“Arep nang ndi le?” Sapa Mbah Pagi (nama orang).
“Mlaku-mlak Mbah. Ladange ditanduri nopo Mbah?“
“Lha aku ya durung ngerti. Putu sing nanduri. Nembe arep ngendangi”.
Obrolan semacam itu lumrah terjadi di desa kami. Desa saya dilahirkan.
Saling tegur sapa masih ada. Sepanjang saya jalan kaki. Dua koma sembilan KM.
Saya melewati jalan desa. Jalan lapis duanya. Bukan jalan porosnya. Masih berbatu. Sudah lebih 10 tahun begitu. Entah kapan. Apakah menunggu saya jadi Bupati baru bisa diaspal.
Saya juga melawati jalan tani (farm road). Berbagai komoditas ditanam. Kesemuanya tidak berhak lagi mendapatkan pupuk bersubsidi.
Perkebunan: Karet, palawija: singkong, hortikultura: terong. Komoditas di lahan lapis pertama sisi selatan desa.
Desa saya adalah desa transmigrasi pengembangan karet. Demikian saya mengelompokkan desa serupa. Pada penelitian faktor yang memengaruhi kualitas karet: 2009 lalu.
Sisi selatan dulunya diperuntukan sebagai lahan pangan. Kebun ada di sisi utara desa. Situasi berubah. Irigasi tak terairi. Komoditas tanaman pangan tak didukung prasarana pertanian yang memadai. Komunitas diganti.
Menjadi singkong, kemudian karet. Seperti sifatnya, karet pun tidak terlalu menjanjikan. Tata niaga melar, harga tidak stabil:naik turun. Turun mudah, naik susah. Ditambah dicabutnya pupuk bersubsidi, serangan jamur. Makin berat petani karet, masa depan kabur.
Komoditas sudah berangsur-angsur ganti. Singkong lagi. Ada yang ke jagung atau hortikultura. Terong dapat jadi pilihannya.
Semoga petani desa kami dapat sejahtera. Jika sejahtera, meski tidak muluk dapat mengubah dunia. Minimal tidak menyusahkan negara. Menafkahi keluarga.
(WS)