Posted on Leave a comment

I. K. A. N

Saya harus kembali ke outline. Agar selesai. Outline telah disetujui oleh Sang Mentor, Cahyadi “Pak Cah” Takariawan.

Anak-anak begitu suka air. Termasuk dengan fauna yang hidup di dalamnya: Ikan. Mulai ikan hias hingga ikan konsumsi.

Sering kali kami membeli ikan hias. Tentu batas permintaan para bocah. Tapi tidak bernah bertahan lama. Paling tiga hari susah sangat bagus.

Kali ini begitu berbeda. Ikan cupang sanggup bertahan hingga berbulan. Perawatan sederhana menjadi tugas bersama. Minimal mengganti air jika tak lupa.

Bahkan penghuni toples bening (berfungsi sebagai akuarium) bertambah. Ada ikan hias. Mas koi atau mas koki, saya tidak tau pastinya, masih kecil. Plus keong di mangkuk di sebelahnua. Ramai kalau sedang bermain.

Apalagi saat berkunjung ke rumah Mbah mereka di kampung. Nyaris tiada hari tanpa memancing. Padahal mereka di sana selama 25 hari. Lele dan gurami memberikan sensasi strike yang berbeda. Seperti sering dilihatnya di kanal mancing di aplikasi Youtube.

Air, ikan, hewan laut semoga menjadi pelajaran bagi anak-anak. Mengenal Allah Rabb seluruh alam, melalui ciptaannya yang unik dan menarik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan Dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat perahu berlayar padanya, dan agar kamu mencari sebagian karunia-Nya, dan agar kamu bersyukur.”
QS.An-Naḥl [16]:14

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

AKHLAK Manusia

(Bukan Resensi)

Dua buku sudah mendarat dengan selamat. Keduanya tentang sifat manusia. Tujuannya membangun sifat positif dan kebaikan. Pemikiran, polah, maupun sekadar cara pandang.

Buku Pertama, tentang para tokoh fenomenal setiap zaman. Tentu pilihan sepenuhnya sesuai pemikiran penulis.

Judulnya: Tokoh-tokoh Fenomenal Penggetar Nalar. Ditulis oleh Yusuf Maulana. Tiba dengan tiga buku lainnya. Dari penulis yang sama. Lengkap dengan kutipan singkat.

Bacaan sisi lain, memetik hikmah“. Tulisan tangan tinta hitam dari kurator buku lawa ls keislaman di Samben Library, Bantul, DIY. Oh ya, beliau penulis ini adalah Editor yang telah berbaik hati menyunting buku MANTAP.

Mengulas sebagian sisi tokoh yang dianggap fenomenal dari peradaban lampau hingga kini. Sayap kanan maupun kiri. Dunia maupun dekat kita, Indonesia.

Kita diajak memetik hikmah dan inspirasi dari tokoh. Baik untuk ditiru, diteladani, ataupun jangan sampai menjejaki langkah serupa. Sekelumit yang saya baca, ada yang memberikan sudut pandangan berbeda dari yang jamak telah ada.

Tokohnya, fenomenalnya, kemudian hikmah, teladan atau nilai yang dapat kita petik. Asik sekali penuturannya. Banyak pilihan kata tak biasa. Sesekali membuka KBBI digital. Menggelitik kompetensi kita berbahasa Indonesia.

Buki Kedua adalah AKHLAK untuk NEGERI. Buku yang secara resmi di luncurkan pada 6 Januari 2021. Melalui zoominar (silakan baca Belajar AKHLAK). Dengan pembicara utama adalah Eric Thohir Menteri BUMN ke-9 selaku penulis.

Buku yang ditulis bersama dengan Ary Ginanjar Agustian dari ESQ. Mengajak kita menyelami nilai nilai inti BUMN. Yang terangkum dalam AKHLAK.

Tiga bagian. Fondasi, penjelasan dan panduan perilaku, serta contoh atau inspirasi AKHLAK.

Berbeda dengan buku yang pertama, buku AKHLAK untuk Negeri memberikan dan menekankan nilai, baru kemudian contohnya. Kalau yang pertama, contoh orang atau perilakunya baru hikmahnya.

Tampaknya perpaduan kedua buku tersebut, akan mengisi sebagian waktu beberapa hari atau minggu ke depan. Menjadi daftar tunggu. Menggeser buku lain. Yang harus saya kembalikan ke lemari dan berubah status: belum dibaca.

