Posted on Leave a comment

PensMud

Saya selalu melo (melankolis -sayu, haru) saat acara seperti ini. Mungkin seperti orang, udik, kata orang Jakarta. Ndeso kalau orang Gresik bilang“. Senior kami menceritakan acara yang baru saja dihadirinya.

Bukan hanya karena ‘kehilangan’ senior-senior di perusahaan. Namun, juga karena mengingatkan kita akan kematian. Apalagi saya sudah mulai 40 tahun“. Jelasnya. Terkait mengapa ia begitu melankolis saat menghadiri acara wisuda purnabakti -pensiun-.

Tanggal 10 Juli. Tanggal pelantikan karyawan baru. Juga wisuda purnabakti. Bertepatan dengan ulang tahun perusahaan. Tahun ini diundur ke 11 Juli. Karena 10 Juli bertepatan dengan iduladha versi Pemerintah.

Adalah Mas Eko yang melankolis di atas. Pimpinan, senior, sahabat, dan panutan kami. Ia merasa kehilangan dengan orang-orang yang kami kenal. Karena pensiun. Pensiun normal. Atau Pensmud, pensiun muda.

Banyak yang pensiun. Lima diantaranya pensiun muda. Karena ditugaskan ke perusahaan induk.

Ternyata, pensiun, purnabakti tidak harus tua. Tidak harus 56 atau 58 atau 60 tahun. Muda pun bisa. Sama seperti kematian. Tidak harus tua, tidak harus sakit. Pointnya, siapkah kita?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ ثُمَّ اِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ

Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian. Kemudian, hanya kepada Kami kamu dikembalikan.
(Al-‘Ankabūt [29]:57)

Semoga Allah mematikan kita dalam keadaan baik, husnul khatimah.
اللهم إني أسألك حسن الخاتمة
“Ya Allah aku meminta kepada-MU husnul khotimah”

(WS)

Posted on Leave a comment

Gotong Royong Adha

Taqabbalallahu minnaa wa minkum
Selamat Hari Raya Idul Adha 1443 H.

Serba daging. Aktivitas, menu makan, maupun pembicaraan kami. Rangkaian kegiatan penyembelihan dilakukan. Termasuk pembagiannya.

Angka tahun menunjukkan 1443 H. Kami berhari iduladha di Ngawi, Jawa Timur. Setelah tiga tahun. Qadarullah 1441 H tertahan di Gresik, dan 1442 H kami berhari raya di Lampung. Saya memang menetapkan hati untuk berkuban dimana kami berada.

Ada pemandangan menarik. Bagi saya. Setelah sekian lama. Gotong royong, kerja bersama. Dengan gaya yang “seperti biasa”. Sebelum pandemi korona.

Acaranya ari Ahad kemarin. Meski sebagian jemaah kami ada yang salat iduladha pada hari sabtunya. Pemotongan disepakati hari Ahadnya. Sehingga ada candaan di media sosial: alangkah cepatnya waktu berlalu, sepertinya kemarin baru iduladha, hari ini iduladha lagi.

Jemaah bergotong royong merobohkan hewan, memyembelih, menguliti dan memotongnya menjadi bagian yang lebih kecil. Tugasnya jemaah pria.

Potongan kecil kemudian dipotong-potong lagi, ditimbang, dan dimasukkan ke kantong-kantong. Tugas jemaah wanita. Kecuali memotong tulang belakang dan iga. Pakai kapak. Bapak-bapak yang melakukannya.

Kemudian pembagian dilakukan oleh para pemuda. Penerimanya masyarakat sekitar. Seluruhnya. Iduladha adalah perayaan. Berbagi, saling mengasihi.

Semua menjalankan perannya, sambil bergurau senda. Khas masyarakat desa. Alhamdulillah.

(WS)

Posted on Leave a comment

Layangan Manfaat

Terbang dengan menantang angin. Terbang tinggi namun tetap terikat di bumi. Itulah layangan. Atau layang-layang.

Apapun bentuknya. Sebesar apapun ukurannya. Seunik apapun kreasinya. Prinsipnya sama: terbang tinggi dengan terikat di bumi. Jika tidak tinggi, tidak akan bertahan bertahan lama. Atau sedang nyangkut di pohon. Jika tidak terikat: layangan putus.

Layangan seperti cita-cita. Harus tinggi. Dengan ketinggian semaksimal mungkin. Setinggi panjangnya benang. Benangnya adalah semangat, usaha, doa: harapan.

Cita-cita akan tegak atau berkibar dengan menantang keadaan. Tidak dengan rebahan. Bahkan yang kerjanya sambil rebahan tetap akan ada tantangan.

Semakin besar angin tantangan, semakin kuat benang harapan, semakin tinggi kemungkinan terbang. Tentu membutuhkan usaha lebih untuk bertahan. Tangan yang kuat untuk memegang. Tapi bisa lebih banyak kesenangan dihasilkan.

Setinggi apapun cita, posisi, kesuksesan, manfaat dan keceriaan tetap ada di bumi. Harusnya begitu. Jika tidak maka hanya di awang-awang. Tanpa manfaat sosial. Dan itu ada di bawah, bukan di atas.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (Hadits Riwayat ath-Thabrani)

(WS)

Posted on Leave a comment

Ilham Menulis

Ilustrasi tidak menggambarkan apapun tentang isi tulisan. Hanya percobaan saja, kita tertarik pada gambar atau tulisan.


Entah apa yang hinggap di pikiran -dan perasaan- sahabat saya satu ini. Tiba tiba ia seperti mendapatkan ilham. “Tetiba Keinget  omongane Pak Wi kok aku merasa sangat kurang di penulisan dan menuangkan ide gagasan. Dan jebule bener. Pas kon nulis bingung mulainya darimana“. Pesan yang ia kirimkan via WA.

Sebuah permasalahan klasik penulisan. Bingung mulai dari mana. Seakan kita lupa bahwa kita sedang melakukan apa yg disebut menulis itu sendiri. Saat ber-WA-ria. Saat ber sosial media. Bahkan saat menyusun surat di aplikasi persuratan kantor. Kegiatan yang penuh dengan teks dan kata.

Ide gagasan kegelisahan, tulis, tidak ditulis tidak akan ada yang tersisa. Bahkan kitapun akan lupa“. Balas saya yang tiba tiba teringat. Lama juga saya tidak menulis di blog kesayangan.

Termasuk jika ide itu terhambat sesuatu. Tanpa ditulis, kita tidak akan bisa melaksanakan saat situasi memungkinkan. Tanpa hambatan. Hambatan hilang atau berganti.

Saya pernah mendapat nasihat dari Sahabat saya yang lain. “Nek duwe ide tulisen. Meski belum isa dijalankan. Suatu saat nek kondisi dan posisi memungkinkan, ide itu bisa dibuka lagi“. Dan benar.

Selain ide, kegelisahan juga patut dan sangat layak jadi bahan tulisan. Kegelisahan tentang apapun. Termasuk kritik dan kemarahan. Saya lebih menyukai gelisah daripada marah.

Dalam tulisan kita punya kontrol penuh terhadap pilihan kata dan gaya penyampaian. Optimisme, sudut pandang positif, dan upaya perbaikan adalah favorit saya. Meski saya tidak memungkiri pilihan kata yang keras dan lugas kadang diperlukan. Untuk menegaskan. Bahkan agak “mengumpat”. Sebenarnya pengen mengumpat tapi ada norma yang harus dijaga.

Buku Writing with out teacher, mengajarkan: tulislah. Apapun. Selama 10 menit. Atau lima menit. Bahkan tulislah apa yang membuat kita sulit menulis.

Tulislah, seringan apapun topiknya. Seremeh apapun -menurut kita- bahasannya. Bagian kedua buku saya SEPULUH GENAP banyak hal ringan yang saya angkat. Karena menulis adalah lebih baik daripada menyesal kemudian hari. Tidak perlu menunggu ilham untuk menulis. Tuliskan, ilham akan datang. InsyaAllah.

Semarang, 8/9 Arafah 1443 H / 8 Juli 2022.
(WS)

NB:
Teks ini saya tulis sambil stravaan. Dan bisa. Jika saya bisa lebih lebih lagi Anda.