Posted on Leave a comment

Penghalang Diri

Seri – 16, Mendengarkan untuk Melayani

Foto: beytlik (pexels.com)

Penghalang mendengarkan seringkali bukan dari pembicara. Melainkan pada pendengar, yakni kita sendiri. Entah karena kita belum siap -dan tidak pernah berusaha menyiapkan diri-, atau karena kita melakukan hal-hal yang menghalangi aktivitas mendengarkan.

Sebagai contoh adalah melihat-lihat pintu keluar ketika mendengarkan. Dalam posisi sebagai pendengar dan kita masih ingin mendengarkan, hal itu akan menggangu pembicara/narasumber. Kita akan dinilai telah bosan. Dan itu tidak nyaman bagi pembicara. Jika pun kita sudah menganggap cukup, kita bisa mengakhiri pembicaraan dan aktivitas mendengarkan kita.

Hal yang serupa adalah melihat jam tangan atau jam dinding. Atau gawai yang tergeletak di atas meja dalam posisi layar di atas.

Jika ingin melihat waktu, kita dapat melihat jam tangan pembicara secara rahasia. Selain kebutuhan mengetahui waktu, jika ketahuan, bisa dianggap menghargai pembicara. Mengagumi jam tangan miliknya.

Saat mendengarkan, rapat, diskusi, saya senang meletakkan gawai pada posisi layar di bawah (tertutup). Posisi pada mode diam (silent). Bahkan, jika sangat penting, saya posisikan pada mode pesawat (flight mode). Dering panggilan atau suara notifikasi akan mengganggu konsentrasi pembicara dan kita, pendengarnya.

Momosisikan gawai pada mode diam, dan tidak mengangkat telepon atau membalas pesan saat mendengarkan, bagi saya adalah penghargaan atas kehadiran. Saya menghargai kehadiran fisik dibandingkan kehadiran virtual atau yang mungkin hanya suara. Rapat daring/virtual terjadwal, didahulukan daripada telepon atau WA insidental. Tapi saya masih belajar. Jadi saya mohon maaf jika terkadang masih melanggar prinsip saya itu.

(WS)

Posted on Leave a comment

Jemu Diri

Seri-15, Mendengarkan untuk Melayani

Foto oleh cottonbro studio (pexels.com)

Mendengarkan orang lain membicarakan dirinya sendiri, bisa jadi tidak nyaman. Apalagi disertai gelagat bangga dan tinggi hati. Apalagi ditambah kesan meremehkan pendengarnya. Jemu dan dongkol.

Rasa tidak nyaman mendengarkan cerita itu adalah penghalang bagi kita untuk aktivitas mendengarkan efektif. Perlu kita ingat kembali, bahwa kita sedang belajar mendengarkan. Bukan belajar berbicara. Jika sebagai pembicara kita harus membatasi dan meringkas pembicaraan tentang diri kita sendiri. Agar tidak membosankan, menjemukan, hingga pendengar muak. Pembicara hendaknya tetap di lingkup topik pembicaraan. Tetap berada pada konteks pertanyaan.

Jika kita harus mendengarkan orang berbicara tentang dirinya sendiri, secara panjang lebar, kita harus tetap mendengarkan. Pasti ada hikmahnya. Jika memang betul-betul tidak ada yang bisa diambil (dan ini jarang terjadi), kita masih dapat satu pelajaran: jangan jadi pembicara seperti itu.

Saat orang membicarakan dirinya, kita bisa mengambil poin penting, bagaimana ia/dia menghadapi masalah. Masalah apa yang pernah dihadapi. Solusi apa yang pernah dilakukan. Waktu apa yang penting bagi dirinya. Sehingga ketika ada kesempatan masuk, kita dapat menyampaikan dan mengubah arah pembicaraan. Atau akan berguna di pembicaraan berikutnya.

Misal, ketika ada seorang petani menceritakan kesuksesan dirinya berbudi daya. Hasilnya yang bagus. Keluarga dan anak-anaknya yang sukses kuliah dan ada yang masih kuliah. Itu bisa menjadi data penting kita mengetahui prospek/calon pelanggan kita.

Berikutnya kita bisa memberi ucapan selamat atas kelulusan kuliah anaknya. Atau atas ulang tahun pernikahannya. Itu bisa menjadi pintu masuk melakukan pendekatan dan pendalaman, untuk kemudian presentasi dan seterusnya sampai closing. Sebagaimana tahapan dalam penjualan

Tidak ada yang sia-sia dari mendengarkan. Meskipun bagi pendengar, pembicaraan orang lain mengenai diri kita (dan orang lain selain dirinya sendiri), akan lebih bisa diterima dan dipercaya. Dibandingkan apabila kita membicarakan diri kita sendiri.