Ini bukan resensi. Hanya sebuah catatan dari membaca inspeksional. Buka sana-sini. Dan saya memutuskan: saya harus lanjutkan membacanya. Bismillah.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Perubahan Perlu

Sabtu lalu, apa yang ditunggu oleh banyak orang muncul juga. Ditunggu oleh orang –mungkin– satu direktorat lebih. Baik yang bekerja di kantor atau dipabrik. Di daerah atau di kantor pusat.

Itu adalah sebuah surat keputusan direksi perusahaan tentang struktural Organisasi dan yang paling penting adalah penempatan: siapa dan dimana ditempatkan.

Selalu asik dibahas. Pembicara –biasanya rekan kerja sendiri– berperan sebagai analis. Siapa seharusnya dimana, atau kira-kira tepatnya dimana.

Hasil dari yang ditunggu adalah perubahan besar. Perubahan yang memaksa individu untuk mengikutinya, dengan senang hati atau terpaksa. Dan begitu memang hakikat perubahan.

Ada dua reaksi yang saya lihat, sebagai dampak perubahan. Sebagaimana juga terjadi ketika ada krisis.

Ada sebagian mendapat peluang. Karena perubahan atau penambahan formasi, ada “pas” ketemu momennya. Ada yang mendapatkan tempat di kampung halaman (minimal provinsi ada kabupaten). Paling tidak lebih dekat.

Ada juga yang merasa menjadi “korban”. Beberapa diantaranya karena belum mendapatkan apa yang dijanjikan. Janji jika berkenan disana atau disini, akan mendapat ini dan itu.

Bagi saya, perubahan itu perlu dan harus. Kita tidak ingin yang begini-begini saja bukan? Tentu saja perubahan untuk perbaikan untuk kemajuan.

Perbaikan bagi organisasi dilihat dari indikator atas parameter-parameter penilaian. Jika membaik, kita harus akui bahwa perubahan membawa kebaikan. Jika tidak membaik harus ada yang diperbaiki. Dan jangan sungkan untuk mengadopsi kembali strategi yang pernah sukses sebelumnya.

Selamat berubah!!!

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Tontonan Penjualan

Bagian 3 (selesai)

Penjualan, tepatnya pemasaran tak luput dari pengaruh peradaban tontonan. Bahkan mungkin bisa jadi dunia pemasaran/bisnislah yang memulai peradaban tontonan ini. Dengan dalih, menjawab kebutuhan dan keinginan pelanggan.

Tak perlu contoh sulit. Berapa banyak visualisasi terkait produk yang kita lihat sepanjang jalan raya. Berapa banyak jeda iklan komersial di sela-sela acara TV Nasional.

Peradaban tontonan ini memasuki aktivitas penjualan dan pemasaran. Produk-produk mulai membuat tontonan untuk meningkatkan awareness.

Sebagaimana peradaban ini membuat semacam kedangkalan-kedangkalan dalam masyarakat umum. Hal serupa terjadi di dunia penjualan.

Abainya penjual dengan kompetensi dasar penjualan. Mengandalkan visualisasi pemasaran (iklan) dan presentasi video. Kemiskinan ide dan rendahnya kreativitas promosi penjualan masih dapat terlihat di sana-sini.

Apabila sebuah produk tidak mencapai target penjualan. Tidak sedikit penjual yang menyalahkan upaya pemasaran. Kurangnya iklan, minimnya barang promosi, dan lain sebagainya.

Bukankah, mempresentasikan produk dihadapan pelanggan adalah tugas penjual? Bukankah salah satu proses penjualan adalah presentasi?

Jangan sampai sebagai penjual kita kehilangan karakter penjual. Bukan hanya kehilangan –atau tidak kehilangan, karena belum memiliki– karakter dan kompetensi?

Mari kita instrospeksi diri kita sendiri. Termasuk mengasesmen kompetensi diri.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Tontonan dan Pandemi

Bagian 2 dari 3

Pandemi

Ditengah riuhnya peradaban tontonan, hadirlah suatu yang luar biasa. Dimana saat manusia sibuk memikir tentang hiburan –yang mereka berharap bahagia dengannya– datanglah Corona (Virus SARS Cov-2). Membawa penyakit yang kemudian disebut COVID-19.

Dengan cepat berubah dari endemi, yang sebagian orang yakin tidak akan ke Indonesia –karena tropis–. Kemudian mejadi epidemi, dan akhirnya mengglobalisasi menjadi pandemi.

