Posted on Leave a comment

Pemasar Lokal

Menjenguk keluarga yang sedang sakit di desa. Mengingatkan saya akan keberatan sebagian kawan pemasar untuk bermarkas di daerah. (Rendahnya) Fasilitas kesehatan dan pendidikan, menjadikan alasan mereka enggan berdomisili di kota yang ditetapkan perusahaan.

“Saya dari desa Mas, sekolah saya sampai SMA di sana. Toh saya masih hidup dan bisa bertemu Anda“. Begitu tanggapan saya dulu. Tanggapan yang lebih terasa dari sisi emosional.

Kewajiban kita sebagai karyawan (pemasar) untuk mematuhi ketetapan perusahaan. Termasuk siap untuk ditempatkan di manapun yang perusahaan inginkan. Artinya, ketika kita sudah berkontrak dengan perusahaan (termasuk karyawan tetap) maka siap mendukung dan mematuhi ketetapan. Tanpa terkecuali, harus berkantor dan berdomisili di wilayah pemasaran: di daerah.

Memilih Pemasar

Meng-“ekspor” karyawan tetap dari kantor pusat ke daerah, atau merekrut karyawan baru dari daerah setempat. Dua pilihan, soal memilih seseorang untuk dijadikan pemasar. Jangan sampai kita hanya memikir satu kondisi: bagaimana menempatkan karyawan dari kantor pusat ke daerah. Opsi kedua bisa jadi pertimbangan.

Kalau hanya akan ditempatkan di ibu kota provinsi, mungkin tidak menjadi masalah. Jika harus di kabupaten atau kota selain ibukota provinsi mungkin perlu perhatian lebih. Kabupaten di luar Jawa lebih-lebih lagi.

Memilih dan menugaskan karyawan eksisting memiliki keunggulan dalam loyalitas, kompetensi dasar, dan mungkin militansi. Sehingga kepentingan perusahaan akan selalu dinomorsatukan. Harapannya demikian. Ditambah tidak harus repot mencari karyawan baru.

Tantangannya, ada aktivitas memindahkan orang dan barang. Menyediakan tempat tinggal dan fasilitas lainnya. Termasuk standar pembayaran yang tidak boleh turun, bahkan harus lebih dari saat ini. Biasanya dituntut sebagai kompensasi ditempatkan di daerah. Katanya begitu.

Lokal Tidak Asal

Merekrut karyawan lokal memudahkan dalam penguasaan wilayah dan potensi pasar, budaya dan bahasa. Termasuk gaji atau pembayaran yang bisa diefisienkan. Meski tidak harus sampai “nemen” hanya gaji sesuai UMR (upah minimum regional) sebagai THP (take home pay). Tanpa tunjangan lainnya yang lebih layak, seperti tunjangan transportasi dan komunikasi.

Tantangan merekrut karyawan dari lokal adalah perlunya membekali kompetensi utama dan pendukung. Kemauan dan usaha untuk mencari dan menyeleksi.

Tantangan lainnya adalah keharusan memiliki program untuk menjaga loyalitas karyawan dan militansi terhadap perusahaan. Termasuk agar karyawan bertahan dengan perusahaan kita. Tidak pindah ke lain hati.

Saya teringat sebuah perusahaan benih. Untuk pemasar, mereka merekrut orang lokal setempat. Area Managernya mereka menempatkan orang lama, bahkan yang memiliki hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan. Maklum perusahaan privat.

Tiga bulan karyawan lokal itu di karantina. Di kantor pusat dan pusat pengembangan. Dibekali ketrampilan utama tentang benih, teknik budi daya, dan tentu saja konsep pemasaran dan penjualan. Status karyawan: kontrak.

Saya perhatikan, para penjualnya lebih mampu menjual. Mampu memasarkan produk pertanian. Dibandingkan perusahaan lain yang menempatkan pemasar dari orang yang biasanya bergelut dengan mesin atau benda tak hidup –bukan berlatar belakang pemasar–. Ditambah nyaris tanpa pembekalan teknis budi daya pertanian.

(Wiyanto Sudarsono)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *