Posted on Leave a comment

Tentang Air

Saluran Sekunder, irigasi di Kec. Air Majunto, Mukomuko, Bengkulu

Sekian persen fisik dan material manusia berasal dari air. Bahkan, awal mula manusia –setelah manusia pertama dan kedua berawal l– dari air. Sehingga menjaga proporsi air dalam tubuh hal yang niscaya. Jika tidak, dehidrasi namanya.

Tak hanya manusia. Semua makhluk nyata membutuhkannya. Termasuk makhluk yang mampu memasak kebutuhan makannya di dalam tubuh sendiri: tanaman. Karena itu air menjadi hal yang patut dicermati kebutuhan dan pengelolaanya.

Pertanian, mendorong tanaman ntuk berproduksi melebihi dari kebutuhan tanaman itu sendiri. Karena, petani membutuhkan panen. Untuk membantu memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan secara langsung (makan dari hasil panen) ataupun tidak langsung (membeli dari penjualan hasil panen).

Pertanian erat kaitannya dengan pengairan. Karena itu terdapat semacam ilmu pengelolaan air (water management) dalam dunia pertanian.

Tetap pada keyakinan, bukan air sumber kehidupan. Tapi yang menciptakan dan menurunkan airlah sumber kehidupan aslinya: Allah Yang Maha Rahman.

Pengairan

Karena pentingnya air untuk tanaman, padi terutama, hampir sering kita temui adanya irigasi. Dengan berbagai sumbernya. Bendungan terutama.

Di Indonesia, tentu banyak tersebar dimana-mana. Seperti di Lampung Utara. Tak jauh dari kampung saya.

Juga di Mukomuko, Bengkulu bagian utara. Utaranya Bengkulu Utara. Irigasi menjadi prasarana penting bagi pertanian tanaman pangan. Mungkin lebih penting dari pupuk. Atau sama pentingnya dalam hal peningkatan produksi pertanian.

Begitulah air, darinya Allah menumbuhkan kehidupan. Mari kita simak firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍ ۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengannya Dia menghidupkan bumi setelah mati (kering), dan Dia menebarkan di dalamnya semua jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang mengerti.
(Al-Baqarah [2]:164).

Mari bersyukur atas nikmat air yang terus Allah turunkan bagi kita. Yang dengannya Allah menghidupkan tanaman. Agar kita tidak menjadi manusia yang kufur akan nikmat-Nya.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Darat, Laut, Udara

Seminggu lebih sudah lewat. Sepuluh hari tepatnya. Vaksin kedua kami. Sinovac, SARS Cov-2 Vaccine. Ada kisah “perjuangan” seru kami dalam mendapatkan vaksin kedua itu.

Info datang Ahad Maghrib. Sekitar pukul 18.00 WIB. Vaksin dilakukan pada Senin esok hari. Di Surabaya. Kami saat itu berada di Lampung.

Singkat kata kami bertiga sepakat: berkendara dari Lampung ke Bandara Sukarno Hatta, kemudian menumpang Garuda ke Surabaya. Menggunakan modal yang berbeda. Agar tidak terlambat.

Kami menempuh perjalanan di atas ruas tol Bakter (Bakauheni – Terbanggi). Masuk dari Gerbang Natar setelah sebelumnya rapid antigent di Klinik Graha Puri Husada.

Sambil berjalan, sekira setengah jam sebelum tiba di pelabuhan Bakauheni, kami memesan tiket kapal melalui Aplikasi Ferizy.

Tips: pesanlah kapal untuk lebih dari dua jam berikutnya. Jika kita tiba lebih awal, kita bisa masuk untuk jadwal yang sebelum. Jadwal kita pilih. Lebih cepat. Selama kapasiatas kapal masih ada.

Kami tiba di pelabuhan sekira pukul 00.00 WIB. 30 menit sebelum jadwal kapal express pada 00.30. Jadwal yang kami pesan pukul 02.45 WIB. Karena penpang dan kendaraan kami majikan di jadwal pukul 00.30.

Setelah menyeberang ke merak kami melanjutkan berkendara ke Bandara Soekarno-Hatta. Cepat sekali kawan kami berkendara. Alhamdulillah tiba di Parkir Terminal 3 Ultimate sekitar pukul 04.00 WIB. Setelah sempat memutar beberapa kali di jalanan bandara.