Membongkar literatur lama. Belajar dari sejarah salah satu langkah yang ditempuh. Termasuk yang ditempuh salah satu penerbit yakni menerjemahkan sebuah karya tentang wabah Karya Ibnu Hajar Al Atsqalani.

Pemerintah berbagai negeri melakukan berbagai langkah. Terutama agar wabah tak meluas dan menimbulkan dampak yang parah. Pembatasan fisik (pertemuan, kontak) adalah yang diserukan. Sehingga saya lebih menekankan pada ungkapan: kembali ke diri sendiri.

All about me. Menjadi hal yang mesti diserukan. Cintai dirimu, keluargamu, hindarkan dari penyakit ini.

Aktivitas yang tadinya “sok sosial” harus dihentikan. Agenda hiburan dihentikan. Industri hiburan dan tontonan mulai terganggu. Parah.

Tontonan yang sifatnya bertemu fisik menjadi hal yang ilegal. Saatnya merenung kembali. Ada yang salah dengan kita, dengan budaya kita. Dengan peradaban kita.

Yakni saat mencapai puncaknya, hidup untuk hiburan. Bersenang-senang, menghilangkan suntuk dan bosan. Setiap pekan untuk menunggu akhir pekan.

Selain itu, ada serangan dari dalam yang tak kalah heboh: gawai. Keterbatasan karena pandemi, tidak menghilangkan hasrat bersenang-senang dan hiburan.

Pandemi yang dulu disikapi dengan kambali kepada Tuhan, saat ini menghadapi tantangan. Mungkin perlu bertanya pada diri: apakah hidup tentang hiburan belaka?

Penguasa dunia hiburan berpikir keras. Mengubah strategi bisnisnya. Peluncuran dan pelaksanaan “tontonan” masih berjalan, via genggaman.

Aplikasi khusus pemutar tontonan bermunculan. Berbayar, premium, ada. Gratis penuh iklan banyak.

Pendemi belum mampu mencegah peradaban tontonan. Belum mampu menurunkan lajunya. Malah memunculkan “kreativitas” untuk mengukuhkan peradaban tontonan ini.

Bersambung…..

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Tontonan, Pandemi dan Penjualan

Bagian 1 dari 3

(Freepik)

Ini adalah sebuah catatan tentang (mungkin) hasil membaca. Sambil merenung, melayangkan pikiran kesana dan kemari. Menghubungkan kondisi, bacaan masa lalu, pengalaman dan harapan yang beseliweran diingatan.

Tontonan

Dunia dimana tempat teratas dalam skala nilainya diisi oleh kebutuhan hiburan. Dimana bersenang- senang, lari dari kesuntukan, menjadi hasrat universal. Itulah yang dimaksud dengan peradaban tontonan.  Peradaban dimana kita saat ini hidup dan tinggal. Paling tidak menurut Mario Vargas Llosa. Peraih Nobel Sastra tahun 2010.

Peradaban tontonan menempatkan kebutuhan tersier sebagai sebuah nilai ekonomi yang besar. Baik dari sisi produksi dan konsumsi. Hiburan, rekreasi, dan keasyikan bisa menyedot nilai uang yang besar sekali. Bisa jadi mengalahkan kebutuhan hidup primer dan sekunder kebanyakan manusia.

Sah sah saja sebenarnya. Selama mampu dan legal cara menikmatinya. Namun, kecenderung untuk bersenang-senang ternyata memiliki konsekuensi yang besar. Masih menurut Llosa (2012), konsekuensi peradaban tontonan diantaranya adalah banalisasi (kekerasan) kebudayaan, menyebarnya kedangkalan, dan merebaknya jurnalisme yang hidup dari gosip dan skandal.

Dunia kita saat ini penuh dengan kenyataan akan peradaban tontonan. Penghibur, pelawak adalah raja. Kebudayaan dan sastra bergeser menjadi “semata-mata” hiburan.

Dunia tontonan, juga ditandai dengan memudarnya peran kaum intelektual. Menjamurnya tontonan berfaedah rendah. Dan tidak lakunya karya yang ditujukan untuk menjadi makanan bagi pikiran.

Lihatlah beberapa acara pertunjukan di kotak hitam rumah kita (Televisi). Memukul sterofoam, menertawakan kondisi diri -dan lawan main-, ejekan dan kadang terpleset makian, menjadi tontonan utama.

