Posted on Leave a comment

Harga Belajar

Seri Ketiga Pancawarsa Menapak Masa Phonska Plus

Karung Pupuk Non Subsidi di Kantor Pupuk Indonesia Makassar

Phonska Plus tidak sepenuhnya mulus dalam prosesnya. Proses sukses 150.000.000 kg penjualan bukan perkara mudah. Selalu ada biaya yang harus dibayar tanpa langsung menghasilkan laba.

Candi Pupuk

Produksi perdana dimulai. 20.000 ton. Sebuah langkah untuk efisiensi: naikan skala produksinya. Agar harga bisa lebih murah.

Kami tengok pupuk NPK produksi perdana itu. Masih dalam bentuk curah. Kami terkejut dengan apa yang kami lihat.

Pupuk itu menggunung tinggi. Dan mengeras, caking. Nyaris seperti batu. Nyaris sekuat Candi. Candi Pupuk. Untuk menghancurkannya menggunakan backhoe (excavator), pun sulit.

Berbagai analisis dilakukan oleh bagian proses dan produksi. Yang kami dengar, anticaking belum sesuai, masih tingginya partikel debu, dan lain sebagainya. Intinya, harus direproduksi. Tidak bisa dikantongi.

Produksi kali kedua sangat bagus. Tidak caking, baik dalam kondisi curah maupun dalam kantong. Phonska Plus seperti yang kami bayangkan.

Saya sering katakan bahwa saya tidak pernah mendengar Pak Wismo Budiono (mantan orang proses dan penjual NPK, terkakhir SVP Mitra Bisnis PKG) dan Pak Mohamad Najib (mantan penjual NPK Korporasi, terkahir AVP Penjualan Retail Sulamapa) sebegitu yakin terhadap NPK PG selain PHONSKA Plus. Tidak untuk produk sebelum Phonska Plus, dan tidak pula yang muncul setelahnya.

Keyakinan pada produk dan masa depan pasarnya. Sebuah optimisme yang membuat penjual junior sepeti saya kala itu, siap bertarung.

Namun ada harga yang harus dibayar. Biaya karena kebijakan harga itu sendiri. Mungkin juga karena pengambil kebijakan penjualan yang masih belajar.

Harga Pertama: Biaya Belajar

Ketika PHONSKA Plus pertama berhasil dikatongi, secara paralel harga jual disusun. Tentu saja dengan dasar HPP Proyeksi.

Waktu itu prioritas Jawa dengan harga jual ke Distributor 4.000an. Saya lupa pasnya. Dan demikian memang EElRPB-nya (Evaluasi Rencana Penjualan Barang). Ini terjadi di penghujung 2016. Sekitar November 2016. Kebijakan harga sama seluruh wilayah. Single Price.

Pada awal tahun 2017, barang sudah bisa dijual di luar Jawa, unit kami yang bertanggung jawab. Kami bimbang. Kami sudah mengetahui, level harga itu menyebabkan kerugian. Kami (Penjualan Retail Wilayah II), tidak mau jual dengan harga demikian. Sudah tahu rugi, mengapa dipaksakan?! Konyol.

Toko sebelah, tetap menjual dengan harga “rugi”. Alasannya, ijin tertulisnya begitu. Benar-benar kaku terhadap administrasi.

Saya mendapat banyak pelajaran soal menentukan harga jual. Tentu saja dari Pak Najib, penjual nonsubsidi kawakan. Mentor saya dalam penjualan non subsidi. Prinsipnya, Jika kita bisa jual lebih mahal mengapa tidak? Lagian kita tahu jika menjual harga segitu akan rugi.

Kerugian itu terus berlangsung beberapa waktu.  Keuntungan kami menjual di atas harga persetujuan (dikisaran 5.500 waktu itu), tidak mampu menutup kerugian toko sebelah.

