Posted on Leave a comment

PAHLAWAN

Orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Pejuang yang gagah berani.

Membela berarti menjaga baik-baik; memelihara; merawat; dan menolong.

Bagi saya, masuk di dalam arti membela adalah mengetahui dan menjalankan. Memedomani dan menegakkan. Menyuarakannya.

Tidak bisa membela kalau tidak tahu. Tidak bisa merawat kalau tidak pernah berbuat.

Berani menjalankan, dan menyuarakan. Termasuk memperingatkan dari hal yang berkebalikan dengan kebenaran.

Siap berkorban. Bisa jadi itu adalah popularitas yang hilang. Jabatan melayang. Keuangan yang suram. Atau nyawa yang terancam. Bahkan ikut melayang. Untuk kebenaran.

Sebagai tantangan. Sebagai ujian. Karena kebenaran banyak musuhnya. Agar orang tidak hanya mengaku Pahlawan. Tanpa pembuktian. Tidak hanya mengaku benar. Atau di atas kebenaran. Tanpa diuji. Padahal sebenarnya hanya kedustaan.

“Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.
(Q.S Al – ‘Ankabut [29] :3)

Meneladani pahlawan, berarti mengetahui, mengamalkan dan membela kebenaran. Menyerukan kebenaran. Berani berkorban untuk kebenaran. Itulah yang diperjuangkan para pahlawan.

Semoga kita termasuk orang yang diberi petunjuk kepada kebenaran dan mengikutinya. Dan diberi petunjuk untuk mengetahui kesalahan (kebatilan) dan mendapat hidayah untuk menjauhinya. Aamiin…..

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 2 Comments

Bakso Istimewa

Time to DREAM. Makan Bakso. (Foto : Istimewa).

Makanan favorit. Mungkin sebagian besar masyarakat Indonesia pernah menikmatinya. Mungkin menjadikannya makanan istimewa. Di momen istimewa. Bersama keluarga atau sahabat. Atau teman. Yang mesra.

Variannya macam-macam. Bakso sapi, yang paling umum. Bakso ayam. Atau campuran keduanya. Bakso ikan juga ada. Varian berdasarkan bahannya.

Penyajiannya, bakso sapi-pun ada banyak macamnya. Ada bakso biasa, bakso campur, bakso kikil, bakso balungan (tulang), bakso iga, bakso sumsum, dan bakso beranak. Beranak di mangkuk. Tidak di dalam kubur.

Semua varian penyajian bakso sapi di atas, ada di kota kami. Gresik. Namanya Bakso Kaki Sapi. Mengklaim sebagain bakso terbaik di kawasan GKB. Gresik Kota baru.

Bakso Kaki Sapi di Jl. Kalimantan GKB, Gresik

Tamu kami dari Lampung tak kalah penasaran. Ingin kuliner yang tidak biasa. Yang belum ada di sana.

Bakso iga jadi pilihan kami. Siang ini. Tulang iga dengan sedikit urat. Dibalut adonan Bakso. Istimewa sekali. “nggak ada di sana (Lampung)”, kata salah satu tamu kami.

Makan bakso, yang istimewa. Yang belum pernah dicoba, mungkin menjadi impian sebagian orang. Sebagaimana tamu istimewa yang duduk di depan saya. Menjadikannya sebagai mimpi. Mungkin. Sehingga ia memakai kaos dengan tulisan time to dream.

Keturutan. Kesampaian juga. Kuliner yang tidak biasa. Istimewa. Soal harga, kita akan terkejut, karena sangat bersahabat.

Anda harus coba.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 2 Comments

Penjual yang Radikal

Radikal. Kata yang begitu populer beberapa hari ini. Karena sesuatu. Sebagian besar kita mungkin sudah tahu.

Tak ketinggalan. Acara talk show politik dan hukum-pun mendiskusikannya. ILC. Edisi 5 November 2019. Judulnya “Apa dan Siapa yang Radikal?”. 3 jam 17 menit 47 detik. Versi YouTube.

Saya tidak akan mengulas itu. Silakan tengok sendiri di kanal YouTube “Indonesia Lawyers Club”.

Saya ingin mendiskusikan radikal dalam dunia pemasaran. Dan penjualan.

Menunjuk ke KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Andalan saya saat diskusi “Provinsi vs Propinsi”. Makna radikal :
Ra.di.kal
1. Secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip) : perubahan yang radikal.
2. Amat keras menuntut perubahan(undang-undang, pemerintahan).
3. Maju dalam berfikir dan bertindak.