Mungkin kita bisa memasukkan pencarian bakat, menyanyi atau apapun lah. Acara diputar berjam-jam, dengan mendulang uang dari SMS premium, dan parahnya tayang di jam utama menjadi ciri peradaban kita, di Indonesia.

Contoh di atas dapat dimasukkan sebagai hal apik untuk ciri peradaban ini: pemiskinan gagasan sebagai motor penggerak kehidupan kebudayaan. Ide tontonan sendiri mungkin sudah mulai habis. Dengan di-remake beberapa tontonan dan acara.

Bersambung……

(Wiyanto Sudarsono)

Bahan Bacaan: Mario Vargas Llosa. Peradaban Tontonan (2012) dalam Matinya Penulis Besar (2018) kumpulan tulisan Mario Vargas Llosa yang di terjemahkan oleh Ronny Agustinus. Immortal Publishing dan Octopus, Sleman, Yogyakarta.

Sumber gambar: People vector created by pch.vector – www.freepik.com

Posted on Leave a comment

Menerima AKHLAK

Ternyata tidak pagi. Sore, petang hari baru mampu menggerakkan jempol. Mari kita lanjutkan.

Teladan

Para pemimpin BUMN harus menjadi teladan (role model). Dari pemimpin ber-AKHLAK baru kemudian mampu menjadikan AKHLAK sebagai budaya. Seperti contoh perusahaan besar di Amerika, Eropa, maupun Asia. Seperti GE, Shell, dan Toyota.

Para pemimpin harus mampu menerapkan Global Corporate Governance. Akuntabilitas, Responsiniliti, Transparansi, Fairness dan Etical Behaviour. Contoh pertamanya adalah Direksi dan Komisaris perusahaan.

Pemimpin juga harus mampu mencari peluang. “Sukses itu bukan pada problem solving, tapi exploring opportunity“.

Demikian yang mampu saya catat dari penyampaian Pak Tanri Abeng. Semoga cukup untuk dijadikan pelajaran.

Psikologis dan Manajerial

Saya dulu sering sampaikan“: Antusias, integritas. Antusias, Integritas. Antusias, Integritas.” Buka Pak Dahlan Iskan memulai pembicaraannya. “Sedangkan saat ini Akhlak, Akhlak, Akhlak“.

AKHLAK ini harus terlaksana. Karena dua hal. Pertama, kemauan besar Pak Menteri. Kedua, cukup waktu. Paling tidak masih ada empat tahun.

Paling penting adalah internalisasi buku AKHLAK untuk Negeri menjadi budaya perusahaan. Dan tidak butuh konsultan. Konsultannya adalah Pak Menteri sendiri. Soal training dan teknik internalisasi, baru Pak Ary Ginanjar yang bantu.

Ada dua hal yang menentukan internalisasi AKHLAK. Pertama adalah psikologis. Ini butuh suasana. Terlebih lagi masuk dari sisi religi. Harusnya mengena.

Kedua, manajerial. Bagaimana membuat tim agar sesuai dengan nilai-nilai AKHLAK. Apakah Level 1 (BOD) sudah diserahkan kepada orang yang sesuai dengan AKHLAK ini. Level II dan III apakah sudah sesuai dengan core valuenya.

Itu yang mampu saya (Wiyanto) tangkap. Tampaknya banyak juga yang terlewat.

Pak Erick Thohir, menyatakan AKHLAK dimulai dari pemimpinnya. Kemudian implementasinya bisa atau tidak. Terakhir, insan di perusahaan mau atau tidak diubah?!

Semoga kita semua dapat menjadi orang yang berakhlak. Sehingga negeri ini bisa menjadi baik. Sejahtera sebelum 2030,dan adidaya sebelum 2045. Paling penting adalah diridai Allah Subhanahu wa Ta’ala.

AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaborasi) tidak hanya untuk pemimpin. Tapi juga untuk yang dipimpin. Semoga (jika) kita pemimpin adalah pemimpin yang baik. Juga sebagai orang baik saat dipimpin.

Oh iya, buku AKHLAK untuk Negeri bisa dibeli di Tokopedia atau klik http://bit.ly/BukuAKHLAK.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Belajar AKHLAK

Sangat menarik. Mengikuti zoominar peluncuran buku AKHLAK untuk NEGERI.

