Posted on Leave a comment

Belajar Baca

Masih berkutat pada kebuntuan menulis. Saya menyadari bahwa kebuntuan harus ada jalan keluarnya. Harus ada pendorong, pendobrak atau pengurai kebuntuan.

Tanpa jalan keluar, buntu berlama-lama bisa mampet, pet! Tidak ada aliran yang bermanfaat.

Belajar lagi! Kali ini bukan belajar menulis. Tapi belajar membaca.

Kok belajar membaca? Ya, untuk dapat masukan dan dorongan, sehingga kebuntuan dapat terpecahkan. Saya tidak boleh berlama-lama buntu.

Belajar membaca lagi. Setelah beberapa lama belum berhasil menamatkan how to read a book.

Kali ini sebuah kelas singkat, sebenarnya adalah kelas pembuka. Kelas membaca kilat namanya. Sebagian pembaca mungkin sering melihat iklannya berseliweran di FB atau IG. Kelas membaca dari Pak Agus Setiawan.

Kelas dimulai dengan mengembalikan pada paradigma, sudut pandang. Apa tujuan kita melakukan suatu hal. Kali ini: membaca. Tetapkan tujuannya.

Kemudian diikuti dengan membongkar pola membaca. Sebagian kita dalam membaca itu berusaha: paham maksud penulis, baca per kata, dari kover depan sampai kover belakang buku.

Prinsip membaca kilat adalah membangun materi bacaan di pikiran bawah sadar (PBS) kita. Membangunnya dengan “memotret” tiap halaman buku dengan mata kita. Satu halaman satu detik.

Membaca, mereviu, dan menjelajah dengan pikiran sadar. Pikiran sadar (PS) akan mudah menangkap karena sudah ada PBS.

PBS ini harus dibangun. Karena banyak hal disekeliling yang masuk ke PBS. Dalam membaca bisa jadi gangguan.

Terakhir adalah membuat peta pemikiran (mind mapping) buku untuk pemahaman yang lebih mendalam.

Nah, teknik ini digunakan untuk membaca Non fiksi. Paling tidak demikian tujuan awalnya. Meski untuk beberapa karya fiksi masih dapat digunakan.

Semoga bermanfaat. Selamat membaca. Ucapan ini untuk diri saya sendiri.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Bingkisan Disway, Bahasa, dan Kepahlawanan

Hari ini datang lagi. Kali ini dua, kaos dan topi. Sebuah bungkusan eh bingkisan dari Harian Disway. Sebagaimana pesan langsung di IG beberapa waktu lalu.

Buah dari Foto “bebas parkir”. Foto itu terbit di halaman 20 Harian Disway edisi 18 Oktober 2020. Sebagai partisipasi dalam perayaan Bulan Bahasa dan Sastra Disway 2020.

Kaos Disway di sebelah kiri, adalah bingkisan tahun 2019. Dalam acara yang sama, bulan Bahasa Disway.

Tidak mudah memang berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Perlu pembelajaran dan pembiasaan.

Kita bisa menganggap bahwa berbahasa Indonesia yang baik juga sebagai bentuk penghargaan kepada pahlawan kita. Pahlawan Indonesia. Yang berjuang demi kedaulatan bangsa.

Kemarin, kita merayakan Hari Pahlawan. Tiga belas hari setelah hari Sumpah Pemuda.

Harian Disway mendedikasikan Hari Pahlawan tahun ini kepada tenaga kesehatan, pengendara ambulans, penggali makam, dan siapapun yang berjuang melawan Covid-19.

Bahasa dan kepahlawanan sangat berkaitan erat. Tokoh pendiri bangsa ini membuktikan. Melalui goresan pena mereka menggelorakan perjuangan. Surat kabar, surat menyurat, gagasan, mereka tuliskan, mereka bacakan, mereka suarakan. Melalui media: bahasa.

Semoga kita termasuk yang menghargai Bahasa Indonesia dan Pahlawan Bangsa.