Di dunia pemasaran, penjualan, bisnis, dan organisasi-pun ada kegiatan dan program yang radikal. Dan harus radikal. Jika tidak radikal tidak berhasil.

Kegiatan dan program itulah TRANSFORMASI.

Transformasi bisnis dapat diartikan sebagai setiap perubahan RADIKAL dalam suatu organisasi perusahaan atau bisnis.

Demikian yang disampaikan salah satu majalah bisnis dalam edisinya tentang corporate transformation. Perubahan yang Radikal, mendasar.

Tak lepas dari itu. Penjual, salesperson, atau salesman pun harus radikal. Harus mendasar. Sampai kepada hal yang prinsip. Dalam pengetahuan penjualannya. Dalam upaya penjualannya.

Penjual-pun harus radikal. Sebagai makna yang ketiga. Maju dalam berfikir dan bertindak. Maju dalam berjualan.

Untuk maju dan radikal tadi dalam penjualan, harus mampu dan mau mendobrak kebuntuan. Karena itu saya tertarik dengan buku “Sales Breakthrough.”

Agar tidak buntu dalam berjualan. Agar bisa radikal. Maju untuk bertindak dalam penjualan.

Mari kita menjadi penjual yang radikal.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pilar Kewarganegaraan (2) – Pengembangan Masyarakat

Seri ketujuhbelas, Serial Jualan dengan Karakter

Prinsip #17, Libatkan masyarakat sekitar Kita untuk meningkatkan kesejahteraan mereka

Industri, atau bisnis, apapun itu membutuhkan masyarakat. Tidak bisa berdiri sendiri. Sebagai sumber faktor produksi -misal tenaga kerja atau bahan baku- atau sebagai pasar.

Untuk kelangsungan bisnis yang berkesinambungan, hubungan dengan masyarakat harus baik. Harus berorientasi masa depan. Dan masyarakat sekitar kita juga harus sejahtera. Kita harus berpikir ke arah sana. Sebagaimana kita ingin sejahtera.

Pertanian, atau lebih luasnya agroindustri, sangat dekat dengan itu. Dengan masyarakat dan lingkungan. Karena itu, saya senang berada di lingkungan industri yang memiliki misi pengembangan masyarakat.

“Mengembangkan potensi usaha untuk mendukung industri kimia nasional dan berperan aktif dalam community Development”. Demikian bunyi dari misi ketiga sebuah perusahaan pupuk nasional.

Misi itu bukan sekedar tulisan. Dalam Praktiknya pun demikian. Dengan CSR jelas. Karena kewajiban. Namun, unit pemasaran perusahaan tersebut tampaknya juga sadar akan hal itu.

Karena itu, unit pemasaran mereka melaksanakan Pelatihan Anak Tani Remaja (Patra). Seingat saya sudah tiga kali. Setahun sekali. Dengan format yang berbeda.

Melatih anak tani (putra-putri petani) menjadi salah satu pengembangan masyarakat. Selain juga menjamin keberlangsungan keberadaan petani. Kegiatan ini juga menjamin ketersediaan pasar bagi produk perusahaan tersebut.

Pemilihan anak Petani remaja ini saya nilai tepat. Tepat sebagai sasaran program. Pertama, remaja, sebentar lagi dewasa. Sudah bisa mengambil keputusan. Dan dihargai pendapat dan keputusannya. Di dalam keluarga. Di desanya.

Kedua, para Petani sudah banyak yang tua. Mau tidak mau harus di delegasikan. Atau diwariskan.

Ketiga, ayahnya atau petaninya, sehari hari memiliki kesibukan dengan sawah, kebun, atau ternaknya.

Dan keempat, usia lebih mudah dinilai lebih mudah menerima inovasi dan mengadopsi teknologi.

Pelatihan bagi anak Tani remaja ini
seperti menyediakan pelari estafet bagi pasar produk. Pelatihan ini juga ibarat mempersiapkan pasar masa depan.

Berkontribusi untuk masyarakat sekaligus meningkatkan penjualan.

Secara lingkup kecil, tiap-tiap penjual, semestinya berfikir yang sama. Mengembangkan masyarakat. Mencerdaskan mereka. Menyejahterakan mereka. Sehingga penjual bisa lebih di cinta.

Kalau sudah cinta. Paite kopi rasane legi.

(Wiyanto Sudarsono).