Buku yang ditulis oleh Pak Erick Thohir Menteri BUMN saat ini, dan Pak Ary Ginanjar Agustian pendiri ESQ Leadership Center. Buku yang diharapkan menjadi legacy bagi bangsa, khususnya melalui perusahaan yang dimiliki oleh Negara.

Pembicara dari acara tersebut tentu saja adalah kedua penulis. Namun, kesempatan itu makin menarik karena adanya pembicara tamu yakni Menteri BUMN pertama yaitu Dr. Tanri Abeng dan Menteri BUMN ketujuh yaitu Pak Dahlan Iskan.

“Dua hal” Kata Pak Tanri Abeng. Integrity dan Intelijen. Integrity atau integritas masuk di dalamnya amanah, loyal, harmonis dan kolaboratif. Intelijen adalah kompeten dan adaptif.

Adaptif saja tidak cukup, harus antisipatif. Antisipatif bisa dihasilkan dari pengembangan kapasitas.

Di BUMN banyak terjadi politisasi. Sehingga lebih banyak lobby dibandingkan belajar lagi. Pak Erick menyimak sambil tersenyum lebar. Demikian kira-kira yang saya tangkap dari penjelasan Pak Tanri Abeng di awal pembicaraan beliau

Yang menarik, dengan tekun dan serius Pak Eric Thohir terlihat menulis poin-poin gang disampaikan. Begitu rendah hati dan meneladani seniornya.

Tangan saya gatal untuk segera menuliskannya. Saya tulis dalam status WA. “Belajar bagaimana orang besar belajar. Lihat bagian Menteri BUMN  menulis yang dikatakan seniornya“.

Malam ini cukup sekian dulu. Kita lanjut esok pagi, InsyaAllah dengan lanjutan catatan singkat pemaparan Pak Tanri Abeng dan Pembicaraan tamu kedua Pak DI. Semoga tidak kedahuluan muncul di disway.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Tanggapan Harapan

Saya mendapat tanggapan menarik dari pembaca. Tanggapan atas catatan saya Kenangan Semangat (Sabtu, 2 Januari 2021).

Tanggapan yang sangat menarik. Bagi saya, inti tanggapan itu adalah sebuah harapan untuk perbaikan dalam sistem pembayaran/ kompensasi kepada petugas penjualan (sales person) agar semangat tetap terjaga.

Dan saya sepakat dengan harapan itu. Kami pernah berjuang untuk mewujudkan itu. Bagi saya tidak layak seorang penjual itu dibayar secara PGPS -maaf, pinter goblok penghasilan sama-. Baru sedikit berhasil.

Untuk menjaga motivasi penjual, harus ada sistem kompensasi berbasis kinerja. Selain tentunya sebuah pendapatan tetap untuk menghargai sebuah keberadaan orang (eksistensi fisik).

Jika penjual mencapai target atau berhasil melakukan penjualan, ia mendapatkan sebuah tambahan pendapatan. Pola dan jenisnya macam-macam. Semoga suatu saat dapat kita diskusikan.

Masing-masing individu penjual tentu punya target. Umumnya disebut KPI, key performance indicator. Jadi bukan hanya yang terbaik yang diberi, namun yang mencapai kriteria KPI tertentu diapresiasi, tentu dalam bentuk materi. Karena kita semua bekerja bukan berlomba.

Salah satu pemateri pelatihan yang pernah saya ikuti -kalau tidak salah: Sales Supervisor Development Program-, berkata: “tidak hanya bapak-bapak (level manajerial) yang pingin kaya. Para penjual juga pingin kaya“.

Dengan adanya sistem kompensasi yang pas, penjual akan termotivasi. Tidak menjadikan produk kita sebagai fixed income, tambahannya cari dari produk lain, bahkan jualan produk pesaing.

Saya betul-betul diingatkan sekaligus disentil atas tanggapan tersebut. Saya jadi teringat kembali, oh ternyata perjuangan itu belum usai. Perjuangan untuk memberikan sistem pembayaran yang “layak” bagi tim penjualan.

Sistem pembayaran yang memotivasi untuk bekerja dan menjual dengan lebih baik. Sebuah harapan dari penjual yang memiliki cita-cita untuk senantiasa berkembang dengan jalur yang benar.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Setia Mulia

Kemuliaan seseorang dilihat dari kesetiaannya
Selain pada kesetiaan, janganlah kau cari bukti lainnya
Kurma berbuah anggur pernahkah kau melihatnya
Atau lebah menyimpan kayu harum di dalamnya

Barang siapa setia akan mulia. Kesetiaan adalah bukti ketulusan yang paling nyata. Kesetiaan setiap orang berbeda-beda kadarnya. Tergantung sifat orangnya.

Syair dan kalimat atas saya ambil dari bahasan ke-22 (Kesetiaan dalam Cinta) oleh Ibnu Hazm dalam terjemahan Thauqul Hamaamah.

Kesetiaan juga berlaku dalam bekerja. Karena itu ada “Loyal” dalam di nilai inti (core value) di banyak perusahaan.

Bukankah setiap orang/perusahaan menginginkan pekerja yang setia? Dan membenci yang sebaliknya: khianat.

Tentu dalam konsep bekerja, kesetiaan dituntut dari pekerja kepada perusahaan/ pemberi kerja. Bukan sebaliknya. Adapun pemberi kerja adalah pihak yang bisa menerima atau menolak. Bukankah pekerja yang melamar pekerjaan?

Untuk mengikat kesetiaan, dalam dalam hubungan antara pekerja dengan perusahaan terdapat kontrak dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Di perusahaan kami ada Tri Dharma Perusahaan.

Berdasar pencarian saya melalui mesin pencari, filosofi itu diambil dari sikap yang pernah diambil oleh Mangkunegara I (Raden Mas Said).

Tri Dharma perusahaan kami sebagai berikut:
1. Rumongso melu handarbeni; merasa ikut memiliki;
2. Wajib melu hangrungkebi; berkewajiban ikut membela/mempertahankan.
3. Mulat sariro hangroso wani; berani berintrospeksi/mawas diri/ tanggung jawab.

Karyawan yang setia adalah menginginkan kebaikan bagi perusahaannya, bukan bagi dirinya sendiri. Kesetiaan seseorang memang bertingkat.

Pertama, setia dengan memuliakan kepada yang juga memuliakan. Ini sudah seharusnya.

Perusahaan telah memberikan hak kepada pekerja. Sudah semestinya pekerja memberikan kinerja terbaik yang ia bisa. Bukan kinerja sekedarnya kinerja seadanya. Tidak hanya asal ngglundung saja, atau bahkan banyak malasnya.

Kedua, kesetiaan berupa memberi kebaikan pada orang yang khianat/tidak sesuai. Orang per orang penilaiannya bisa berbeda, satu atau dua pekerja mungkin pernah merasakannua. Merasa diperlakukan tidak adil. Dan seterusnya.

Namun, orang pekerja yang setia akan memberikan yang terbaik yang ia bisa. Tidak membalas dengan serupa, lebih buruk atau malah mbanggel.

Lebih lagi di tataran manajemen pekerjaan. Bisa jadi bukan maunya perusahaan atau pemilik perusahaan, namun hanya oknum di suatu level yang menjadikan ketidakadilan. Tentu tidak pantas menyalahkan, atau bahkan mengkhianati perusahaan. Gabut (gaji buta) namanya.

Ketiga, kesetiaan dalam keputusasaan yang mendalam, setelah sebelumnya merasa dalam Kenikmatan.

Saya mencoba memikirkannya dalam tataran pekerjaan. Mungkin ini seperti pekerja dan perusahaan yang saling menguatkan. Entah ada alasan apa, tiba-tiba perusahaan berkinerja buruk, hingga jatuh terpuruk. Na’udzubillah, semoga perusahaan kita terhindar dari kondisi buruk.

Pekerja yang setia sekuat tenaga membangun kembali. Bertahan di perusahaan itu. Tidak mau diajak berpindah. Bahkan rela dipotong gajinya. Tidak masuk akal memang. Tapi itu terjadi di hal lain. Di pekerjaan sangat mungkin.

Selayaknya kita sebagai karyawan bersyukur jika kita mampu setia pada pekerjaan kita. Dan pekerjaan kita menjadi perantara Allah memberi rezeki kepada kita.

Jangan sampai kita hanya menuntut, merajuk, meminta lebih yang tiada habisnya. Syukuri semuanya dengan legawa.

Dan terhadap nikmat Tuhanmu hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur).
QS.Aḍ-Ḍuḥā [93]:11

(Wiyanto Sudarsono)

Bahan bacaan: Di Bawah Naungan Cinta disadur dari Thauqul Hamaamah karya Ibnu Hazm Al Andalusia oleh Anif Sirsaeba. Penerbit Republika. 2008.