Posted on Leave a comment

Pengabdian

Spesialis Sekolah Sakit

Belum genap setahun purna bakti, setelah 41 tahun lebih mengabdi. Ibu Suyatini (60 tahun). Sejak usia 17 tahun telah mendidik anak-anak desa. Mulai dari melap umbel (ingus) sampai menceboki anak SD, di desa. Mulai dari gadis lulusan SPG sampai purna tugas dan menjadi nenek 10 orang cucu.

Setelah berpindah pindah menjadi guru SD selama 24 tahun, beliau dipercaya menjadi kepala sekolah. Banyak cerita pula tentunya. “Spesialis SD sakit” demikian kami menjuluki beliau. Posisi SD yang diserahkan kepada Beliau, selalu….. , ya, kalau di klasemen berada di zona degradasi. Setahun Beliau pegang, alhamdulillah prestasi SD mulai naik. Hingga setelah dua tahun, menjadi 5 atau 10 besar di tingkat kecamatan. Menjuarai beberapa acara tingkat kabupaten dan berpartisipasi pada acara tingkat provinsi. Dari juru kunci menjadi sekolah yang disanjungi.

Dandan – dandan maneh. (perbaikan lagi, perbaikan lagi)” demikian guyonan Beliau jika dapat SK penempatan rolling kepala sekolah per empat tahun. Pindah sekolah yang baru, yang berada di zona degradasi. Kecuali yang terakhir. Kami anggap apresiasi. Setelah sekian lama, menjelang masa purna, akhirnya diberi SD yang mapan. Atau istilahnya mbeneh, layak. Terbaik dalam hal SDM dan fasilitas.

Tegas, namun sabar. Disiplin, namun pengertian. Itu kesan pribadi beliau. Transparansi adalah kunci pembangunan SD-SD yang beliau pimpin. Meraih kepercayaan guru dan memperhatikan mereka. “KS (Kepala Sekolah) tidak usah pegang uang. Kan ada Bendahara”, suatu waktu beliau mengisahkan kepada kami. “Berikan Insentif bagi guru yang mau memberikan pelajaran tambahan bagi siswa di sekolah.” Itu gaya manajemen sekolah yang Beliau terapkan.

Pada masa anak-anak beliau yang masih kecil, satu Putra dan 2 Putri, Pukul 05.30 harus sudah beres. Mandi, sarapan, dan bekal. Disiplin. Agar tidak telat ke sekolah, jadi contoh bagi guru lainnya dan siswa.

Menjadi guru di masa itu, kalau bagi saya, tidak menarik. Jika bukan panggilan hati, tidak bisa. Tidak bisa menjalaninya dengan baik. Tapi itulah Pendidikan. Salah satu dari tiga seni dasar kehidupan. Mendidik, Menanam dan Menyehatkan. Jika tidak sepenuh hati jangan memasuki wilayah ini. Sepenuhnya mengabdi. Jika tidak, akan sakit hati.

Semoga kita menjalani segala sesuatu dengan sepenuh hati.

(Wiyanto Sudarsono).

Posted on Leave a comment

Bingkisan Rindu

Sebuah Syair Singkat

Oleh : Wiyanto Sudarsono

Tidak perlu selalu bermanis kata
Cukup menampakkan wajah yang tak bermuram durja

Juga, tidak harus selalu berpenuh harta
Secukupnya dalam makanan di rumah saja

Tidak harusnya, bahkan jangan bernyanyi ria, bersama
Namun, obrolan sederhana nan mesra, berdua

Tidak harus membawa bunga atau sepatu baru,
Cukup sebuah bingkisan rindu setiap kali membuka pintu

(Wiyanto Sudarsono)

Sebuah syair singkat yang terinspirasi dari tulisan di kaca truk. Yang sedang parkir menunggu muat atau bongkar di sebuah kawasan industri di Gresik.

Maaf tidak ada gambar.

Posted on Leave a comment

Ditilang Mudah

Oleh : Wiyanto Sudarsono

Sebagian orang mungkin, belum pernah ditilang. Atau jarang ditilang. Oleh Pak Polisi Lalu Lintas.

Bisa karena tertib sekali dalam berlalu lintas. Bisa karena beruntung. Atau karena memang tidak pernah berkendara di jalan yang ber-Polisi.

Pengguna jalan yang ditilang polisi tentu karena pelanggaran. Karena itu orang yang ditilang disebut pelanggar. Tilang : bukti pelanggaran.