Posted on Leave a comment

Pilar Keenam – Kepatuhan Sebagai Warga Negara

Seri ke-16, Serial Jualan dengan Karakter

Saya agak kesulitan menerjemahkan pilar keenam ini. Agar pas dengan lingkup penjualan. Citizenship. Demikian sebutan pilar keenam ini. Kewarganegaraan, terjemahan kamusnya. Bagaimana seorang penjual tetap menjadi warga negara yang baik.

Pilar ini – citizenship-, dengan tiga prinsip di dalamnya, terkait dengan etika bisnis. Etika dan kepedulian terhadap lingkungan bisnis. Karena itu saya terjemahkan dengan Kepatuhan sebagai warga negara. Dalam berjualan. Dalam menjalankan bisnis.

Prinsip #16, Produknya Legal, Dijual dengan Cara yang Benar

Becik ketitik ala ketara. Filosofi yang menarik. Yang baik akan nampak, yang buruk akan kelihatan.

Baik dalam menjual adalah menjual barang yang baik. Sesuai dengan hukum yang berlaku. Bukan palsu, bukan oplosan. Tidak kedaluwarsa.

Termasuk atribut yang melekat di produk. Tugas penjual juga sebenarnya, memastikan barang yang dijual itu layak. Secara fisik dan ketentuan. Meski sudah ada quality control dalam prosesnya. Karena penjual-lah yang berhubungan dengan pelanggan.

Baik dalam menjual, juga bermakna menjual dengan cara yang baik dan benar.

Salah satu tutor saya di suatu pelatihan pernah menceritakan. Ia pernah bekerja sebagai vice president atau tepatnya saya lupa. Di perusahaan multinasional. Bidang pelumas kendaraan dan mesin.

Suatu ketika ia bekerjasama dengan salah satu agensi periklanan. Untuk memasang iklan. Setelah kontrak ditanda tangani, dan pekerjaan selesai. Tiba-tiba tutor saya tadi mendapat kiriman. Mobil. Belanja iklannya cukup besar.

Pesan yang disampaikan pengirimnya : “mobil dari Pak A untuk Bapak.” Pak A adalah bos dari agen iklan tadi. Ditolaklah mobil ini. Padahal zaman itu, mobil ini seharga 80 jutaan.

Esok harinya, tutor saya memerintahkan agar pembayaran dan invoice ke agensi periklanan ini dipotong 80 juta.

Ditegurlah tutor saya tadi oleh direkturnya. Ia menjelaskan bahwa, karena vendor ini berani mencoba memberi “gratifikasi”, senilai 80 juta, berarti paling tidak, harga yang kita berikan terlalu mahal. Minimal terlalu mahal 80 juta.

Masalah etika begitu penting untuk kita pegang bersama. Sebagai penjual. Dan sebagai Warga Negara.

Ada cerita lain yang mirip. Tapi ternyata, bos vendor dari suatu proyek, pernah menjadi senior dari atasan si karyawan yang mencoba untuk diberi Gratifikasi. Mungkin, vendor ini ngetes. Menguji karyawan tadi.

Apa jadinya jika karyawan tadi tergiur pada tawaran itu. Habislah dia.

Berpegang pada “cara jualan yang lurus”, kadang dianggap sulit dilakukan. Memang jika kita hanya ingin hasil instan, cara apapun bisa dilakukan. Namun jika kita ingin yang berkelanjutan, “cara lurus” adalah jalan terbaik.

Saya ingat pesan, di salah satu cerita tentang etika penjualan, “Ingatlah, sekali coba melakukan penjualan tidak etis, kita akan tergoda untuk mengulanginya lagi. 99% bersih itu susah! 100% bersih itu lebih mudah!”

Semoga kebaikan selalu menyertai kita semua.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Kebun

Pertanian adalah sebuah seni yang khusus. Seperti dua seni lainnya : pengobatan dan pengajaran.

Demikian yang dinyatakan oleh penulis buku How to Read a Book, Mortimer J Adler & Charles Van Doren, 1972.

Petani, atau pekebun, bisa melakukan banyak hal. Memilih benih atau bibit terbaik. Memberi pupuk dan sistem pengairan terbaik. Tetapi pada akhirnya tanaman itu sendiri yang harus tumbuh. Menunjukan kualitas dan kuantitas panennya. Atau tepatnya, Tuhan-lah yang menumbuhkan dan membuatnya bisa dipanen. Baik secara kualitas maupun kuantitasnya.

