela cukup banyak, sehingga sendi saya sakit.

Waktu itu napas saya, masih normal. Kemudian menjadi pendek, meski tidak sampai sesak.

Rabu malam itu saya ditangani, tampaknya sudah diduga Covid-19. Saya melakukan cek darah lengkap termasuk rapid test, dan foto Thorax. Hasilnya non reaktif, Thorax masih bagus.

Demam belum juga turun. Senin 6 Juli saya kembali ke UGD. Pilihannya saya di rawat sebagai PDP di ruang isolasi UGD, yang di dalamnya sudah ada 2 pasien, atau saya dirujuk ke Spesialis Penyakit dalam (Sp. PD).

Saya pilih yang kedua. Saya langsung daftar dan antre untuk bertemu dr. Sp. PD. Dilakukan rapid lagi, untuk kali kedua, non reaktif lagi.

Baru di hari rabu atau kamis, saya dirujuk dari Sp. PD ke spesialis paru. Di dokter paru baru saya diputuskan untuk swab. Positif. Karena itu, pada Sabtu sore, 11 Juli 2020, saya mulai mendapatkan penanganan dengan prosedur Covid-19, isolasi di Rumah sakit.

Berarti kurang lebih 13 hari, saya terinfeksi, merasakan keluhan (demam dan lemah indra pengecap) sampai mendapat penanganan. Relatif cukup lama.

Saya bersyukur usia relatif muda dan tidak ada penyakit penyerta. Saya tidak bisa membayangkan jika hal itu dialami oleh orang yang relatif sepuh (50+ tahun) atau memiliki penyakit penyerta. Saya pikir 13 hari cukup lama, untuk virus berkembang lebih jauh. Sudah sangat berat bagi paru paru dan tubuh untuk melawan virus. Tanpa bantuan perawatan kesehatan.

Rapid vs SWAB

Hasil rapid test tidak menunjukan arah ke infeksi Covid-19 (karena memang tidak untuk itu), bisa jadi karena belum diproduksi antibodi, atau tubuh sudah tidak bisa memproduksi, sangking lemahnya. Agak sok tahu saya dalam hal ini.

Belum lagi ada kondisi psikologis, dimana pasien yang tidak mau diisolasi dengan prosedur Covid-19. Bisa makin fatal akibatnya.

Saya berpendapat bahwa, ketika pasien memiliki keluhan, dan nyaris hampir semua sakit di curiga sebagai Covid-19 (karena diminta rapid), akan lebih baik jika langsung swap. Untuk mengetahui keberadaan virus. Agar tidak terlambat penanganannya.

Terlambat artinya, Covid-19 tidak ditangani dengan baik. Karena belum diyakini adanya infeksi Covid-19. Sekali lagi, lebih baik langsung swap, dari pada rapid.

Jika ternyata negatif, ya alhamdulillah, tidak apa-apa. Lebih baik daripada pasien yang ternyata positif namun tidak di swap, tidak diketahui, sehingga tidak mendapat pertolongan semestinya.

Memang di sana melibatkan keputusan profesional seorang dokter, tapi di kala kita di wilayah yang sudah merah, keputusan yang paling hati-hati dan lebih menjamin keselamatan saya pikir adalah yang terbaik. Meski biaya akan lebih mahal. Tapi bukankah keselamatan jiwa tidak ternilai harganya?!

(Wiyanto Sudarsono)

NB:
Alhamdulillah kondisi saya saat ini Rabu, 22 Juli 2020, sudah sangat baik, meski belum di izinkan keluar dari isolasi,  insyaAllah sudah membaik.

Posted on Leave a comment

Nikmat Rasa

Jika kita sakit karena infeksi bakteri atau virus, tidak harus Covid-19, apalagi jika itu Covid, salah satu gejala yang dapat muncul adalah demam, melemahnya indra pengecap, dan sebagian juga lemahnya indra penciuman. Jadi kita tidak bisa mengecap rasa makanan.

Gejala yang saya alami adalah demam dan melemahnya indra pengecap. Saya tidak bisa merasakan bumbu masakan. Sampai-sampai saya meminta istri untuk membuatkan makanan yang kami nanti sepekan sekali. Mi instan goreng.

Biasanya begitu nikmat menyantap itu. Namun beberapa hari lalu, mi instan (dengan kekuatan bumbunya) terasa begitu hambar. Tanpa rasa. Qadarullah,sedikit nikmat dari Allah sedang dicabut.

Setelah di rawat lebih dari seminggu, saya menguji indra pengecap saya. Nampaknya sudah mulai pulih, Alhamdulillah. Saya minta kirim mi instan cup. Untuk mengetahui sejauh mana pengecap saya pulih. Saya sudah bisa merasakan nikmatnya mi instan. Berarti sudah mulai pulih, insyaAllah.

Gejala bisa saja berbeda. Salah satu pasien tidak bisa mencium bau.

Alangkah besarnya nikmat Rasa yang diberikan Allah kepada kita. Dikurangi atau dilemahkan sedikit saja, menjadi tidak karuan.

Lalu, Nikmat Tuhan manakah yang hendak kita dustakan?

(Wiyanto Sudarsono)