“Nggak usah banyak alasan!!! ” Mungkin itu yang kita dengar dari para orang dewasa. Saat kita dulu belum dewasa. Yang mungkin, itu pula yang kita katakan setelah dewasa, kepada anak yang beranjak dewasa.
Sebuah ungkapan bahwa kita atau seseorang tidak membutuhkan alasan. Dulu, saat kita terlambat ke sekolah. Kita ungkapkan dengan memelas bahwa rantai sepeda kita putus, bangun kesiangan, dan jalanan macet. Berharap ada pemakluman dan ampunan. Tapi hardik “nggak usah banyak alasan!” yang kita dengar.
Mencari alasan tampaknya menjadi budaya komunikasi. Saat terjadi kesalahan atau kekurangtepatan. Alasan menjadi senjata pamungkas, yang anehnya, telah diketahui tidak akan berhasil. Mungkin, jika terjadi kesalahan atau terlambat, kita mencukupkan diri bilang “maaf”, tanpa alasan.
Anehnya juga, budaya “mencari alasan” menjadi positif ketika kita masuk ke dunia pendidikan dan pemikiran. Coba kita ingat sebuat pertanyaan atau soalan: “mengapa……..?” Jelaskan alasan anda!. Demikian yang saya ingat dari soal ujian. Alasan menjadi hal yang layak dicari, dipikirkan dan dipertanggungjawabkan secara intelektual.
Saat bekerja pun begitu. Evaluasi bulanan, tiga bulanan, semesteran, dan tahunan. Target dibandingkan realisasi diikuti persentase dan alasan ketidaktercapaian. Bahkan jika tercapai pun masih ditanya alasannya. Seolah “kok bisa tercapai sih?!”. Ah, paradoks.
Bingung memikir alasan. Mungkin kita bisa memilih menjawab dengan satu frasa: “anu Pak…. ” atau “Nganu Pak…”. Sebuah ungkapan sejuta makna, yang salah satunya: maaf Pak saya tidak punya alasan untuk itu.
Menjenguk keluarga yang sedang sakit di desa. Mengingatkan saya akan keberatan sebagian kawan pemasar untuk bermarkas di daerah. (Rendahnya) Fasilitas kesehatan dan pendidikan, menjadikan alasan mereka enggan berdomisili di kota yang ditetapkan perusahaan.
“Saya dari desa Mas, sekolah saya sampai SMA di sana. Toh saya masih hidup dan bisa bertemu Anda“. Begitu tanggapan saya dulu. Tanggapan yang lebih terasa dari sisi emosional.
Kewajiban kita sebagai karyawan (pemasar) untuk mematuhi ketetapan perusahaan. Termasuk siap untuk ditempatkan di manapun yang perusahaan inginkan. Artinya, ketika kita sudah berkontrak dengan perusahaan (termasuk karyawan tetap) maka siap mendukung dan mematuhi ketetapan. Tanpa terkecuali, harus berkantor dan berdomisili di wilayah pemasaran: di daerah.
Memilih Pemasar
Meng-“ekspor” karyawan tetap dari kantor pusat ke daerah, atau merekrut karyawan baru dari daerah setempat. Dua pilihan, soal memilih seseorang untuk dijadikan pemasar. Jangan sampai kita hanya memikir satu kondisi: bagaimana menempatkan karyawan dari kantor pusat ke daerah. Opsi kedua bisa jadi pertimbangan.
Kalau hanya akan ditempatkan di ibu kota provinsi, mungkin tidak menjadi masalah. Jika harus di kabupaten atau kota selain ibukota provinsi mungkin perlu perhatian lebih. Kabupaten di luar Jawa lebih-lebih lagi.
Memilih dan menugaskan karyawan eksisting memiliki keunggulan dalam loyalitas, kompetensi dasar, dan mungkin militansi. Sehingga kepentingan perusahaan akan selalu dinomorsatukan. Harapannya demikian. Ditambah tidak harus repot mencari karyawan baru.
Tantangannya, ada aktivitas memindahkan orang dan barang. Menyediakan tempat tinggal dan fasilitas lainnya. Termasuk standar pembayaran yang tidak boleh turun, bahkan harus lebih dari saat ini. Biasanya dituntut sebagai kompensasi ditempatkan di daerah. Katanya begitu.
Lokal Tidak Asal
Merekrut karyawan lokal memudahkan dalam penguasaan wilayah dan potensi pasar, budaya dan bahasa. Termasuk gaji atau pembayaran yang bisa diefisienkan. Meski tidak harus sampai “nemen” hanya gaji sesuai UMR (upah minimum regional) sebagai THP (take home pay). Tanpa tunjangan lainnya yang lebih layak, seperti tunjangan transportasi dan komunikasi.
Tantangan merekrut karyawan dari lokal adalah perlunya membekali kompetensi utama dan pendukung. Kemauan dan usaha untuk mencari dan menyeleksi.
Tantangan lainnya adalah keharusan memiliki program untuk menjaga loyalitas karyawan dan militansi terhadap perusahaan. Termasuk agar karyawan bertahan dengan perusahaan kita. Tidak pindah ke lain hati.
Saya teringat sebuah perusahaan benih. Untuk pemasar, mereka merekrut orang lokal setempat. Area Managernya mereka menempatkan orang lama, bahkan yang memiliki hubungan keluarga dengan pemilik perusahaan. Maklum perusahaan privat.
Tiga bulan karyawan lokal itu di karantina. Di kantor pusat dan pusat pengembangan. Dibekali ketrampilan utama tentang benih, teknik budi daya, dan tentu saja konsep pemasaran dan penjualan. Status karyawan: kontrak.
Saya perhatikan, para penjualnya lebih mampu menjual. Mampu memasarkan produk pertanian. Dibandingkan perusahaan lain yang menempatkan pemasar dari orang yang biasanya bergelut dengan mesin atau benda tak hidup –bukan berlatar belakang pemasar–. Ditambah nyaris tanpa pembekalan teknis budi daya pertanian.
PG harus memiliki produk andalan di pasar retail. Demikian semangatnya. Paling tidak, itu yang sampai kepada kami. Asa yang disiram bensin oleh para GM Pemasaran kalau itu.
Formulanya 15-15-15 Plus. Plusnya sesuai berbagai kajian adalah Zn. Jumlahnya 2000 ppm. Dan memunculkan S di kemasan setelah sengaja “dihapuskan” untuk formula saudara tua: Phonska bersubsidi.
Sesuai keinginan pasar?! Setahun saya TIDAK. Hasil riset pasarnya pelanggan menginginkan formula 16-16-16, warnanya biru. Sebagaimana market leader –dari sisi brand awareness– waktu itu.
Pengalaman PG (Produksi dan Penjualan), PG tidak bisa memproduksi 16-16-16 secara kimiawi (reaksi, liquid based). Bisanya dengan pabrik granulasi.
Namun, jika diproduksi dengan pabrik granulasi sudah dapat dipastikan kualitasnya jelek. Terutama dari sisi fisik, dan tampilan produk. Kalah cantik dengan tampilan pesaing. Kalah cantik dengan pemimpin pasar.
Karena itu, produksi harus di pabrik PHONSKA. Kualitasnya harus sama dengan ekspor. Dengan terpaksa formulanya cukup di 15-15-15+9S+Zn 2000 ppm.
Warna Pupuk
Berikutnya adalah warna Produk. Diskusi soal itu (termasuk Niphos dan Ningrat, saya lupa jenama waktu itu), saya menggelitik dengan pertanyaan: “kita mau jadi follower atau new winner/penantang?“.
Jika mau jadi penantang, tidak masalah beda warna. Jika mau follower maka samakan warnanya. Jadi follower bukanlah suatu kehinaan. Hanya sebuah pilihan. Dan diputuskan kita akan menjadi new winner. Bahkan ambisinya menjadi market leader dan dominan player, jadilah warna pupuk harapan itu: PUTIH.
Jenama (brand)-nya PHONSKA Plus. Saya tidak tahu apakah waktu itu kita sudah berteori mengenai Umbrella Brand atau belum. Payung (umbrella) brand PG adalah PETRO-, PHONSKA-, dan Kebomas.
Di suatu forum di 2016, saya menyakan PHONSKA Plus ini keharusan ataukah masih bisa didiskusikan. Jika ada ruang diskusi maka saya menilai: “brand ini terkesan murahan, dan seperti pupuk abal-abal”.
Jika keharusan, maka sebagai tim penjualan kami siap menjual dan mengusung jenama tersebut (PHONSKA Plus). Keputusannya adalah: keharusan.
Maka jadilah pupuk andalan PG di pasar retail adalah PHONSKA Plus, diproduksi di pabrik PHONSKA reaksi, berwarna putih, dengan kemasan merah –mengingatkan pada kemasan PHONSKA lama–.
“Di unit kerja ini tidak ada senioritas (pembedaan senior junior), tapi sebagai junior, harus bisa mengambil perasaan“. Demikian kelakar kami ketika ngobrol bareng. Lintas angkatan masuk kerja. Dalam tim di suasana gembira.
Hubungan senior-junior, atasan-bawahan, leader/Pimpinan-anggota tim, bahkan dengan rekan kerja, akan bisa tidak baik jika tidak dewasa bersikap.
Saya lebih tertarik pada sebuah hubungan memunculkan situasi dan kondisi saling menasihati. Dari dan kepada siapapun dalam tim dan lingkungan kerja.
Syukur saya kepada Allah. Saya memiliki beberapa sahabat, kawan, rekan kerja yang bersedia menasihati saya. Ada yang lebih senior dari saya dan ada uang lebih muda.
Saya melihat, pada posisi atau level manajerial tertentu, budaya menasihati itu hilang, luntur. Orang akan enggan menasihati kita. Dan kita seolah sungkan menasihati kawan sahabat, rekan kerja atau atasan. Respon atas nasihat sebelumnya sering kali jadi alasan. Atau pandangan “seharusnya ia paham” juga menjadi pembenaran.
Makin tinggi level seseorang seolah akan makin sendiri. Orang akan sungkan menasihati. Menggunjingkan mungkin iya. Seolah jika tepat adalah sudah sepantasnya, jika salah adalah bahan gosip menarik.
Nasihat itu dapat berupa pandangan lain dari yang kita ungkapkan. Bisa menunjukkan kelemahan atau kesalahan pendapat kita. Bisa berupa saran perbaikan. Bisa berupa kritik dan sindiran.
Nasihat disampaikan kepada orang yang dituju, baik langsung atau melalui perantara. Perantara diperlukan, ketika nasihat langsung bisa jadi nasihat tidak sampai. Kalau disampaikan ke orang lain dengan harapan hanya “keseruan” membahas inilah namanya menggunjing. Astaghfirullah.
Nasihat untuk kebaikan pribadi. Atau nasihat untuk kebaikan unit kerja dan perusahaan.
Saya lebih suka menyebut dengan nasihat. Meski kawan saya ada yang lebih senang menyebutnya berbagai —sharing–. Ketika menyampaikan sesuatu pendapat untuk kebaikan lawan bicara: itulah nasihat. Jika dilingkungan dan terkait perkejaan, ya nasihat kerja.
Semoga kita semua menjadi golongan saling menasihati.
“Demi Masa, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh serta saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.“ (Al-‘Aṣr [103]:1-3)
Sudah lama sebenarnya saya diminta mengulas ini: Phonska Plus. Namun sayang belum dapat mewujudkannya.
Baru di suatu dini hari, tiba-tiba teringat lagi. Mungkin karena saya kembali ke “habitat” saya di ekosistem Petrokimia Gresik. Operasional penjualan, demikian saya sebut. Sejenis habitat berupa unit kerja dimana saya lahir dan tumbuh di perusahaan.
Dalam catatan kali ini, saya mohon dikoreksi jika ada kekurangtepatan dalam menyebutkan lini masa. Terutama soal Bulan. Ingatan dapat khilaf dan tertukar.
Semangat Nonsubsidi Retail
Pandangan saya tentang pentingnya PG menggarap serius pasar nonsubsidi retail sudah sejak saya bertugas di Sulawesi Selatan. Sebagai Sales Supervisor. Pandangan dan semangat itu InsyaAllah belum padam.
Asa dan gagasan itu pernah saya tulis dan ketikkan, lalu saya bagikan. Artikel pertama berjudul: Pupuk Non Subsidi Retail: Pasar Masa Depan PT Petrokimia Gresik. Saya bagikan pada 17 Juli 2013. Waktu itu melalui email. Tujuh setengah tahun lalu. Artikel itu menjadi artikel ketiga dalam buku Sepuluh Genap (Hal.20). Dengan sedikit penyesuaikan sedikit judul.
Catatan kedua saya bertajuk: Membidik Pasar Pupuk Komersial. Sebuah catatan perjalanan kami di Tanah Karo. Artikel yang terbit di Majalah GEMA Edisi Khusus Ultah PG tahun 2014, juga saya masukkan di Sepuluh Genap halaman 72.
Harapan itu baru benar-benar nyata bagi saya di penghujung tahun 2016. Tepatnya di bulan Oktober 2016. Saat mematangkan diskusi brand yang akan digunakan. Untuk NPK non subsidi retail.
Asa Pemula: Sebelum Itu
Tahun 2014 diadakan sayembara merek. Untuk dua produk yang akan dirilis untuk pasar ritel. Produk yang waktu itu hanya diproduksi untuk ekspor.
Jika ada produksi untuk ekspor, retail akan meminta beberapa ribu ton untuk dikantongi dalam karung 50 kilogram. Untuk dijual ke pasar ritel.
Produknya pupuk majemuk. Diproduksinya di pabrik NPK reaksi. Kualitasnya kelas international, kualitas ekspor.
Juri sayembara memilih dari 200-an merek yang masuk. Merek terpilihnya adalah Petrofert (didaftar Kemenkumham dengan No. IDM000551134). Petrofert rencananya untuk produk NPK 16-16-8.
Merek kedua adalah Fertigres (didaftar No. IDM000551257). Rencananya untuk NPS 20-20-0+13S. Produk yang tidak diragukan lagi kualitasnya.
Asa pemula itu rupanya belum juga bertemu nyata. Bisa dibilang lenyap ditelan masa. Bahkan mereknya pun belum berguna, sampai kini. Produk NPS berganti merek. Sebentar lagi meluncur di pasaran.
Bagi pengaku penulis mula bergenre nonfiksi, membaca mestinya adalah hobi utama. Tanpa membaca, bahan menulis juga terbatas. Betul memang, menulis pengalaman, keseharian bisa menjadi topik sendiri. Tapi membaca akan memperkaya khazanah kata dan sudut pandang.
Pengalaman, perenungan, dan ungkapan rasa memang menjadi hal menarik untuk diuraikan. Namun, membaca juga akan memberikan hal baik, minimal inspirasi.
Menulis dan membaca –membaca mestinya didahulukan–, adalah satu kesatuan. Dalam aktivitas menulis ada pembacaan. Namun belum tentu sebaliknya.
Belakangan saya kurang sekali membaca. Buku tertumpuk di dalam kardus. Baru beberapa hari ini berhasil dibongkar. Belum semua.
Sebentar lagi puasa ramadan. Kesempatan untuk kembali membaca referensi tentangnya. Fikih puasa, hikmah puasa, keutaman dan nilai-nilai di dalamnya, termasuk aktivitas utama mengisi bulan mulia.
Mari kita persiapkan kembali ilmu, jiwa dan fisik kita menyambut bulan puasa. Agar tidak sekadar lapar dan dahaga.
Bulan Ramadan ibadah utamanya adalah puasa. Menahan diri dari hal yang tidak berguna. Sehingga seharusnya bulan ini adalah bulan produktif bagi hati, pikiran dan jiwa. Saya pikir menulis dan membaca salah satu yang harus meningkat.