Soal harga saya ingat perkataan Pak Rohmad pada suatu waktu: “nek regane murah, kualitas apik, promosine akeh, aku raperlu awakmu le neng daerah. Lulusan TK ae iso dodolan”.

Bersambung InsyaAllah

-WS-

Posted on Leave a comment

Surat Cinta

Membuka-buka buku lama. Menjadi haru. Ada terselip cinta. Aha. Sudah lama dibeli. Lama mau dibaca. Tapi baru mau diselesaikan.

Saya baca dulu, Juni 2020. Sebagai teman saat perawatan dan isolasi. Ketika terkena serangan virus-virus yang belum juga selesai: Corona Virus. Bahkan masuk ke salah satu kutipan di buku kumpulan tulisan saya tentang Covid-19. Kumpulan yang saya tulis selama sebulan. Ternyata ada sedikit romantisme ketika itu.

Saya bukan termasuk orang yang romantis. Saya sering bekelakar: saya dulu romantis, setelah menikah mungkin imajinasi itu perlahan pudar. Karena apa yang dibayangkan sekarang terpapar jelas dihadapan. Haha

Saya jarang berkirim surat cinta, sekarang mungkin WA atau e-letter. Bahkan kadang harus dipaksa untuk menulis tentang cinta.

Membuka buku lama itu membuat saya terharu. Ada cinta di tengah buku Tipping Point karya Malcolm Gladwell.

Tulisan singkat yang begitu berarti. Terlebih di waktu. Sendiri dikamar 403A. Ada orang berkunjung pun menggunakan baju astronot (hazmat).

Tulisan yang dikirim degan cinta lain: makanan. Meski perawatan covid tidak banyak memantang makanan: apa saja boleh. Dan rumah sakit Petrokimia menyediakan makanan yang enak. Tapi kiriman makanan itu menjadi istimewa sekali.

Tersayang  Wiyanto 403A. Semangat Makan. Semangat Sehat. Semangat Pulang.

Wiyanto. 403. With Love.

Dearest Wiyanto. 403A. Get Well soon.
Wiyanto. 403A. sent with love.

Sepeti lirik dalam Home oleh Michael Buble:
I And I’ve been keeping all the letters
That I wrote to you
Each one a line or two
I’m fine baby, how are you?

Tidak banyak yang simpan, tapi cukup menjadi kenangan. Terima kasih.
(WS)

Posted on 4 Comments

Bahasa Cinta

Hadiah Cinta

Soal bahasa cinta, tidak bisa tidak, kita akan mengutip dari Gary Chapman. Orang yang pertama kali mengenalkan istilah ini. Demikian kiranya yang disampaikan mentor kami. Cahyadi “Pak Cah” Takariawan. Ketika Ia mengajari kami. Soal mengutip dalam tulisan. Dalam salah satu kelas menulisnya.

Chapman mengenalkan lima bahasa cinta. Pertama, Kata-kata afirmasi. Ungkapan cinta dengan kata. Jelas kentara. Ternyatakan.

Quality Time. Kebersamaan. Bahkan kadang tidak banyak kata. Membersamai saja sudah cukup. Hanya ini yang dibutuhkan dan perlu dilakukan. Hadir.

Hadiah. Salinglah memberi hadiah, kalian akan saling cinta.

Pelayanan. Ada orang bahasa cintanya itu dengan melayani atau menginginkan dilayani. Jangan ngomong doang, jangan diem diem bae. Action! Apalagi sampai diem-dieman.

Sentuhan. Ada yang bahasa cintanya itu dengan disentuh, senang kalau disentuh. Tentu dengan kelembutan. Misal genggaman tangan, belaian, pelukan. Bahkan sampai ke pijatan ringan.

Kelima Bahasa Cinta ini, semuanya bisa dilakukan kepada keluarga, istri, anak, orang tua. Tergantung bahasa cinta masing-masing anggota keluarga kita. Dan kebanyakan penggunaan konsep bahasa cinta kepada mereka: keluarga.