Terima kasih Disway.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 1 Comment

Silaturahmi

(Freepik)

Tali persaudaraan, demikian makna silaturahmi dalam KBBI. Dapat diduga merupakan kata serapan dari bahasa Arab: silaturahim (صلة الرحم)

Hubungan, tautan, tali yang mengikatkan seseorang dengan orang lain yang berkenaan dengan rahim. Rahim sendiri bermakna kantung selaput dalam perut, tempat janin (bayi); peranakan; kandungan. Rahim juga bermakna bersifat belas kasihankasihan; bersifat penyayang.

Silaturahim seyogianya dieratkan karena ia adalah ikatan karena “rahim”: kerabat. Dan ikatannya adalah bersifat kasih sayang.

Karena itu, menjalin hubungan silaturahmi atau silaturahim adalah sebuah perbuatan mulia. Memutusnya adalah perbuatan tercela.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Silaturahim tentu bisa antara seseorang dengan keturunannya, sesama saudara, sepupu, sepupu dua kali dan seterusnya. Orang yang masih memiliki hubungan dalam garis keturunan. Sebagian menyatakan jika garis keturunan bertemu di empat tingkatan, maka masih ada hubungan kekerabatan atau silaturahim.

Salah satu caranya berkunjung. Berkunjung ke rumah saudara atau kerabat. Bisa langsung atau virtual. Telepon atau panggilan video. Saat ini mungkin dengan grup WA.

Menyambungnya selain saling berkunjung, juga dengan saling membantu. Saling memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan dan sesuai kemampuan. Nasihat, pikiran, ide, pengalaman, keuangan, atau petunjuk kepada kebaikan dan menghindari keburukan.

Dan sangat utama sekali jika menyambung hubungan yang selama ini terputus. Baik karena kehilangan kontak atau karena suatu hal di masa lalu. Menyatukan, mendamaikan dan mengeratkan.

Semoga kita termasuk orang-orang yang menyambung silaturahim, merawat, dan senamtiasa menjaganya.

(Wiyanto Sudarsono)

Sumber Gambar: Pattern photo created by freepik – www.freepik.com

Posted on Leave a comment

B. U. N. T. U

Menunggu di Lahap

Saat kita tidak tahu ingin menulis apa. Elbow menyarankan untuk menulis sesuatu yang menjelaskan bahwa kita sedang tidak bisa menulis apapun. Saya perlu sesekali –mungkin bisa sering– menulis seperti ini. Menulis disaat sedang buntu.

Saya mengistrospeksi diri saya, saat tidak bisa menulis adalah sebuah periode dimana pikiran tidak ada masukan. Tidak ada masukkan bagaimana bisa ada keluaran.

Masukkan tidak harus sesuatu yang baru, pengulangan juga sudah cukup. Pengulangan mampu membangkitkan ingatan dan pemahaman lama. Atau memberikan sebuah sudut pandang baru terhadap sesuatu yang lama.

Tampaknya saya harus mengubah rute jalan saya berangkat dan pulang kantor. Agar dapat pemandangan baru. Semoga bisa membangkitkan pikiran-pikiran yang sedang dorman.

Kebuntuan juga karena kurang masukan berupa makanan bagi nalar: bacaan. Bagaimana bisa menulis jika bacaanmu cuma segitu? Demikian tulis kawan saya di status Facebook-nya beberapa waktu lalu.

Benar! Kurang membaca. Saya perlu mulai melahap lagi buku-buku yang terjejer rapi di lemari metal di ruang tamu. Ada juga sedikit di lemari kamar. Oh ada juga sebagian di laci meja kantor. Baca, baca, baca.

Paling tidak saya bisa menceritakan ulang hasil bacaan saya. Siapa tahu bermanfaat bagi pembaca. Atau mungkin saya perlu membuat kelas menulis tanpa guru, entahlah?!

(Wiyanto Sudarsono)

Bahan bacaan:
Peter Elbow. Writing without Teacher: Merdeka dalam Menulis. 2010. Indonesia Publishing.