Kami segera mencari tempat verifikasi dokumen perjalanan dan sarapan. Sambil menunggu penerbangan pukul 8.30 kami berencana mandi. Ruang shower tutup. Karena pandemi. Mencari tempat leyeh-leyeh meluruskan punggungenjadi pilihan.

Boarding dan penerbangan seperti biasa. Alhamdulillah. Lancar. Mendarat di Surabaya, masih harus menunggu kawan kami dari Medan.

Masjid menjadi tujuan. Mandiri, bersih diri dan kembali melanjutkan mimpi –tidur–. Dzuhur tiba.

Selepas salat, kami menuju parkir timur Delta Plaza untuk verifikasi awal dokumen vaksin. Setiba di Delta plaza kami makan siangbduku.

Lalu menggunakan bisa shuttle menuju Grand City Surabaya untuk vaksin kedua. Lancar.

Kami segera menuju ke Bandara Juanda lagi. Setelah sebelumnya berkirim foto menunjukkan lengan yang belah di vaksin.

Mendarat di Soekarno Hatta langsung menuju lokasi makan malam. Setelah itu baru hotel.

Esok paginya, Selasa, kami melanjutkan perjalanan menggunakan mobil ke Merak, menyeberang ke Bakauheni, dan kembali ke Bandar Lampung. Darat, Laut, Udara dilalui. Alhamdulillah selesai. Lancar sekali.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Layanan Itu

Kesempatan itu hadir. Alhamdulillah. Berkunjung ke dealer mobil Toyota ternama: Auto2000. Bukan yang di kota besar, tapi di Kotabumi, Lampung Utara.

Agenda utama adalah mengantar tim penjualan yang harus “mengembalikan” mobil operasional yang baru. Harus di branding dengan penanda korporat —corporate identity–. Sambil kami melihat-lihat model mobil terbaru yang katanya begitu memesona.

Kami menumpang Salat Asar di musala dealer. Kami tertarik dengan kondisi sarana pendukung outlet dan ruang pamernya. Musala, toilet, ruang merokok, ruang gudang, ruang pelatihan, dan tentu saja dengan kondisi ruangannya yang WOW.

Seperti hotel ya“. Seru saya kepada kolega.
“Iya Pak, asik”. Tampaknya ia pun setuju.
Tidak sekadar hotel, tapi ini sekelas hotel bintang 4 atau 5“. Sergah saya.
Ini lho perusahaan yang menerapkan ilmu dan konsep pemasaran dalam kegiatannya. Siapa bilang konsep pemasaran nggak bisa diterapkan”. Imbuh saya sambil menerawang dalam pikir: “Ini toh pengejawantahan SERVICE (S besar) dalam konsep layanan prima”.

Mereka jualan barang. Bukan jasa. Bukan hotel, bukan bandara, bukan maskapai penerbangan atau tempat hiburan. Tapi sarana pendukungnya begitu baik. Jualannya mobil, tapi musala dan toilet dealernya, bak hotel.

Pupuk vs Mobil

“Pupuk beda Mas, pupuk yang beli petani. Nggak butuh begituan”. Ehm… Mari kita tengok. Dalam konsep layanan prima, saya belum mendapati konsep: “diskriminasi pelanggan”. Jika barang bernilai tinggi harus sempurna dalam layanannya, jika barang nilainya rendah maka jelek tidak apa-apa.

Layanan penjualan misalnya. Perubahan sistem penjualan harus menjadikannya lebih cepat. Lebih singkat. Lebih menarik bagi pelanggan. Bukan lebih lambat dan lama. Jika sebelumnya layanan sehari, maka setelah perbaikan menjadi beberapa jam saja.

Di ujung saluran. Karena contoh kekaguman pada dealer. Salah satu gerai atau outlet pupuk yang tersebar di seluruh Indonesia misalnya. Yang gerainya berwarna biru. Yang ada stripnya orange. Yang terlihat kalau outletnya sedang ditutup.

Saya belum mengingat adanya standar pelayanan petugas outlet. Yang ada hanya standardisasi branding dan warna gerai.

Bahkan sampai 2018, belum didapati panduan menyusun atau menumpuk pupuk yang benar. Sehingga tidak salah jika masih sering kali petani mendapati pupuk berkantong putih namun menjadi cokelat. Bahkan hanya sekadar menghitung jumlahnya saja tidak mudah. Jadi cukup layak jika Advisor IFRI menyatakan kasta pupuknya baru ksatria atau sudra.

