Posted on 3 Comments

Pilar Kelima – Peduli

Seri Ketigabelas, Serial Jualan dengan Karakter

Sekali lagi, penjualan adalah sebuah proses yang sepenuhnya bertemu orang. Tatap Muka. Atau lewat suara. Atau lewat kata. Karena itu, dalam prosesnya membutuhkan perasaan. Itu mengapa sebagian orang menyebut penjualan sebagai seni. The art of selling.

Prinsip #13, Bijaksana Selama Proses Penjualan

Proses penjualan membutuhkan waktu. Terkadang cukup panjang. Mulai dari prospecting, pendekatan, penjajagan, presentasi, menangani penolakan, hingga penutupan-closing. Setiap tahapan bertemu orang. Calon pelanggan.

Penjual juga harus bijak. Bijak saat bertemu pelanggan. Dalam berkomunikasi dengan pelanggan. Dalam menyikapi kegagalan. Bijak untuk senantiasa peduli dengan pelanggan.

Sebutlah namanya Kang Rat. Penjual untuk pasar B2B. Dari salah satu perusahaan pupuk. Ia mendapati ada calon pelanggan potensial. PT KG. Perkebunan. Kebunnya di Papua. PMA, penaman modal asing. Korea.

Cak Rat ini mengumpulkan semua informasi terkait KG. Dapat kontaknya.

Mulai dikontak. Bisa janjian. Bisa presentasi, tapi penawarannya ditolak. Rupanya DMU (Decision Making Unit) masih bertipe merah, percaya diri. Cenderung berlebihan. Kang Rat tidak memaksa. Percuma. Saat ini calon pelanggan belum butuh kita.

Setiap menjelang musim pemakaian pupuk. PT KG dikontak lagi. Buntu lagi. Saya lupa sampai 3 atau 4 musim berlalu. Selalu ditolak.

Ah, masa itu tiba. PT KG akhirnya setuju. Untuk datang ke pabrik Kang Rat. Kang Rat ini tipe penjual berkarakter bijak. Tahu DMU yang datang orang korea. Diajaklah tamunya ini makan mie. Di mal baru kota Kang Rat ini. Mie No. 1, demikian jargon restoran tersebut.

Setelah presentasi, negosiasi, kunjungan proses produksi, berhasil. 9.000 ton. Tepatnya saya lupa. Dua kali pengiriman.

Kang Rat ini memberi contoh ke kita. Ia tidak meninggalkan calon pelanggan yang menolaknya. Bahkan ia mencari informasi tambahan terkait calon pelanggan. Kondisi bisnisnya. Orang – orangnya. Informasi yang tidak terkait langsung dengan produk.

Penjualan dimulai ketika pelanggan mengatakan “tidak”.

– Jeffrey Gitomer

Semakin banyak informasi tentang pelanggan. Semakin baik. Seperti sahabat. Tahu banyak tentang sahabatnya. Sehingga bisa bijak dalam menyikapi setiap kondisi sahabatnya.

Pun sekarang. Meski Kang Rat tidak lagi menangani penjualan PT KG secara langsung. Kang Rat ini masih berkomunikasi baik dengan PT KG. Dan pelanggan lainnya.

Seri Ketigabelas ini akan ada side B-nya. Atau Part 2-nya.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 2 Comments

Pilar Keadilan Penjual (3) – Setiap Calon Pelanggan Sama Berharganya

Seri keduabelas, Serial Jualan dengan Karakter

Jangan Kita menilai Pelanggan dari “Kulit Luar” Mereka

Era YouTube sekarang, mungkin kita banyak sekali mendapati tayangan eksperimen sosial. Oleh pe-youtube, youtuber. Atau oleh pesohor yang jadi youtuber.

Unik-unik cara mereka. Dan unik juga cara orang meresponnya. Terutama ketika youtuber tadi menyamar sebagai (maaf) gembel atau pemulung yang ingin membeli gawai atau bahkan mobil. Ada yang tak acuh. Ada yang begitu menghargai, atau sama menghargainya dengan calon pelanggan lain.