Persis seperti pengobatan. Dokter, tabib, mungkin pasien sendiri, bisa melakukan banyak hal. Diagnosa menggunakan alat tercanggih. Menggunakan obat paten, terbaik – dan mahal biasanya-. Tapi Tuhan jugalah yang menyembuhkan.

Karena itu hendaknya kita hanya bersandar kepada Tuhan. Dalam hal apapun. Karena tanpa kehendak dan pertolongan Tuhan, tidak ada daya dan kekuatan.

Tidaklah kita boleh menyandarkan kepada kemampuan diri. Kita juga tidak boleh menyandarkan pada upaya kita. Yang mungkin kita nilai maksimal. Terbaik. Hanya kepada Tuhan lah kita bersandar dan berserah diri.

Tuhan mencontohkan, dan mengajarkan kepada kita. Melalui firman-Nya. Di salah satu kitab yang diturunkan-Nya. Yang kitab itu dijamin penjagaan-Nya. Tuhan berfirman ketika menceritakan salah satu dialog hamba-hamba-Nya : “Dan mengapa ketika engkau memasuki kebunmu tidak mengucapkan ‘Masya Allah, la quwwata illa billah’, (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud), tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah…. “. Silakan bukan kembali Quran surat ke-18, Al kahf ayat 39.

Hendaknya kita membaca “Masya Allah, la quwwata illa billah“, ketika memasuki kebun. Atau menyaksikan pertumbuhan tanaman yang bagus. Atau mungkin rumah yang bagus. Atau ketika kita merasakan nikmat-nikmat Tuhan yang lain, yang serupa dengan kandungan ayat di atas.

Untuk menghilangkan Kesombongan diri. Kebanggaan diri. Atas pencapaian-pencapaian yang diperoleh. Dan menyadarkan diri. Bahwa semuanya adalah atas kehendak dari Allah. Bukan semata-mata atas kehendak kita. Bukan semata-mata karena upaya kita. Tapi karena kehendak dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Silakan membuka kembali surat Al Kahf ayat 32 – 44 untuk kisah pemilik dua kebun selengkapnya.

Pun kita harus merenung. Apakah nikmat dan karunia dari Allah yang kita terima itu sebagai rahmat dan kasih sayang Allah, ataukah sebagai istidraj?

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala, menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 1 Comment

Pilar Peduli (3), Jangan Mengganggu Pelanggan

Seri Kelimabelas, Serial Jualan dengan Karakter

Kriiiiiiiiiing, dengan 10 “i”. Bisa jadi suaranya berbeda tergantung nada dering gawai kita. Saat dilihat (021) 123456, Great Jakarta. Atau 08wwxxyyzz46. Atau nomor tak dikenal lainnya. Dan bisa jadi nomor sudah kita simpan dengan nama kontak “kartu kredit”. Atau “sales berisik”. Atau nama dengan konotasi negatif lainnya.

Tidak kita angkat. Karena saat kita angkat, langsung banyak kalimat yang meluncur dari speaker gawai kita. Dengan alasan hanya ingin menjelaskan. Dua menit saja.

Bagaimana perasaan kita? Terbantu atau terganggu? Meski ada teman saya yang berusaha menghargai. Atau berempati dengan setia mendengarkan. Punya banyak waktu, mungkin. Meski pada akhirnya tetap menolak. Tapi sebagian besar mengeluhkan perilaku penjual melalui telepon tersebut.

Prinsip #15, Pastikan Upaya Penjualan Kita Tidak Mengganggu Pelanggan

Sebelum berkomunikasi dengan pelanggan, atau melakukan pendekatan dengan calon pelanggan, kita harus perhatikan 3M-nya. Momen, Media, dan Mood.

Pastikan waktunya tepat. Medianya pas. Pastikan kita perhatian dengan kondisi pelanggan dan kita siap untuk berempati.

Membuat janji, khususnya untuk pelanggan B2B adalah hal yang wajib. Agar kita tidak mengganggu mereka. Bisa janji bertemu atau janji menelepon. Janjiannya melalui SMS atau WA. Atau lewat sekretarisnya.

Saya senang dengan penjual sarana produksi pertanian. Yang mereka melakukan pendekatan atau presentasi kepada petani pada malam hari. Tepat, setelah salat Isya. Tidak pagi atau siang harinya. Saat petani – pelanggan-, sedang sibuk dengan tanamannya.

Atau mungkin, malah bertemu di sawah atau kebunnya. Saat petani mengamati tanamannya. Tergantung momen yang sesuai untuk pelanggan kita.