Posted on Leave a comment

Kelengkeng dan Jambu

Sebuah dialog Imajiner

Kanan-Kiri: Jambu, Kelengkeng, Rambutan, Mangga

Di sebuah tepian taman rumah. Berjejer pohon jambu air, kelengkeng, rambutan, dan mangga. Dua tanaman pertama ditutupi paving pada permukaan tanah di bawahnya.

Siang itu, Matahari bersinar terik. Cukup panas untuk ukuran udara di daerah itu. Di atas paving terlihat banyak buah jambu. Gugur, membusuk.

Wahai jambu, apakah engkau akan terus berbuah? Padahal tak satupun buahmu dimakan oleh penghuni rumah ini?” Kelengkeng memulai pembicaraan.

Tentu saja, sudah tugas ku untuk itu.“.

Lihat, banyak buahmu yang gugur dalam kondisi busuk. Hiiii!“.

Tidak mengapa, karena busuknya buahku ini, karena aku dimanfaatkan lalat untuk bertelur. Lagian sebenarnya, pemilik kita telah membeli Petro Genol  untuk membasmi lalat. Tampaknya ia lupa memasangnya. Atau belum sempat“.

Jambu melanjutkan: “bahkan aku akan terus tumbuh dengan rindang dan berbuahbtentu saja, dengan izin Allah. Lihatlah! di bawah naungan dedaunan kita anak-anak bermain“.

Selain buah ternyata naungan daun kita bermanfaaat ya“. Sahut kelengkeng setelah berpikir sejenak.

‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Untukmu: Kekasih dan Kawanku

oleh: Wiyanto Sudarsono

Tiada bunga ingin ku tatap di hari pagi
Kecuali, merekahnya senyum dari bibir kecilmu
Cantik, sederhana tanpa riasan pun ayu
Mungkin, akan sulit kucari ganti rasa itu, meski ku redah permukaan bumi ini

Rasanya, tiada makanan yang ku harapkan
Melainkan ku santap bersama, atau di hadapan

Engkaulah tempatku mencurahkan kasih
Engkaulah yang menjadi kawan dalam perjalanan
Yang aku ingin berkata cukup dengan lirih
Yang bergandengan menuju keridaan

Ingin ku panjangkan sajak ini
Namun ku tahu, Kata-kata tak cukup mewakili
Sajak singkat nan sederhana ini
Ku persembahkan untuk kawan dan kekasih hati
Istriku Dian Lusiyanti Puspitasari

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Bahagia Menulis

Menulislah maka engkau akan bahagia. Minimal kesedihanmu akan berkurang ketika engkau sedang sedih, dengan menulis. Selama kita yakin yang kita tulis adalah kebenaran dan membawa kemanfaatan. Minimal untuk diri sendiri, syukur alhamdulillah jika manfaat untuk orang lain -pembaca-.

Kalimat di atas bukan sebuah jaminan. Tapi itu sebuah keyakinan dan harapan diri saya. Kok bisa menulis membuat bahagia?

Bagi kami, menulis adalah sebuah keharusan. Setiap hari, meski sedikit. Kami yang saya maksud adalah orang-orang yang berazam untuk menulis. Azam untuk menjadi penulis, di level penulisan manapun kami berada.

Bahagia adalah ketika bisa menyelesaikan tulisan. Berarti kenyataan telah sesuai dengan harapan. Tidak ada alasan bukan, untuk tidak bahagia?

Hari ini kebahagian itu bertambah. Selain kebahagian menulis, kami bisa berbagi hal-hal tentang menulis. Seru sekali.

Kami berbagi dalam acara penutupan kelas menulis. Kelas “Bapak-Bapak Punya Karya” (BPK) yang diasuh oleh Pak Cah (Tjahyadi Takariawan). Silakan simak keseruan acara di kanal YouTube Cahyadi Takariawan Official.

Tak main-main kelas menulis “Bapak-Bapak Punya Karya” ini. Targetnya, menerbitkan buku. Tidak sekadar bagaimana menulis, tapi sampai berhasil menerbitkan tulisan mandiri dalam bentuk buku! Satu orang minimal satu buku.