Bahasa Cinta Pelanggan

Tentu, tidak semua bisa digunakan kepada pelanggan penjualan kita. Kata, hadiah, kebersamaan, pelayanan, sepertinya bisa. Sentuhan agak sulit saya membayangkan. Tapi mungkin bisa.

Secara umum dengan kata-kata bisa. Cinta pelanggan kita. Ada hari pelanggan nasional.

Menunjukan bahwa perusahaan mencintai pelanggan. Dengan tidak hanya mementingkan profit. Ditunjukkan dengan kata-kata. Tersirat ataupun tersurat.

Memberi hadiah, sangat mudah. Sesuai kemampuan dana promosi tentunya. Memberi hadiah kepada pelangga bisa di momen tertentu. Ulang tahun toko. Ulang tahun pernikahan, dll.

Membersamai pelanggan ini penting sekali. Saya melihat beberapa Salesman atau agronomis pupuk dan pestisida melakukan ini. Mereka turun ke lahan. Di pagi buta. Ikut mengaplikasikan pupuk atau pestisida. Yang bahkan tidak semuanya produk jualan mereka. Bukan pula lahan demplot. Hebat sekali.

Pelayanan sangat jelas. Bagian tak terpisahkan dalam penjualan.

Sentuhan, ternyata bisa. Bukan fisik orangnya. Namun bisa menyentuh ke tokonya. Di perindah. Di branding. Bukan sekadar memberi desain dan meminta mereka mencatat sendiri.

Itu seperti, Pak ini lotion. Pak ini minyak. Ini matras dan bantal. Silakan Bapak pinjat kaki Bapak sendiri.

Kenali bahasa cinta. Salah berbahasa bisa bahaya. Bukan cinta yang bersemi tapi kesalahpahaman yang terjadi.

Salam Bulan Bahasa.
(WS)

Posted on Leave a comment

Bahasa Organisasi

Organisasi yang akan panjang umur adalah organisasi yang mampu mengimbangi perubahan yang terjadi. Jamak diketahui. Banyak yang mengerti.

Konsekuensi dari perubahan itu tergantung seberapa dalam dilakukan. Jika mengubah hal mendasar, mendalam, dan fundamental itulah transformasi.

Yang jelas, Transformasi perlu dikomunikasikan. Dibahasakan dengan baik. Agar seluruh pihak yang terlibat, yang terkena akibat, dapat berjalan, bergerak ke arah yang diharapkan.

Bahasa ini yang kadang berbeda. Bahasa sumbernya. Bahasa perimanya. Atau karena ada distract, noise, gangguan dalam penerjemahannya (decoding).

Contoh. Dalam menanggapi perubahan, misal political-legal, ada organisasi/perusahaan yang menyikapi dengan sentralisasi ataupun desentralisasi. Agar kuat. Atau agar lincah.

Sentralisasi misalnya. Ada penyatuan di sini dan di sana. Berikutnya, jelas ada perbedaan bahasa (dalam arti kiasan maupun aslinya). Tantangan bagi Manajemen untuk menyatukan bahasa. Bahasa Persatuan Organisasi.

Saya sepakat dengan Mas Huda (lengkapnya Saeful Huda Rijaludin) saat di Trawas kemarin, bahwa kumpul-kumpul (gathering) diperlukan. Terlebih di awal-awal transformasi. Untuk meningkatkan interaksi. Untuk memperkaya kosa kata. Sehingga banyak bahasa yang sama.

Atau sebenarnya sudah banyak kata yang sama. Maknanya sama. Hanya saja, cara penyampaiannya yang berbeda. Karena perbedaan rasa.

Keinginan menyatukan bahasa ini yang harus lebih dulu ada dan sama. Jika keinginan ada, akan menemukan jalan menuju ke sana.

Namun, kita juga harus sadar sepenuhnya. Organisasi itu kumpulan orang-orang. Orang yang memiliki rasa. Ini perlu di jaga.

Rasa saling menghargai. Siapapun. Ditempat kerja. Mungkin ini alasan adanya Respectful Workplace Policy. Bahasa Organisasi, Bahasa Rasa Saling Menghargai.

Salam Bulan Bahasa.


(WS)

Posted on Leave a comment

Bahasa Kartu

Oktober, hari pemuda, juga hari bahasa. Belakangan ini muncul banyak bahasa. Yang tidak semua orang mampu memahaminya.

Tengok tragedi di Malang. Stadion Kanjuruhan. Sebagian kalangan menilai disebabkan karena ketidakmampuan berbahasa. Bahasa dimana acara dihelat. Bahasa yang digunakan untuk lingkungan olahraga yang diselenggara: bahasa bola.

Ketidakmampuan berbahasa, menjadi tersangka atas terjadinya bahaya. Jangan sampai kegagapan berbahasa juga mendera pertanian kita.

Pertanian adalah penentu nasib bangsa. Penyangga tatanan negara Indonesia. Demikian nasihat Bapak pendiri bangsa. Hajat hidup -pangan- bangsa ada di pertanian. Kegagalan berbahasa atau kekeliruan membahasakan pertanian bisa menjadi bahaya.

Seperti, ketika menghendaki ketepatan sasaran penerima subsidi pertanian -baca: pupuk- hampir saja kita menggunakan bahasa yang belum tepat. Bahasa kartu. Menyusul kesuksesan kartu-kartu lainnya: kartu sehat, kartu kerja, kartu pintar.

Bahasa kartu, ditambah bahasa “pokoknya” menjadi bahaya. Petani bisa-bisa tidak mendapatkan pupuk. Produksi pertanian terancam dan seterusnya. Setelah hanya sembilan komoditas yang mendapatkan. Hampir saja, yang sembilan itu, sulit mendapatkan.

Kartu harus digunakan, sedangkan penerima/pembagian kartu belum merata. Infrastruktur penggunaan kartu belum tersedia. Data sudah “hampir” dialihkan. Pembelian tanpa kartu, tidak bisa.

Syukur, gejala kegagalan berbahasa ini mampu disadari segenap pihak. Pemerintah, Pupuk Indonesia, Bank, segera menyadari. Tidak sampai seminggu bisa kembali ke bahasa petani. Pupuk dapat tersalur dengan tetap seluruh pihak mendukung tergunakannya bahasa kartu. Dengan menyiapkan seluruh infrastrukturnya.

Selamat Bulan Bahasa.

(WS)

Posted on Leave a comment

Jalan-Jalan Tani

Arep nang ndi le?” Sapa Mbah Pagi (nama orang).
Mlaku-mlak Mbah. Ladange ditanduri nopo Mbah?
Lha aku ya durung ngerti. Putu sing nanduri. Nembe arep ngendangi”.

Obrolan semacam itu lumrah terjadi di desa kami. Desa saya dilahirkan.

Saling tegur sapa masih ada. Sepanjang saya jalan kaki. Dua koma sembilan KM.

Saya melewati jalan desa. Jalan lapis duanya. Bukan jalan porosnya. Masih berbatu. Sudah lebih 10 tahun begitu. Entah kapan. Apakah menunggu saya jadi Bupati baru bisa diaspal.

Saya juga melawati jalan tani (farm road). Berbagai komoditas ditanam. Kesemuanya tidak berhak lagi mendapatkan pupuk bersubsidi.

Perkebunan: Karet, palawija: singkong, hortikultura: terong. Komoditas di lahan lapis pertama sisi selatan desa.

Desa saya adalah desa transmigrasi pengembangan karet. Demikian saya mengelompokkan desa serupa. Pada penelitian faktor yang memengaruhi kualitas karet: 2009 lalu.

Sisi selatan dulunya diperuntukan sebagai lahan pangan. Kebun ada di sisi utara desa. Situasi berubah. Irigasi tak terairi. Komoditas tanaman pangan tak didukung prasarana pertanian yang memadai. Komunitas diganti.