Bidang penjualan, punya cerita tentang Bob Golomb, dari Nissan Flemington, New Jersey. Ia memiliki aturan terhadap calon pelanggan. Aturan untuk dirinya sendiri. “Kita tidak boleh salah menilai orang dalam bisnis ini”. Kita tidak boleh menilai orang berdasarkan penampilan. Setiap calon pelanggan yang ditemui memiliki peluang yang sama untuk membeli.

Jika calon pelanggan membeli, Bob akan meneleponnya untuk memastikan pengiriman barang dan memastikan tidak ada yang kurang. Jika calon pelanggan tidak membeli, Bon juga akan menelepon untuk mengucapkan terima kasih telah berkunjung.

Buruk sangka, sama saja bunuh diri. Kita harus mengusahakan yang terbaik bagi semua orang“. Katanya dalam sebuah wawancara.

Penjual yang berkarakter tidak baik akan menilai, “orang ini tidak mungkin membeli produk kita”. Hanya dari Penampilannya. Atau dari usianya. Hanya dari cuplikan tipis dalam pikiran yang menjebak. Cerita Bob Golomb ini ada di buku “Blink” karya Malcolm Gladwel.

Calon pelanggan pertanian pun demikian. Misalkan, ada remaja muda (SMP) bertanya : “apakah tersedia Phonska Plus 1 ton!?”. Kita tidak boleh beranggapan, atau punya asumsi, wah tidak mungkin membeli ini anak. Bisa jadi ia atau dia, diminta ayahnya bertanya. Ayahnya seorang petani besar.

Pun dalam penjualan B2B, office boy, sopir, front office staff, dari perusahaan calon pelanggan adalah calon pelanggan juga. Yang berharga. Yang bisa jadi memberikan informasi berharga atau bahkan pengambil keputusan.

Di Lampung Tengah, ada rumah makan Pindang Sehat. Jika kita ingin memasok, mungkin ikan patin atau ikan baung atau daging sate tanpa lemak. Sebaiknya yang kita temui adalah tukang parkir rumah makan tersebut. Karena, (kata adik saya), tukang parkir itu adalah pemilik rumah makan.

Jadi, jangan membeli buku yang tidak ada cover-nya, eh jangan melihat buku hanya dari cover-nya. Sama dengan, jangan menilai calon pelanggan dari penampilan luar atau posisinya.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pilar Keadilan Penjual (2) – Jangan Angin-Anginan

Seri Kesebelas, Serial Jualan dengan Karakter

Prinsip #11, Perlakukan pelanggan dengan baik di segala kondisi.

Banyak hal yang menyusun diri kita. Sehingga kita dapat disebut sebagai manusia. Seutuhnya. Fisik, pikiran, perasaan, emosi, dll. Penyusun itu juga memengaruhi sikap kita, terhadap orang lain. Dan sebaliknya. Orang lain kepada kita.

Sebagai penjualpun demikian. Perasaan juga memengaruhi sikap dan karakter kita.

Tentang perasaan misalnya. Jika kita termasuk pemilik perasaan yang angin – anginan, atau bahasa lainnya moody (dari kata dasar mood yang artinya suasana hati), kita harus hati-hati. Lebih hati-hati.

Jangan sampai, saat kita senang, kita bisa memberikan layanan yang WOW. Namun saat hati tidak enak, atau bad mood, pelanggan kita “paksa” ikut merasakannya.

Mungkin kita pernah mendapati. Saat belanja di minimarket, pramuniaganya cemberut. Menyambut dengan kata-kata saja. Sekadar kata-kata manis. Sesuai prosedur. Tanpa disertai muka yang manis. Mungkin kita hanya bisa membatin dalam hati, mungkin habis diputuskan pacarnya.

Kita seolah diajak merasakan suasana hati penjual. Yang sedang tidak enak.

Sebagai penjual yang baik dan berkarakter baik, perasaan atau sikap moody ini haruslah diubah. Berikan perlakuan yang baik kepada pelanggan disetiap situasi.