Banyak sekali cerita dibalik sebuah buku. Mulai inspirasi menulisnya, perjuangan menulis, penentuan judul, proses penyuntingan, penerbitan dan tentu saja pemasaran dan penjualannya. Masing-masing punya cerita.

Acara penutupan ini sekaligus peluncuran tiga judul buku yang terbit pertama dari kelas BPK. Buku karya para peserta kelas menulis. Buku yang ditulis dan diterbitkan dengan bimbingan Pak Cah.

Meski judulnya penutupan, saya pikir acara ini sebenarnya adalah juga sebuah pembukaan. Pembukaan era baru penulisan bagi kami. Tantangan untuk terus berkarya.

Mari kita mulai menulis, terus menulis dan tetap menulis!

Maka, setelah kata pertama dalam kitab suci, “Iqra” atau “bacalah”, tak buruk sama sekali bila kita serukan sebagai lanjutannya: “manulislah“.
–(Radhar Panca Dahana).

(Wiyanto Sudarsono)

Bacaan:
– Cahyadi Takariawan. Modul Pelatihan Bapak-Bapak Punya Karya. 2020. Wonderful Publishing
– Peter Elbow. Writing without Teacher: Merdeka dalam Menulis. 2010. Indonesia Publishing.

Posted on Leave a comment

Sesederhana Itu

Air Mendidih

Nama beliau Mbah Min. Demikian kami memanggil beliau. Seorang guru spesialis prasekolah. Sejak dulu, sampai kini usianyi 70-an tahun.

Kami mengunjungi beliau sore ini. Tujuan utama kami, mengecas keimanan dengan mendengar nasihat beliau yang sederhana. Singkat dan mudah dicerna.

Mbah njenengan niku kok ketingal bungah terus toh?”. -Mbah Anda itu kok terlihat bahagia selalu toh?- Beliau menceritakan pertanyaan seseorang kepada beliau.
Lha kepiye kok ra iso bungah. Wong iso tindak masjid kui lho seneng. Isi mlaku, kui seneng, iso nggodok banyu sampek umup kui lho seneng“. Jawab beliau kepada penanya.

Sesederhana itu bahagianyi. Sontak itu membuyarkan definisi bahagia selama ini. Mengambyarkan parameter dan ukuran kebahagian. Paling tidak itu menyadarkanku kembali.

“Bagaimana tidak bahagia, bisa pergi ke masjid. Bisa berjalan itu kebahagiaan. Bisa merebus air sampai mendidih itu juga kebahagiaan”. Begitu sederhana, begitu mudah bahagia.

Bisa merebus air hingga mendidih. Bisa menjadi sumber kebahagiaan.

Kabeh kui mung syukur. Sak kabehane kui syukur. Pasrahkan kepada Allah. Ojo dipikir dewe“. Berkali-kali beliau menasihati kami. Seolah mengerti apa yang kami -tepatnya saya- butuhkan.

Banyak sekali yang beliau nasihatkan. Banyak yang beliau kisahkan. Tentang mengaku dan menyerah kepada Allah, tentang syukur, tentang yakin, tentang takwa, tentang mengikuti petunjuk Alquran dan hadis, tentang bermasyarakat, tentang makna hidup dan kehidupan.

Saya akan memberikan kesempatan kepada murid beliau untuk menuturkan kisahnyi. Murid beliau adalah Ibunda dari anak-anak saya.

Semoga kita termasuk orang yang mendapatkan hikmah dan mengambil pelajaran.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.
QS.Al-Baqarah [2]:269

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Medan Perjuangan

Kota Medan

Hujan deras mengguyur. Membasahi kaca depan mobil dengan cukup dahsyat. Menambah pendeknya jarak pandang karena kaca dapan mobil relatif lebih gelap. Tebakan kami, 60% tingkat gelapnya.

Sore itu kami menyusuri jalan dari bandara Kualanamu menuju Karo. Kami bermalam di Karo, esok paginya berkendara menuju Sidikalang, Dairi.