Menjadi singkong, kemudian karet. Seperti sifatnya, karet pun tidak terlalu menjanjikan. Tata niaga melar, harga tidak stabil:naik turun. Turun mudah, naik susah. Ditambah dicabutnya pupuk bersubsidi, serangan jamur. Makin berat petani karet, masa depan kabur.

Komoditas sudah berangsur-angsur ganti. Singkong lagi. Ada yang ke jagung atau hortikultura. Terong dapat jadi pilihannya.

Semoga petani desa kami dapat sejahtera. Jika sejahtera, meski tidak muluk dapat mengubah dunia. Minimal tidak menyusahkan negara. Menafkahi keluarga.
(WS)

Posted on Leave a comment

Dasar Membaca

Salah satu refokus dari TK anak kami adalah membaca. Anak kami TK B. Satu jenjang sebelum SD. Tidak ada paksaan, sesuai kemampuan anak.

Membaca adalah sebuah ketrampilan yang wajib dimiliki manusia masa kini. Saya sepakat dengan pengelompokan membaca sebagai ketrampilan. Tidak butuh bakat untuk bisa membaca. Semua bisa belajar membaca. Asal mau. Asal ada yang mengajari.

Tentu jenjang TK adalah membaca dasar. Bahkan mungkin belum membaca dasar, tapi membunyikan simbol. Berupa huruf yang disusun dan bisa memunculkan bunyi. Bunyi simbol yang bermakna disebut membaca. Dimulai dari suku kata, membuktikan kata.

Membaca dasar setingkat lebih tinggi. Membunyikan dan mengetahui maknanya. Seperti, saya memakai topi. Bermakna, ada topi di atas kepala saya. Topinya bukan di bawah. Yang dipakai bukan sandal. Yang memakai saya, bukan Anda atau dia. Topinya dipakai, di kepala. Bukan dibawa di tangan.

Jika anak mampu memahami demikian, ia lulus membaca dasar. Dan siap memburu bahan bacaan untuk mendapat informasi, mengekspose, menyingkap informasi dari tulisan.

Itu membaca dasar. Level pertama membaca. Selanjutnya membaca inspeksional/ekspositori (ekspose) , Membaca Analitis, dan Terakhir Membaca Sintopikal. Anak lulusan SMA, atau seperti kita, paling tidak di membaca analisis. Membaca dan bisa sedikit anilisis dan kritis terhadap bacaan.

Membaca di level berapapun akan relatif mudah. Dibandingkan membaca hati manusia. Butuh ketrampilan lain untuk membaca hati.

Mari membaca. Iqra’!!! Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.

(WS)

Posted on Leave a comment

PensMud

Saya selalu melo (melankolis -sayu, haru) saat acara seperti ini. Mungkin seperti orang, udik, kata orang Jakarta. Ndeso kalau orang Gresik bilang“. Senior kami menceritakan acara yang baru saja dihadirinya.

Bukan hanya karena ‘kehilangan’ senior-senior di perusahaan. Namun, juga karena mengingatkan kita akan kematian. Apalagi saya sudah mulai 40 tahun“. Jelasnya. Terkait mengapa ia begitu melankolis saat menghadiri acara wisuda purnabakti -pensiun-.

Tanggal 10 Juli. Tanggal pelantikan karyawan baru. Juga wisuda purnabakti. Bertepatan dengan ulang tahun perusahaan. Tahun ini diundur ke 11 Juli. Karena 10 Juli bertepatan dengan iduladha versi Pemerintah.

Adalah Mas Eko yang melankolis di atas. Pimpinan, senior, sahabat, dan panutan kami. Ia merasa kehilangan dengan orang-orang yang kami kenal. Karena pensiun. Pensiun normal. Atau Pensmud, pensiun muda.

Banyak yang pensiun. Lima diantaranya pensiun muda. Karena ditugaskan ke perusahaan induk.