Itu baru layanan utama. Belum layanan ikutan dan pendukung lainnya.

Tampaknya, masih butuh perjuangan untuk industri pupuk mencapai dan menerapkan SERVICE EXCELENT, dengan S besar. Layanan di berbagai sendi dalam proses bisnisnya. Semoga tidak lama lagi.

Oh ya, karena –waktu itu– belum ada panduan, maka awal 2018 ada yang menyusun sebuah panduan sederhana. Panduan menjadi pengecer, outlet, kios pupuk yang baik.

Panduan bagaimana menyimpan pupuk ada di halaman 30, ebook “Panduan Pengecer Pupuk Bersubsidi”. Semoga bisa dilakukan penyempurnaan lagi.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

B. E. R. J. A. R. A. K.

Selama pandemi di tahun kedua ini, banyak masjid masih berjarak. Maksudnya, berjarak dalam pengaturan saf salat.

Ada yang masih super ketat berjarak 1,5 m. Ada yang semeter, 50cm, atau yang penting berjarak. Tidak mepet, tidak rapat bahu bertemu bahu.

Sebagian masjid yang saya kunjungi dan menerapkan jarak, memiliki tanda. Tanda untuk mengatur jarak. Tandanya unik, tidak sama, masing-masing memiliki ciri khas.

Ada yang memasang stiker “SHOF”. Untuk menandai tempat berdirinya makmun saat salat. Sebagaimana masjid kami tercinta. Nurul Jannah, Petrokimia Gresik.

Ada yang memasang tanda “X” dengan lakban merah. Sebagai tanda bahwa area tersebut jangan diisi.

Ada yang memasang tanda “____” dengan lakban hitam. Sebagai tanda tempat berdiri jamaah. Atau keduanya: garis dan silang.

Ada pula yang memasang tanda “wajik” sebagai tanda “berdirilah lurus dengan tanda di depan Anda”. Seperti di Masjid Agung Al-Furqon Bandar Lampung.

Jika tidak membaca petunjuk di pintu masuk atau mendapat arahan jamaah mukim, maka bisa salah. Berdiri di tanda, sejajar, atau jangan di tanda.  Petunjuk itu perlu.

Bahkan ada Masjid yang menyediakan masker. Juga kertas minyak atau kertas khusus. Untuk pengganti sajadah bagi yang tidak membawa.

Jangan Hatinya

Meskipun secara fisik berjarak, bahkan saat salat dan ibadah lainnya, kita semua berharap tidak dengan hati kita. Hati kita tetap satu, padu, dan bersatu. Karena jarak dalam saf bukan kita yang inginkan, tapi karena kemaslahatan dan perintah dari pemimpin kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengusap bahu-bahu kami dalam shalat (ketika akan shalat) dan menyatakan: Luruskan dan janganlah saf kalian bengkok sehingga berakibat hati kalian berselisih. [HR Muslim]. Semoga kita dapat segera mengamalkan hadis ini kembali.

Bahkan tidak hanya dengan jamaah sebelah kanan kiri kita, dengan kaum muslimin diseberang lautan sana semoga hati kita tetap terpaut dan bersatu. Mereka tersakiti kita ikut merasakannya dalam hati. Sebagai bukti loyalitas dan kecintaan.

Teladan kita shallallahu ‘alaihi wasalam telah bersabda: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya).”(HR. Bukhari dan Muslim).

Meski kita berjarak fisik dengan kaum muslimin di Palestina, semoga kita mencintai, menyayangi, mengasihi mereka. Bukan karena kemanusiaan, bukan karena HAM, tapi karena kecintaan kepada sesama Muslim adalah perintah Allah, merupakan ibadah, dan salah satu bukti keimanan.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

AKHLAK Penjualan

O l e h : W i y a n t o  S u d a r s o n o

Hari ini dan kemarin, adalah  kelompok kedua Workshop Culture Fertilizer on Boarding PT Petrokimia Gresik. Alhamdulillah dapat menjadi bagian darinya. Saya terpikirkan bagaimana nilai penerapan AKHLAK bagi insan penjualan.

Apakah insan penjualan termasuk yang segera (early adopter), lambat (late adopter), atau yang  menolak (resistor) terhadap nilai-nilai AKHLAK?

