Posted on Leave a comment

Mengapa Mendengarkan?

Seri-4, Mendengarkan untuk Melayani

Mengapa kita mendengarkan? Pertanyaan yang mungkin tak perlu jawaban. Alami kita membutuhkannya. Sebagai makhluk sosial dan hubungan membutuhkan-dibutuhkan orang lain, membuat kita merasa tidak perlu mencari banyak alasan dan jawaban pertanyaan itu.

Terkadang, pertanyaan ini mungkin akan menarik jika coba dijawab, ditulis dan direnungkan dengan baik. Terlebih bagi kita di dunia penjualan sektor pertanian.

Mengapa kita harus mendengarkan pelanggan? Atau apa yang membuat kita ingin mendengarkan secara serius yang dikatakan pelanggan? Jawaban yang mungkin muncul:
1. Ingin mengetahui kondisi terbaru pelanggan. Bisnisnya, pertanamannya, teknologi baru yang diterapkannya. Permasalahan yang dihadapinya.
2. Ingin mengetahui dan memastikan pengetahuan pelanggan. Tentang produk, tentang pesaing. Cara penggunaan produk.
3. Minat, perhatian, dan kebutuhan kepada pelanggan karena seperti kawan..
4. Membangun hubungan yang tidak sekedar transaksional. Hubungan yang manusiawi.
5. Mungkin juga karena takut kehilangan pelanggan.

Semakin penting balasan kita untuk mendengarkan, semakin serius kita akan mendengarkan. Dan kita harus hati-hati dengan jebakan kepentingan dalam mendengarkan.

Jika yang bicara adalah pelanggan dengan transaksi milyaran kita akan mendengarkan dengan saksama. Jika yang datang adalah calon pelanggan, yang sekilas tidak berpengalaman, kita tidak serius mendengarkan. Terkadang disambi membalas pesan singkat.
(WS)

Posted on 3 Comments

Mendengarkan Pekerjaan

Seri-3, Mendengarkan untuk Melayani

Bagi orang penjualan, mendengarkan adalah kemampuan utama yang paling asasi. Dengannya, penjual tahu kebutuhan pelanggan.

Mendengarkan, menjadi lebih penting lagi ketika kita harus berbicara sebagai tanggapan atas penyampaian lawan bicara. Sangat aneh ketika pelanggan mengeluhkan serangan hama, kita tanggapi dengan pemupukan berimbang.

Bagi orang dewasa dan bekerja, ketrampilan mendengarkan menjadi sangat penting. Proporsi mendengarkan bagi orang dewasa adalah 42% dari total waktu komunikasinya. Demikian menurut salah satu penelitian. Alokasi waktu ini lebih  besar dibandingkan berbicara (32%), membaca dan menulis (masing-masing 15% dan 11%). (Terampil Mendengarkan, Hal. 22).

Kita tentu sepakat bahwa pelanggan adalah kawan. Kawan akan senang didengarkan. Tidak sekedar mendengar pasif. Tapi mendengarkan secara tulus dan aktif.

Dalam pengembangan kompetensi penjual, mendengarkan adalah kuncinya. Proses Coaching. Penilaian kinerja. Dan mungkin perlu diuji juga kompetensi mendengarkan kita.

Untuk pekerjaan dan layanan yang lebih baik, para penjual harus belajar. Dan tidak bisa belajar, jika tidak mau mendengarkan.

(WS)

Posted on Leave a comment

Mendengar atau Mendengarkan?

Seri-2, Mendengar untuk Melayani

Mendengar adalah aktivitas menerima suara atau informasi berupa gelombang bunyi melalui indra pendengaran. Kita, menangkap sebuah pembicaraan menggunakan telinga. Disengaja ataupun tidak. Bahkan termasuk mendengar pembicaraan dari diri kita sendiri.

Mendengarkan lebih dalam dan lebih aktif dibanding mendengar. Melibatkan perhatian serius terhadap perkataan lawan bicara. Melibatkan seluruh anggota tubuh dan pikiran. Serta bukan suatu kepura-puraan atau dibuat-buat.

Mendengarkan, mengesampingkan gangguan yang ada di sekitar. Bahkan gangguan yang disebabkan oleh pikiran dan keinginan diri. Seperti keinginan mendengarkan hanya yang kita sukai. Atau hanya mendengarkan hal yang kita cari celah kesalahannya. Atau pikiran yang bermain karena hasrat untuk segera menanggapi.

Saya lebih sepakat mendekatkan makna mendengar dengan hearing. Sedangkan mendengarkan dengan listening. Itu mengapa ada listening skill, bukan hearing skill. Keduanya terdapat perbedaan dalam keseriusan menangkap informasi.

Pembedaan mendengar (hearing) dengan mendengarkan (listening) memberi pemahaman kepada saya: Mengapa aspirasi rakyat sering dinikai tidak sampai. Mungkin karena biasanya aktivitas yang dilakukan adalah hearing. Bukan listening. Rapat mendengar pendapat. Bukan rapat mendengarkan pendapat.

(WS)

Posted on Leave a comment

Mendengar vs Mendengarkan

Seri-1, Mendengar untuk Melayani

Mendengar atau mendengarkan?

Tampaknya sama. Namun berbeda. Sama-sama menggunakan telinga, namun dengan hasil yang tak sama.

Saya memiliki ilustrasi. Yang mungkin akan membantu kita membedakan kedua aktivitas ini.

Ilustrasi Pertama – Mendengar


Di warung kopi pinggir sawah. Terjadi obrolan singkat antara petani dengan seorang salesman pupuk. Di sela-sela aktivitas panen petani.


