Bagian 2 dari 3
Pandemi
Ditengah riuhnya peradaban tontonan, hadirlah suatu yang luar biasa. Dimana saat manusia sibuk memikir tentang hiburan –yang mereka berharap bahagia dengannya– datanglah Corona (Virus SARS Cov-2). Membawa penyakit yang kemudian disebut COVID-19.
Dengan cepat berubah dari endemi, yang sebagian orang yakin tidak akan ke Indonesia –karena tropis–. Kemudian mejadi epidemi, dan akhirnya mengglobalisasi menjadi pandemi.
Membongkar literatur lama. Belajar dari sejarah salah satu langkah yang ditempuh. Termasuk yang ditempuh salah satu penerbit yakni menerjemahkan sebuah karya tentang wabah Karya Ibnu Hajar Al Atsqalani.
Pemerintah berbagai negeri melakukan berbagai langkah. Terutama agar wabah tak meluas dan menimbulkan dampak yang parah. Pembatasan fisik (pertemuan, kontak) adalah yang diserukan. Sehingga saya lebih menekankan pada ungkapan: kembali ke diri sendiri.
All about me. Menjadi hal yang mesti diserukan. Cintai dirimu, keluargamu, hindarkan dari penyakit ini.
Aktivitas yang tadinya “sok sosial” harus dihentikan. Agenda hiburan dihentikan. Industri hiburan dan tontonan mulai terganggu. Parah.
Tontonan yang sifatnya bertemu fisik menjadi hal yang ilegal. Saatnya merenung kembali. Ada yang salah dengan kita, dengan budaya kita. Dengan peradaban kita.
Yakni saat mencapai puncaknya, hidup untuk hiburan. Bersenang-senang, menghilangkan suntuk dan bosan. Setiap pekan untuk menunggu akhir pekan.
Selain itu, ada serangan dari dalam yang tak kalah heboh: gawai. Keterbatasan karena pandemi, tidak menghilangkan hasrat bersenang-senang dan hiburan.
Pandemi yang dulu disikapi dengan kambali kepada Tuhan, saat ini menghadapi tantangan. Mungkin perlu bertanya pada diri: apakah hidup tentang hiburan belaka?
Penguasa dunia hiburan berpikir keras. Mengubah strategi bisnisnya. Peluncuran dan pelaksanaan “tontonan” masih berjalan, via genggaman.
Aplikasi khusus pemutar tontonan bermunculan. Berbayar, premium, ada. Gratis penuh iklan banyak.
Pendemi belum mampu mencegah peradaban tontonan. Belum mampu menurunkan lajunya. Malah memunculkan “kreativitas” untuk mengukuhkan peradaban tontonan ini.
Bersambung…..
(Wiyanto Sudarsono)