Posted on Leave a comment

ANTRI, TUNGGU, ATAU PILIH LAIN?

Oleh : Saeful Huda Rijaludin

Foto : jawapos.com

Sepanjang jalan Gresik – Lamongan Sabtu, 16 November 2019 lalu, baik jalur tengah maupun Daendels (Pantura) terjadi banyak antrian mobil berbahan bakar solar. Entah apa yang terjadi, banyak yang mengeluh baik dari konsumen maupun petugas SPBU.

Kata salah satu petugas SPBU, “nggak tau mas. Biasanya sehari bisa 2-3 kali pengiriman, tapi ini udah 2 hari belum dikirim. Ini urusan orang atas.”

Kondisi dan kenyataan di lapang, sebagian besar konsumen bermesin diesel rela antri untuk solar atau biosolar di pagi hari. Saat sore hari, banyak truk barang penuh sesak di SPBU menunggu solar. Meskipun di kotak penakar sebelah solar ada tulisan PERTAMINA DEX dan DEXLITE.

Sebagai PRODUK SUBSTITUSI, meski penuh terisi dalam tandon, tak banyak yang melirik. INI REALISTIS!

Kalau menilik teori dari Bapak Mardigu Wowiek Bossman Sontoloyo, salah satu pengusaha sukses Indonesia, ini termasuk bisnis 4.0.

Artinya, tidak hanya berkutat dengan masalah produksi, marketing, penjualan, operasional, SDM, tapi bisnis yang erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah, apakah jadi musuh atau sahabat kebijakan tersebut. Ini Rumit!

Oke, kita tidak bahas apa itu bisnis 1.0, 2.0, 3.0, atau 4.0 atau X.0 yang lainnya.

Terus apa yang menarik kita bahas sesuai bisnis kita? Sesuai industri dimana kami berada. Ya! Kita hendak membahas tentang Solar atau biosolar dan Pupuk Bersubsidi.

Solar dan Pupuk Bersubsidi, ada kesamaan setidaknya dalam hal, sebagai barang yang “disubsidi Pemerintah”.

Ada anggaran negara yang masuk “di dalamnya”, ada mekanisme penyaluran yang “hampir” mirip meski masih ada perbedaannya.

Kita tidak membahas perbedaannya karena terlalu banyak. Kita akan membahas “kesamaannya”.

Kesamaan yang paling mendasar adalah keduanya merupakan bahan input primer untuk proses produksi selanjutnya.

Solar sebagai input energi mesin dan pupuk sebagai input energi agar tanaman mampu berproduksi secara optimal. Eh, yang benar itu tanaman produksi optimal atau maksimal yah?

Saya pikir kita seharusnya sepakat dan fokus pada kata INPUT PRIMER – SUBSIDI – PRODUK SUBSTITUSI!

Meski telah disediakan produk substitusi dari produk solar atau biosolar (yaitu Dexlite dan Pertamina Dex), namun tak banyak dilirik. Konsumen realistis, bahwa produk subtitusi tersebut harganya jauh lebih mahal, karena tidak ada subsidi.

Di sisi lain, konsumen juga sadar, sesadar-sadarnya, bahwa mereka butuh input energi tersebut. Tapi bagaimana konsumen mengambil keputusan?

Ya! Alam bawah sadar konsumen yang sangat realistis itu menolak dengan tegas untuk menggunakan Dexlite atau Pertamina Dex, meski mereka butuh. Meski Produsen telah mengkampanyekan bahwa Produk “istimewa” tersebut jauh lebih baik secara kualitas dibanding produk Solar atau Biosolar.

Terus, bagaimana dengan sebagian besar petani, sebagai konsumen yang fanatik terhadap pupuk subsidi?

Apa yang mereka lakukan dengan kondisi yang sama dengan ilustrasi Biosolar dibanding Dexlite dan Pertamina Dex di atas?

1. Tidak tanam dan tetap menunggu jatah pupuk subsidi meski produsen telah menyediakan produk subtitusi dengan kualitas lebih baik dengan tambahan unsur tertentu?

2. Tetap tanam dan pupuk dengan jumlah pupuk subsidi seadanya?

3. Tetap tanam dengan dosis sesuai anjuran dengan mengkombinasikan jenis dan jumlah pupuk subsidi dan nonsubsidi?

4. Atau daripada ribet menunggu, lebih baik menggunakan pupuk nonsubsidi semua meski harus merogoh dompet lebih banyak.

5. Atau membeli pupuk sesuai dengan anggaran yang biasa disediakan.

a. Jika subsidi masih ada namun terbatas, sesuai ketersediaan ditambah pupuk nonsubsidi sesuai sisa anggaran.
b. Jika subsidi blas nggak ada, beli pupuk Non subsidi sesuai anggaran.

6. Khusus untuk petani Perkebunan (misal karet dan sawit), tidak melakukan pemupukan.

Sebagai seorang penjual di perusahaan pupuk, psikologi dan langkah apa yang dilakukan petani dengan hal tersebut? Dan bagaimana petugas lapangan harus bertindak?

Ini perlu kita renungkan agar strategi penjualan kita tepat.

(editor : Wiyanto Sudarsono dengan sedikit penambahan).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *