Posted on Leave a comment

Bangunan Layanan

Seri ke-7, Memberi Layanan

Foto oleh Burak Demir (pexels.com)

RATER, akronim dari kelima dimensi atau elemen layanan. Yang secara akumulasi menegakkan dan membentuk bangunan layanan. Kekuatan, daya tahan, dan keindahan layanan tergantung bagaimana interaksi dan ikatan kelima elemen ini.

Reliability. -keandalan- Seberapa mampu perusahaan, unit kerja, atau personel memberikan layanan yang akurat kepada pelanggan. Akurat di sini adalah sesuai yang ditawarkan. Apa yang seharusnya diberikan? Apa yang dijanjikan?

Layanan yang andal selalu dinantikan pelanggan. Contoh sederhana. Jika seorang penjual telah berjanji akan berkunjung ke kios pada hari dan jam tertentu, apapun alasannya ia akan datang. Tepat waktu. Ini adalah penjual andal (reliabel) dalam memberikan layanan. Dalam hal ini janji bertemu. Penjual juga harus dapat dan bersedia memberikan bantuan terhadap kesulitan yang dihadapi pelanggan.

Assurance. Perusahaan, unit kerja, dan individu organisasi penjualan harus terpercaya, terjamin dalam memberi layanan. Data/informasi salah satunya. Keramahan, komunikasi yang mudah dipahami. Pengetahuan yang memadai dalam melayani pelanggan.

Seorang penjual pupuk -misalnya-, tentu harus dibekali informasi harga. Sangat tidak masuk akal jika seorang penjual menawarkan produk, ketika ditanya harga ia menjawab “sebentar saya tanyakan”. Penanya akan berpikir: “Serius Anda ini penjual pupuk”. Tanya dalam hati, tak percaya. Ini contoh penjual yang tidak siap melayani.

Tangible. Berwujud. Layanan yang baik harus terwujudkan. Tergambarkan dan dirasakan secara yata. Sebagai penjual tentu harus rapi, fasilitas memadai, alat kerja yang mencukupi. Kalau di dunia pertanian tentu menyesuaikan dengan pelanggan yang dihadapi. Tidak perlu lebai, tapi memadai.

Sepatu lapang, celana jins, kaos berkerah, warna yang sepadan, rambut tercukur dan tersisir rapi adalah tampilan untuk kunjungan ke petani atau ke kios. Jas berdasi untuk pelanggan korporasi adalah yang lumrah terlihat.

Empati. Perhatian terhadap pelanggan. Apakah kita memahami pelanggan? Apakah kita bersedia mendengarkan pelanggan? Pertanyaan yang perlu ditanyakan untuk mengukur tingkat empati kita. Empati adalah soal mendengarkan. Dan kita telah diskusikan di bagian sebelumnya (mendengarkan untuk memahami).

Responsif. Layanan harus cepat dan tepat. Untuk itu diperlukan kepedulian dan keingintahuan terhadap kesulitan yang dihadapi pelanggan.

Saya memiliki pengalaman menarik. Sebagai pelanggan. Kemarin, saya memesan layanan hotel. Via aplikasi daring bergambar burung. Saat lapor hendak masuk hotel tujuan, kupon pesanan dilihat. Ternyata keliru. Saya memesan untuk hari berikutnya. Saya pun diminta menyelesaikan dulu dengan pihak aplikasi.

Saya meninggalkan hotel untuk makan malam sabil menelepon layanan pelanggan. Suara yang phonogenic menyapa di ujung saluran. Menanyakan kesulitan saya. Saya menjelaskan bahwa telah salah pesan dan ingin mengganti jadwal menjadi malam ini. Padahal, sesuai pesanan adalah besok.

Dia pun meminta waktu untuk memproses (2 menit, tanpa mematikan telepon). Lalu dia akan konfirmasi ke hotel (5 menit), dan akan menghubungi saya kembali. Lima menitan kemudian di menelepon. Dan perubahan saya disetujui. Dia juga menginformasukan bahwa dalam 10 menit perubahan kupon akan di email.

Semua prosesnya saya nilai presisi. Sangat andal, dapat dipercaya, terwujud nyata, responsif, dan  berempati. Empatinya, tidak dikenakan biaya padahal jenis pesanan saya berjenis “tidak bisa di-refund” dan “tidak bisa reschedule”. Tampaknya dia paham, saya butuh penghematan. Empati mereka benar-benar yang terwujudkan.

(WS)

Posted on Leave a comment

Bukti Andal

Seri-6, Memberi Layanan

Foto oleh Karolina Grabowska (pexels.com)

Sebagai penjual -dalam skala yang lebih besar adalah perusahaan- harus mampu memberikan layanan yang memadai kepada pelanggan. Dan harus terbukti. Teruji dalam konsistensi. Bukan angin-anginan.

Ada pertanyaan sederhana untuk mengujinya. Apakah kita -sebagai penjual- mengetahui layanan yang dibutuhkan pelanggan? Apakah kita mengetahui layanan yang seharusnya diberikan kepada pelanggan? Apakah kita menyampaikan janji tertentu kepada pelanggan? Apakah kita telah memenuhi janji tersebut? Apakah kita selalu pada posisi memenuhi janji?

Sebagai contoh sederhana. Sebagai penjual, individu, unit kerja, atau perusahaan (misal pupuk), kita menjanjikan akan menyerahkan barang secara FOT (free on truck) sejak H+1 pembayaran hingga 21 hari ke depan.

Pelanggan memiliki kesempatan dan kewajiban mengambil barangnya sampai 21 hari kalender. Ketika pelanggan datang membawa truknya pada hari ke-15, ternyata  barangnya belum tersedia. Atau habis. Atau sudah diambil pelanggan yang lain. Ini namanya cidera janji.

Reliability, keandalan layanan kita tidak terbukti. Kita tidak mampu memenuhi janji yang diberikan.

Perlu dipertimbangkan dalam memasang target layanan yang dijanjikan. Namun harus memadai. Artinya ada sebuah layanan dasar yang wajib diberikan. Seperti kasus di atas. Penyerahan barang bukan suatu hal yang bisa tidak diberikan. Ia layanan yang harus diberikan. Waktunya yang perlu dipertimbangkan. Tidak boleh terlalu lama. Ini pentingnya mendengarkan pelanggan dalam memberikan layanan. Kapan layanan harus diberikan kepada pelanggan?!

(WS)

Posted on Leave a comment

Sentuhan Layanan

Seri-5, Memberi Layanan

Foto oleh Jenna Hamra (pexels.com)

Layanan bukan sesutu yang abstrak. Ia nyata. Bisa dirasa, sebagian bisa dilihat, dan bisa diukur. Karena itu layanan dapat diimplementasikan. Konsepnya disebut kualitas layanan (service quality).

Semua layanan yang diberikan oleh suatu perusahaan kepada pelanggan, memiliki tingkat kualitas tertentu. Bisa baik ataupun buruk. Baik di satu sisi, bisa berbeda disisi yang lain.

Sisi layanan ini biasa disebut dimensi atau elemen layanan. Keandalan (reliability) , daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance),  Empati, dan nyata (tangible). Dimensi ini penting bagi perusahaan. Selain harus ada, ia harus berbeda dari perusahaan lain. Ini yang menjadikan layanan berkaitan dengan brand. Branded service.

Tingkat kepentingan masing-masing elemen juga berbeda. Sehingga perusahaan -termasuk para penjualnya- harus mampu memilih dan memilah mana dimensi yang harus diutamakan.

Akumulasi dimensi maupun masing-masing juga harus bisa diukur. Itu mengapa ada konsep CSI (Customer Satisfaction Index) untuk pelanggan secara umum. Dan ada ICSI (Internal Customer Satisfaction Index) untuk pelanggan internal atau unit kerja lain di perusahaan.

Ukuran ini diperlukan untuk mengetahui tingkat kepentingan dan performa masing-masing dimensi. Sehingga kita mengetahui mana yang perlu ditingkatkan, mana yang perlu dipertahankan.
(WS)

Posted on Leave a comment

Paradigma Layanan

Seri-4, Memberi Layanan

Foto oleh Brett Sayles (pexels.com)

Banyak definisi layanan. Tapi saya tertarik dengan pandangan Hermawan Kartajaya. Yang melihat layanan sebagai sebuah paradigma -sudut pandang- perusahaan dan orang-orang di dalamnya. Pandangan untuk menciptakan dan memberikan nilai bagi pelanggan. Langsung maupun tidak langsung. Melalui produk dan jasanya.

Begitu menyeluruh ruang lingkup layanan ini. Bukan hanya bagi front office, garis depan, ujung tombak atau karyawan yang bertemu pelanggan secara langsung. Tapi mencakup seluruh karyawan atau personel dalam perusahaan.

Paradigma layanan, akan memberikan arahan kepada segenap tim, bahwa sekecil apapun kontribusi yang diberikan akan berdampak pada pelanggan. Dan sebaliknya. Dan juga, dapat kita pahami bahwa setiap orang di organisasi, memiliki pelanggan. Yakni pengguna dari hasil pekerjaannya.

Lebih jauh lagi, pandangan ini mengantarkan kita pada sebuah gagasan bahwa setiap usaha adalan service business. Bisnis layanan. Bagaimana tidak? Penciptaan nilai bagi pelanggan, merupakan tujuan bisnis itu sendiri.

Karena itu, keberlangsungan bisnis, mengikuti keberlangsungan layanan yang diberikan. Terus menerus. Produk atau jasa plus layanan adalah hal yang tidak bisa dipisahkan.

(WS)

Posted on Leave a comment

Layanan Lotal

Seri-3, Memberi Layanan

Pernahkah Anda memiliki kekuatan tekad untuk tidak belanja di suatu toko? Bukan karena produknya mahal. Bukan karena kualitas produk yang dijual jelek. Namun, karena tidak ada tempat parkir, atau karena pramuniaganya tidak pernah tersenyum.

Lokasi parkir dan senyuman adalah bagian dari layanan. Bukan itu yang dijual oleh perusahaan. Tapi itu menjadi penentu keputusan pelanggan.

Dan sebaliknya, kita bisa jadi belanja suatu produk, hanya karena parkir yang lapang dan mudah, serta sambutan yang ramah. Dan biaya peningkatan layanan ini akan terbayar dengan didapatkannya pelanggan yang loyal. Pelanggan setia.

Peningkatan loyalitas pelanggan sejatinya akan memberikan efesiensi lanjutan. Mendapatkan pelanggan baru, lebih mahal dibandingkan menjaga pelanggan lama.

Selain itu, dengan layanan prima, pangsa pasar meningkat. Peningkat pangsa pasar akan menurunkan biaya per unit barang.

Selain sebagai pembeda (diferensiasi), layanan juga menjadi suatu pemenuhan atas ekspektasi/harapan pelanggan. Tidak hanya sebelum pembelian, tapi juga setelah pembeliannya. Pelanggan menginginkan “keep in touch” (Tetap terhubung) dengan brand yang dibelinya.

Layanan juga dapat sebagai obat. Jika dilakukan dengan benar. Obat dari kekecewaan atas transaksi atau produk yang dilakukan. Hanya layanan yang dapat mengobati kekecewaan. Yang terkadang bisa tanpa biaya.

(WS)

Posted on Leave a comment

Layanan Pembeda

Seri-2, Memberi Layanan

Foto: pixabay (pexels.com)

Industri saat ini begitu terbuka. Nyaris tanpa sekat. Dengan rentang kualitas produk yang lebar. Terkadang sulit membedakannya. Kualitas terbaik tentu tetap mendapatkan perhatian. Kemudian keterjangkauan harga menjadi pertimbangan. Akhirnya value bagi pelanggan yang menentukan.

Pada level kualitas yang sama, brand sebagai pembeda awal. Harga sebagai penilai. Dan layanan yang secara tidak langsung menjadi pertimbangan pelanggan untuk meneruskan pembelian, melakukan permintaan ulang, atau akan merekomendasikan kepada kawan.

“Penjualnya enak, ramah. Respons cepat”.
“Kalau ada masalah setelah pembelian, tanggapannya cepat”.
“Kita didampingi saat pemupukan pertama”.
Itu hal yang kerap terdengar dari pelanggan yang puas dengan layanan. Dan itu menjadi pembeda dengan produk dan perusahaan sejenis.

Pelanggan akan mengingat hal positif dari penjual. Terutama layanan setelah transaksi dilakukan. Pelanggan akan memberikan rekomendasi yang menghasilkan “getok tular” (Word of mouth) kepada calon pelanggan lain. Rekomendasi yang positif.

Layanan memang bukan hal yang secara langsung melekat di produk. Namun ia menyertainya dan tidak bisa lepas darinya. Mengapa? Karena produk tidak bisa hadir kepada pelanggan dengan sendirinya. Ada serangkai aktivitas. Karena itu layanan tidak bisa lepas dari tugas seorang penjual.

Tidak ada dalam kamus penjualan: “soal komplain, layanan, bukan urusan saya”. Bahkan layanan adalah hal yang harus ditampilkan pertama oleh penjual (salesman), organisasi dan perusahaan. Tampilan, komunikasi, penanganan keluhan, merupakan bagian dari layanan. Karena itu saya tertarik mempelajarinya lebih detail. Dan membagikan kepada pembaca.
Semoga bermanfaat

(WS)

Posted on Leave a comment

Seri Layanan

Prolog, Seri Memberi Layanan

Foto Yan Krukau (pexels.com)

Teori tanpa Praktik itu Bullshit,
Praktik tanpa konsep itu Stupid.
Saya begitu senang dengan quotes itu. Mendorong saya sebisa mungkin mempraktikkan ilmu, konsep, dan teori yang saya peroleh. Di sisi lain, jika ingin praktik sesuatu, saya sebisa mungkin mencari pengetahuan tentangnya. Konsepnya. Caranya. Lebih sering tertulis. Terkadang video juga.

Jika kita sorang penjual, maka kita hendaknya memahami konsep penjualan (sales operation atau salesmanship). Jika kita seorang yang berkutat dengan pengembangan merek/brand, kita juga hendaknya paham brand operation atau yang serupa dengannya. Jika kita ingin dapat memberikan layanan yang baik, kita hendaknya memahami konsep layanan prima.

Saya akan belajar kembali. Kali ini tentang layanan (services). Dan insyaAllah akan saya bagikan kepada pembaca, semoga bermanfaat.

Ini adalah catatan belajar. Agar lebih manfaat saya bagikan. Catatan akan saya usahakan seringkas mungkin. Setiap serinya, kurang lebih 1.000 karakter. Hanya 1.000 huruf. Kurang dari sehalaman kertas A4. Saya juga InsyaAllah akan tambahkan contoh, pengalaman, pengamatan atau ilustrasi di dunia pertanian.

Saya sebenarnya pernah membuat serial tentang layanan. Tepatnya pada November 2020. Tidak lama setelah terbit Buku MANTAP Edisi Spesial. Waktu itu serialnya saya beri nama: Serial Menjadi Orang Servis. Terbit di blog ini, empat seri. Dengan dua seri pengantar.

Masih sama dengan rencana itu -semoga Allah memudahkan-, buku referensi utama di Seri Memberi Layanan adalah MIM Acadamy Course: Service Operation. Dan dimungkinkan dengan tambahan dari buku-buku layanan yang saya miliki.

Semoga bermanfaat. Dan semoga Allah mudahkan.

(WS)

Posted on Leave a comment

Mudah Mencinta

Foto oleh yxb (pexels.com)

Saya memiliki seorang kolega. Ia begitu baik komunikasi dengan orang baru. Siapapun, termasuk lawan jenis -wanita-.

Ia juga mudah melihat sisi positif suatu hal. Termasuk selera humor. Mudah ia tertawa. Kepada wanita, mudah ia berkata: cantik. Mudah juga berkata-kata dengannyi. Istrinya saya kira beruntung.

Ia saya katagorikan orang yang mudah mencinta. Playboy? Sepertinya bukan. Genit, saya kira tidak. Sedikit mungkin.

Tapi untuk serius dalam mencintai dan meresmikannya. Ia tidak mudah. Sering saya goda untuk menikah lagi, ia jelas mengatakan tidak, bukan belum.

Eman-eman sebenarnya. Cinta yang besar, saya kira harus memiliki lahan yang luas untuk menanamnya. Sehingga bertumbuh dan menyebar.

Kecintaannya juga ia tunjukkan kepada rekan satu timnya. Cinta dalam bentuk lain. Sering ia memuji kelebihan si A dan si B. Menyebutkan bahwa si A itu begini begitu, sehingga perlu ditugaskan untuk itu. Tidak salah jika ia memahami timnya. Saya lihat sering ia diskusi dan berbincang dengan Timnya untuk memotivasi.

Suatu waktu ia pernah iseng sekali. Membuka kaca mobil (biasanya ia duduk di depan, sebelah kiri pengemudi) dan menyapa gadis disebelah yang menaiki mobil bak terbuka: “Assalamu’alaikum…., sembari tersenyum merekah”. Bahagia.

Orang yang mudah mencintai adalah yang lapang dadanya. Ringan pikirannya. Dan ceria sikapnya.

(WS)

Posted on 2 Comments

Belajar Kuliah

Foto: Mikael Blomkvist (pexels.com)

Akhir pekan ini kami menjalani kuliah perdana. Kami adalah mahasiswa pascasarjana di Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi (SIMT), ITS. Program studinya Magister Manajemen Teknologi, dengan konsentrasi Technomarketing. Kerja sama ITS dengan Markplus.

Saya belajar lagi. Bukan soal materinya. Saya belajar untuk mengikuti perkuliahan. Belajar untuk kuliah dengan baik.

Tidak Mudah. Untuk belajar kuliah. Belajar fokus, mendengarkan, mencatat,  dan menangkap informasi. Berasa ngebul kepala ini, saat mengikuti mata kuliah pertama: Teknologi Marketing.

Ini bukan soal sulitnya pembelajaran dan materi peerkuliahan. Tapi lebih pada penyesuaian. Bagi saya, yang kuliah terakhir di 2009. Sudah 14 tahun.

Setiap pekan kami akan mengikuti enam mata kuliah. Satu di Kamis malam. Dua di Jumat malam. Dan tiga di Sabtu pagi hingga sore hari. Daring, dalam jaringan, alias online via zoom meeting. Pekan pertama telah selesai. Dari 16 pekan yang direncanakan, InsyaAllah.

Kami diminta komitmen dalam belajar. Dengan menyalakan kamera. Masa Sudah daring, tidak bertemu fisik, juga tidak pernah melihat wajah. Demikian pesan Prof. Nyoman, dekan SIMT ITS. Meski ada dosen yang memaklumi untuk mematikan kamera karena jaringan atau alasan lainnya.

Kelas kami menarik. Berbagai latar belakang. Saya merasakan atmosfer perkuliahan yang dinamis. Bismillah, semoga perkuliahan kami berjalan lancar. Ilmu yang didapat bermanfaat.

(WS)

Posted on Leave a comment

Ear, Hear, Learn

Foto: cottonbro studio (pexels.com)

Sebuah otak-atik-gatuk (cocokologi) yang menarik bagi saya. Kita dianugerahi dua telinga (ear). Dengannya kita bisa mendengar (hear) -meski saya lebih menyukai listen (mendengarkan) untuk hal ini-. Kemudian kita bisa belajar (learn). Semua dengan  huruf e, a, dan r, secara berurutan. Menarik. Cocokologi yang menarik.

Sebagian besar kita, belajar dengan mendengar dan melihat. Mendengar lebih dahulu dialami dibandingkan melihat. Bayi mendengar sejak di dalam kandungan. Darinya, mungkin bayi mulai belajar. Tanpa melihat.

Pendidikan formal di Indonesia pun turut mendukung dan menuntut perkembangan belajar berbasis mendengarkan. Mendengarkan untuk belajar. Meski kita jarang belajar mendengarkan. Sebagaimana sering saya singgung di berbagai kesempatan di seri-seri sebelumnya.

Belakangan saya berusaha lebih banyak menggunakan telinga kiri saya. Ups, ya, telinga kanan saya memang ada sedikit masalah. Menggunakan ear untuk lebih banyak hear. Mengurangi bicara yang sifatnya reaktif. Meski masih sering tergoda. Tapi lumayan. Ternyata hati lebih tentram, alhamdulillah.

Ternyata tidak sesusah yang terbayang selama ini. Dan tidak ada yang kurang atau salah, untuk hanya sekadar mendengarkan. Bahkan di situasi tertentu tanpa perlu menanggapi.

Kita perlu dan layak mencobanya: menjadi pendengar yang baik.

(WS)