Posted on 1 Comment

Silaturahmi

(Freepik)

Tali persaudaraan, demikian makna silaturahmi dalam KBBI. Dapat diduga merupakan kata serapan dari bahasa Arab: silaturahim (صلة الرحم)

Hubungan, tautan, tali yang mengikatkan seseorang dengan orang lain yang berkenaan dengan rahim. Rahim sendiri bermakna kantung selaput dalam perut, tempat janin (bayi); peranakan; kandungan. Rahim juga bermakna bersifat belas kasihankasihan; bersifat penyayang.

Silaturahim seyogianya dieratkan karena ia adalah ikatan karena “rahim”: kerabat. Dan ikatannya adalah bersifat kasih sayang.

Karena itu, menjalin hubungan silaturahmi atau silaturahim adalah sebuah perbuatan mulia. Memutusnya adalah perbuatan tercela.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya”. [Muttafaqun ‘alaihi].

Silaturahim tentu bisa antara seseorang dengan keturunannya, sesama saudara, sepupu, sepupu dua kali dan seterusnya. Orang yang masih memiliki hubungan dalam garis keturunan. Sebagian menyatakan jika garis keturunan bertemu di empat tingkatan, maka masih ada hubungan kekerabatan atau silaturahim.

Salah satu caranya berkunjung. Berkunjung ke rumah saudara atau kerabat. Bisa langsung atau virtual. Telepon atau panggilan video. Saat ini mungkin dengan grup WA.

Menyambungnya selain saling berkunjung, juga dengan saling membantu. Saling memberikan bantuan sesuai dengan kebutuhan dan sesuai kemampuan. Nasihat, pikiran, ide, pengalaman, keuangan, atau petunjuk kepada kebaikan dan menghindari keburukan.

Dan sangat utama sekali jika menyambung hubungan yang selama ini terputus. Baik karena kehilangan kontak atau karena suatu hal di masa lalu. Menyatukan, mendamaikan dan mengeratkan.

Semoga kita termasuk orang-orang yang menyambung silaturahim, merawat, dan senamtiasa menjaganya.

(Wiyanto Sudarsono)

Sumber Gambar: Pattern photo created by freepik – www.freepik.com

Posted on Leave a comment

B. U. N. T. U

Menunggu di Lahap

Saat kita tidak tahu ingin menulis apa. Elbow menyarankan untuk menulis sesuatu yang menjelaskan bahwa kita sedang tidak bisa menulis apapun. Saya perlu sesekali –mungkin bisa sering– menulis seperti ini. Menulis disaat sedang buntu.

Saya mengistrospeksi diri saya, saat tidak bisa menulis adalah sebuah periode dimana pikiran tidak ada masukan. Tidak ada masukkan bagaimana bisa ada keluaran.

Masukkan tidak harus sesuatu yang baru, pengulangan juga sudah cukup. Pengulangan mampu membangkitkan ingatan dan pemahaman lama. Atau memberikan sebuah sudut pandang baru terhadap sesuatu yang lama.

Tampaknya saya harus mengubah rute jalan saya berangkat dan pulang kantor. Agar dapat pemandangan baru. Semoga bisa membangkitkan pikiran-pikiran yang sedang dorman.

Kebuntuan juga karena kurang masukan berupa makanan bagi nalar: bacaan. Bagaimana bisa menulis jika bacaanmu cuma segitu? Demikian tulis kawan saya di status Facebook-nya beberapa waktu lalu.

Benar! Kurang membaca. Saya perlu mulai melahap lagi buku-buku yang terjejer rapi di lemari metal di ruang tamu. Ada juga sedikit di lemari kamar. Oh ada juga sebagian di laci meja kantor. Baca, baca, baca.

Paling tidak saya bisa menceritakan ulang hasil bacaan saya. Siapa tahu bermanfaat bagi pembaca. Atau mungkin saya perlu membuat kelas menulis tanpa guru, entahlah?!

(Wiyanto Sudarsono)

Bahan bacaan:
Peter Elbow. Writing without Teacher: Merdeka dalam Menulis. 2010. Indonesia Publishing.

Posted on Leave a comment

Kelengkeng dan Jambu

Sebuah dialog Imajiner

Kanan-Kiri: Jambu, Kelengkeng, Rambutan, Mangga

Di sebuah tepian taman rumah. Berjejer pohon jambu air, kelengkeng, rambutan, dan mangga. Dua tanaman pertama ditutupi paving pada permukaan tanah di bawahnya.

Siang itu, Matahari bersinar terik. Cukup panas untuk ukuran udara di daerah itu. Di atas paving terlihat banyak buah jambu. Gugur, membusuk.