AMANAH

Nilai ini jelas dibutuhkan seorang penjual. Bahkan amanah merupakan pilar utama dan pertama yang harus dimiliki seorang penjual. 

Saking penting dan luasnya nilai amanah ini, ia dilambangkan dengan warna biru. Seperti langit dan lautan. Mendalam ke sanubari, menjulang tinggi dalam ekspresi, membentang luas dalam aspek dan segi.

Penjual harus jujur dan dapat dipercaya. Harus konsisten dan berintegritas. Tidak ingkar janji. Tidak menawarkan apa yang tidak bisa diberikan. Tiga prinsip dalam pilar amanah, trustworthiness.

Seorang yang mendeklarasikan diri sebagai penjual harus siap bersikap dan menjujung kejujuran. Berintegritas dan tahan tehadap godaan. Bukan PHP, pemberi harapan palsu, sekadar untuk sesaat melariskan dagangan.

KOMPETEN

Menjadi penjual tanpa kompetensi yang memadai?! Hanya akan jadi tertawaan pelanggan dan lawan. Meski saya yakin tidak akan tersampaikan.

Penjual adalah orang yang bekerja dengan konsep/teori, ilmu, dan usaha. Mereka sadar bahwa “teori tanpa praktik adalah bullshit, praktik tampan konsep adalah stupid”.

Dengan teori yang dipraktikan, dan bekerja atas konsep, akan hadir keberuntungan seorang pemenang (champion’s luck). Pinjam istilah Mas Ulik.

Tanpa kompetensi, penjual tidak akan mampu mewujudkan pilar ketiga karakter penjual yang baik: tanggung jawab (responsibility). Karakter ini menuntut penjual untuk disiplin, mengikuti prosedur (misalnya, konsep terkait proses penjualan). Senantiasa berlatih, mengukur pencapaian dan keunggulan, serta berpegang pada prinsip: engkau adalah apa yang engkau jual.

HARMONIS

Ah, saya pikir penjual paling punya ini. Harmonis dengan kalimat afirmasi: kami saling peduli dan menghargai perbedaan. Penjual punya pilar respek dan peduli (caring).

Respek tidak hanya pada rekan, kawan, satu perusahaan atau grup. Respek dengan tidak enggan menulis “dengan hormat” pada pembukaan surat kepada siapapun. Respek bahkan kepada pesaing. Tidak menjelekkannya.

Misal, saat pelanggan harus memupuk, barang kita habis. Pabrik mati dalam waktu 40 hari. Pilihannya, biarkan pelanggan menunda pemupukan yang akan berisiko pada panen dan tanaman kedepannya, atau kita hargai pelanggan dengan pasokan pesaing yang kita uji kualitasnya?! Jawaban kita menentukan level respek kita.

Pilar respek juga mengajarkan kita untuk merayakan perbedaan. Nama seseorang  adalah perbedaan dan keunikan dalam makna. Level struktural adalah perbedaan. Penjual mengelola itu dan menghargainya. Karena sukses penjualan bisa datang dari mana saja, dan sebaliknya.

Pilar peduli mengajarkan penjual untuk fokus pada pelanggan. Menyentuh pada hatinya.

Tidak mengganggu pelanggan dengan aktivitas penjualan. Senantiasa ramah, perhatian kepada pelanggan. Bahkan terlarang memaksa pelanggan, tapi menuntun meng-guide dan biarkan pelanggan yang memutuskan.

LOYAL

Loyal dalam arti komitmen dan berdedikasi (rela berkorban) mengutamakan kepentingan bangsa dan negara melalui kontribusi seluasnya. Penjual paling depan.

Penjual yang baik memiliki karakter yang berpilar pada Kewarganegaraan (citizenship). Menjual produk yang legal, baik zatnya maupun perizinannya. Melakukan praktik penjualan yang baik dan benar.

Bahkan bertanggung jawab terhadap lingkungan dan masyarakat berikut keberlanjutannya. Penjual pupuk hendaknya tidak memaksa Petani menggunakan pupuk anorganik terus menerus bukan? Karena semua penjual pertanian sadar, pupuk anorganik dapat menyebabkan kerusakan pada tanah, jika tidak diimbangi pupuk organik.

ADAPTIF

Berbagai latar dan sifat konsumen dihadapi. Terkadang satu jurus tidak mencukupi. Tentu tidak ada kesangsian sifat adaptif pada diri. Penjual garda depan adaptasi pada berbagai kondisi.