Ditilang bukan sesuatu yang hina. Meski bukan pula sesuatu hal yang mulia. Meski sikap kita dalam menghadapi dan bertindak saat ditilang atau akan ditilang, itu yang menentukan.

Memutuskan untuk “ditilang” saja, artinya kita mengakui kesalahan, ditahan barang bukti (SIM atau STNK), dan mengambilnya di Kejaksaan Negeri setempat. Kota atau kabupaten terjadinya pelanggaran.

Ternyata cukup sederhana prosesnya.

Saya ditilang tanggal 12 November di Surabaya. Melanggar marka jalan. 500K IDR denda maksimal sesuai UU No. 22 tahun 2009. Demikian penjelasan Pak Polisi yang menindak saya. Sambil menunjukan matriks jenis pelanggaran, pasal, dan denda maksimalnya.

SIM saya di tahan. “Tilang saja Pak, nanti sidang saja Pak”. Demikian kata saya.

“Nanti ke Kejaksaan Negeri tanggal 22 (November) mas ya.” Pak Polisi menjelaskan.
“Baik Pak” jawab saya. “Setelah tanggal 22 boleh toh Pak.” Tanya saya, sambil mengingat bahwa di tanggal 22 ada dinas luar kota.
“Boleh”. Jawabnya singkat.

Tanggal 25 November saya ke kejaksaan Negeri Surabaya. “Ambil nomor dulu mas di pos depan”, kata petugas.

Saya pun ambil nomor. Satu bagian saya bawa, satu bagian di stapel di surat tilang.

Surat tilang dan satu bagian nomor antrean saya serahkan ke loket.

Saya duduk sebentar dan ada seruan : “sampai nomor 700 masuk”.

Masuklah kami, para pelanggar ke ruangan .

617,603, 626…. 6……625 Buat tiga barisan. Kami antre. Menyerahkan nomor antrean tadi. 625.

Petugas menyampaikan dendanya sejumlah 72.000 (rupiah). Saya bayar ke petugas, dan SIM saya terima kembali. Sambil men-staples bukti dan berkas, ia berkata : “di cek lagi kesesuaiannya Pak”.

“Terima kasih Pak”. Tutup saya.

Jika kita belum bisa menjadi pengendara yang baik, Jadilah pelanggar yang baik“.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Aku menemukannya (lagi)

Belum ada yang mengajak kami untuk menggunakan kata ganti atau pronomina untuk benda secara spesifik. Yang dalam Bahasa Inggris adalah “it”.

Berbeda dengan pronomina orang ketiga. Yaitu ia dan -nya untuk pronomina orang ketiga laki-laki. Kemudian dia dan – nyi untuk kata ganti pronomina orang ketiga perempuan. Sudah ada yang mengajak.

Tujuannya agar dapat menerjemahkan “He” dan “Him” atau “She” dan “Her”. Secara tepat. Lihat ajakan itu di sini.

Pronomina “-nya” pada judul di atas (Aku Menemukannya), bukanlah menunjuk pada orang, apalagi wanita. Jika wanita saya akan tulis menemukannyi.

Pronomina tersebut menunjuk pada apa yang saya telah menantinya cukup lama. Mungkin 4 tahun. Ya, itu adalah buku.

Karya Seno Gumira Ajidarma. Nagabumi III. Saya pikir judulnya akan sama dengan Cersilbung (cerita silat bersambung) di Jawa Pos. Naga Jawa : Petualangan di Negeri Atap Langit. Ternyata berbeda.

Nagabumi III, Hidup dan Mati di Chang’an. Demikian judul buku ke III dari Pentalogi yang direncanakan untuk Nagabumi ini.

Nagabumi, bercerita tentang petualangan pendekar tanpa nama (Pandyakira Tan Pangaran). Dari Jawa, Kamboja, Myanmar sampai ke Tiongkok. Paling tidak itu sampai Nagabumi III ini.

Bertemu dan tentunya bertarung juga, dengan pendekar selama perjalanan. Termasuk bertemu dengan cinta.

Diceritakan dengan sudut pandang Pendekar tanpa nama sendiri. Yang saat menceritakannya telah berusia 102 tahun.

Nagabumi I-nya (Jurus Tanpa Bentuk), dengan halaman terakhir menunjuk angka 815. Cetakan pertama November 2009. Cetakan kedua di bulan yang sama. Laris. Saya menemukannya untuk kali pertama di Gramedia Makassar. Sedang diskon 35%. Di tahun 2012 atau 2013.Saya baca. Sampai selesai. Menarik.