Wahai jambu, apakah engkau akan terus berbuah? Padahal tak satupun buahmu dimakan oleh penghuni rumah ini?” Kelengkeng memulai pembicaraan.

Tentu saja, sudah tugas ku untuk itu.“.

Lihat, banyak buahmu yang gugur dalam kondisi busuk. Hiiii!“.

Tidak mengapa, karena busuknya buahku ini, karena aku dimanfaatkan lalat untuk bertelur. Lagian sebenarnya, pemilik kita telah membeli Petro Genol  untuk membasmi lalat. Tampaknya ia lupa memasangnya. Atau belum sempat“.

Jambu melanjutkan: “bahkan aku akan terus tumbuh dengan rindang dan berbuahbtentu saja, dengan izin Allah. Lihatlah! di bawah naungan dedaunan kita anak-anak bermain“.

Selain buah ternyata naungan daun kita bermanfaaat ya“. Sahut kelengkeng setelah berpikir sejenak.

‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Untukmu: Kekasih dan Kawanku

oleh: Wiyanto Sudarsono

Tiada bunga ingin ku tatap di hari pagi
Kecuali, merekahnya senyum dari bibir kecilmu
Cantik, sederhana tanpa riasan pun ayu
Mungkin, akan sulit kucari ganti rasa itu, meski ku redah permukaan bumi ini

Rasanya, tiada makanan yang ku harapkan
Melainkan ku santap bersama, atau di hadapan

Engkaulah tempatku mencurahkan kasih
Engkaulah yang menjadi kawan dalam perjalanan
Yang aku ingin berkata cukup dengan lirih
Yang bergandengan menuju keridaan

Ingin ku panjangkan sajak ini
Namun ku tahu, Kata-kata tak cukup mewakili
Sajak singkat nan sederhana ini
Ku persembahkan untuk kawan dan kekasih hati
Istriku Dian Lusiyanti Puspitasari

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Bahagia Menulis

Menulislah maka engkau akan bahagia. Minimal kesedihanmu akan berkurang ketika engkau sedang sedih, dengan menulis. Selama kita yakin yang kita tulis adalah kebenaran dan membawa kemanfaatan. Minimal untuk diri sendiri, syukur alhamdulillah jika manfaat untuk orang lain -pembaca-.

Kalimat di atas bukan sebuah jaminan. Tapi itu sebuah keyakinan dan harapan diri saya. Kok bisa menulis membuat bahagia?

Bagi kami, menulis adalah sebuah keharusan. Setiap hari, meski sedikit. Kami yang saya maksud adalah orang-orang yang berazam untuk menulis. Azam untuk menjadi penulis, di level penulisan manapun kami berada.

Bahagia adalah ketika bisa menyelesaikan tulisan. Berarti kenyataan telah sesuai dengan harapan. Tidak ada alasan bukan, untuk tidak bahagia?

Hari ini kebahagian itu bertambah. Selain kebahagian menulis, kami bisa berbagi hal-hal tentang menulis. Seru sekali.

Kami berbagi dalam acara penutupan kelas menulis. Kelas “Bapak-Bapak Punya Karya” (BPK) yang diasuh oleh Pak Cah (Tjahyadi Takariawan). Silakan simak keseruan acara di kanal YouTube Cahyadi Takariawan Official.

Tak main-main kelas menulis “Bapak-Bapak Punya Karya” ini. Targetnya, menerbitkan buku. Tidak sekadar bagaimana menulis, tapi sampai berhasil menerbitkan tulisan mandiri dalam bentuk buku! Satu orang minimal satu buku.

Banyak sekali cerita dibalik sebuah buku. Mulai inspirasi menulisnya, perjuangan menulis, penentuan judul, proses penyuntingan, penerbitan dan tentu saja pemasaran dan penjualannya. Masing-masing punya cerita.

Acara penutupan ini sekaligus peluncuran tiga judul buku yang terbit pertama dari kelas BPK. Buku karya para peserta kelas menulis. Buku yang ditulis dan diterbitkan dengan bimbingan Pak Cah.

Meski judulnya penutupan, saya pikir acara ini sebenarnya adalah juga sebuah pembukaan. Pembukaan era baru penulisan bagi kami. Tantangan untuk terus berkarya.

Mari kita mulai menulis, terus menulis dan tetap menulis!

Maka, setelah kata pertama dalam kitab suci, “Iqra” atau “bacalah”, tak buruk sama sekali bila kita serukan sebagai lanjutannya: “manulislah“.
–(Radhar Panca Dahana).

(Wiyanto Sudarsono)

Bacaan:
– Cahyadi Takariawan. Modul Pelatihan Bapak-Bapak Punya Karya. 2020. Wonderful Publishing
– Peter Elbow. Writing without Teacher: Merdeka dalam Menulis. 2010. Indonesia Publishing.