Termasuk ada pelanggan yang lebih senang dihubungi melalui pesan tertulis. SMS atau WA. Dari pada telepon atau bertemu langsung. Lebih memiliki fleksibilitas meresponnya.

Jangan sampai, kehadiran kita atau suara kita justru menjadi gangguan bagi pelanggan. Apa yang kita harapkan dari seorang penjual, itu yang harus kita penuhi saat kita menjadi Penjual.

Jika kita mengharapkan penjual itu harus mampu menjelaskan produk dengan baik, maka kita juga harus menguasai product knowledge yang kita jual. Agar tidak plegak pleguk saat menjelaskan ke pelanggan kita.

Poinnya, penjual, kita, harus berperilaku yang membuat pelanggan kita nyaman ketika berkomunikasi. Tidak berlebihan sebenarnya, jika kita bercita – cita menjadi penjual yang kehadirannya dinanti oleh pelanggan.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 2 Comments

Pilar Peduli (2) – Memenangkan Hati Pelanggan

Seri Keempatbelas, Serial Jualan dengan Karakter

Pasal 1, pelanggan selalu benar. Pasal 2, jika pelanggan salah, lihat pasal 1.

Ah, pelanggan selalu benar? Tentu tidak. Pelanggan bisa “salah”. Secara teknis, pengalaman, keumuman, dalam industri tempat kita berada.

Namun yang pasti adalah, pelanggan adalah selalu pelanggan. Dan penjual, berperan memberikan solusi atas permasalahan mereka, meskipun pelanggan kita, berada pada posisi yang “salah.”

Kita, penjual, harus menjadi solusi bagi pelanggan kita. Terlebih setelah ada penetapan sebagai solusi agroindustri. Solusi dalam industri pertanian.

Prinsip #14,Fokus pada Kebutuhan Pelanggan, Menangkan Hati Mereka

Dalam pasar B2B, dan sebenarnya di semua pasar faktor produksi. Pertanian apalagi. Kalimat pertama yang harus muncul di benak kita sebagai penjual adalah “kapan uang pelanggan bisa kembali, kapan pelanggan kita bisa untung”. Ini yang kita pelajari dari para Business Consultant United Tractor -sebutan untuk Salesman atau penjualnya UT-.

Disisi lain, perusahaan, khususnya penjual, sering kali lebih peduli pada keuntungan. Atau komisi. Bonus dari transaksi. Kalau ada. Dan seberapa sering pelanggan beli produk kita.

Contoh kecil. Petani membeli produk kita (benih, pupuk, pestisida, Probiotik, dll) Bukankah harapannya panennya dapat meningkat? Peningkatan hasil yang diharapkan, adalah lebih besar dari biaya tambahan yang dikeluarkan untuk membeli produk? Atau soal biaya yang dikeluarkan, apakah menjadi lebih murah tanpa mengurangi hasil yang didapat?

Seberapa seringkah kita memikirkan kepentingan pelanggan yang demikian?

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on

Pilar Kelima – Peduli

Seri Ketigabelas Bagian Kedua, Serial Jualan dengan Karakter

Prinsip #13, Bijaksana Selama Proses Penjualan, Bagian 2

Sesuai dengan yang telah saya sampaikan sebelumnya, ini adalah bagian kedua untuk seri ketigabelas.

Sebagian besar kita bisa mengendarai sepeda. Sepeda angin. Atau sepeda ontel. Gowes. Belajarnya waktu kecil.

Begitu gigih dan sabar kita belajar bersepeda. Gagal, coba lagi. Susah, coba lagi. Bahkan sampai terjatuh. Bangkit dan coba lagi.

Itu adalah nilai yang hendaknya kita tetap pegang bersama. Apa lagi kita sebagai orang penjualan.

Setiap penjual pasti pernah merasakan kegagalan. Ditolak calon pelanggan. Gagal bersepakat dengan calon Pelanggan. Atau gagal diujung proses penjualan. Atau ditikung, diserobot pesaing. Pesaing yang penjualnya kita kenal. Teman ngopi. Ambyaaaaar….. Pakai lima “a”.

Selalu ada yang dapat dipelajari dari kegagalan. Kegagalan, sayang untuk dilewatkan begitu saja. Terlalu mahal, terlalu berharga. Waktu, biaya, dan perasaan. Sikapi kegagalan dengan bijaksana. Jangan terus larut dalam suasana kegagalan.

Kegagalan harus segera dipulihkan. Dengan care, kepedulian. Pertama, peduli pada diri sendiri. Kedua, Peduli pada tim.

Sebagai seorang penjual, kita harus peduli dengan diri kita sendiri. Bagaimana kita bisa peduli dengan pelanggan, jika kita tidak peduli dengan diri kita sendiri?

Contoh peduli dengan diri kita sendiri adalah dengan meningkatkan dan menyegarkan kembali kompetensi. Misal, kompetensi selling skill atau ketrampilan penjualan yang kita miliki. Ini yang sedang kita lakukan bersama. Dengan membaca serial ini, semoga merupakan bagian dari upaya peduli dengan diri kita sendiri.

Mengetahui target penjualan kita. Termasuk mengevaluasi capaiannya. Tahunan, triwulanan, bulanan. Semua produk yang menjadi tanggung jawab kita. Ini juga termasuk kepedulian kita. Bagaimana mencapai target, jika kita tidak mengetahui targetnya?

Kedua, Peduli dengan tim penjualan kita. Ini khususnya bagi koordinator penjualan atau supervisor atau yang mengepalai penjualan.

Direktur TRAC (Astra Rent Car), Pak Jefri Sirait, memberikan tips. “Atmosfer harus dibangun. Setiap ada masalah, brainstorming, tukar pikiran, sangat dianjurkan. Tapi di forum tidak boleh ada blaming, saling menyalahkan. Bullying satu sama lain”.

Kita harus bijak dalam menghadapi kegagalan. Kegagalan diri. Atau tim. Kegagalan dalam penjualan adalah proses pembelajaran. Pembelajaran tujuannya mengajari. Bukan forum untuk marah atau jengkel, yang tidak ada solusi.

Semoga kita termasuk penjual yang berkarakter peduli. Peduli pada diri, keluarga, dan pelanggan kita.

( Wiyanto Sudarsono)

Maklumat :

Serial Jualan dengan Karakter diambil dari buku Selling with Character The Principles dan The Stories, terbitan PT GPU, 2012. Dengan penyesuaian.

Posted on

Jumat Berbagi Senyum

Serasa menjadi mahasiswa lagi. Hari ini. Meski tidak di kampus yang sama.

Berburu buku diskon. Dan ke masjid. Jumatan. Salat jumat. Bersama adik tercinta.

Masjid hari ini adalah Masjid Kampus UGM. Bukan di kampus saya. Belum. Saya alumni IPB. Orang menyebutnya Institut Pertanian Bogor, eh Pendidikan Bogor. Bukan, Perbankan Bogor. Bisa juga Pesantren Bogor. Pokoknya Institut Pleksibel Banget deh.

Jumat, memang berbeda dari hari yang lain. Istimewa. Terlebih lagi, bagi yang beragama Islam.

“Sebaik-baik hari dimana matahari terbit di saat itu adalah hari Jumat.”

Hari teristimewa. Sebagaimana potongan hadis Rasulullah sallallahu alaihi wasallam di atas. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Orang-orangpun, berbeda ketika hari Jumat. Mirip dengan bulan Ramadhan, bulan puasa, dibanding bulan lainnya.

Sebagian mereka pada hari jumat, menambah porsi ibadah. Ibadah individu maupun ibadah sosial.

Sebagaimana sebuah komunitas yang menamakan diri Komunitas Jumat Berbagi Senyum. Indahnya.

Salah satu aktivitas mereka adalah berbagi senyum, eh makanan. Makan siang. Yang membuat kita tersenyum. Karena bahagia. Semua jamaah yang berkenan menerima, mendapatkannya. Di Masjid Kampus UGM tadi.

Menu yang saya dapatkan, nasi, sayur, dan lauk kesukaan saya. Telur balado. Mengingatkan saya dengan masakan di rumah. Nikmat sekali.

Pembagiannya di tempat penitipan sepatu. Atau penitipan tas dan jaket. Yang membagikan penjaganya. Yang terdiri ibu-ibu. Yang tidak wajib shalat jumat. Ramah sekali. Sopan sekali.

Jogja memang istimewa. Istimewa orangnya. Istimewa negerinya. Dengan segala keruetan sebagian orang di dalamnya. Atau lalu-lintasnya.

Semoga kita bisa meneladani Komunitas Jumat Berbagi senyum. Menuju umat yang saleh secara individu dan saleh secara sosial. Menjadi umat yang rahmatal lil alaamiin di era youtube, FB, IG, WA dan lainnya.

(Wiyanto Sudarsono)