Perlakuan yang baik, meski untuk mencapai terbaik akan sulit sekali. Jangan sampai pelanggan merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan dari kita. Baik ucapan, perbuatan, bahwa tubuh atau cara komunikasi kita.

Konsistenkan kebaikan kita dalam bersikap kepada pelanggan. Artinya selalu baik di segala situasi. Tidak hanya suasana hati, tapi baik disetiap tahapan penjualan.

Jangan sampai, kita baik dan rajin komunikasi saat pendekatan. Setelah berhasil bertransaksi jual beli, selesai sudah. Tak ada kabarnya lagi.

Sebenarnya sih, prinsip ini hanya memanusiakan pelanggan. Menganggap pelanggan sebagai orang. Makhluk sosial. Tidak sekadar transaksional. Lebih sebagai teman. Sehingga kita akan selalu baik dengan pelanggan.

Sudahkah hari ini kita mengontak pelanggan hari ini? Orang yang dulu pernah menjadi pelanggan kita? Sekadar kirim SMS atau WA. Saya sudah, setelah membaca materi ini. Pak Pauyan namanya. Pengecer dan Ketua Gabungan Kelompok Tani di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Keramahan dan Kamuflase Harga

Saya masih terus terpesona dengan orang-orang yang terlibat di bisnis keramah-tamahan. Hospitality. Salah satu dari sekian bisnis bidang Jasa. Services.

Suatu pagi di bulan September, saya ke BNI, KCU Kediri. Satpamnya menyambut ramah, teller-nya pun begitu. Senyumnya seolah standar. Sepenuh hati. Paling tidak yang saya rasakan. Terlepas telah terjadi prahara apa mereka di pagi hari. Perang bratayudha sebelum anak berangkat sekolah, demikian biasanya seminar parenting menggambarkan, tidak terlihat dalam keramahan mereka, yang di tempat lain akan mudah kelihatan.

Keramahan ini harusnya ada di semua lini bisnis, yang berhadapan dengan dengan pelanggan. Internal maupun pelanggan eksternal.

Oh ya, diantara dari bisnis keramah tamahan yang saya ketahui diantaranya, hotel, pariwisata dan rumah sakit. Semua di sektor jasa. Sebagian ahli, menyatakan bahwa di sektor barang, juga tidak dapat dilepaskan dari jasa, pelayanan. Keduanya, barang dan jasa melekat. Karena itu, di dunia Pemasaran ada kompetensi Sales Operation, Brand Operation dan Service Operation.

Ada yang menarik di dalam materi LDP, Leadership Development Program. Bahwa service, pelayanan, itu dapat mengaburkan harga. Mengkamuflase harga. Demikian kata pemateri pertama kami.

Ia mencontohkan, pelayanan rumah sakit. Bagaimana kita diberikan pelayanan yang WOW, tapi semuanya dihitung. Meski kita menilai tidak membutuhkan.

Didorong di kursi roda, padahal segar bugar, seperti yang pernah saya terima sebelum operasi hemoroid. Prosedurnya memang begitu. Tapi itu di bebankan sebagai biaya, bagi pasien atau pelanggan. Sehingga pasien, atau pelanggan, akan berkata “pantas mahal, pelayanan benar-benar memuaskan”.

Dengan pelayanan, pelanggan akan memaklumi harga yang dikenakan. Demikian juga di penerbangan, tiket paling mahal selalu habis. Dengan pelayanan terbaik dikelasnya.

Berbeda dengan bisnis yang pelayanannya buruk, meski murah akan ditinggalkan. Kasus penerbangan mungkin bisa dikecualikan. Terpaksa, karena murahnya, dulu.

Karena itu, jika kita tidak bisa berbuat banyak di sisi harga, mari kita perbaiki pelayanan kita. Mudah mudahan pelanggan akan menerima produk kita dengan tambahan nilai yang kita berikan melalui pelayanan yang WOW.

WOW your Service lalu Grow Your Sales. Itu salah satu judul buku, yang ternyata belum selesai saya baca.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Ilalang Liar

“Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

Kalimat di atas adalah bagian dari ayat ke-191 dari surat Ali Imran. Surat ketiga dari Alquran. Benarlah yang difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam kitab-Nya.