Saya tidak banyak berdiskusi di nilai ini. Kesiapan penjual ditempatkan di wilayah manapun, menunjukkan nilai adaptif mendarah daging dalam diri penjual. Bukan hanya diri, bahkan keluarganya. Bagi penjual yang dengan setia membawa keluarga di manapun ditempatkan bekerja.

KOLABORATIF

Penjual secara pribadi bukan orang yang sempurna. Mereka –para penjual– terbuka untuk bekerja sama dengan berbagai pihak. Bahkan mendorong terjadinya sinergi, baik dengan produk dalam satu lini bahkan dengan pesaing. Untuk apa? mendapatkan manfaat dan nilai tambah bagi pelanggan. Karena keterbukaan, transparansi adalah salah satu prinsip dalam pilar keadilan (fairness).

Contoh kecil. Dalam budidaya pertanian pupuk “hanya” salah satu dari sekian faktor keberhasilan. Ada lahan yang harus diisiapkan, ada benih yang harus disemaikan atau ditanam. Ada OPT yang harus dikendalikan. Ada pascapanen yang harus dipersiapkan. Ada harga yang biasanya dikhawatirkan. Dan ada doa-doa yang harus dipanjatkan.

Sebuah kekonyolan jika penjual pupuk tidak mau diajak membuat demo plot bersama oleh penjual pestisida atau benih. Hanya kadang karena “kamu bukan grup perusahaanku”. Padahal produk grupnya belum tentu tersedia atau digunakan petani setempat. Penjual dengan rela hati berkolaborasi dengan siapapun untuk mencapai tujuan bersama. Petani sejahtera misalnya. Atau BUMN untuk Indonesia.

Saya optimis penjual atau unit penjualan akan menjadi early adopter. Mengadopsi nilai AKHLAK lebih dini. Atau sebenernya tidak perlu mengadopsi, karena nilai AKHLAK sudah ada pada diri setiap insan penjualan.

Sekadar bacaan tentang karakter penjual yang baik dapat diperoleh di buku Selling with Character karya Hermawan Kartajaya dan Ardhi Ridwansyaah. Serta karakter beserta contoh dan ilustrasi Industri Pertanian dapat di baca di bagian dua buku MANTAP karya Wiyanto Sudarsono.

Semoga bermanfaat.

Bandara Sukarno-Hatta, transit menuju vaksin kedua, 4 Mei 2021

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

A.L.A.S.A.N.

Nggak usah banyak alasan!!! ” Mungkin itu yang kita dengar dari para orang dewasa. Saat kita dulu belum dewasa. Yang mungkin, itu pula yang kita katakan setelah dewasa, kepada anak yang beranjak dewasa.

Sebuah ungkapan bahwa kita atau seseorang tidak membutuhkan alasan. Dulu, saat kita terlambat ke sekolah. Kita ungkapkan dengan memelas bahwa rantai sepeda kita putus, bangun kesiangan, dan jalanan macet. Berharap ada pemakluman dan ampunan. Tapi hardik “nggak usah banyak alasan!” yang kita dengar.

Mencari alasan tampaknya menjadi budaya komunikasi. Saat terjadi kesalahan atau kekurangtepatan. Alasan menjadi senjata pamungkas, yang anehnya, telah diketahui tidak akan berhasil. Mungkin, jika terjadi kesalahan atau terlambat, kita mencukupkan diri bilang “maaf”, tanpa alasan.

Anehnya juga, budaya “mencari alasan” menjadi positif ketika kita masuk ke dunia pendidikan dan pemikiran. Coba kita ingat sebuat pertanyaan atau soalan: “mengapa……..?” Jelaskan alasan anda!. Demikian yang saya ingat dari soal ujian. Alasan menjadi hal yang layak dicari, dipikirkan dan dipertanggungjawabkan secara intelektual.

Saat bekerja pun begitu. Evaluasi bulanan, tiga bulanan, semesteran, dan tahunan. Target dibandingkan realisasi diikuti persentase dan alasan ketidaktercapaian. Bahkan jika tercapai pun masih ditanya alasannya. Seolah “kok bisa tercapai sih?!”. Ah, paradoks.

Bingung memikir alasan. Mungkin kita bisa memilih menjawab dengan satu frasa: “anu Pak…. ” atau “Nganu Pak…”. Sebuah ungkapan sejuta makna, yang salah satunya: maaf Pak saya tidak punya alasan untuk itu.

(Wiyanto Sudarsono)

Foto: Tasya Coffee Shop & Resto, Tuba

Posted on Leave a comment

Pemasar Lokal

Menjenguk keluarga yang sedang sakit di desa. Mengingatkan saya akan keberatan sebagian kawan pemasar untuk bermarkas di daerah. (Rendahnya) Fasilitas kesehatan dan pendidikan, menjadikan alasan mereka enggan berdomisili di kota yang ditetapkan perusahaan.

“Saya dari desa Mas, sekolah saya sampai SMA di sana. Toh saya masih hidup dan bisa bertemu Anda“. Begitu tanggapan saya dulu. Tanggapan yang lebih terasa dari sisi emosional.

Kewajiban kita sebagai karyawan (pemasar) untuk mematuhi ketetapan perusahaan. Termasuk siap untuk ditempatkan di manapun yang perusahaan inginkan. Artinya, ketika kita sudah berkontrak dengan perusahaan (termasuk karyawan tetap) maka siap mendukung dan mematuhi ketetapan. Tanpa terkecuali, harus berkantor dan berdomisili di wilayah pemasaran: di daerah.

Memilih Pemasar

Meng-“ekspor” karyawan tetap dari kantor pusat ke daerah, atau merekrut karyawan baru dari daerah setempat. Dua pilihan, soal memilih seseorang untuk dijadikan pemasar. Jangan sampai kita hanya memikir satu kondisi: bagaimana menempatkan karyawan dari kantor pusat ke daerah. Opsi kedua bisa jadi pertimbangan.

Kalau hanya akan ditempatkan di ibu kota provinsi, mungkin tidak menjadi masalah. Jika harus di kabupaten atau kota selain ibukota provinsi mungkin perlu perhatian lebih. Kabupaten di luar Jawa lebih-lebih lagi.

Memilih dan menugaskan karyawan eksisting memiliki keunggulan dalam loyalitas, kompetensi dasar, dan mungkin militansi. Sehingga kepentingan perusahaan akan selalu dinomorsatukan. Harapannya demikian. Ditambah tidak harus repot mencari karyawan baru.

Tantangannya, ada aktivitas memindahkan orang dan barang. Menyediakan tempat tinggal dan fasilitas lainnya. Termasuk standar pembayaran yang tidak boleh turun, bahkan harus lebih dari saat ini. Biasanya dituntut sebagai kompensasi ditempatkan di daerah. Katanya begitu.

Lokal Tidak Asal

Merekrut karyawan lokal memudahkan dalam penguasaan wilayah dan potensi pasar, budaya dan bahasa. Termasuk gaji atau pembayaran yang bisa diefisienkan. Meski tidak harus sampai “nemen” hanya gaji sesuai UMR (upah minimum regional) sebagai THP (take home pay). Tanpa tunjangan lainnya yang lebih layak, seperti tunjangan transportasi dan komunikasi.

Tantangan merekrut karyawan dari lokal adalah perlunya membekali kompetensi utama dan pendukung. Kemauan dan usaha untuk mencari dan menyeleksi.

Tantangan lainnya adalah keharusan memiliki program untuk menjaga loyalitas karyawan dan militansi terhadap perusahaan. Termasuk agar karyawan bertahan dengan perusahaan kita. Tidak pindah ke lain hati.

Saya teringat sebuah perusahaan benih. Untuk pemasar, mereka merekrut orang lokal setempat. Area Managernya mereka menempatkan orang lama, bahkan yang memiliki hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan. Maklum perusahaan privat.

Tiga bulan karyawan lokal itu di karantina. Di kantor pusat dan pusat pengembangan. Dibekali ketrampilan utama tentang benih, teknik budi daya, dan tentu saja konsep pemasaran dan penjualan. Status karyawan: kontrak.

Saya perhatikan, para penjualnya lebih mampu menjual. Mampu memasarkan produk pertanian. Dibandingkan perusahaan lain yang menempatkan pemasar dari orang yang biasanya bergelut dengan mesin atau benda tak hidup –bukan berlatar belakang pemasar–. Ditambah nyaris tanpa pembekalan teknis budi daya pertanian.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Phonska Plus: Pancawarsa Menapak Masa

Seri Kedua PHONSKA Plus

Formula

PG harus memiliki produk andalan di pasar retail. Demikian semangatnya. Paling tidak, itu yang sampai kepada kami. Asa yang disiram bensin oleh para GM Pemasaran kalau itu.