Tujuan kami adalah menengok pelaksanaan dan identifikasi permasalahan kartun tani di Kabupaten Dairi. Ada tiga kecamatan yang menjadi wilayah uji coba: Sidikalang, Brampu, dan Gunung Sitember. Terkait ini saya laporkan langsung dalam rapat dengan Pupuk Indonesia di hari itu juga.

Nostalgia Berliku

Saya didampingi dua penggawa baru di Provinsi Sumut. Saudara kami Mas Sukodim, S.P., M.P. (beliau baru saja menyelesaikan pendidikan S2-nya) dan Saudara kami Edi Sasmito.

Jalan Deli Serdang ke Karo kemudian ke Dairi berliku. Kanan tebing, kiri Jurang, atau sebaliknya.
Kalau lulusan lintas Camba, sudah biasa rute seperti ini“. Singgung saya kepada Mas Sukodim yang di tahun 2012 bertugas di Bone, Sulawesi Selatan. Camba adalah kecamatan di Kabupaten Maros yang dilewati dalam Perjalanan ke Bone. Melewati medan ekstrem yang serupa dengan rute ini.

Rute ini mirip dengan jalan Manggarai Barat ke Manggarai ya Ed“. Tanya saya ke Edy Sasmito yang saat itu sedang memegang kemudi mobil kami.

Sepanjang perjalanan kami banyak membandingkan rute ini dengan rute di belahan bumi Indonesia lain. Seperti dengan rute di Sulawesi, NTT, dan Bengkulu. Nostalgia indah tentang lika-liku laki-laki penjual.

Kami bersyukur memiliki pengalaman di berbagai daerah. Banyak cerita yang bisa dikisahkan.

Masa Depan

Berjalan sambil  melihat potensi pertanian. Begitu luas begitu beragam.

Semua ada di Sumut. Nyaris komoditas unggulan ada di Sumatera Utara. Padi, jagung, jeruk, sayuran, kopi, karet dan tentu saja sawit.
Tampaknya singkong yang tidak ada Pak Kodim“. Celetuk saya, saat melihat singkong yang ditanam hanya untuk konsumsi pribadi petani.

Oh terlupa, durian sangat banyak di Sumut. Mungkin banyak juga yang belum kami temui. Cengkeh, lada juga tidak pernah saya dengar ada di Sumut. Tapi relatif lebih banyak di banding provinsi lain.

Penggawa baru harus membawa perubahan positif. Harus tumbuh. Potensi masih sangat besar, banyak yang bisa dan harus dilakukan. Saya ceritakan banyak pandangan saya terkait Sumut.

Selamat berjuang kawan! Sumut adalah betul-betul medan perjuangan. Begitu istimewa! Lakukanlah yang terbaik.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Di Depan Kata

Gerbang masuk dari sisi alun-alun

Bahasa merupakan alat bagi komunikator (pengiriman pesan). Agar informasi diterima dengan baik, harus ada kesamaan bahasa dengan komunikan (penerima pesan). Terlebih lagi bagi pihak yang dekat dengan dunia penulisan.

Ragam bahasa tulis lebih banyak aturannya. Meski aturan bahasa sebenarnya sama. Tetapi, bahasa tulisan tidak hanya sekali lewat di indra kita, ia meninggalkan jejak yang terlihat.

Karena itu perlu adanya keterampilan dasar dalam menulis, termasuk naskah iklan. Seperti gerbang di kawasan wisata Malik Ibrahim: SELAMAT DATANG DIKAWASAN WISATA MALIK IBRAHIM.

Penulisan “di”, sebagai kata depan atau sebagai imbuhan, adalah hal kecil yang perlu di cermati dalam penggunaan bahasa persatuan: BAHASA INDONESIA. Jika di dikuti kata kerja maka penulisannya disambung, karena merupakan imbuhan/awalan. Jika “di” diikuti kata benda, tempat, maka penulisan dipisah.

Selamat Datang di Kawasan Wajib Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar.

Selamat Hari Sumpah Pemuda! Selamat berakhir pekan yang panjang. Tetap jaga kesehatan, ikuti protokol kesehatan.

(Wiyanto Sudarsono)