Posted on Leave a comment

Bicara Penghalang

Seri-11, Mendengarkan untuk Melayani

Foto: Adrienn (pexels.com)

Mendengarkan bukan hal yang mudah. Tapi juga bukan hal yang susah sehingga tidak dapat diasah.

Tidak mudah karena tidak semua orang bisa -mendengarkan dengan baik-. Juga karena ada penghalang yang membatasinya.

1. Bicara

Berbicara sambil mendengarkan orang lain adalah hal yang sulit dilakukan. Mustahil bisa dikatakan.

Ketika berbicara, kita mendengarkan apa yang sedang pita suara keluarkan. Memikirkan apa yang selanjutnya mau dikatakan. Indra pendengaran seolah nyaris lumpuh terhadap suara dari pembicara lain.

Berbicara adalah penghalang utama aktivitas mendengarkan. Ketika mendengarkan, janganlah berbicara. Diam.

Itu mengapa dalam Khutbah Jumat kita diperintah diam. Bahkan berbicara agar orang lain diam, dapat merusak kesempurnaan mendengarkan Khutbah Jumat. Diam, bisa jadi merupakan rukun dalam mendengarkan.

2. Phubbing (Phone-Snubbing)

Penghalang mendengarkan ini perlu saya masukkan. Jamak terjadi. Gawai pintar (smartphone) senantiasa di genggaman.

Begitu lekat kita dengan gawai. Sampai sepanjang aktivitas kita bersamanya. Pun ketika mendengarkan. Ketika rapat. Ketika seminar. Sebagian, ketika di masjid saat khatib berkhutbah.

Acap kali kita temui. Bahkan kita lakukan. Mendengar sambil bermain gawai. Bahkan terkadang tidak ada yang benar-benar perlu dilakukan.

Saat fokus ke layar gawai, apakah pendengaran kita berkerja maksimal? TIDAK. Sama sekali tidak. Bahkan nyaris tidak ada yang ditangkap.

Juga ini merupakan sikap kurang baik sebagai pendengar. Pembicara sedang menyampaikan, namun tangan, mata dan pikiran kita ke isi gawai. Ini penghalang utama aktivitas mendengarkan saat ini.

(WS)

Posted on Leave a comment

Pendengar Cerdas

Seri-10, Mendengar untuk Melayani

Foto: Karolina Grabowska (pexels.com)

Mencatat membuat kita memiliki kemampuan mengingat lebih bagus. Dibanding yang tidak mencatat. Mencatat juga membuat belajar lebih melekat.

Alasan serupa saya membuat catatan ini. Bukan karena saya lebih berilmu. Bukan karena saya bisa mempraktikkan dengan baik. Namun karena saya sedang belajar. Saya mencatat. Supaya lebih melekat. Saya bagikan, berharap ada manfaat.

Contoh lain adalah penulis buku Visual MBA. Ia belajar di sekolah Pascasarjana jurusan MBA (Master of Business Administration). Kuliah dapat dipastikan mencakup aktivitas mendengarkan. Karena latar belakangnya adalah desainer grafis. Ia membuat catatannya dengan gambar Visual yang dipadukan kalimat kalimat pendek. Dan jadi buku Visual Grafis.

Mencatat membuat kita lebih fokus. Memahami perbedaan poin utama dan tambahannya. Bahkan kita dapat mengidentifikasi pertanyaan yang mungkin muncul atau pernyataan yang akan memicu perdebatan di forum.

Bersiap Lebih Awal
Hari ini saya melanggar semua konsep mendengarkan yang baik. Saya tidak fokus. Catatan tidak tersusun dengan baik. Gangguan, tanggapan, bisikan, membisikan, menjadi hiasan forum saya. Pemicunya, datang terlambat.

Menjadi pendengar yang terampil dan cerdas, tentu saja, adalah termasuk menyiapkan diri, jiwa, telinga, dan peralatan lebih dini. Datang lebih awal di forum pembicaraan membuat kita lebih siap mendengarkan dengan baik. Jangan terlambat. Saya berharap semoga tidak terulang.

Bertanya dengan  Cerdas
Pertanyaan cerdas bukan pertanyaan yang sulit dijawab oleh pembicara. Pertanyaan  cerdas memicu kita ikut memikir jawabannya. Forum dan pembicara menjadi bersemangat dan antusias. Hidup.

Pertanyaan cerdas bisa mengendalikan pembicaraan. Menjadi beralih ke topik yang kita tanyakan. Mengubah pembicaraan yang membosankan menjadi menarik dan disimak serius.

(W
S)

Posted on Leave a comment

Mencatat Lagi

Seri-9, Mendengarkan untuk Melayani

Foto: Ivan Samkov (pexel.com)

Banyak cara mencatat sambil mendengarkan. Tantangannya adalah jangan sampai ketika mencatat poin penting, kita terlewat poin penting yang disampaikan berikutnya. Juga jangan sampai membuat kehilangan fokus terhadap pembicaraan.

Terserah kita mau mencatat seperti apa. Makin cepat, makin baik. Perlu dipastikan kita dapat membaca kembali catatan yang telah dibuat. Sebagai gambaran berikut beberapa jenis catatan yang munkin bisa kita lakukan:

Daftar (Poin)
Kita menulis secara urut poin penting pembicaraan. Biasanya berdasarkan munculnya. Ini bagus untuk pembicaraan secara umum.

Misal, hama dan penyakit yang menyerang tanaman dapat disebabkan :

1. Virus
2. Bakteri
3. Jamur
4. Serangga

Kita poinkan lagi masing-masing contoh dan pengendaliannya.
Virus dapat hidup di:
1. Virus pada daun
2. Virus pada batang
3. Virus pada akar
4. Virus pada pembuluh

Peta Pemikiran (Mind Mapping)
Sebagian kita sangat mengenal cara ini. Mudah dan sederhana. Mencatat dengan metode ini cocok untuk pembicaraan yang bersifat deduksi dan terstruktur. Seminar misalnya. Namun kurang cocok untuk pembicaraan yang random.

Pupuk. Jenis-jenis pupuk. Fungsi pupuk. Dosis pupuk dan seterusnya. Dibuat peta dan aliran poin pentingnya.

Resume/Ringkasan
Mencatat kata kunci dalam kaliman pendek. Misal: Pemupukan terkahir pada 45 HST. Pertumbuhan tanaman cukup, meski tidak serempak. Apakah perlu tambahan nutrisi tanaman lagi?

(WS)

Posted on Leave a comment

Catatan: Perlu dan Tidak Perlu

Seri-8, Mendengarkan untuk Melayani

Gambar oleh Pixabay (pexel.com)

Seberapa perlu catatan dibuat? Haruskah selalu membuat catatan? Terlebih ada sebagian pembicara yang tidak suka jika pemirsanya menulis. Ketika ia/dia berbicara. “Jika saya berbicara cukup dengarkan”, begitu pesan yang diterima pendengarnya.

Dalam pembicaraan normal. Kita sebagai pendengar merdeka. Tanpa ketakutan. Tanpa rasa terintimidasi. Tanpa rasa rendah dihadapan pembicara. Perlu dan tidaknya mencatat tergantung kepada kita: pendengar.

Ada pedoman bagus Dr. Muhammad Ibrahim Al-Nughaimish pakar dari International Listening Association (ILA). Pedoman berbentuk pertanyaan kepada diri sendiri:
1. Apakah kita akan mencatat? Artinya ada niat atau tidak. Ada perangkatnya atau tidak.
2. Bisakah kita mengingat semua poin penting pembicaraan dengan tanpa mencatat?
3. Mampukah kita menyimpulkan dengan cepat?

