Posted on Leave a comment

Berjuang Hafal

Menghafal Alquran.jpg
Anak Menghafal Alquran/DL

Setiap orang tua menginginkan anak-anaknya lebih baik dari diri mereka. Demikian yang saya dapatkan dari beberapa seminar pengasuhan.

Cita Cinta

Orang tua yang pendidikannya hanya sampai SMP atau SD, ingin anaknya berpendidikan lebih tinggi. Minimal SMA atau bahkan sampai perguruan tinggi.

Orang tua yang setiap hari bekerja berkeringat dengan hasil yang cukup, ingin anaknya bekerja dan berpenghasilan lebih baik menurut mereka. Mereka berpikir: “Kehidupan ke depan tidak lebih mudah. Anakku harus memiliki bekal yang lebih baik dariku“.

Demikian juga di bidang lain. Orang tua yang belum menghafal Alquran, bercita-cita anak-anaknya menjadi hufaz, para penghafal Alquran.

Mereka mengajari anak mengenal huruf dan bahasa Alquran sejak dini. Memasukkan ke sekolah berbasis islam. Memasukkan ke program atau ekstra kurikuler khusus menghafal. Mendaftar ke pesantren tahfiz (menghafal) Quran.

Orang tua bercita cita. Sebagai bentuk cinta. Tentu tidak seharusnya memaksa. Tapi berjuang. Alhamdulillah anak jika juga bercita yang sama.

Ada anak yang bahkan berkata: “aku besok akan memakaikan mahkota kepada Abah dan Bunda. Mahkota indah di surga”.

Bukan Perjuangan Sendiri

Tidak ada yang mudah tentunya. Tapi bisa diupayakan. Karena Alquran dimudahkan oleh Allah untuk dihafal.

Menjadikan anak seorang hafiz, bukan semata-mata perjuangan anak itu sendiri. Terlebih di tengah pandemi. #dirumahsaja menjadikan orang tua menjadi pendamping, mitra, guru bagi anak (baca: Memahami dan Merasakan).

Berbeda dengan di sekolah atau di pesantren yang relatif steril. Tantangan di rumah relatif lebih hebat. Menurut perkiraan saya, misal di rumah ada adik yang suka usil. diaajak menghafal belum bisa. Si adik sering membuyarkan fokus dan konsentrasi, dengan segala polah tingkahnya. Mungkin lagi, ada TV bagi yang sudah terlanjur ada TV. Menghilangkan TV, adalah perjuangan lainnya.

Semoga Allah memudahkan orang tua dan anak yang berjuang menghalalkan Alquran.

Hasrat dan Tekad

Masih dari pelatihan menulis Rabu malam lalu (baca: Belajar Menulis Buku). Dibutuhkan juga hasrat dan tekad kuat untuk menghafal. Mungkin, kita dulu (semasa SMA) tidak suka yang namanya pelajaran “menghafal”. Pelajaran yang sifatnya menghafal. Pelajaran yang lebih pada sekadar membaca dan mengingat, seperti sejarah, biologi, dan ehm geografi mungkin. Rasanya seperti siksaan, tau mungkin karena kemalasan. Lebih senang yang ke pemahaman, seperti matematika, dan fisika.

Ketika direnungkan lagi, ternyata kuncinya sama: pada ingatan. Nah, cara mengingatnya yang berbeda. Jika pelajaran “menghafal” dengan membacanya, dan memahami alurnya. Tentu ada istilah yang mau tidak mau harus dihafal. Kalau kata turunan atau gabungan, ada juga ilmu tentang kata-kata itu.

Sedangkan pada pelajaran “memahami”, tentu mengingat melalui kasus dan persoalan yang dihadapi. Akan tetapi, kita ingat dan hafal konsep sebelumnya. Atau lebih pada kesukaan, dan hasrat tadi sebenarnya.

Poinnya, untuk menghafal membutuhkan hasrat. Butuh memaknai “menghafal Alquran”. Memahami tujuan dan manfaat menghafal Alquran.