Sebagaimana Allah telah menciptakan ilalang. Sebuah tanaman yang hebat. Meski umumnya dianggap sebagai pengganggu dalam budidaya tanaman.

Ilalang atau alang-alang. Tanaman dengan nama ilmiah Imperata cylindrica. Demikian kata Wikipedia.

Tanaman yang menarik dan luar biasa.

Daya bertahan hidup tinggi. Tahan kondisi yang tanaman umumnya sulit tumbuh. Cuaca yang panas. Tetap bisa. Jika ekstrem dingin, saya belum melihatnya.

Dibakar tumbuh lagi. Bersemi lagi. Sangat liar. Dapat bertahan dikondisi yang sulit.

Ada hikmah yang kami ambil. Saat mengamati ilalang di bukit holywood, Gresik. Sambil jalan. Bersama kawan.

Ilalang di bukit holywood, Gresik

Bung Kosa (Nugroho Iman Prokosa) mengatakan, “jika liar harus tahan banting. tangguh. Kuat. Seperti Ilalang”. Saya sepakat dengannya. “tetap tumbuh. Bersemi lagi. Apapun kondisi yang menimpa.” Imbuhnya. Pada Ahad pagi itu.

Diskusi kami berlanjut sampai, bagaimana jika, manusia, orang, memiliki sifat seperti ilalang. Tangguh. Kuat. Kondisi apapun.

Liar, tapi dijalan yang benar. Karena orang. Bertahan tetap benar dalam kondisi apapun. Benar diposisi apapun. Setelah “dibakar” sekalipun. Seperti ilalang. Meski tidak perlu merasa paling benar.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pilar Keempat, Fairness – Keadilan

Seri Kesepuluh, Serial Jualan dengan Karakter

Berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran. Salah Makna salah satu makna adil menurut KBBI. Makna inipun berlaku untuk penjual. Kepada pelanggan, maupun kepada perusahaan.

Prinsip #10, Transparansi adalah Kunci Sukses Penjualan

Tidak ada pelanggan, atau pembeli yang ingin ditipu. Penjualpun demikian. Tidak ingin ditipu. Saat dia atau ia menjadi pembeli.

Ditipu disini bukan karena uang sudah diambil, barang tidak datang. Tapi tepatnya merasa tertipu. Barang atau layanan yang diberikan tidak sesuai harapan yang dipikirkan atau diperkirakan sebelumnya.

Biasanya karena penjual tidak menjelaskan kondisi barang yang dijual secara menyeluruh. Dan bedanya dengan yang biasa diharapkan pelanggan. Barang tersebut tidak harus cacat, tapi bisa jadi hanya berbeda.

Terdapat seseorang hendak membeli kurma. Kurma, pada zaman dulu dijual dalam kemasan karung/sak. Dalam kondisi kering, kurma kering.

Pembeli memasukkan tangannya kedalaman tumpukan kurma di dalam karung yang hendak dibelinya. Ada yang basah. Pembeli bertanya, “Apa ini wahai penjual”? Ia menjawab, “kurma terkena hujan”. Pembeli tadi mengatakan, “mengapa tidak engkau letakkan di atas, agar calon pembeli melihatnya?”.

Pembeli kurma tadi adalah Rasulullah, Muhammad salallahu alaihi wasalam. Dikisahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Menjadi salah satu dasar wajibnya menjelaskan kondisi barang yang dijual. Secara transparan. Serta menjadi dasar larangan menutupi kondisi barang yang jika pembeli tahu, berpotensi tidak jadi membeli.

Pembeli tadi mengetahui kebenaran karena kecelakaan, tidak sengaja. Atau “konangan“. Bukan inisiatif penjual menjelaskan secara transparan. Akibatnya ada kesan pembeli merasa dibohongi. Karena menyembunyikan atau menutupi kebenaran termasuk kebohongan bukan?

Cukup menjelaskan barang yang kita jual. Secara transparan. Terbuka, utuh. Tidak harus membandingkan dengan pesaing. Jelaskan fitur produk kita.