Sebagai pendengar, kita harus siap dan bisa menerima ketika ada orang lain menceritakan dirinya sendiri. Karena bisa jadi itu muncul karena keberadaan kita. Entah karena pertanyaan atau karena pernyataan kita sebelumnya.

(WS)

Posted on 2 Comments

Bingung Mendengarkan

Seri-14, Mendengarkan untuk Melayani

Foto: karina zhukovskaya (pexels.com)

Ada banyak hal yang menghalangi kita dalam mendengarkan. Sebagiannya tampak sepele. Sebagiannya, sebagai pendengar, kita bisa menyalahkan pembicara. Meski, jika kita ingin mendengarkan penjelasan, kita masih ada kesempatan bertanya.

Kebingungan

Tidak jarang kita mendapati istilah yang tidak dapat dipahami ketika mendengarkan. Baik karena istilah yang khusus dalam bidang tertentu. Atau karena istilah tersebut dari bahasa asing.

Tidak sedikit kita mendapati pembicara menggunakan bahasa Indoensia yang disisipi bahasa asing/campuran. Baik karena tidak ada padanan katanya, atau karena pembicara lebih sering dengan kebiasaannya itu. Bahasa asing campuran disini bisa Indonesia-Inggris, Indonesia-Jawa, Indonesia-Sunda.

Penghalang mendengarkan, bahkan bisa karena diucapkan dengan logat, kebiasaan, dan kecepatan tertentu. Bahkan ketika disisipi partikel khas daerah yang tidak kita pahami.

Solusi dari hal ini adalah bertanya. Catat dan tanyakan atas hal-hal, istilah dan penyampaian yang tidak jelas atau membingungkan kita. Jangan sungkan atau malu bertanya. Bahkan untuk istiah yang sepele, yang kita tidak tahu. Pikiran yang menghantui kita adalah kekhawatiran kita dianggap tidak cakap. Dan membayangkan orang lain akan berpikir: “begitu saja ditanyakan.”. Atau pandangan “dungu amat, istilah begitu saja tidak tahu”. Tidak ada kehinaan dalam bertanya. Bahkan, bertanya adalah separuh pengetahuan.

Kebingungan atau ketidakjelasan  dapat juga karena ketidaklengkapan isi pembicaraan. Karena pembicara memulai dari tengah, tidak urut. Atau pernah ada pembicaraan sebelumnya, yang kita tidak hadir. Bertanya dan meminta untuk disampaikan secara singkat pertemuan sebelumnya, adalah hal yang sah saja untuk dilakukan.

(WS)

Posted on Leave a comment

Pikiran Waktu

Seri-13, Mendengarkan untuk Melayani

Foto: Alex GreenĀ  (pexels.com)



Tersangka memiliki cukup waktu untuk memikirkan tindakannya. Karenanya tersangka dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan hukuman seumur hidup. Cukup waktu untuk memikirkan ya atau tidak untuk melakukan yang didakwakan kepadanya.

Jebakan Pikiran

Ada hubungan unik antara pikiran, waktu, dan bicara atau mendengarkan. Ada banyak pikiran yang melintas diantara waktu kita mendengarkan pembicara dari kalimat satu ke kalimat yang lain. Hubungan tersebut dikarenakan perbedaan kecepatan bicara dan berfikir. Berfikir lebih cepat.

Kesenjangan pikiran dan berbicara merupakan jebakan yang dapat menghalangi kita menjadi pendengar yang efektif. Seringkali, jeda ini menjadikan kita -sebagai pendengar- memikirkan hal lain di luar topik. Menebak apa yang akan disampaikan berikutnya, menyiapkan sanggahan, memikirkan fisik, penampilan dan lainnya.

Sebagai pendengar, kita harus mampu mengelola pikiran ini. Tetap fokus. Dan segera sadar dan kembali jika gangguan pikiran ini mulai mendatangi.

Ganguan Waktu dan Tempat

Sebagai pendengar, kita sangat mudah diganggu bahkan oleh waktu, tempat dan situasi yang tidak tepat. Mendengarkan ketika sedang terburu-buru juga tidak efektif.

Suhu terlalu panas, juga terganggu. Kedinginan juga begitu, plus sering buang air kecil. Terlalu berisik, ada ganggu audio/video juga menjadi penghalang mendengarkan.

Sebagai pendengar yang berusaha menjadi pendengar yang baik, kita dapat memilih waktu mendengarkan atau berbincang. Jika sebuah seminar atau perkuliahan online, lebih baik mendengarkan siaran tunda tapi kondisi baik, dibandingkan live tapi kondisi tidak kondusif.