Formulanya 15-15-15 Plus. Plusnya sesuai berbagai kajian adalah Zn. Jumlahnya 2000 ppm. Dan memunculkan S di kemasan setelah sengaja “dihapuskan” untuk formula saudara tua: Phonska bersubsidi.

Sesuai keinginan pasar?!  Setahun saya TIDAK. Hasil riset pasarnya pelanggan menginginkan formula 16-16-16, warnanya biru. Sebagaimana market leader –dari sisi brand awareness– waktu itu.

Pengalaman PG (Produksi dan Penjualan), PG tidak bisa memproduksi 16-16-16 secara kimiawi (reaksi, liquid based). Bisanya dengan pabrik granulasi.

Namun, jika diproduksi dengan pabrik granulasi sudah dapat dipastikan kualitasnya jelek. Terutama dari sisi fisik, dan tampilan produk. Kalah cantik dengan tampilan pesaing. Kalah cantik dengan pemimpin pasar.

Karena itu, produksi harus di pabrik PHONSKA. Kualitasnya harus sama dengan ekspor. Dengan terpaksa formulanya cukup di 15-15-15+9S+Zn 2000 ppm.

Warna Pupuk

Berikutnya adalah warna Produk. Diskusi soal itu (termasuk Niphos dan Ningrat, saya lupa jenama waktu itu), saya menggelitik dengan pertanyaan: “kita mau jadi follower atau new winner/penantang?“.

Jika mau jadi penantang, tidak masalah beda warna. Jika mau follower maka samakan warnanya. Jadi follower bukanlah suatu kehinaan. Hanya sebuah pilihan. Dan diputuskan kita akan menjadi new winner. Bahkan ambisinya menjadi market leader dan dominan player, jadilah warna pupuk harapan itu: PUTIH.

Jenama (brand)-nya PHONSKA Plus. Saya tidak tahu apakah waktu itu kita sudah berteori mengenai Umbrella Brand atau belum. Payung (umbrella) brand PG adalah PETRO-, PHONSKA-, dan Kebomas.

Di suatu forum di 2016, saya menyakan PHONSKA Plus ini keharusan ataukah masih bisa didiskusikan. Jika ada ruang diskusi maka saya menilai: “brand ini terkesan murahan, dan seperti pupuk abal-abal”.

Jika keharusan, maka sebagai tim penjualan kami siap menjual dan mengusung jenama tersebut (PHONSKA Plus). Keputusannya adalah: keharusan.

Maka jadilah pupuk andalan PG di pasar retail adalah PHONSKA Plus, diproduksi di pabrik PHONSKA reaksi, berwarna putih, dengan kemasan merah –mengingatkan pada kemasan PHONSKA lama–.

Bersambung….

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Nasihat Kerja

Di unit kerja ini tidak ada senioritas (pembedaan senior junior), tapi sebagai junior, harus bisa mengambil perasaan“. Demikian kelakar kami ketika ngobrol bareng. Lintas angkatan masuk kerja. Dalam tim di suasana gembira.

Hubungan senior-junior, atasan-bawahan, leader/Pimpinan-anggota tim, bahkan dengan rekan kerja, akan bisa tidak baik jika tidak dewasa bersikap.

Saya lebih tertarik pada sebuah hubungan memunculkan situasi dan kondisi saling menasihati. Dari dan kepada siapapun dalam tim dan lingkungan kerja.

Syukur saya kepada Allah. Saya memiliki beberapa sahabat, kawan, rekan kerja yang bersedia menasihati saya. Ada yang lebih senior dari saya dan ada uang lebih muda.

Saya melihat, pada posisi atau level manajerial tertentu, budaya menasihati itu hilang, luntur. Orang akan enggan menasihati kita. Dan kita seolah sungkan menasihati kawan sahabat, rekan kerja atau atasan. Respon atas nasihat sebelumnya sering kali jadi alasan. Atau pandangan “seharusnya ia paham” juga menjadi pembenaran.

Makin tinggi level seseorang seolah akan makin sendiri. Orang akan sungkan menasihati. Menggunjingkan mungkin iya. Seolah jika tepat adalah sudah sepantasnya, jika salah adalah bahan gosip menarik.