Di era digital seperti ini, pelanggan akan mendapatkan kebenaran. Baik dari kita sebagai penjual, atau dari sumber lain atau dari pengalamannya yang pahit. Jika kebenarannya dari kita, penjual akan tetap percaya kepada kita. Bahkan meningkat. Jika dari sumber lain, maka pelanggan akan kecewa dan tidak percaya lagi. Meski belum tentu misuh -memaki-.

Transparansi juga berlaku bagi kami. Orang yang mengelola penjual. Meski kami masih berusaha.

Memperjelas target. Menyusun dan menetapkan penghargaan, bagi yang berhasil. Sehingga semua pihak mengetahui ukuran yang jelas. Dari tugas penjualan. Tidak ada pilih kasih. Tidak ada suka dan tidak suka. Tidak ada main mata dengan mitra atau pelanggan. Semoga semakin baik kedepannya. Karena semuanya semakin transparan. Kita suka jika transparan bukan?

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 1 Comment

Pemuda dan Bahasa

Sungguh agung kakek nenek kita dulu. Pendiri dan penggagas bangsa ini. Meskipun saya sebut kakek nenek, atau buyut mungkin, tapi mereka adalah pemuda di zamannya.

Cita – cita mereka luhur. Menyatukan Nusantara. Aceh sampai Papua. Beragam suku bangsa dan agama. Menjadi satu. Tanah tumpah darahnya jadi satu. Bangsanya jadi satu. Bahasanya jadi satu. INDONESIA.

Saya tidak tahu bahasa yang mereka gunakan dalam rapat. Bahasa Indonesia murni, ataukah bercampur bahasa Belanda. Seperti pemuda sekarang, bercampur dengan bahasa Inggris. Sebagian orang menyebutnya keminggris (keinggris – inggrisan). Atau bercampur dengan bahasa Korea.

Saya bukan, atau belum menjadi penutur bahasa Indonesia yang baik. Apalagi baik dan benar. Masih belajar. Baik ragam lisan maupun tulisan.

Saya senang dengan tanggapan Pak Yusuf Ridho. Ia senantiasa memberi catatan tentang penggunaan Bahasa Indonesia. Orang yang ditanggapi adalah Pak Dahlan Iskan di blognya disway.id. Jadi saya mengikuti catatan di disway.id, selain karena asik, saya dapat belajar bahasa Indonesia. Meski tidak berburu pertamax (tanggapan pertama) di pukul 04.00 WIB.

Sayapun ingin menjadi penutur bahasa Indonesia yang baik dan benar. Selain karena saya juga tidak mahir berbahasa asing.

Saya sering berdiskusi, dengan salah satu mentor saya di kantor. Terkait penulisan PROVINSI (baku) dibandingkan dengan PROPINSI (tidak baku). KBBI jadi andalan saya. Kepanjangan ITS selalu jadi andalannya. Bahkan, kadang kala penulisan bulan Nopember (tidak baku) di kalender dijadikannya penguat.

Pernah sewaktu di toko buku, saya menyempatkan membeli buku tentang Bahasa Indonesia. Buku itu selalu ada di meja kantor. Judulnya “Mahir Berbahasa Indonesia dengan Benar”, karya Dr. Dendy Sugono.

Semoga kita dapat menjadi penutur Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tidak keminggris atau kemlondo. Bangga berbahasa Indonesia.

Sesuai isi sumpah pemuda. Berbahasa satu, bahasa Indonesia. Agar kita tidak ditanya, “kalian memperingati Hari Sumpah Pemuda, menyumpahi apa? Atau menyumpahi siapa? Kok bahasa Indonesia-nya begitu?”. Entah siapa yang akan bertanya.(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pilar Tanggung Jawab (3), Kita adalah Apa yang Kita Jual

Seri Kesembilan, Serial Jualan dengan Karakter

Kita adalah apa yang kita makan. Demikian yang sering disampaikan coach /pelatih hidup sehat. Kita adalah apa yang kita baca. Kita adalah apa yang kita pikirkan. Demikian yang sering kita dengar dalam materi pengembangan diri. Sebagai penjual, kita adalah apa yang kita jual.