Ternyata, pensiun, purnabakti tidak harus tua. Tidak harus 56 atau 58 atau 60 tahun. Muda pun bisa. Sama seperti kematian. Tidak harus tua, tidak harus sakit. Pointnya, siapkah kita?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ ثُمَّ اِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Kemudian, hanya kepada Kami kamu dikembalikan.
(Al-‘Ankabūt [29]:57)

Semoga Allah mematikan kita dalam keadaan baik, husnul khatimah.
اللهم إني أسألك حسن الخاتمة
“Ya Allah aku meminta kepada-MU husnul khotimah”

(WS)

Posted on Leave a comment

Gotong Royong Adha

Taqabbalallahu minnaa wa minkum
Selamat Hari Raya Idul Adha 1443 H.

Serba daging. Aktivitas, menu makan, maupun pembicaraan kami. Rangkaian kegiatan penyembelihan dilakukan. Termasuk pembagiannya.

Angka tahun menunjukkan 1443 H. Kami berhari iduladha di Ngawi, Jawa Timur. Setelah tiga tahun. Qadarullah 1441 H tertahan di Gresik, dan 1442 H kami berhari raya di Lampung. Saya memang menetapkan hati untuk berkuban dimana kami berada.

Ada pemandangan menarik. Bagi saya. Setelah sekian lama. Gotong royong, kerja bersama. Dengan gaya yang “seperti biasa”. Sebelum pandemi korona.

Acaranya ari Ahad kemarin. Meski sebagian jemaah kami ada yang salat iduladha pada hari sabtunya. Pemotongan disepakati hari Ahadnya. Sehingga ada candaan di media sosial: alangkah cepatnya waktu berlalu, sepertinya kemarin baru iduladha, hari ini iduladha lagi.

Jemaah bergotong royong merobohkan hewan, memyembelih, menguliti dan memotongnya menjadi bagian yang lebih kecil. Tugasnya jemaah pria.

Potongan kecil kemudian dipotong-potong lagi, ditimbang, dan dimasukkan ke kantong-kantong. Tugas jemaah wanita. Kecuali memotong tulang belakang dan iga. Pakai kapak. Bapak-bapak yang melakukannya.

Kemudian pembagian dilakukan oleh para pemuda. Penerimanya masyarakat sekitar. Seluruhnya. Iduladha adalah perayaan. Berbagi, saling mengasihi.

Semua menjalankan perannya, sambil bergurau senda. Khas masyarakat desa. Alhamdulillah.

(WS)

Posted on Leave a comment

Layangan Manfaat

Terbang dengan menantang angin. Terbang tinggi namun tetap terikat di bumi. Itulah layangan. Atau layang-layang.

Apapun bentuknya. Sebesar apapun ukurannya. Seunik apapun kreasinya. Prinsipnya sama: terbang tinggi dengan terikat di bumi. Jika tidak tinggi, tidak akan bertahan bertahan lama. Atau sedang nyangkut di pohon. Jika tidak terikat: layangan putus.

Layangan seperti cita-cita. Harus tinggi. Dengan ketinggian semaksimal mungkin. Setinggi panjangnya benang. Benangnya adalah semangat, usaha, doa: harapan.

Cita-cita akan tegak atau berkibar dengan menantang keadaan. Tidak dengan rebahan. Bahkan yang kerjanya sambil rebahan tetap akan ada tantangan.

Semakin besar angin tantangan, semakin kuat benang harapan, semakin tinggi kemungkinan terbang. Tentu membutuhkan usaha lebih untuk bertahan. Tangan yang kuat untuk memegang. Tapi bisa lebih banyak kesenangan dihasilkan.

Setinggi apapun cita, posisi, kesuksesan, manfaat dan keceriaan tetap ada di bumi. Harusnya begitu. Jika tidak maka hanya di awang-awang. Tanpa manfaat sosial. Dan itu ada di bawah, bukan di atas.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani)

(WS)