Jika terpaksa harus mendengarkan di kondisi tidak ideal, maka kita perlu curahkan energi lebih. Untuk lebih fokus.

(WS)

Posted on Leave a comment

Selektif Penghalang

Seri-12, Mendengarkan untuk Melayani

Foto: Towfiqu barbhuiya (pexels.com)

Selektif Mendengarkan

Tidak ada yang salah jika kita selektif dalam memilih apa yang hendak kita dengarkan. Menurut saya. Namun, ada yang salah dengan selektif ketika mendengarkan.

Yang pertama, kita memilih apakah kita akan mendengarkan atau tidak sebuah rencana pembicaraan. Keputusan diambil sebelum pembicaraan dimulai. Sebelum aktivitas mendengarkan terjadi.

Misal, kita membaca informasi bahwa akan ada sosialisasi terkait Peraturan Menteri Perdagangan tentang pupuk bersubsidi yang baru. Kita dapat putuskan kita mau mendengarkan atau tidak sosialisasi itu.

Jika yang kedua, kita sudah putuskan bahwa kita mendengarkan, artinya hadir dalam sosialisasi, bergabung dalam rapat daring, hadir di rapat pertemuan, maka mulai saat itu kita tidak boleh selektif dalam mendengarkan.

Sebagian menyakini bahwa memilih memilah ketika sudah masuk aktivitas mendengarkan, adalah lebih efektif. Lebih berguna. Padahal tidak demikian. Sambungan pendapat satu dengan argumen yang lain, terangkai bahkan ketika kita merasa tidak perlu mendengarkan bagian itu.

Dan juga, Pembicara akan sadar, jika kita tidak mendengarkannya pada titik titik tertentu atau bahasan tertentu. Dan itu sangat tidak nyaman. Saya pun masih harus banyak belajar dalam hal ini.

Pilihannya buka selektif pada saat mendengarkan, tapi berusaha memilih mana yang pokok/inti pembicaraan, mana yang hanya penjelas.

Terburu-buru Memberi Penilaian

Ini penyakit yang dialami banyak orang. Terkadang sayapun demikian. Kita sering menilai pendapat seseorang, bahkan sebelum ia menyelesaikan pembicaraannya. Bahkan satu kalimatnya belum selesai.

Macam-macam penilaiannya. Misal, pendapatnya bukan pengetahuan atau bukan sudut pandang baru. Atau kita kira sudah ketahui, sehingga kita langsung potong dengan tanggapan (persetujuan atau bantahan).

Cepat menilai serangkaian dengan kebiasaan menyela atau memotong pembicaraan. Bahkan dengan ‘sopan santun’: “Maaf saya potong“. Ini juga kurang baik dan tidak nyaman bagi pembicara.

saya mengalami masalah. Jagung saya tidak tumbuh“. Seorang petani curhat kepada Salesman Pupuk.
“Ditanam di mana”.
Lahan bekas padi sawah. Pertumbuhannya…..”.
“pH terlalu rendah itu Mbah” Potong Salesman.
Saya kira bukan…. “. Petani coba menjelaskan.
“Jelas Mbah, tanah sawah sering di rendam air, airnya kecoklatan kayak karatan biasanya. Pakai kapur pertanian beres, Mbah”. Penjelasan si Salesman.
“I” Tutup petani jengkel. Terus meninggalkan Salesman.
“?????? ” Salesman Ngaplo.

Perilaku salesman pada ilustrasi di atas jangan ditiru.
(WS)

Posted on Leave a comment

Bicara Penghalang

Seri-11, Mendengarkan untuk Melayani

Foto: Adrienn (pexels.com)

Mendengarkan bukan hal yang mudah. Tapi juga bukan hal yang susah sehingga tidak dapat diasah.

Tidak mudah karena tidak semua orang bisa -mendengarkan dengan baik-. Juga karena ada penghalang yang membatasinya.

1. Bicara

Berbicara sambil mendengarkan orang lain adalah hal yang sulit dilakukan. Mustahil bisa dikatakan.

Ketika berbicara, kita mendengarkan apa yang sedang pita suara keluarkan. Memikirkan apa yang selanjutnya mau dikatakan. Indra pendengaran seolah nyaris lumpuh terhadap suara dari pembicara lain.

Berbicara adalah penghalang utama aktivitas mendengarkan. Ketika mendengarkan, janganlah berbicara. Diam.