Buka soal barangnya. Bukan soal harganya. Bukan soal merek, brand produk atau jasa yang kita tawarkan. Bukan produk inti saja. Bukan hanya soal itu semua saja. Tapi termasuk hal-hal yang menjadi bagian dari yang kita jual. Yang melekat langsung ataupun tidak. Termasuk bagaimana kita menjualnya.

Ini berlaku untuk semua jenis hubungan penjualan. Terutama jika kita ingin hubungan jangka panjang dengan pelanggan.

Ada cerita. Seorang penjual telah berhasil meyakinkan pelanggan pasar B2B-nya. Pelanggan korporat. Sebutlah nama penjual tersebut Pak Mohamad. Pak Mohamad telah berhasil menjual barang – pupuk-, ke perusahaan perkebunan. Jumlahnya cukup besar. Presentasi dan contoh pupuk yang dikirim Mohamad begitu menarik dan meyakinkan.

Namun, setelah barang datang di gudang pembeli. Alangkah terkejutnya pembeli. Kemasan kotor. Lembab. Berair. Melebihi batas toleransi. Tidak seperti contoh.

Bos pembeli marah besar. Pak Mohamad berjanji akan segera ke kebun pembeli.

Pak Mohamad tidak main – main dengan janjinya. Ia tiba di gudang dan kantor kebun pembeli. Bersama tim. Ada orang produksi dan laboratorium. Sampai ada anggota tim Pak Mohamad yang mabuk perjalanan. Karena jauhnya. Dan jalannya.

Sampai di lokasi langsung “disemprot” pembeli yang marah besar. Sampai Pak Mohamad lupa untuk disilakan duduk. Pak Mohamad menanggapi dengan serius. Namun, meminta izin untuk duduk sebelum menjelaskan. Dan suasana menjadi agak cair.

Permasalahan dan kondisi pelanggan didengarkan satu persatu dan diberi penjelasan satu persatu oleh Pak Mohamad. Tidak membantah sudut pandang pelanggan.

Pak Mohamad saya nilai sebagai penjual yang berkarakter. Ia akui kesalahan. Berbeda dengan penjual yang tidak berkarakter, yang justru akan ngeyel dan ngeles. Tidak mau mengakui kesalahan. Yang justru membuat pelanggan marah besar.

Barang yang dijual sudah sulit di tarik kembali. Pak Mohamad berjanji memberikan beberapa kompensasi. Yang oleh Pak Mohamad dipenuhi. Dengan dukungan unit kerja lain tentunya. Pembeli pun mengerti dan menerima.

Penjual yang berkarakter pasti mau berkomitmen dan bertanggung jawab atas setiap perkataan maupun tindakan yang dilakukannya.

Hikmah yang bisa diambil adalah, kita sebagai penjual harus bertanggung jawab. Bahkan terkait permasalahan pokok produk. Yang mungkin karena adanya ketidak sesuaian di proses produksi atau penanganan. Bukan kesalahan penjual.

Penjual harus bisa dan mampu Bertanggung jawab. Karena penjual yang berhadapan dengan pelanggan.

Alangkah indahnya jika kita bersikap demikian. Dengan pelanggan. Eksternal maupun internal. Secara korporat, unit/tim, maupun individu. Berani berbuat, berani bertanggung jawab. Semoga.

(Wiyanto Sudarsono).

Posted on Leave a comment

“Kami Tidak Bertanggung Jawab atas …”

Kita sering melihat tulisan seperti itu. Di tempat parkir. Pusat perbelanjaan. Mini market. Bahkan di bengkel.

“Bawalah masuk barang berharga Anda. Kami tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang di dalam kendaraan Anda”. Lengkapnya demikian. Seingat saya. Atau “Kunci ganda motor Anda. Kami tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan kendaraan Anda.” Atau yang senada dengan itu.