Juga tekad yang kuat. Hasrat yang dinyatakan dengan aksi nyata. Itu tekad. Membuat jadwal menghafal, target per waktunya, dan langkah memulainya. Oh… Kapan ya dimulai?

Bersambung insyaAllah(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Belajar Menulis Buku

Saya bahagia, saya berkesempatan belajar menulis. Tadi malam, saya mengikuti Webinar atau Zoominar menulis (“Zoominar” istilah ini saya temukan di Di’s Way, seminar daring menggunakan aplikasi Zoom Meeting). Kelas belajar menulis yang diadakan oleh seorang penulis produktif, pakar pengasuhan dan solusi keluarga, pembicara pelbagai seminar.

Pemateri, mentor (coach) pernah mengisi seminar yang diadakan sekolah anak saya. Saya hadir disitu. Nama beliau adalah, ah rahasia.

Saya perlu sampaikan bahwa, jika tulisan saya kurang enak dinikmati, bukan salah mentor atau coach dalam pelatihan tersebut.

Saya belum pernah mengikuti kelas belajar menulis. Perihal menulis, saya dapat dari artikel daring, buku, dan tentu saja menulis skripsi.

Buku tentang menulis, saya pernah membeli beberapa. “Menulis tanpa rasa takut”, saya beli untuk dihadiahkan untuk adik saya.  Tepatnya, saya letakkan di perpustakaan pribadi di rumah orang tua di kampung halaman. Tentu saya baca sedikit-sedikit, tidak selesai.

Saat membaca terjemahan “How To read a Book” karya Adler, saya mendapati ada promosi terjemahan buku “Menulis Tanpa Guru” Peter Elbow. Saya cari di toko daring, ketemu. Saya baca sedikit-sedikit, tentu belum selesai juga. Tapi membantu saya mengubah pandangan/paradigma saya tentang menulis.

Menulis dan menghasilkan buku, minimal satu buku seumur hidup. Itulah target pelatihan ini. Untuk mencapainya ada dua hal yang diperlukan. Itulah materi pelatihan semalam. Masih akan ada lima sesi lagi.

Alasan

Pertama, alasan menulis. Jawaban dari pertanyaan “mengapa harus menulis”. Dalam video, bacaan prapelatihan, materi, dan diskusi selama zoominar, mentor memberikan beberapa  alasan menulis buku itu perlu, penting, dan harus.

Buku mengabadikan kebaikan. Demikian salah atau alasannya. Meski saya sampaikan permohonan maaf bahwa saya kurang nyaman dengan kata “keabadian”. Saya menilai kata  “abadi” dan turunannya tidak cocok untuk makhluk.

Saya lebih senang dengan alasan menulis buku adalah memperpanjang, memperluas, dan memperbanyak kebaikan, sebagai ganti “mengabadikan kebaikan“. Itu lebih sesuai untuk makhluk, karena seluruh makhluk akan sirna.

Buku memperlama usia kemanfaatan kita. Umur kita paling 60, 70 atau 80an tahun. Sedikit yang lebih dari itu. Melalui buku karya kita, keberadaan kita akan bisa dirasakan lebih lama dari usia kita. Imam Bukhari contohnya. Namanya masih disebut sampai sekarang.

Dengan datangnya manfaat, maka insyaAllah jadi amal jariah. Ikhlas dalam hal ini diperlukan. Ikhlaskan niat.

Buku juga hadiah indah untuk diri, keluarga, orang tercinta, dan segala hal yang dialami. SEPULUH GENAP, adalah hadiah saya untuk diri saya atas satu dekade karier saya. AKU DAN COVID-19 adalah hadiah untuk diri, istri, keluarga, perusahaan, sahabat, kolega, tetangga, ustaz, dan tenaga kesehatan yang membantu dan telah berjuang atas Covid-19.

Menulis buku, atau menulis saja adalah cara mengikat ilmu. Ilmu mudah lepas. Ilmu harus diikat. Dengan menuliskannya, ilmu akan terikat dan dapat dipelajari generasi berikutnya, setelah kita. Meski tidak dari kita secara langsung.

Saya dapat tambahkan. Menulis buku juga saran berbagai ilmu, pengetahuan, keyakinan, ideologi, pandangan, dan pengalaman. Bisa tentang apapun.