Itu mengapa dalam Khutbah Jumat kita diperintah diam. Bahkan berbicara agar orang lain diam, dapat merusak kesempurnaan mendengarkan Khutbah Jumat. Diam, bisa jadi merupakan rukun dalam mendengarkan.

2. Phubbing (Phone-Snubbing)

Penghalang mendengarkan ini perlu saya masukkan. Jamak terjadi. Gawai pintar (smartphone) senantiasa di genggaman.

Begitu lekat kita dengan gawai. Sampai sepanjang aktivitas kita bersamanya. Pun ketika mendengarkan. Ketika rapat. Ketika seminar. Sebagian, ketika di masjid saat khatib berkhutbah.

Acap kali kita temui. Bahkan kita lakukan. Mendengar sambil bermain gawai. Bahkan terkadang tidak ada yang benar-benar perlu dilakukan.

Saat fokus ke layar gawai, apakah pendengaran kita berkerja maksimal? TIDAK. Sama sekali tidak. Bahkan nyaris tidak ada yang ditangkap.

Juga ini merupakan sikap kurang baik sebagai pendengar. Pembicara sedang menyampaikan, namun tangan, mata dan pikiran kita ke isi gawai. Ini penghalang utama aktivitas mendengarkan saat ini.

(WS)

Posted on Leave a comment

Pendengar Cerdas

Seri-10, Mendengar untuk Melayani

Foto: Karolina Grabowska (pexels.com)

Mencatat membuat kita memiliki kemampuan mengingat lebih bagus. Dibanding yang tidak mencatat. Mencatat juga membuat belajar lebih melekat.

Alasan serupa saya membuat catatan ini. Bukan karena saya lebih berilmu. Bukan karena saya bisa mempraktikkan dengan baik. Namun karena saya sedang belajar. Saya mencatat. Supaya lebih melekat. Saya bagikan, berharap ada manfaat.

Contoh lain adalah penulis buku Visual MBA. Ia belajar di sekolah Pascasarjana jurusan MBA (Master of Business Administration). Kuliah dapat dipastikan mencakup aktivitas mendengarkan. Karena latar belakangnya adalah desainer grafis. Ia membuat catatannya dengan gambar Visual yang dipadukan kalimat kalimat pendek. Dan jadi buku Visual Grafis.

Mencatat membuat kita lebih fokus. Memahami perbedaan poin utama dan tambahannya. Bahkan kita dapat mengidentifikasi pertanyaan yang mungkin muncul atau pernyataan yang akan memicu perdebatan di forum.

Bersiap Lebih Awal
Hari ini saya melanggar semua konsep mendengarkan yang baik. Saya tidak fokus. Catatan tidak tersusun dengan baik. Gangguan, tanggapan, bisikan, membisikan, menjadi hiasan forum saya. Pemicunya, datang terlambat.

Menjadi pendengar yang terampil dan cerdas, tentu saja, adalah termasuk menyiapkan diri, jiwa, telinga, dan peralatan lebih dini. Datang lebih awal di forum pembicaraan membuat kita lebih siap mendengarkan dengan baik. Jangan terlambat. Saya berharap semoga tidak terulang.

Bertanya dengan  Cerdas
Pertanyaan cerdas bukan pertanyaan yang sulit dijawab oleh pembicara. Pertanyaan  cerdas memicu kita ikut memikir jawabannya. Forum dan pembicara menjadi bersemangat dan antusias. Hidup.

Pertanyaan cerdas bisa mengendalikan pembicaraan. Menjadi beralih ke topik yang kita tanyakan. Mengubah pembicaraan yang membosankan menjadi menarik dan disimak serius.

(W
S)

Posted on Leave a comment

Mencatat Lagi

Seri-9, Mendengarkan untuk Melayani

Foto: Ivan Samkov (pexel.com)

Banyak cara mencatat sambil mendengarkan. Tantangannya adalah jangan sampai ketika mencatat poin penting, kita terlewat poin penting yang disampaikan berikutnya. Juga jangan sampai membuat kehilangan fokus terhadap pembicaraan.

Terserah kita mau mencatat seperti apa. Makin cepat, makin baik. Perlu dipastikan kita dapat membaca kembali catatan yang telah dibuat. Sebagai gambaran berikut beberapa jenis catatan yang munkin bisa kita lakukan:

Daftar (Poin)
Kita menulis secara urut poin penting pembicaraan. Biasanya berdasarkan munculnya. Ini bagus untuk pembicaraan secara umum.

Misal, hama dan penyakit yang menyerang tanaman dapat disebabkan :

1. Virus
2. Bakteri
3. Jamur
4. Serangga

Kita poinkan lagi masing-masing contoh dan pengendaliannya.
Virus dapat hidup di:
1. Virus pada daun
2. Virus pada batang
3. Virus pada akar
4. Virus pada pembuluh

Peta Pemikiran (Mind Mapping)
Sebagian kita sangat mengenal cara ini. Mudah dan sederhana. Mencatat dengan metode ini cocok untuk pembicaraan yang bersifat deduksi dan terstruktur. Seminar misalnya. Namun kurang cocok untuk pembicaraan yang random.

Pupuk. Jenis-jenis pupuk. Fungsi pupuk. Dosis pupuk dan seterusnya. Dibuat peta dan aliran poin pentingnya.

Resume/Ringkasan
Mencatat kata kunci dalam kaliman pendek. Misal: Pemupukan terkahir pada 45 HST. Pertumbuhan tanaman cukup, meski tidak serempak. Apakah perlu tambahan nutrisi tanaman lagi?

(WS)

Posted on Leave a comment

Catatan: Perlu dan Tidak Perlu

Seri-8, Mendengarkan untuk Melayani

Gambar oleh Pixabay (pexel.com)

Seberapa perlu catatan dibuat? Haruskah selalu membuat catatan? Terlebih ada sebagian pembicara yang tidak suka jika pemirsanya menulis. Ketika ia/dia berbicara. “Jika saya berbicara cukup dengarkan”, begitu pesan yang diterima pendengarnya.

Dalam pembicaraan normal. Kita sebagai pendengar merdeka. Tanpa ketakutan. Tanpa rasa terintimidasi. Tanpa rasa rendah dihadapan pembicara. Perlu dan tidaknya mencatat tergantung kepada kita: pendengar.

Ada pedoman bagus Dr. Muhammad Ibrahim Al-Nughaimish pakar dari International Listening Association (ILA). Pedoman berbentuk pertanyaan kepada diri sendiri:
1. Apakah kita akan mencatat? Artinya ada niat atau tidak. Ada perangkatnya atau tidak.
2. Bisakah kita mengingat semua poin penting pembicaraan dengan tanpa mencatat?
3. Mampukah kita menyimpulkan dengan cepat?

Jika semua jawaban dari pertanyaan pertama di atas adalah “Ya” dan dua sisanya “Tidak” maka kita harus mencatat.
Jika salah satu dari dua pertanyaan terakhir jawabannya adalah “Tidak”, maka disarankan mencatat.
(WS)

Posted on Leave a comment

Handsome is Pain Too

Perawatan Wajah

Mungkin kita mengenal ungkapan Beauty is Pain. Cantik itu sakit, atau menyakitkan. Ungkapan yang populer di kalangan wanita.

Sakit dalam artian sebenarnya. Saat perawatan/tindakan dokter. Repot saat merawat sendiri, krim ini dan itu. Belum kalau yang harus memakai korset, sepatu berhak tinggi dan lain sebagainya.

Ternyata tidak hanya bagi para gadis dan wanita. Kalangan pria pun sama. Handsome is pain too.

Hal ini di akui tiga orang yang saya kenal. Mereka melakukan yang salah seorang menyebutnya: Increasing the Level of Sales Person Appearance. Istilah penjualan untuk perawagan diri (grooming). Peningkatan level penampilan agar merepresentasikan posisi dan fungsi personal. Terlebih Bagi insan penjualan. Saya telah membahas pentingnya  berpenampilan baik bagi seorang Penjual di Buku MANTAP halaman 255 s.d. 258.

Tiga orang yang saya kenal tadi melakukan perawatan wajah. Agar terlihat lebih baik. Lebih enak dipandang. Rapi. Dan tidak kumuh.

Mereka melakukan perawatan di salah klinik perawatan kulit terkenal di kota mereka. Mulai dari pengangkatan komedo (facial), laser, dan pembelian produk perawatan lainnya.

Setelah tindakan dokter, dua di antara mereka menyatakan bahwa itu sakit. Sakit sekali malahan. Yang satunya: agak sakit. Dan mereka juga membeli produk perawatan untuk pagi dan malam hari.

Selain perbaikan penampilan di lingkungan professional mereka, mungkin ada niat untuk berpenampilan menarik di hadapan pasangan/istri mereka. Istri diminta tampil cantik. Suami juga harus seimbang.

Tapi itu tadi, handsome is pain too. Like beauty is Pain. Pain di wajah. Pain di dompet juga, bisa jadi.

Itu mungkin yang terbayang di benak para bujangan ketika mendekati atau di dekati wanita yang glowing. Berapa beauty cost-nya? Karena mereka tahu skin care tidak ditanggung asuransi yang sediakan perusahaan apalagi BPJS.
(WS)