Gambar imbauan di salah satu bengkel. (foto : istimewa)

Makna kalimat tersebut tidak salah. Bahkan benar. Secara makna. Bahwa segala bentuk kehilangan dan kerusakan barang atau kendaraan, menjadi tanggung jawab pemilik. Bukan pengelola tempat. Atau tukang parkir. Terutama di tempat umum. Yang sudah diperingatkan oleh pengelola tempat. Atau pengelola parkir.

Tapi dari sisi rasa, kalimat tersebut agak bermasalah. Menurut saya. Terutama dari aspek pelayanan. Dan keramahan terhadap pelanggan. Atau saya yang terlalu sensitif. Mungkin.

Kalimat tersebut seolah ada ketidakpedulian. Dan tidak mau terlibat dengan masalah. Dan seolah tidak mau melindungi pelanggan. Lagi, menurut saya.

Saya menilai, lebih baik kalimat tersebut diubah. Lebih halus. Lebih ramah. Misalnya, “Area ini telah dipasang CCTV. Tetap gunakan kunci ganda kendaraan Anda”. Itu saja sebenarnya sudah cukup. Atau jika mau yang lebih dekat dengan makna yang biasanya dituliskan. “Kami berusaha menjaga keamanan area ini. Tetap bawa masuk helm Anda. Kehilangan helm menjadi tanggung jawab pribadi Anda”. Agak panjang. Tapi bagi saya menunjukan perlindungan dan keramahan kepada pelanggan. Tidak terkesan, cuek. Atau enggan dengan permasalahan pelanggan. Semoga kita termasuk orang yang peduli dan ramah kepada pelanggan kita.

Meski harga sepeda motor umumnya lebih mahal dari Helm. Tapi pastikan helmnya saja yang dibawa masuk. Sepeda motornya cukup dikunci. Di tempat parkir. Kunci ganda kalau perlu. Sepeda motornya jangan dibawa masuk. Apalagi masuknya harus menggunakan lift.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 2 Comments

Tafsir Perdamaian

Alhamdulillah Indonesia telah memiliki Ulil Amri. Pemimpin beserta kepala urusannya. Presiden dan Para Menterinya.

Usai sudah pesta demokrasi. Atau perseteruan melalui pesta demokrasi. Islah telah terjadi. Pemimpin-pemimpin dari calon pemimpin yang dipilih, telah bersama. Dalam barisan yang sama. Memajukan Indonesia.

Pendukung mereka – calon pemimpin – pun seharusnya demikian. Menyudahi perseteruan. Menyudahi ejek-mengejek. Menyudahi olok-mengolok dan merendahkan.

Dan jangan lupa, beristighfar, memohon ampun kepada Allah atas apa yang telah terjadi. Mungkin diperlukan saling meminta maaf.

Alhamdulillah. Kita seharusnya sudah dapat meninggalkan hal-hal yang diharamkan Allah. Mengolok – olok, mengejek, mencela, dan merendahkan orang lain. Bahkan, pelaku dosa sekalipun. Kita dilarang merendahkannya. Allah melarangnya melalui Alquran, di surat ke-49 (al-hujurat) ayat yang ke-11 yang artinya “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”. Demikian terjemahan dari aplikasi Qur’an Kemenag versi 1.3.4.4.

Tafsirnya dibahas semalam. Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi. Mengolok-olok, mengejek, memanggil dengan panggilan yang buruk, dan merendahkan orang lain, termasuk dosa besar. Karena ayat tersebut dimulai dengan seruan kepada orang yang beriman, dan disebutkan oleh Allah secara langsung. Tegas.

Astagfirullah. Kita memohon ampun kepada Allah atas dosa-doaa kita. Dan kepada orang-orang yang pernah saya panggil dengan buruk, saya olok-olok, saya cela, atau saya rendahkan, meskipun bercanda, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Mari kita doakan pemimpin-pemimpin kita. Dengan doa terbaik. Agar Negara kita dapat damai dan sejahtera. Sebagaimana pesan khatib jumat tadi. Di Masjid Nurul Jannah Petrokimia Gresik, Jawa Timur.

(Wiyanto Sudarsono)