Spesialis Sekolah Sakit
Belum genap setahun purna bakti, setelah 41 tahun lebih mengabdi. Ibu Suyatini (60 tahun). Sejak usia 17 tahun telah mendidik anak-anak desa. Mulai dari melap umbel (ingus) sampai menceboki anak SD, di desa. Mulai dari gadis lulusan SPG sampai purna tugas dan menjadi nenek 10 orang cucu.
Setelah berpindah pindah menjadi guru SD selama 24 tahun, beliau dipercaya menjadi kepala sekolah. Banyak cerita pula tentunya. “Spesialis SD sakit” demikian kami menjuluki beliau. Posisi SD yang diserahkan kepada Beliau, selalu….. , ya, kalau di klasemen berada di zona degradasi. Setahun Beliau pegang, alhamdulillah prestasi SD mulai naik. Hingga setelah dua tahun, menjadi 5 atau 10 besar di tingkat kecamatan. Menjuarai beberapa acara tingkat kabupaten dan berpartisipasi pada acara tingkat provinsi. Dari juru kunci menjadi sekolah yang disanjungi.
“Dandan – dandan maneh. (perbaikan lagi, perbaikan lagi)” demikian guyonan Beliau jika dapat SK penempatan rolling kepala sekolah per empat tahun. Pindah sekolah yang baru, yang berada di zona degradasi. Kecuali yang terakhir. Kami anggap apresiasi. Setelah sekian lama, menjelang masa purna, akhirnya diberi SD yang mapan. Atau istilahnya mbeneh, layak. Terbaik dalam hal SDM dan fasilitas.
Tegas, namun sabar. Disiplin, namun pengertian. Itu kesan pribadi beliau. Transparansi adalah kunci pembangunan SD-SD yang beliau pimpin. Meraih kepercayaan guru dan memperhatikan mereka. “KS (Kepala Sekolah) tidak usah pegang uang. Kan ada Bendahara”, suatu waktu beliau mengisahkan kepada kami. “Berikan Insentif bagi guru yang mau memberikan pelajaran tambahan bagi siswa di sekolah.” Itu gaya manajemen sekolah yang Beliau terapkan.
Pada masa anak-anak beliau yang masih kecil, satu Putra dan 2 Putri, Pukul 05.30 harus sudah beres. Mandi, sarapan, dan bekal. Disiplin. Agar tidak telat ke sekolah, jadi contoh bagi guru lainnya dan siswa.
Menjadi guru di masa itu, kalau bagi saya, tidak menarik. Jika bukan panggilan hati, tidak bisa. Tidak bisa menjalaninya dengan baik. Tapi itulah Pendidikan. Salah satu dari tiga seni dasar kehidupan. Mendidik, Menanam dan Menyehatkan. Jika tidak sepenuh hati jangan memasuki wilayah ini. Sepenuhnya mengabdi. Jika tidak, akan sakit hati.
Semoga kita menjalani segala sesuatu dengan sepenuh hati.
(Wiyanto Sudarsono).