Nasihat itu dapat berupa pandangan lain dari yang kita ungkapkan. Bisa menunjukkan kelemahan atau kesalahan pendapat kita. Bisa berupa saran perbaikan. Bisa berupa kritik dan sindiran.

Nasihat disampaikan kepada orang yang dituju, baik langsung atau melalui perantara. Perantara diperlukan, ketika nasihat langsung bisa jadi nasihat tidak sampai. Kalau disampaikan ke orang lain dengan harapan hanya “keseruan” membahas inilah namanya menggunjing. Astaghfirullah.

Nasihat untuk kebaikan pribadi. Atau nasihat untuk kebaikan unit kerja dan perusahaan.

Saya lebih suka menyebut dengan nasihat. Meski kawan saya ada yang lebih senang menyebutnya berbagai —sharing–. Ketika menyampaikan sesuatu pendapat untuk kebaikan lawan bicara: itulah nasihat. Jika dilingkungan dan terkait perkejaan, ya nasihat kerja.

Semoga kita semua menjadi golongan saling menasihati.

Demi Masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.
(Al-‘Aṣr [103]:1-3)

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

PHONSKA PLUS: Pancawarsa Menapak Masa

Serial Phonska Plus


Sudah lama sebenarnya saya diminta mengulas ini: Phonska Plus. Namun sayang belum dapat mewujudkannya.

Baru di suatu dini hari, tiba-tiba teringat lagi. Mungkin karena saya kembali ke “habitat” saya di ekosistem Petrokimia Gresik. Operasional penjualan, demikian saya sebut. Sejenis habitat berupa unit kerja dimana saya lahir dan tumbuh di perusahaan.

Dalam catatan kali ini, saya mohon dikoreksi jika ada kekurangtepatan dalam menyebutkan lini masa. Terutama soal Bulan. Ingatan dapat khilaf dan tertukar.

Semangat Nonsubsidi Retail

Pandangan saya tentang pentingnya PG menggarap serius pasar nonsubsidi retail sudah sejak saya bertugas di Sulawesi Selatan. Sebagai Sales Supervisor. Pandangan dan semangat itu InsyaAllah belum padam.

Asa dan gagasan itu pernah saya tulis dan ketikkan, lalu saya bagikan. Artikel pertama berjudul: Pupuk Non Subsidi Retail: Pasar Masa Depan PT Petrokimia Gresik. Saya bagikan pada 17 Juli 2013. Waktu itu melalui email. Tujuh setengah tahun lalu. Artikel itu menjadi artikel ketiga dalam buku Sepuluh Genap (Hal.20). Dengan sedikit penyesuaikan sedikit judul.

Catatan kedua saya bertajuk: Membidik Pasar Pupuk Komersial. Sebuah catatan perjalanan kami di Tanah Karo. Artikel yang terbit di Majalah GEMA Edisi Khusus Ultah PG tahun 2014, juga saya masukkan di Sepuluh Genap halaman 72.

Harapan itu baru benar-benar nyata bagi saya di penghujung tahun 2016. Tepatnya di bulan Oktober 2016. Saat mematangkan diskusi brand yang akan digunakan. Untuk NPK non subsidi retail.

Asa Pemula: Sebelum Itu

Tahun 2014 diadakan sayembara merek. Untuk dua produk yang akan dirilis untuk pasar ritel. Produk yang waktu itu hanya diproduksi untuk ekspor.

Jika ada produksi untuk ekspor, retail akan meminta beberapa ribu ton untuk dikantongi  dalam karung 50 kilogram. Untuk dijual ke pasar ritel.

Produknya pupuk majemuk. Diproduksinya di pabrik NPK reaksi. Kualitasnya kelas international, kualitas ekspor.

Juri sayembara memilih dari 200-an merek yang masuk. Merek terpilihnya adalah Petrofert (didaftar Kemenkumham dengan No. IDM000551134). Petrofert rencananya untuk produk NPK 16-16-8.

Merek kedua adalah Fertigres (didaftar No. IDM000551257). Rencananya untuk NPS 20-20-0+13S. Produk yang tidak diragukan lagi kualitasnya.

Asa pemula itu rupanya belum juga bertemu nyata. Bisa dibilang lenyap ditelan masa. Bahkan mereknya pun belum berguna, sampai kini. Produk NPS berganti merek. Sebentar lagi meluncur di pasaran.

Bersambung… (InsyaAllah)

(Wiyanto Sudarsono)