Petani: Panen padi kali ini alhamdulillah ‘alaa kulli haal, hanya 5 ton. Di awal musim tanam pupuk tidak ada. Baru ada di umur ……tuuut……… Telat. Air ……..wkwkwkwkwk……..wereng ……tiiiiit……….. hari. Juga ada ………..twitwitwit…… Semoga pupuk di musim tanam besok bisa tersedia.

Salesman: semoga depan selain penyediaan pupuk lebih awal. Saya janji.

Perkataan petani terpotong-potong. Ini di sisi pendengaran dan pikiran Salesman. Karena ia seorang Salesman Pupuk, ia hanya ingin mendengarkan soal pupuk. Setelah mendengar, pikirannya berputar, menyiapkan jawabannya. Salesman di ilustrasi pertama ini hanya MENDENGAR.

Ilustrasi kedua – Mendengarkan

Di warung kopi pinggir sawah. Terjadi obrolan singkat antara petani dengan seorang salesman pupuk. Di sela-sela aktivitas panen petani.

Petani: Panen padi kali ini alhamdulillah ‘alaa kulli haal, hanya 5 ton. Di awal musim tanam pupuk tidak ada. Baru ada di umur 30 HST (hari setelah tanam). Telat. Air juga relatif terbatas. Ada serangan wereng coklat pada umur 55 hari. Juga ada sedikit serangan tikus menjelang panen. Semoga pupuk di musim tanam besok bisa tersedia lebih awal.

Salesman: Alhamdulillah Pak. Saya mohon maaf karena sempat ada kendala distribusi pupuk. Ke depan selain penyediaan pupuk lebih awal, saya akan usahakan mengajak kawan dari pestisida untuk lakukan pemantauan melalui kegiatan Siaga Wereng. Juga gropyokan tikus. Saya mohon dikabari Pak jika kumpulan P3A (Perkumpulan Petani Penggunaan Air) siapa tahu ada program yang bisa kami bantu lewat CSR kami.

Ilustrasi kedua ini menggambarkan aktivitas MENDENGARKAN. Dengan mendengarkan, tanggapan yang diberikan pun lebih baik dan lengkap.

Jika kita masih sering menangkap bagian depan atau belakang pembicaraan, maka kita baru mendengar. Jika kita menangkap utuh isi pembicaraan, kita mungkin sudah mulai bisa MENDENGARKAN.

(WS)

Posted on Leave a comment

Mendengarkan adalah Keutamaan

Mukadimah, Seri Mendengarkan untuk Melayani

(Hamba-hamba Allah yang mendapatkan kabar gembira yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah ululalbab (orang-orang yang mempunyai akal sehat)“.
(Az-Zumar [39]:18)

Layanan atau pemberian layanan erat kaitannya dengan kepedulian. Dan tidak mungkin peduli tanpa memerhatikan kebutuhan pelanggan. Perhatian tidak dapat diberikan kecuali dengan mengetahui keinginan atau kegelisahan. Mendapatkannya bisa dengan mendengarkan.

Dalam interaksi dengan orang lain, kita menggunakan sebagian besar waktu untuk mendengarkan. Hingga 40% bagian digunakan untuk mendengarkan orang lain. Untuk Berbicara 35%.  Membaca 16%, dan menulis 9%. (Madelyn Burley-Allen, 1995).*

Proporsi di atas mungkin bisa berbeda di era sekarang. Jika kita memasukkan aktivitas mendengarkan / menonton Youtube, mendengarkan berita, membaca media sosial, membalas pesan singkat (WA, Twitter,DM IG, dll), dan mengomentari postingan. Terkadang sampai memperdebatkannya.

Tampaknya, mendengarkan masih mengambil porsi terbesar. Dan sayangnya, kita -termasuk saya tentunya- jarang belajar tentang ketrampilan ini: ketrampilan mendengarkan.

Kita lebih sering belajar berbicara, membaca, menulis. Kalau sempat. Bahkan ada pelatihannya. Public speaking misalnya. Mendengarkan seolah hal yang sudah tidak perlu dipelajari selama telinga berfungsi normal.

Padahal, kemampuan berbicara dan menulis, bahkan seluruh aktivitas pembelajaran kita, bergantung pada kemampuan kita dalam mendengarkan. Gangguan pendengaran juga akan mengganggu kemampuan berbicara.

Jika kita ingin memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan, tidak ada jalan lain kecuali belajar mendengarkan. Mendengarkan suara pelanggan. Bahkan, yang mungkin belum sempat terkatakan. Tapi sebagai standar, kita berdiskusi terkait mendengarkan yang terkatakan. Artinya, belajar menjadi pendengar yang baik.

Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kita dua telinga dan satu mulut. Hikmahnya agar kita banyak mendengarkan dibandingkan berbicara. Lidah berada di dalam rongga, ditutup bibir, gigi, dan tukang rahang. Sedangkan telinga dibuka lebar tanpa tutup. Semakin menambah keutamaan mendengarkan. Namun, apakah mendengarkan lebih mudah dibanding berbicara?

Di catatan berseri ini ke depannya, insyaAllah kita akan banyak diskusi tentang mendengarkan. Ini adalah aktivitas membaca saya yang saya catat dan bagikan. Mungkin ada yang kurang pas, silakan beri saya masukkan dan nasihat. Semoga Bermanfaat.

(WS)

Catatan: saya akan banyak mengambil manfaat dari buku kecil yang saya baca berjudul Terampil Mendengarkan buku terjemahan yang ditulis oleh Muhammad Ibrahim Al-Nughaimish yang diterbitkan oleh Penerbit Zaman tahun 2011. Buku ini saya peroleh sebagai hadiah dari Mentor dan Guru saya Ir. Rohmad, M. M. Semoga Allah membalas segala kebaikan beliau.

*Terampil Mendengarkan Hal. 13