Menulis buku juga bisa jadi pengingat. Baik pagi pribadi saya atau pembaca. Tentang nilai, norma, keyakinan yang kita pegang, atau mungkin juga orang lain pegang erat. Termasuk apa yang terlintas di hari dan pikiran.

Menulis (buku), bisa menjadi pagar. Pagar yang kita bangun sendiri. Pagar yang membatasi dan menjaga jika terbesit keinginan yang menyimpang dari prinsip dan Nilai yang telah kita tulis.

Karena itu tidak ada TERLAMBAT memulai menulis buku.

Modal

Kedua, modal menulis. Menulis bukan sesuatu yang gratis. Menulis memerlukan modal, bukan uang.

Juga tidak butuh bakat. Meski jika ada Alhamdulillah, akan mempermudah. Dan tidak butuh menunggu datangnya suasana hati (mood) yang baik. Meski jika punya itu, akan jadi sangat mudah.

Modal utamanya adalah hasrat, tekad, disiplin, komitmen dan waktu.

Hasrat dimunculkan dengan memaknai aktivitas menulis kita. Menetapkan tujuan menulis. Dan mengetahui manfaat atau benefitnya.

Tekad merupakan aksi nyata. Bukan omong kosong dan angan-angan panjang. Hasrat harus dinyatakan direalisasikan dengan tekad yang kuat dan langkah memulai. Semoga mengikuti pelatihan menulis adalah sebagai bentuk tekad. Pelatihan yang berbayar,  sebagai ukuran kekuatan tekad.

Disiplin, dalam waktu, tempat, dan sarana. Ini terkait dengan komitmen jiwa. Kalau tidak disiplin berarti komitmen rendah.

Disiplin juga berkaitan dengan waktu. Harus meluangkan, tepatnya mengalokasikan waktu dari 24 jam itu. Jika nunggu waktu kosong, ya kita semua sibuk, merasa sibuk, atau sok sibuk bukan?! Tanpa alokasi waktu, empat modal pertama akan menguap.

Memperbaiki Penulisan

Pelatihan menulis semalam, saya mendapat manfaat besar. Mengokohkan modal menulis salah satunya.

Saya juga perlu memperbaiki penulisan saya. Meski terkadang, saya lebih senang tanpa aturan sama sekali. Tulis saja, sebagaimana saya sering berkata pada diri.

Saya jadi tahu jenis-jenis tulisan dan jenis buku. Saya jadi paham rumitnya proses penyuntingan. Sebagai tambahan wawasan tentang penulisan.

Dilema kerangka dan tanpa kerangka tulisan berputar di pikiran saya. Saya akan mencoba menggabungkannya. Tulisan ini adalah salah satu contoh penggabungan yang saya lakukan. Kerangka besarnya ada, tapi pada yang lebih kecil, saya akan tetap pada prinsip “menulis bebas” yang saya dapat dari Peter Elbow.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Bulan Pengasuhan

Kami, tepatnya saya sedang dan akan belajar ulang. Tentang sesuatu yang seharusnya kami miliki ilmunya paling tidak 9 atau 10 tahun lalu. Saya akan belajar lagi tentang Pengasuhan anak (parenting). Sebuah ilmu yang seharusnya dimiliki sebelum anak lahir. Bahkan, seharusnya sebelum menikah.

Sekarang belajar ulang lagi. Belajar melalui membaca. Ternyata, Saya telah memiliki 15 atau 16 buku pengasuhan anak. Lima diantaranya setebal 395 sampai 905 halaman, yah dapat digenapkan 400 sampai 1.000 halaman. Mulai dari terjemah buku yang ditulis ulama klasik (Ibnul Qayyim) hingga penulis terkini. Dan hanya satu buku kecil yang sudah saya baca dari awal hingga akhir. Sisanya baru baca di sana sini, sebagiannya lagi masih dibungkus plastik. Sedihnya… Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa Billah.

Agar fokus, dan semoga bisa menyelesaikan membaca buku – buku itu, saya menetapkan Bulan Agustus sebagai Bulan Pengasuhan. Penetapan untuk saya pribadi. Mengapa bulan Agustus, tidak Maret, Mei atau November misalnya? Itu karena pada bulan Agustus ini, kami dikarunia dan diberi amanah oleh Allah berupa seorang anak untuk kali pertama.

Pada bulan ini, saya bertekad tidak akan membaca buku apapun selain tentang pengasuhan. Baca disway.id masih boleh lah, menulis artikel mungkin masih bisa, termasuk artikel ini, atau menyunting naskah yang telah saya tulis. Sebagai bentuk kekuatan tekad dan fokus, sebisa mungkin saya batasi informasi yang masuk: tentang pengasuhan.

Pengasuhan Anak = Seni?

Mendidik dan mengasuh anak berbeda dengan hal lain. Kalau Adler menyebutkan seni dasar kehidupan adalah kesehatan, pertanian dan pendidikan, mungkin pengasuhan ini masuk ke dalam Pendidikan. Atau mungkin seni tersendiri. Seni mendidik dan mengasuh anak. Karena seni, maka hasilnya penuh dengan misteri. Teori, konsep, dan perlakuannya bisa sama, tetapi hasilnya bisa berbeda.

Demikian (prinsip seni) pula yang bisa terjadi dalam pengasuhan anak. Kita bisa melakukan konsep terbaik, perlakuan (termasuk sekolah) yang terbaik, komunikasi yang terpilih, namun hasilnya, anak menjadi seperti apa, bisa jadi tidak akan sama. Allah yang menentukan, kemudian anak tersebut yang harus tumbuh, berkembang sendiri.

Saya mengambil pelajaran dari kisah Nabi Nuh alaihi salam, Sang Rasul Pertama. Saya tidak berani berpendapat Nabi Nuh tidak mendidik anak dengan baik. Ia sorang Nabi dan Rasul. Namun, anaknya ada yang menyimpang dari jalan Tuhan yang Ia dakwahkan.

Ada juga kisah Nabi Ibrahim alaihi salam dan Bapaknya. Bapaknya, seorang pembuat dan penyembah berhala. Anaknya seorang Nabi dan Rasul, bahkan Nabi Ibrahim bergelar khalilullah dan disebut sebagai Bapaknya Para Nabi.

Orang tua tentu mendidik anaknya sesuai dengan kepercayaan, nilai, dan norma yang diyakini. Namun, anak tidak selalu begitu. Tidak selalu sesuai dengan orang tuanya. Kepada Allah-lah kita memohon hidayah dan istikamah di jalan kebenaran.

Banyak Baca Banyak Praktik

Ilmu sebelum berkata dan berbuat/ beramal, adalah ungkapan yang bisa digunakan di semua hal. Karena itu, saya belajar ulang. Lebih baik terlambat tapi kemudian sadar dan memulai, dari pada terlambat dan terus terlambat.

Saya beberapa kali mengikuti seminar dan pelatihan terkait pengasuhan. Saat ini saya memilih belajar dengan membaca. Agar mendapat manfaat dari buku yang telah saya miliki. Sehingga tidak menjadi orang bodoh di tengah-tengah tumpukan buku. Atau agar tidak menjadi seperti keledai yang membawa kitab, tidak bisa memanfaatkannya. Baca,
praktik, baca praktik, sesuaikan dengan karakter anak. Saya harus benar-benar belajar, berubah, dan menyesuaikan, lagi.

Banyak Berdoa

Menurut salah satu pakar pengasuhan anak (parenting), saya lupa namanya, keistimewaan pengasuhan dalam islam (islamic parenting), parenting nabawi (Prophetic Parenting), atau sebagian menyebut positive Parenting, adalah DOA. Doa kepada Maha Memberi Petunjuk (Al-Hadi).

Selain mengaplikasikan ilmu, konsep, komunikasi yang telah dipelajari, juga banyak berdoa. Hati anak ada di genggaman Allah. Allah yang membolak balikan hati. Allah juga yang memberi petunjuk. Karena itu hanya kepadanya kita berdoa dan berserah diri, setelah memberikan usaha yang terbaik.

Saya berpemahaman bahwa, pengasuhan bukan soal anak itu sendiri, tapi soal kita sebagai orang tua. Bagaimana ilmu dan persiapan orang tua, bagaimana usaha kita, bagaimana kita memberi yang terbaik sesuai kemampuan kita. Anak menjadi seperti apa, mari kita berdoa agar anak menjadi saleh dan salehah, menjadi anak yang berbudi, bermanfaat bagi diri, orang tua, lingkungan, alam dan orang lain.

Semoga Allah memudahkan kami dan kita dalam mengasuh anak dengan sebaik baiknya.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on 1 Comment

E-Book Aku dan Covid-19

Gambar oleh Handrian Farizki/@farizonly

Bismillah.
Alhamdulillah, buku elektronik (e-book) dengan judul “Aku dan Covid-19” telah terbit. Buku tersebut berisi kumpulan artikel tentang opini, ungkapan rasa, berbagi pengalaman saya dan keluarga terkait dengan Covid-19.

Buku ini telah saya luncurkan (launching) pada Rabu, 5 Agustus 2020 dalam webinar: “Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 pada Karyawan dengan Komorbiditas”. Mulai hari ini saya bagikan berkas pdf melalui WA dan tentu saja blog ini. Setelah saya belajar mengunggah dokumen di WordPress. Semoga pembaca berkenan menyimak buku tersebut.

E-book Aku dan Covid-19 DISILAKAN dan DIZINKAN untuk dikutip (dengan mencantumkan sumber), dicetak, diperbanyak dan/atau dibagikan, sebagian (dengan menyebutkan sumber) atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari Penulis, selama kegiatan membawa manfaat secara pribadi, sosial, atau komersial. Semoga kemanfaatannya lebih luas.

Covid-19 begitu populer. Berbagai informasi tentangnya berkelindan di hampir setiap aspek kehidupan audio visual kita. Informasi mulai dari penyebab, gejala, hingga pencegahannya dapat ditemukan di berbagai media.

Sebenarnya masih sangat banyak yang bisa didiskusikan dari Covid-19 ini. Akan tetapi cukuplah itu diwakili dari informasi resmi dari Pemerintah, media arus utama, dan khusus secara individu, sudah banyak di grup WA atau media sosial.

Sebagai bentuk kontribusi dalam kebaikan di era Covid-19 ini, kami susun e-book Aku dan Covid-19 ini. Semoga bermanfaat.

Silakan klik tautan di bawah ini untuk mendapatkan e-book dalam pdf secara langsung. Silakan dibagikan ke sebanyak mungkin orang yang mungkin e-book ini bermanfaat. Selamat membaca. 

Aku dan Covid-19 oleh Wiyanto Sudarsono – Published

Wiyanto Sudarsono
Penyintas Covid-19

 

Posted on Leave a comment

Kerja Lagi

Sepi, lift kantor pukul 07.00 WIB/WS

Alhamdulillah, 30 Juli tiba. Hari dimana saya diperbolehkan untuk kembali beraktivitas setelah dinyatakan sembuh dari Covid-19. Tentu saya WAJIB menerapkan protokol kesehatan dalam berkegiatan.

Saya masuk kantor pada Kamis, 30 Juli lalu. Sebagai hari pertama kembali bekerja. Atau hari kedua saya bekerja di bulan Juli, selain pada tanggal 1 Juli. Pembuka dan penutup bulan, semoga Allah memberkahi rezeki kami di bulan Juli, dan bulan sebelum dan sesudahnya. Hari sisanya, saya gunakan untuk berjuang melawan SARS-Cov-2, isolasi di RS atau di rumah.

Hari kedua saya bekerja pasca-Covid-19, adalah pada Senin 3 Agustus 2020. Suasana kantor masih sepi. Mungkin hanya 50% tingkat okupansi kantor pada hari itu. Lift pada jam 07.00 WIB juga lengang, hanya ada beberapa orang. Biasanya, jam-jam itu adalah jam padat.

Pengetatan protokol kesehatan dalam bekerja masih diberlakukan. Protokol seperti karyawan berusia lebih dari 50 tahun wajib bekerja dari rumah, wajib memakai master, sering cuci tangan, termasuk penjadwalan karyawan yang bekerja di kantor. Pengetatan protokol diperpanjang hingga 14 Agustus.

Saya gunakan kesempatan di awal ini untuk memperbaharui informasi pekerjaan. Aplikasi digital office saya plototi (saya lihat dengan saksama) pada setengah hari pertama.

Kemudian saya juga gunakan awal bekerja kembali ini untuk diskusi dengan pihak-pihak strategis terkait dengan pekerjaan saya. Saya kunjungi pejabat dan unit kerja terkait. Sebelumnya, tentu saya telepon, apakah berkenan menerima saya. Alhamdulilah dua unit yang saya kunjungi menerima dengan baik.

Saya sangat mengapresiasi respons orang-orang dan kolega saat pertama bertemu saya. Mereka tentu menanyakan kabar, kesehatan, dan kabar keluarga. Saya bersyukur, tidak ada yang bertanya lagi, “kok bisa kena Covid-19 bagaimana ceritanya?”.  Kalau ada yang bertanya, saya akan minta merdeka membaca artikel “Aku dan Covid-19”.

Saya memaklumi sikap sebagian orang yang masih enggan salat bareng saya, mungkin mereka juga tidak akan mau jika saya ajak makan di tempat, di salah satu restoran di Icon Mall (mal di Gresik). Saya hanya bercanda: “masih belum mau salat bareng saya ya, aku insyaallah aman, saya bersin paling bangkai virus yang keluar. Lha kalau kalian yang bersin, aku tidak tahu apa yang keluar“.  Dibuat asik dan positif saja. Dan saya berkalakar, mengancam orang saat ini mungkin tidak perlu dengan senjata tajam atau kata-kata kasar, cukup dengan berkata: “kalau tidak, saya bersin di hadapanmu sekarang“.

Tidak perlu berkecil hati, mereka waspada. Itu bagus. Artinya mereka berusaha menghindari dari tertular virus corona jenis baru ini. Semangat pertama, utama, dan terpenting bagi orang yang belum terinfeksi.

Saya juga gunakan kesempatan di awal ini kerja ini untuk berbagi pengalaman. Pengalaman sebagai Covider, pasien yang telah sembuh dari Covid-19. Alhamdulillah.

Saya jelaskan mulai dari gejala, baik umum, maupun yang saya rasakan. Saya gambarkan foto thorax saya dari waktu ke waktunya. Dan intinya, kena Covid-19 itu tidak enak, meski tetap ada yang bisa dinikmati dan disyukuri. Saya juga memberi candaan: “bobot saya turun 5 kg, jadi kalau mau turun berat badan, ya kena Covid-19”. Kata saya sambil tertawa. Semoga tidak ada sahabat, kolega, dan pembaca sekalian yang terkena Covid-19.

Karena itu, pertama, jangan sampai terinfeksi, bagi yang belum terkena. Jaga kondisi dan daya tahan tubuh, jangan terlalu lelah dalam berkegiatan, patuhi protokol, sering cuci tangan, dan berdoa kepada Allah agar terhindar dari penyakit ini.

Jika ada gejala, Jangan terlambat. Pahami gejala Covid-19.  Jika kita merasakan gejala itu, tidak harus semua, dua atau tiga gejala (salah satunya gejala utama), maka segeralah minta swab test. Agar tidak terlambat penanganannya. Terlebih bagi orang yang memiliki komorbiditas (penyakit penyerta lainnya).

Jangan Takut, jika ada yang terkena atau positif Covid, jangan takut. Segera saja mendatangi fasilitas layanan kesehatan untuk mendapatkan perawatan sesuai prosedur Covid-19. Jangan menolak layanan, misal tidak mau diisolasi, dan sekali lagi jangan takut. Untuk meringankan sedikit beban pikiran, berwasiatlah. Kemudian fokus pada membangun optimisme, dan semangat kesembuhan, jangan lupa berdoa kepada Allah.

Semoga Allah menjaga kita semua. Amin…

(Wiyanto Sudarsono)