Saya pun mencari Nagabumi II. Buddha, Pedang dan Penyamun Terbang. Lama tidak ketemu. Ke toko online, belum nemu. Stiap ke daerah saya ke Gramedia. Siapa tahu ada stok lama. Suatu saat, 2014 kalau tidak salah, ada toko buku online yang sediakan. Original, bukan reproduksi. Terbitan pertama, Januari 2011. Senang bukan main. Lebih tebal. Halaman terakhir yang memiliki nomor berangka 980.

Setelah beberapa kali membaca di Jawa Pos, dalam bentuk cersilbung, saya menanti terbitnya buku Nagabumi III.

Alhamdulillah, ketemu. Di Bali, 21 November 2019. Empat pekan setelah peluncurannya di Ubud Writers and Readers Festival 2019 pada 24 Oktober 2019.

Nagabumi III, Hidup Mati di Chang’an. Jelas terbitan pertamanya Oktober 2019. Tebal, lebih tebal dari 2 jilid sebelumnya, 1. 107 halaman bernomor angka.

Menarik sekali. Nagabumi ini.

Semua diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama (GPU). Dan termasuk buku dengan kategori pembaca berusia 17+.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

ANTRI, TUNGGU, ATAU PILIH LAIN?

Oleh : Saeful Huda Rijaludin

Foto : jawapos.com

Sepanjang jalan Gresik – Lamongan Sabtu, 16 November 2019 lalu, baik jalur tengah maupun Daendels (Pantura) terjadi banyak antrian mobil berbahan bakar solar. Entah apa yang terjadi, banyak yang mengeluh baik dari konsumen maupun petugas SPBU.

Kata salah satu petugas SPBU, “nggak tau mas. Biasanya sehari bisa 2-3 kali pengiriman, tapi ini udah 2 hari belum dikirim. Ini urusan orang atas.”

Kondisi dan kenyataan di lapang, sebagian besar konsumen bermesin diesel rela antri untuk solar atau biosolar di pagi hari. Saat sore hari, banyak truk barang penuh sesak di SPBU menunggu solar. Meskipun di kotak penakar sebelah solar ada tulisan PERTAMINA DEX dan DEXLITE.

Sebagai PRODUK SUBSTITUSI, meski penuh terisi dalam tandon, tak banyak yang melirik. INI REALISTIS!

Kalau menilik teori dari Bapak Mardigu Wowiek Bossman Sontoloyo, salah satu pengusaha sukses Indonesia, ini termasuk bisnis 4.0.

Artinya, tidak hanya berkutat dengan masalah produksi, marketing, penjualan, operasional, SDM, tapi bisnis yang erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, apakah jadi musuh atau sahabat kebijakan tersebut. Ini Rumit!

Oke, kita tidak bahas apa itu bisnis 1.0, 2.0, 3.0, atau 4.0 atau X.0 yang lainnya.

Terus apa yang menarik kita bahas sesuai bisnis kita? Sesuai industri dimana kami berada. Ya! Kita hendak membahas tentang Solar atau biosolar dan Pupuk Bersubsidi.

Solar dan Pupuk Bersubsidi, ada kesamaan setidaknya dalam hal, sebagai barang yang “disubsidi Pemerintah”.

Ada anggaran negara yang masuk “di dalamnya”, ada mekanisme penyaluran yang “hampir” mirip meski masih ada perbedaannya.

Kita tidak membahas perbedaannya karena terlalu banyak. Kita akan membahas “kesamaannya”.

Kesamaan yang paling mendasar adalah keduanya merupakan bahan input primer untuk proses produksi selanjutnya.

Solar sebagai input energi mesin dan pupuk sebagai input energi agar tanaman mampu berproduksi secara optimal. Eh, yang benar itu tanaman produksi optimal atau maksimal yah?

Saya pikir kita seharusnya sepakat dan fokus pada kata INPUT PRIMER – SUBSIDI – PRODUK SUBSTITUSI!

Meski telah disediakan produk substitusi dari produk solar atau biosolar (yaitu Dexlite dan Pertamina Dex), namun tak banyak dilirik. Konsumen realistis, bahwa produk subtitusi tersebut harganya jauh lebih mahal, karena tidak ada subsidi.

Di sisi lain, konsumen juga sadar, sesadar-sadarnya, bahwa mereka butuh input energi tersebut. Tapi bagaimana konsumen mengambil keputusan?

Ya! Alam bawah sadar konsumen yang sangat realistis itu menolak dengan tegas untuk menggunakan Dexlite atau Pertamina Dex, meski mereka butuh. Meski Produsen telah mengkampanyekan bahwa Produk “istimewa” tersebut jauh lebih baik secara kualitas dibanding produk Solar atau Biosolar.

Terus, bagaimana dengan sebagian besar petani, sebagai konsumen yang fanatik terhadap pupuk subsidi?

Apa yang mereka lakukan dengan kondisi yang sama dengan ilustrasi Biosolar dibanding Dexlite dan Pertamina Dex di atas?

1. Tidak tanam dan tetap menunggu jatah pupuk subsidi meski produsen telah menyediakan produk subtitusi dengan kualitas lebih baik dengan tambahan unsur tertentu?

2. Tetap tanam dan pupuk dengan jumlah pupuk subsidi seadanya?

3. Tetap tanam dengan dosis sesuai anjuran dengan mengkombinasikan jenis dan jumlah pupuk subsidi dan nonsubsidi?

4. Atau daripada ribet menunggu, lebih baik menggunakan pupuk nonsubsidi semua meski harus merogoh dompet lebih banyak.

5. Atau membeli pupuk sesuai dengan anggaran yang biasa disediakan.

a. Jika subsidi masih ada namun terbatas, sesuai ketersediaan ditambah pupuk nonsubsidi sesuai sisa anggaran.
b. Jika subsidi blas nggak ada, beli pupuk Non subsidi sesuai anggaran.

6. Khusus untuk petani Perkebunan (misal karet dan sawit), tidak melakukan pemupukan.

Sebagai seorang penjual di perusahaan pupuk, psikologi dan langkah apa yang dilakukan petani dengan hal tersebut? Dan bagaimana petugas lapangan harus bertindak?

Ini perlu kita renungkan agar strategi penjualan kita tepat.

(editor : Wiyanto Sudarsono dengan sedikit penambahan).

Posted on Leave a comment

Satu Bahasa, Bahasa Indonesia

Oleh Wiyanto Sudarsono

Gambar : disway.id

Hari Sumpah pemuda telah lewat. Anggap saja ini “unggahan kesiangan”.

Bulan Oktober 2019 lalu, tepatnya tanggal 1 s.d. 15 Oktober 2019, blog favorit saya mengadakan tantangan. Ya, disway.id. Menandakan semacam kompetisi dalam rangka bulan bahasa. Judul kompetisinya Untukmu Bahasaku.

Peserta diminta menganalisis unggahan para pesohor negeri ini. Indonesia, atau negeri +62. Unggahan di media sosialnya atau medsosnyi.

Analisis terkait penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jadi berbekal buku tentang Bahasa Indonesia dan KBBI daring, peserta diminta menjadi “ahli” Bahasa Indonesia.

Saya saat itu ingin berpartisipasi. Tapi saya tidak mengikuti media sosial para pesohor negeri ini.

Saya meminta bantuan istri saya. Dikirimlah sebuah unggahan Dian Sastro. Tentang batik. Tulisan atau analisis saya tersebut saya beri judul, Hari Batik, Dian Sastro Sangat Menarik.

Bulan ini, tanggal 15 lalu telah ada Pengumuman Pemenang Bulan Bahasa. Alhamdulillah masuk dalam salah satu pemenangnya.

Terima kasih Disway.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 1 Comment

OTT – Optimis Terbang Tawakal

Pesawat terbang adalah moda transportasi umum teraman saat ini. Dalam arti, menelan korban paling sedikit. Dibandingkan dengan jumlah penumpang yang menggunakan moda transportasi lain.

Kemungkinan atau risiko kematian menggunakan moda tranportasi pesawat terbang adalah 1:8.000. Risiko menggunakan mobil adalah 1:112, pejalan kaki 1:700, sepeda motor 1:900. Demikian menurut laman tirto.id.

Meski jika terjadi kecelakaan pesawat terbang…. Ah tak kuasa saya membayangkannya. Apalagi menuliskannya. Terlebih lagi saat tulisan ini saya konsep kemarin. Saat terbang dari Jakarta ke Surabaya.

Penumpang pesawat adalah sekumpulan orang yang optimis. Atau sebenarnya kita semua dibekali naluri optimis.

Saat boarding penumpang pesawat optimis, memiliki keyakinan. Akan selamat. Tidak terjadi kecelakaan. Jika sebaliknya, pesimis atau optimis bakal terjadi kecelakaan, seharusnya ia atau dia tidak akan terbang.

Dan pengambil risiko. Kita semua. Setiap melakukan kegiatan adalah pengambil risiko.