Jika semua jawaban dari pertanyaan pertama di atas adalah “Ya” dan dua sisanya “Tidak” maka kita harus mencatat.
Jika salah satu dari dua pertanyaan terakhir jawabannya adalah “Tidak”, maka disarankan mencatat.
(WS)

Posted on Leave a comment

Handsome is Pain Too

Perawatan Wajah

Mungkin kita mengenal ungkapan Beauty is Pain. Cantik itu sakit, atau menyakitkan. Ungkapan yang populer di kalangan wanita.

Sakit dalam artian sebenarnya. Saat perawatan/tindakan dokter. Repot saat merawat sendiri, krim ini dan itu. Belum kalau yang harus memakai korset, sepatu berhak tinggi dan lain sebagainya.

Ternyata tidak hanya bagi para gadis dan wanita. Kalangan pria pun sama. Handsome is pain too.

Hal ini di akui tiga orang yang saya kenal. Mereka melakukan yang salah seorang menyebutnya: Increasing the Level of Sales Person Appearance. Istilah penjualan untuk perawagan diri (grooming). Peningkatan level penampilan agar merepresentasikan posisi dan fungsi personal. Terlebih Bagi insan penjualan. Saya telah membahas pentingnya  berpenampilan baik bagi seorang Penjual di Buku MANTAP halaman 255 s.d. 258.

Tiga orang yang saya kenal tadi melakukan perawatan wajah. Agar terlihat lebih baik. Lebih enak dipandang. Rapi. Dan tidak kumuh.

Mereka melakukan perawatan di salah klinik perawatan kulit terkenal di kota mereka. Mulai dari pengangkatan komedo (facial), laser, dan pembelian produk perawatan lainnya.

Setelah tindakan dokter, dua di antara mereka menyatakan bahwa itu sakit. Sakit sekali malahan. Yang satunya: agak sakit. Dan mereka juga membeli produk perawatan untuk pagi dan malam hari.

Selain perbaikan penampilan di lingkungan professional mereka, mungkin ada niat untuk berpenampilan menarik di hadapan pasangan/istri mereka. Istri diminta tampil cantik. Suami juga harus seimbang.

Tapi itu tadi, handsome is pain too. Like beauty is Pain. Pain di wajah. Pain di dompet juga, bisa jadi.

Itu mungkin yang terbayang di benak para bujangan ketika mendekati atau di dekati wanita yang glowing. Berapa beauty cost-nya? Karena mereka tahu skin care tidak ditanggung asuransi yang sediakan perusahaan apalagi BPJS.
(WS)

Posted on Leave a comment

Ikatlah Pembicaraan

Seri-7, Mendengarkan untuk Melayani

Mencatat Pembicaraan (www.pexels.com)

Pada diskusi kita sebelumnya, disampaikan bahwa mendengarkan adalah kegiatan aktif. Melibatkan seluruh anggota tubuh dan pikiran. Termasuk indra peraba.

Setelah menangkap inti pembicaraan, kita dapat mencatat poin pentingnya. Mencatat adalah cara pas untuk membantu kita menangkap maksud pembicara atau kawan dialog kita. Apalagi pembicaraan via telepon, panggilan video atau aplikasi rapat. Kita memiliki keterbatasan untuk mengkonfirmasi.

Poin yang perlu dicatat adalah apa yang penting untuk kita tanyakan atau kita tanggapi. Apa yang perlu kita konfirmasi, perjelas, atau kita sanggah. Namun, jangan dulu memikirkan respon yang akan kita berikan. Catat dulu, karena ada pembicaraan yang masih perlu kita dengarkan.

Manfaat terbesar membuat catatan adalah kita mengurangi kelupaan saat ingin bertanya. Dan mengurangi kehilangan hal muskil yang perlu kita jelaskan, tanggapi dan beri solusi. Kita bisa maksimal merespons pembicaraan, atau maksimal dalam mendapatkan pemahaman.

Sangat lucu, sebagai penjual atau pemasar, kita lupa saat petani mengeluhkan tentang hama. Kita terlewat nama apa yang menyerang. Tanaman apa yang diserang. Kapan serangan. Sudah berapa lama. Sehingga kita perlu meminta petani mengulang. Menjengkelkan.

Terlebih dialog (pembicaraan dua orang). Mencatat akan memberikan kesan berarti. Bahwa kita benar-benar memperhatikan isi pembicaraan. Dan kita memang mencatat, bukan pura-pura mencatat.

Lebih penting lagu jika kita mendengarkan ilmu. Ilmu agama, ilmu pemasaran, ilmu peningkatan kompetensi. Mencatat adalah hal wajib. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قيِّدُوا العِلمَ بالكِتابِ
Jagalah ilmu dengan menulis.” (Shahih Al-Jami’, No.4434)

Saya lebih senang mencatat dengan buku atau stylus pen (jika ada). Dibandingkan mencatat dengan mengetik di gawai. Mengetik menggunakan gawai di depan pembicara, memberikan dua pandangan. Serius mencatat atau membalas pesan, artinya tidak mendengarkan dan tidak menghargai pembicara (phubbing – phone snubbing).

Apalagi saat mengetik di gawai, terpencet status WA kawan, notifikasi IG atau Tiktok. Bisa buyar dan mangkel itu prospect kita.
(WS)

Posted on Leave a comment

Menangkap Inti

Seri-6, Mendengarkan untuk Melayani

Menangkap inti pembicaraan. Bukan memilih apa yang ingin didengarkan. Pendengar yang terampil ia mendengarkan lebih banyak dari lawan bicara. Namun mampu membedakan mana inti dan mana bukan.

Ini tidak mudah. Bagi saya ini sangat tidak mudah. Banyak pengganggu untuk menangkap inti pembicaraan.

Kunci utamanya adalah memperhatikan ciri inti pembicaraan. Awal kata atau kalimat pembuka menjadi ciri utama. Seperti beberapa kalimat berikut:


“Mumpung ketemu Mas, saya ingin menyampaikan kondisi pertanaman cabai saya, sudah 30 hari tapi masih…… “
“Pertemuan kelompok tani kali ini, saya ingin menyampaikan perubahan peraturan…….. “
“Poin utama pembicaraan kita adalah……”
“Ada empat poin utama rapat kerja koperasi tani kali ini….. “
“Sebelum saya akhiri kesempatan bicara kali ini, saya ingin mengingatkan…… “
Dan kalimat serupa lainnya.

Kalimat itu tidak hanya muncul di awal. Atau di akhir pembicaraan. Namun bisa jadi ditengah. Di sela-sela penyampaian, penjelasan, contoh atau perkataan lainnya. Namun jika diawali dengan kalimat atau frasa itu maka layak mendapat perhatian.

Pendengar yang terampil mesti jeli. Tidak terlena dengan panjangnya penjelasan, atau lalai dari esensi pembicaraan.
(WS)

Posted on Leave a comment

Biru Asik

Aplikasi pesan singkat WhatsApp (WA) mengajarkan saya tentang fairness. Keadilan dalam berpikir dan bersikap.

“Laporan dibaca (Read reciepts)” Adalah fitur yang saya maksud. Jika opsi ini dimatikan, Anda tidak dapat mengirim atau menerima Laporan dibaca. Laporan dibaca dikirim untuk chat grup. Di grup kita seperti ngobrol bareng di kedai kopi.

Fitur ini hidup ditandai dengan centang “biru dua”. Jika pesan terkirim dan sudah dibaca. Jika dimatikan, hanya centang dua jika terkirim. Tidak berwarna biru. Sehingga tidak tahu sudah dibaca atau belum.

