Sakit adalah musibah, sebuah kejadian (peristiwa) menyedihkan yang menimpa. Sakit serta musibah adalah bagian dari takdir Allah.
Semalam saya membaca sebuah ayat suci yang menentramkan. Ayat 11 dari surat At-Tagābun [64], Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS.At-Tagābun [64]:11).
Sangat indah. Kita sakit, kita tahu itu dengan izin Allah, kita rida, kita beriman, maka hati kita akan mendapat petunjuk.
Ayat itu bukan pembenaran atas kesebronoan kita meremehkan musibah dan sakit/penyakit. Serta bukan motivasi keberanian untuk tidak menghindari sumber musibah, bencana, atau sumber penyakit. Atau seolah menantangnya.
Bahkan, dengan menghindari, melakukan usaha pencegahan, adalah kesempurnaan keimanan terhadap takdir dan keimanan terhadap perlunya “izin Allah” atas segala sesuatu.
Karena di ayat 11 dari surat ketiga belas (Ar-Ra’d) Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS.Ar-Ra’d [13]:11)
Menghindari sebab musibah adalah keimanan. Setelah berusaha mencegah dan menghindari, tapi masih kena, maka itu tidak terjadi kecuali atas izin Allah. Keridaan, karena sudah maksimal berusaha, dan keimanan atas izin Allah. Dan yakin, ada hikmah besar di dalamnya.
(Wiyanto Sudarsono)