Terbang atau melakukan penerbangan. Meski sebagai penumpang. Saya anggap sebagainya kata aktif. Berbuat.

Untuk dapat berbuat, perlu keyakinan. Optimisme.

Pun sebaliknya. Jika tidak punya optimisme, jangan berbuat. Jangan terbang. Jangan pergi menggunakan moda pesawat terbang.

Dan, penumpang pesawat adalah orang yang bertawakal. Dan tentu saja percaya kepada orang lain.

Bertawakal, sesudah yakin dan sudah berusaha.

Percaya, dengan pilot dan kopilotnya. Meski tidak kenal. Yakin saja, percaya.

Demikian halnya dalam berbuat kebaikan. Beramal dan berusaha. Untuk hal yang bermanfaat. Urusan dunia maupun akhirat.

“Seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aku lepaskan untaku dan (lalu) aku bertawakkal ?’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Ikatlah kemudian bertawakkallah”. (HR. Al-Hakim dan Ibnu Hibban)

Pertama, yakin. Optimis. Bahwa dengan diikat tak bakal Lepas. Keyakinannya demikian. Optimisnya demikian.

Sebagian teman berstatus, di medsosnya dengan kalimat “yakin usaha sampai.” Yakusa. Ini keyakinan. Ini optimisme. Bagus sekali.

Kedua, berbuat. Keyakinan saja tidak berguna dalam amal. Karena amal adalah konsekuensi dari keyakinan. Kecuali amalnya tersebut adalah amalan batin. Atau pikiran.

Beramal sesuai dengan optimisme. Jika onta di tali tidak akan lepas. Itu Keyakinannya. Maka, amalnya, ditali sekuat mungkin.

Jika ingin berbuat dalam hal pertanian. Menanam, misalnya. Yakin dan Optimis lah, bahwa jika ditanam, dirawat, dipupuk, insyaAllah panen.

Amalnya, ya pilih bibit yang baik. Air yang cukup. Pupuk yang tepat. Demikian juga serupa dengan saat kita memulai dan menjalankan bisnis.

Setelah itu, tawakkal. Karena juga yakin, bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak-Nya.

Jika demikian, saya pikir hidup akan ringan. Dan mudah dalam menjalaninya. InsyaAllah…..

Saya pun masih belajar dalam bab ini.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Panen Kebun

Sebulan lebih telah berlalu. Sejak benih itu ditanam. Berupa benih (biji), atau bibit (tanaman muda). Saya tidak tahu pastinya. Namun itu umur panen untuk sebagian tanaman di kebun itu.

Hari ini panen. Perdana. Hari ini. Jumat yang berkah. Saya dapat kiriman gambar. Aktivitas panen. Langsung dari Ketua Takmir.

Oh ya, kebun itu adalah kebun sayur Masjid Nurul Jannah. Segar segar sayurnya. Modern kemasanya. Di label khusus. Eco-Masjid. Kebun Sayur, Masjid Nurul Jannah Petrokimia Gresik. Halal dan Higienis.

“Aku baca ….Bismillaahirrohmanirrochim [saat masuk kebun]”. Demikian kata Ketua Takmir melalui pesan WA nya. Semoga dapat menambah keberkahan.

Pengairan kebun itu, menggunakan air bekas wudhu. Air barokah, kata sebagian jamaah masjid.

Sebagai bagian program masjid menjadi Masjid yang Ramah lingkungan. Eco-Masjid. Inilah kebun yang saya foto di artikel kebun.

Semoga dari kebun itu, kita dapat belajar. Selain pertanian, ada pelajaran yang jauh lebih agung. Sebagaimana pertanyaan Allah yang mengajak kita berpikir dan belajar :

“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam?”; Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?”

(QS Al-Waqiah [56] : 63 – 64).

Sungguh pelajaran yang agung. Tentang sifat Allah. Maha Berkehendak.

Puji syukur kepada Allah. Dengan sebaik baik pujian. Yang telah menganugerahkan rahmat-Nya sehingga kebun dapat di panen. Dan tentu saja juga, atas limpahan rezeki yang kita terima setiap harinya.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Mesra di Rumah Ibadah

Saya gembira membaca adanya kredit atau produk pinjaman tanpa bunga – atau riba- dan tanpa agunan. Namanya Kredit Mesra. Mesra, Masyarakat Ekonomi Sejahtera.

Inisiatornya Pemerintah Provinsi. Yang dipimpin oleh Bapak Ridwan Kamil. Ya, Jawa Barat.