Adil atau wajarnya adalah jika kita mematikan fitur ini, kita tidak akan ditandai sudah membaca pesan atau belum. Juga, pesan kita otomatis tidak akan ditandai sudah dibaca atau belum. Sama-sama. Tidak ingin terlihat, maka tidak bisa melihat.

Mungkin fitur ini untuk melindungi privasi atau sikap kita. Terkadang, memang sulit menanggapi suatu pesan. Karena sulit atau tidak sempat. Atau tidak ingin menyakit: sudah baca kok tidak balas. Sehingga kita tidak mau diketahui status sudah membaca atau belum.

Asiknya kita dapat mematikan fitur ini. Seolah kita berkata: “Saya tidak menanggapi bisa jadi karena saya belum baca”. Dan demikian pula sebaliknya.

Saya pribadi senang berkomunikasi via WA dengan lawan bicara yang mengaktifkan fitur “Laporan dibaca” alias centang biru. Saya berterima kasih. Saya memaknai komunikan (Rekan WA) yang bercentang biru dengan “saya siap berkomunitas dua arah. Anda tahu saya sudah baca WA Anda, demikian pula saya tahu jika pesan saya telah sampai.”. Masalah membalas atau tidak itu yang kedua. Bisa karena tidak perlu dibalas. Belum punya balasan. Atau karena terlewat, terlupa, dan siap diingatkan.

Terlebih bagi personel pemasaran. Ada kompetensi customer focus. Yang berguna untuk menerapkan layanan yang bertujuan memenuhi kebutuhan pelanggan dan organisasi.

Saya pernah dengan sengaja memberi apresiasi dengan rekan/kontak WA baru:
“Oh iya, saya sampaikan apresiasi karena Mbak mengaktifkan centang biru di WA. Bagi saya itu berharga dan berarti. Artinya siap berkomunikasi dua arah.” Tulis saya.

Saya juga sampaikan terima kasih kepada kawan-kawan yang mengaktifkan centang biru. Tentu dengan tetap menghargai pilihan bagi kawan yang menonaktifkan itu.

Centang biru dua bagi saya mungkin bermakna positif yang dinanti. Seperti garis dua dalam testpack. Ditunggu pasutri yang menantikannya.

(WS)

Posted on Leave a comment

Menjadi Pendengar yang Terampil

Seri-5, Mendengarkan untuk Melayani

Saya sepakat dengan memasukkan “mendengarkan” sebagai sebuah ketrampilan. Bukan anugerah yang didapat begitu saja. Namun didapat dengan usaha, dan terus saja atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, ketrampilan mendengarkan bisa dilatih. Bisa diasah. Bisa ditingkatkan. Asal mau.

Seperti ketrampilan lainnya: membaca, menulis, mengemudi, mendengarkan perlu latihan dan pembiasaan. Saya senang menganalogikan semua ketrampilan seperti mengemudi mobil. Kita bisa mengemudi karena belajar, berlatih, dan mempraktikkan dengan lebih sering.

Tidak ada kaitannya dengan bakat. Kita tidak akan mengatakan kepada orang yang bisa mengemudi: “oh kamu bakat mengemudi“.

Menjadi pendengar yang terampil perlu belajar mendengarkan. Berlatih mendengarkan. Mempraktikkan mendengarkan di berbagai kesempatan berbincang ataupun aktivitas mendengarkan lainnya. Saya pun masih belajar. Ternyata tidak mudah, tapi bisa. Terlebih bagi saya yang memang ekstrover dan tidak segan mengeluarkan suara.

Ada beberpa poin penting yang saya pelajari dalam ketrampilan mendengarkan. Dan ini perlu mendapatkan perhatian serius.
1. Diam, fokus, dan memasang telinga lebar-lebar saat orang sedang berbicara.
2. Menangkap inti pembicaraan.
3. Mencatat atau mengingat poin-poin penting.
4. Melontarkan pertanyaan yang menggugah lawan bicara.

Jika berbicara itu ibarat perak, maka diam ibarat emas
(WS)