Posted on Leave a comment

Terbang Lagi

Hari ini merasakan kembali menggunakan moda transportasi pesawat terbang. Montor mabur. Setelah enam bulan lebih.

Sebenarnya berencana pekan lalu. Tapi hasil tes cepat (tapid test) saya: reaktif. Oh ya, hasil ini telah diprediksi, karena saya adalah penyintas Covid-19. Bagi para coviders, kami masih memiliki antibodi paling tidak untuk 2-3 bulan setelah kesembuhan. Demikian kata dokter dalam acara sharing session Agustus lalu. Karena itu, tes rapidnya akan reaktif.

Karena rapid reaktif, maka dokumen hasil tes tidak bisa digunakan sebagai Dokumen perjalanan di fase I normal baru. Karena itu harus PCR Swab test.

Perjalanan dinas saya kali ini, karena diundang oleh unit kerja sebelah ke lokasi yang saya sulit menolaknya: Lampung. Untuk promosi buku terbaru saya: MANTAP. Eh bukan ding, untuk berdiskusi terkait kartu tani.

Senin lalu saya mendaftar tes Swab. Dijadwalkan Rabu. Swab dilakukan di poli Swab yang di sebelah kamar jenazah. Ehem. Sekalian mengingat pemutus kenikmatan itu.

Hasilnya keluar pada Kamis siang. Alhamdulillah, hasil Negatif. Acara saya Jumat. Seharusnya saya berangkat kamis sore atau malam, kemudian lanjut ke Lampungnya Jumat pagi.

Tapi penerbangan ke Lampung Jumat pagi habis. Adanya siang. Jadi saya putuskan dari Surabaya Jumat pagi saja. Semoga masih ada waktu untuk diskusi.

Setiap konter meminta hasil itu. Sebelum masuk bandara dokumen hasil test di cek dan di stampel. Konter laporan kedatangan, mau masuk ruang tunggu, mau masuk pesawat, konter transit, semuanya.

Sebelum keluar bandara kami harus mengisi data di aplikasi e-HAC (Health Alert Card). Aplikasi untuk pencegahan penyebaran penyakit, khususnya Covid-19.

Mendapat di Lampung pukul 13.15 WIB. Sebelum keluar QR code dari e-HAC di pindai. Selesai cerita penerbangan pertama saya. Kemudian….

Dalam penerbangan selalu teringat meme yang dibagikan beberapa kali oleh kawan-kawan. Setiap menatap jendela.

Dimana rumah mewah yang dibanggakan itu? Mana mobil mewah yang harganya milyaran itu? Mana kebun yang luasnya hektaran itu? Mana pejabat yang berkedudukan tinggi itu? Meski saya belum memiliki rumah mewah, mobil mewah, ataupun ratusan hektar lahan, atau jabatan tinggi, tapi renungan itu selalu terngiang.

Bagi kita semua, mungkin pertanyaan yang umum: mana diri yang selalu merasa paling baik dan benar, sehingga berjalan dimuka bumi dengan sombong? Tidak nampak dari ketinggian 25.000 kaki.

” Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18)

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Meja Belajar

Belajarlah di waktu kecil. Belajar di waktu kecil seperti mengukir di atas batu. Demikian pepatah bijak itu saya ingat.

Dahulu, mamak (ibu) saya sering mendendangkan sebuah qasidah dengan lirik itu. Saya mencoba cari di mesin pencari. Ketemu! Ternyata judulnya Menuntut Ilmu. Saya tidak tahu versi mana yang didendangkan mamak saya waktu itu. Berikut potongannya:

Belajar di waktu kecil // Bagai mengukir di atas batu // Belajar sesudah dewasa //Laksana mengukir di atas air

Ilmu dunia akhirat // Wajib dituntut dipelajari // Dari kecillah engkau mendapat // Sudah dewasa berguna kemana pergi

Anak-anak saya saat ini masih katagori kecil. Paling besar berusia 8 tahun, disusul usia 3,5 tahun dan 1,25 tahun. Yang sudah belajar secara formal yang pertama. Tapi saya tidak perlu saya dendangkan qasidah yang sama.

Saat pandemi ini, tepatnya setelah saya sembuh dari Covid-19, saya merasa membutuhkan meja untuk bekerja atau menulis di rumah. Saya tempatkan di ZTM (Zona Tempat Membaca, Menulis, Menghafal, Mengaji). Meja itu juga bagian dari SKM (Sarana Khusus Menulis). Seharusnya saya khusyuk di situ saat ZWM (Zona Waktu Menulis).

Saya memesan dua set meja dan kursi. Karena dapat gratis satu set, saat membeli satu set meja kursi yang sama. Sedang ada promo di toko mebel favorit. Satu buat Mas, anak saya yang paling besar. Meski sering kali diambil alih adiknya.

Di meja belajar itu, ia memiliki ZTM dan SKMnya sendiri. Tapi dengan tambahan M yang lain: MAIN. Di Meja itu juga ia belajar secara daring, menata mushaf dan buku-bukunya.

Saya berharap ia dan adik-adiknya belajar sejak kecil, sehingga ukiran itu kuat di dalam hati. Ilmu itu menancap kuat di sanubari. Sehingga berguna ketika masanya tiba.

“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Tatu Ati

(Freepik)

Tatu ki artine opo?” Tanya seorang anggota tim saya di kantor. (“Tatu” itu artinya apa?).
Tatu itu ketika kita merasa sakit karena diejek, diremehkan, dikecewakan, dikhianati. Ini soal hati dan perasaan“. Jawab seseorang. “Tatu” pada diskusi waktu itu lebih pada luka pada hati secara maknawi. Tatu ini bisa membekas lama, tak tentu obatnya.

Seorang wanita bercerita tentang “tatu” ini. Sebuah kisah haru.

Pernah suatu waktu dia menjalin hubungan dengan kawan masa kecil. Cinta remaja, yang terbawa hingga dewasa.

Orang tua sang pria tidak setuju. Alasannya karena tidak sederajat. Dan yang lebih menyakitkan, karena dia anak seorang janda. Dan itu terungkapkan. Dibumbui keyakinan khurafat.

Sakit, nyesek, dan menjadikan hatinyi TATU. Sampai saat ini. Setelah 13 tahun berlalu. Bahkan dia hampir menangis saat menceritakan kembali.

Tapi, saya pikir dia akan bisa bangkit dari TATUnya. Tidak mudah, tapi bisa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.
QS.Al-A‘rāf [7]:199

(Wiyanto Sudarsono)

Sumber Gambar: Background photo created by rawpixel.com – www.freepik.com

Posted on Leave a comment

Kawan dan Teladan

Gadis itu menjadi seorang prajurit, prajurit menjadi seorang pemimpin. Dan pemimpin menjadi legenda”
– Mulan (2020)

Ini bukan tentang seorang gadis atau film Mulan dalam kutipan di atas. Ini tentang keteladanan.

Pak Wi ini, masa Pak Direksi disuruh nyetir?!”. Protes seorang Senior saya saat kami jalan bertiga. Saya, ia, dan satu lagi: Sang Direksi.
Biasanya Direksi itu disetirin, sekali-kali lah kita disetirin Direksi“. Timpal saya menggoda Sang Direksi.
Dan memang karena kemokongan saya, saya  duduk di baris tengah sebelah kiri. Persislah pengendara seperti sopir pribadi.

Kedua sahabat sekaligus senior saya ini, adalah contoh keteladanan yang baik. Dalam kesederhanaan, dalam etos dalam pekerjaan, dan banyak lagi.

Seorang telah menjadi Direksi, tapi dengan suka hati menyetiri kami menjalankan sebuah misi kecil. Betul-betul bersahaja.

Mereka telah menjadi prajurit yang hebat. Saat ini menjadi pemimpin. Saya berharap mereka dapat menjadi legenda yang dikenang akan kebaikan. Sehingga menjadi contoh kebaikan bagai kami dan generasi mendatang.


Dari Abu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa menunjukkan suatu kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” [HR. Muslim]

Bukan memberi beban, bukan! Sekedar harapan untuk dapat meneladani sebuah kebersahajaan, jauh dari keangkuhan dan kesombongan. Baik dalam rasa di dada, dalam nada di kata, ataupun sikap yang tak terungkap dari keduanya.
Barakallahu fiikum.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Menjadi Legenda?

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya.” -Muhammad Rasulullah

Kita ingin tampak seperti apa pada akhir usia kita? Atau kita ingin diketahui seperti apa setelah kitab tiada?

Itu kira-kira pertanyaan pembuka salah satu kelas menulis yang saya ikuti: “Bapak-Bapak Punya Karya”. Kelas yang dibawakan oleh Mentor kami tercinta, Pak Cahyadi Takariawan, penulis serial Wonderful Family. Beliau juga telah menulis lebih dari 55 judul buku. Tampaknya satu tahun usia diwakili oleh satu buku.

Beliau lantas melanjutkan, bagi kita tentu tidak hanya sampai akhir usia atau setelah tiada. Namun, bagaimana akhirat kita nantinya? Beliau pun memotivasi untuk menulis sesuatu yang positif untuk bekal akhirat. Sebagai amal jariah, yang tidak putus kebaikannya setelah wafatnya raga.

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).

Nah, menulis adalah cara menyebarkan ilmu yang dimanfaatkan. Apalagi seperti Beliau (Pak Cah), buku tentang keluarga. Pelajaran mengasuh anak agar menjadi anak saleh, pasti ada di dalamnya. Selain ilmu yang bermanfaat bagi pembaca, juga doa anak yang saleh kepada pembaca. MasyaAllah, berlipat kebaikan yang dapat diberikan.

Tidak peduli berapapun usia kita saat ini. Tidak terlambat untuk memulai beramal jariah dengan cara ini: menulis yang positif, menulis yang bermanfaat.

Meski tidak perlu menjadi legenda, tapi cukup dengan bermanfaat bagi orang lain. Bermanfaat hingga akhir hayat. Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad). Bukankah yang terpenting adalah bagaimana kita mengakhirinya (dengan kebaikan). Bahkan setelah itupun masih ada aliran kebaikan.

Ya betul, cukuplah kiranya kita bermanfaat, dan bukan sumber mudarat. Meski tidak menjadi legenda seperi ayam jago dalam mangkuk bakso, tidaklah mengapa.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Warisan Subuh

Ternyata bagi kita telah ada warisan. Bukan dari kerabat yang telah meninggal. Bukan pula karena wasiat dari orang atau teman yang kaya raya, tapi langsung dari Yang Maha Kaya.

Warisan itu bukan berupa harta. Bukan berupa kekayaan. Namun berbentuk Ilmu dan petunjuk kepada kebenaran.

Adakah kita termasuk orang-orang yang beruntung menerima warisan itu? Ataukah kita termasuk orang yang bijak sebagai Ahli waris itu?

Perihal ini disebutkan Allah dalam ayat ke-32 dari surat ke-35 (Fāṭir) Alquran. Tafsir singkatnya telah disampaikan oleh Ustadz Zawawi Hamid,  Imam Masjid Nurul Jannah pagi Subuh ini (13/10). Sebuah materi singkat yang saya berharap menjadi warisan subuh yang membawa kebaikan bagi kita. Alhamdulillah saya sempat catat tentu dengan bahasa saya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

Kemudian Kitab (Al-quran) itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. –QS.Fāṭir [35]:32

Ternyata ada tiga golongan ahli waris. Padahal mereka adalah golongan terpilih. Ahli waris terpilih ini adalah orang Islam sendiri, karena Al-Quran adalah Kitab Suci kita umat islam.

Ahli waris golongan pertama: orang yang zalim pada diri sendiri. Siapa orang yang menzalimi diri sendiri? Yaitu orang islam yang tidak mengindahkan Alquran. Misalnya orang yang diberi nikmat Allah berupa umur panjang dan kebugaran, namun tidak digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Golongan ini menzalimi diri mereka sendiri.

Sebagian orang zalim ini mungkin sering diistilahkan sebagian orang dengan STNK. Sudah tua nakal kembali. Na’udzunillah.

Ahli waris pertengahan, Siapa itu kelompok pertengahan dalam ayat tersebut? Yaitu kaum muslimin yang kadang bermaksiat dan kadang taat. Mereka diancam neraka. Namun, dengan keimanan mereka dapat diselamatkan atau diangkat dari siksa yang pedih itu.

Ahli waris ketiga yakni yang berlomba dalam kebaikan. Mereka mengagendakan kebaikan. Dan mereka dapat dengan mudah meminta maaf dan memaafkan orang lain.

Seorang koki (tukang masak) di sebuah panti asuhan di Surabaya, insyaAllah termasuk ahli waris ketiga ini. Belum lama ini, dia meminta maaf kepada seluruh anak-anak panti asuhan, dan kepada seluruh keluarganya. Dzulhijjah kemarin pun diberi kesempatan berkurban. Lalu, tidak lama kemudian beliau meninggal dunia. Semoga husnul khatimah.

Ahli waris ketiga ini adalah golongan yang beruntung dengan karunia Allah. Yakni dilapangkan alam kuburnya dan dirahmati di akhirat. Semoga kita termasuk orang yang dimasukkan Allah termasuk ahli waris yang berlomba dan bersegera dalam kebaikan. Amin.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 2 Comments

Tentang Keuangan

Laporan Keuangan (freepik)

Dua kali kami belajar soal ini di kursus singkat. Pembahasan yang dulu saya sebut “ngitung duit orang”: akuntansi dan keuangan. Belajar tentang itu lagi, menjadikan saya mengerti (sebelumnya tidak mengerti) terkait pentingnya ukuran-ukuran keuangan dalam bisnis (jika kita seorang entrepreneur/wirausaha) atau perusahaan, termasuk nilai yang kita berikan sebagai pekerja (employee).

Misalnya pada laporan keuangan tentang ROE (Return on Equity). Mengukur keuntungan yang mampu dihasilkan oleh modal yang kita (pemilik) keluarkan. Profitabilitas modal yang kita keluarkan atau telah ditanamkan.

Salah satu pecahan dari ROE adalah marjin lana bersih (Net profit margin/NPM). Pecahan atau breakdown ROE, sesuai metode analisis Dupont bisa 3, 5, 7 atau 9. Demikian menurut penjelasan dosen kami.

NPM adalah perbandingan antara laba bersih dengan penjualan bersih dalam suatu periode.  Jika ROE rendah yang disebabkan karena  rendahnya NPM, maka artinya: kami (orang penjualan) tidak mampu menjual produk dengan tingkat harga yang memberikan laba bersih yang memadai. Upaya penjualan belum cukup baik.

Sehingga penting bagi orang pemasaran dan penjualan untuk memahami ukuran ukuran kinerja keuangan perusahaan. Sehingga tidak salah paham. Jualan sudah banyak (volume) kok kinerja perusahaan masih kurang baik. Eh ternyata marjin yang diperoleh “hanya” pas-pasan.

Pentingnya pemahaman yang sifatnya omni-marketing + finance sangat penting bagi pemasar. Hal itu kembali ditegaskan oleh dosen kami di hari Sabtu. Kelas kami (disebutnya Mini Omni MBA) dilakukan setiap hari Jumat malam dan Sabtu pagi mulai 18 September sampai 31 Oktober 2020.

Unit pemasaran dan penjualan harus memiliki perspektif keuangan. Sehingga dalam penyusunan program pemasaran, dapat memperhitungkan berapa nilai yang akan di peroleh perusahaan dan kapan diperolehnya. Karena aktivitas pemasaran tentunya membutuhkan anggaran.

Saya perlu mendalami ini lagi. Dan saya sudah membuat janji dengan orang yang saya nilai tepat untuk membantu pembelajaran. Orang dari internal perusahaan, agar lebih nyata.

Selamat belajar kembali.

(Wiyanto Sudarsono)

Gambar:
<ahref=”https://www.freepik.com/photos/business“>Business photo created by mindandi – www.freepik.com</a>

Posted on Leave a comment

Omnichannel: Sebuah Keniscayaan

Pembahasan Omnichannel, atau kanal Omni perlu dilakukan pembatasan. Jika tidak, dapat meluas kemana-mana. Saya akan membatasi hanya pada kanal atau saluran penjualan.

Omnichannel dapat diartikan sebagai integrasi antara kanal luring (offline) dan kanal daring (online) untuk memberikan pengalaman bagi pelanggan (customer experience) yang lebih baik (Kartajaya, 2018). Jika kita masukkan pembatasan kita di muka, pembahasan kali ini terkait kolaborasi kanal penjualan yang Omni (luring-daring) dari sebuah perusahaan.

Tidak bisa tidak, perusahaan kali ini harus dipaksa berubah. Dipaksa oleh keadaan yang sudah demikian menyatu melalui internet dan android, ups bukan hanya Android, Apple OS juga. Baik secara digital, transaksional, ataupun hubungan sosial. Sehingga ke-omnian dalam saluran penjualan tidak dapat dihindarkan. Jika ingin bertahan, apalagi ingin berkembang.

Tuntutan pasar (pelanggan) juga meningkat. Harus ada digital-digital di setiap titik sentuhnya. Harus ada pengalaman yang sifatnya online untuk sebuah produk yang bisanya ditemui atau digunakan secara offline.

Omnichannel menjawab itu, melalui penjualan melalui kanal offline dan online. Tidak hanya salah satunya. Omnichannel bukan mengubah secara total (total shift), tapi mengombinasikan dan mengkolaborasikan. Meski tingkat proporsinya bisa berbeda, tergantung produk dan situasi.

Seperti kondisi pandemi saat ini. Proporsi kanal penjualan online bagi restoran atau bisnis kuliner akan bertambah besar. Meski dengan berbagai pertimbangan, ada yang bahkan lebih offline dengan turun ke jalan, menjajakan kulinernya. Setelah lama gerainya sepi karena pembatasan jarak.

Kesadaran harus meng-omni-kan saluran penjualan sebetulnya telah meluas sebelum Pandemi. Namun pandemi membuatnya lebih cepat dan semakin luas, karena yang melakukannya bukan hanya yang sadar, tapi yang terpaksa untuk bertahan punya mencobanya.

Omni di Industri Pertanian

Industri pertanian juga tidak ketinggalan dalam keomnian ini. Salah satu penerima penghargaan Omni Brands of The Year 2020 dari Majalah Marketeers menjadi buktinya. PT Petrokimia Gresik (PG) mengomnikan hampir semua lini bisnisnya.

Selain kanal Penjualan melalui distributor dan retailer, PG mengembangkan kanal online dengan membentuk toko online dengan  nama Petromart. Beberapa tahun sebelumnya, Petromart ini menjadi jenama gerai resmi PG. Telah ada di Gresik, Bojonegoro, Nganjuk, Probolinggo, Pasuruan, Bondowoso, Tuban, Malang,dan Batu.

Anak usaha PG yaitu PT Petrosida Gresik yang memasarkan Pestisida juga melakukan langkah yang sama dengan. Mereka memiliki toko Sidamarket di marketplace tokopedia.

PG sebagaimana perusahaan terkini, tampaknya menyadari keniscayaan omnichannel ini. “Kedua ekosistem online-offline ini kami kembangkan untuk memperluas jangkauan kepada pelanggan. Kami juga melibatkan pelanggan secara aktif dalam penentuan produk pilihannya melalui berbagai kanal, baik offline maupun online”, demikian yang disampaikan Direktur Operasi dan Produksi PG, Digna Jatiningsih.

(Wiyanto Sudarsono)

Telah diterbitkan dengan judul yang sama di gemahripah.co dengan editor Made Wirya

Posted on Leave a comment

Tak Terungkap

Kita mengarang fiksi agar bisa menjalani banyak hidup yang ingin kita lakoni, padahal kita sendiri cuma punya satu kehidupan yang tersedia buat kita” -Mario Vargas Llosa

Banyak kata tak terungkap dengan ungkapan lisan. Terlalu banyak hambatan mental untuk mengungkapnya. Paling tidak bagi sebagian orang. Padahal saat ini, dengan rekaman dapat membantu. Dan aplikasi audio tampa gambar, seperti radio daring, atau sebut saja aplikaai Podcast salah satunya. Meski, aplikasi audio pun akhirnya divisualkan.

Berbicara untuk mengungkapkan ide dan gagasan tentu, membutuhkan keberanian dan kemauan yang kuat. Selain kehadiran diri, melalui lisan kita, serta di dalam sebuat tempat -media- dan waktu. Yang tentu itu tidak bisa dilakukan, ketika kesempatan berbicara kepada khalayak sasaran menjadi terbatas.

Jika Vargas Llosa menulis fiksi untuk dapat menjalani banyak kehidupan (tentu dalam arti maknawi), tentu sangat benar jika ada yang berpendapat bahwa menulis adalah agar penulis memiliki banyak media pengungkapan ide. Karena kesempatan kita mengungkapkan ide melalui lisan memiliki keterbatasan.

Pengalaman saya, banyak ide dan rincian dari gagasan yang tak terungkapkan melalui komunikasi lisan. Terutama jika lawan bicara kita seringkali memotong aliran kata orang lain. Ide itu tak terungkapkan, belum sempat terungkapkan secara sempurna, perasaan sudah dongkol duluan.

Melalui tulisan, pengungkapan gagasan tidak dapat dihentikan kecuali oleh penulis sendiri. Sisa bagaimana agar ide melalui tulisan itu sampai kepada khalayak ramai.

(Wiyanto Sudarsono)

Ref. : Mario Vargas Llosa. Matinya Penulis Besar. 2018. Immortal Publishing dan Octopus, YK

Posted on 3 Comments

Penyambung Lidah

Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.” -Haruki Murakami

Tidak semua orang memiliki suara yang fonogenik. Suara yang enak didengar, baik ketika berbicara langsung maupun ketika berbicara melalui media, telepon misalnya. Mungkin, ketika mendengkur pun, orang bersuara fonogenik akan enak untuk didengar.

Jelas, orang yang kenal atau pernah berinteraksi dengan saya, akan dapat menilai bahwa saya bukan fonogenik. Aha, karena itu saya harus benar-benar menata suara jika hendak berbicara secara resmi, misal ketika membawakan sebuah presentasi.

Ada tips yang diberikan oleh pimpinan saya terkait itu. Saya harus memberikan pemakluman kepada lawan bicara. Yakni menyampaikan bahwa saya memiliki sedikit permasalahan pendengaran (gendang telinga kanan saya pecah). Sehingga lawan bicara dapat memahami bahwa suara kencang bukan karena sedang emosi. Dan ini adalah sekaligus maklumat bagi pembaca sekalian.

Itu adalah sedikit gambaran tentang komunikasi lisan yang sangat dipengaruhi oleh lebih banyak hal. Karena itu, saya mencoba mengembangkan komunikasi via tulisan. Lebih sedikit gangguan di dalamnya.

Meskipun seperti kata Murakami di atas, bahwa tidak ada kalimat yang sempurna. Selalu saja kalimat dan kata tidak mampu mewakili seratus persen rasa.

Kutipan di atas tidak saya dapat secara langsung. Itu adalah status senior saya, yang sering mengaku telah lansia. Seorang penggiat literasi.

Ia telah membaca novel “Dengarlah Nyanyian Burung” karya Haruki Murakami. Saya tidak akan meminjam novel itu darinya. Karena saya tahu hanya orang bodoh yang akan meminjamkan buku. Saya juga tidak mau jadi orang yang lebih bodoh dengan mengembalikan buku yang saya pinjam. Itu kata siapa ya, saya tidak tahu pastinya, beredar luas di internet. Ups bukan itu ding, masih banyak buku yang harus dibaca, dan saya sudah terlanjur membelinya.

Ketika lidah bermasalah dalam berbicara, entah apa alasannya, maka perlu penyambung lidah. Tidak harus orang lain, tapi bisa hal lain. Saya memilih tulisan.

Tulisan akan sangat membantu dalam mengungkapkan ide, gagasan, perhatian dan tentu saja CINTA. Meski tetap saja tidak sempurna. Karena masalah rasa, hanya sebagian yang akan terwakili oleh kata.

(Wiyanto Sudarsono)