Pemprov bekerja sama dengan BJB (Bank BJB). Memberi pinjaman kepada jamaah (satu kelompok peminjam 5-10 orang). Pinjaman sejumlah 500K sampai 5 Juta rupiah per orang.

Telat sih saya tahunya. Program ini sudah berjalan sejak tahun lalu ternyata. 2018.

Konsep Kredit Mesra (Marketerrs)

Basisnya di rumah ibadah. Atau mungkin komplek rumah ibadah-lah.

“Mengapa rumah ibadah? Karena Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama dan yang namanya rumah ibadah ada dimana-mana. Daripada terlilit utang dari rentenir lebih baik datang saja ke rumah ibadah.” demikian pernyataan Bapak Gubernur Jawa Barat.

Calon peminjam, datang ke rumah ibadah. Atau Masjid bagi yang beragam Islam. Takmir Masjid menghubungi BJB.

Petugas BJB akan akan mendatangi Masjid dan melakukan sosialisasi dan pembinaan keuangan mikro kepada jamaah calon peminjam dan pengurus.

Peminjam bersifat kelompok dengan sistem tanggung renteng. Jadi kelompok perlu dibentuk.

Sebagai kontrol sosial. Dan memakmurkan sistem Berjamaah.

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.”

(QS Al-Baqarah : 276)

Semoga berkah dan diikuti wilayah lain.

“Daripada terlilit utang dari rentenir lebih baik datang saja ke rumah ibadah.” – Gubernur Jawa Barat

(Wiyanto Sudarsono)

Sumber : Majalah Marketeers Edisi November 2019

Posted on Leave a comment

Tentang Hujan

Hujan mengingatkan pada dirimu. Yang dulu pernah ku rindu. Menurut sebagain orang.

Hujan membawa hawa syahdu. Mendalam di dalam kalbu. Pendapat lainnya.

Bagi sebagian lain, hujan atau titik hujan di kaca, mengingatkan pada…….. Emmmm…… mi instan rebus. Yang menggoda. Spesial dengan telur.

Hujan atau tepatnya musim hujan datang agak terlambat di daerah kami. Tahun ini. Sesuai ketetapan Ar – Razaaq.

Ingatan kami mengatakan, biasanya masim hujan sudah mulai di bulan Oktober. Tapi tahun ini, nampaknya sampai pertengahan November. Hujan belum konsisten turun.

Hujan. Kedatangannya begitu di nanti. Bagi kami di industri ini. Pertanian. Begitu menantikan hujan. Untuk memulai pertanaman. Sebelumnya melakukan pengolahan lahan. Melakukan penyemaian. Dan kemudian, tentu saja pemupukan.

Begitu terasa bagi kami. Hujan merupakan karunia yang tidak tergantikan. Airnya beda. Istimewa. Air yang berkah. Respon tanamanpun beda.

Sebuah karunia dari Tuhan. Salah satu dari cara Allah menumbuhkan tanaman, dengan mengirim air dari langit. Hujan. Selain dari bumi, mata air.

Firman-Nya dalam Q.S. 2, Al Baqarah, ayat 22 :

“(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.”.

Itulah hakikat hujan. Rahmat dan karunia Tuhan. Dan akan terus begitu. Selama manusia siap menerima hujan sebagai karunia. Dengan tidak berbuat kerusakan di muka bumi. Manusia menjadi siap menerima hujan sebagai karunia.

Hujan dapat berubah sebagai ujian atau musibah atau adzab. Na’udzu billah. Jika manusia tidak siap menerimanya. Ketidaksiapan nampak dari, hutan yang gundul. Drainase buntu karena sampah. Sungai Penuh sampah. Dan banyak lagi.

Demikian tipe karunia Allah. Semua karunia-Nya, jika tidak siap maka akan berbalik menjadi ujian, musibah atau adzab.

Firman-Nya saat mengisahkan Nabi Sulaiman dalam Q.S 27, An-Naml ayat 40 :

“Ia (Sulaiman) pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya, Mahamulia.”

Semua karunia Allah. Hidup, keluarga, anak, ilmu, jabatan, harta, adalah karunia yang diberikan Allah.

Dan kesiapan menerimanya adalah dengan kesyukuran. Menggunakan karunia-Nya untuk ketaatan dan mencari keridhaan-Nya. Serta menjaganya, dengan tidak berbuat kerusakan.

Semoga, Allah memasukkan kita sebagai hambanya yang bersyukur.

(Wiyanto Sudarsono)