Catatan Seorang Anak Petani
Oleh: Wiyanto Sudarsono
Awal bulan September 2020 ini begitu ramai. Hal itu karena adanya rencana pembelian pupuk bersubsidi wajib menggunakan kartu tani.
Heboh!! Kehebohan yang hanya bisa dipahami oleh orang yang peduli dengan pertanian. Khawatir!! Petani yang belum mendapat kartu mengkhawatirkan tanamannya yang sudah mulai membutuhkan pupuk.
Kartu tani merupakan kartu (debit) yang dikeluarkan oleh perbankan kepada petani yang digunakan dalam transaksi (pembelian) pupuk bersubsidi melalui mesin EDC (Electronic Data Capture) di pengecer resmi. EDC sendiri adalah sebuah mesin yang berfungsi sebagai sarana transaksi pembelian pupuk bersubsidi dengan memasukkan atau menggesekkan kartun tani di pengecer resmi.
Untuk lebih memantapkan program kartu tani, KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) dan Kementerian Pertanian, hari ini (8/9), mengadakan Webinar Nasional bertajuk KARTU TANI. Pembicaranya lengkap. Dari KTNA Nasional, Kemenko Perekonomian, Kementerian Pertanian, Perbankan (BRI), dan Pupuk Indonesia. Semoga setelah ini, pelaksanaan kartu tani ini bisa lancar, tanpa ada kehebohan.
Pandangan Anak Petani
Bagi saya momen kartu tani ini adalah saat tepat untuk memperbaiki data pertanian dan petani kita. Yang paling penting, jangan sampai seperti hebohnya e-KTP.
Pertama, digitalisasi data petani yang membutuhkan skema subsidi atau bantuan lainnya. Subsidi pupuk, benih, modal usaha tani, asuransi pertania , dan program lainnya.
Kunci suksesnya ada pada pengumpulan data lapangan dan mendigitalkannya.
Kunci digitalisasi ada pada ketepatan dan kecermatan data petani. Kejujuran pengungkapan informasi yang sesungguhnya oleh petani dan pendampingnya (PPL). Tentu saja, alat untuk mendigitalkan, dan mungkin insentif bagi pengumpul datanya.
Kedua, perbaikan kriteria petani penerima kartu tani. Petani pemilik, penggarap, penyewa, atau butuh tani. Bagi saya, penerima yang tepat adalah petani penggarap, yaitu petani yang melaksanakan aktifitas pengelolaan usaha tani (on farm), baik di lahan milik, sewa, ataupun kerjasama.
Perbaikan juga dilakukan untuk luasan areal. Luasan lahan yang diusahakan oleh petani penerima kartu tani. Tidak harus sama antar subsektor. Misal, untuk subsekor tanaman pangan paling luas 2 ha, perkebunan 3 ha, perikanan 1 ha, holtikultura 2 ha. Per subsektor pun bisa dibedakan kembali.
Acuan pembedaannya adalah NTP (Nilai Tukar Petani). Jika NTP suatu komoditas relatif rendah berarti petani tersebut relatif lebih membutuhkan bantuan. Untuk luasan yang sama (misal padi dan karet) dampaknya ke kesejahteraan petani akan berbeda.
Ketiga, perbaikan layanan publik untuk sektor pertanian rakyat. Dengan perbaikan kriteria petani penerima, yang berikutnya adalah kemudahan mekanisme mendapatkan kartu tani bagi petani yang memenuhi kriteria. Tentu tidak dapat dikatakan mudah jika kartu tani dicetak terpusat, dan petani harus menunggu kiriman kartu dari Jakarta.
Selanjutnya, dengan berbagai kemudahan itu, dan dengan memiliki kartu tani, petani dapat lebih mudah mengakses layanan publik bidang pertanian. Saya berharap begitu.
Mungkin itu sedikit catatan saya, sebagaimana anak petani. Saya ingin menutup dengan jawaban dari pertanyaan: “siapa yang paling membutuhkan kartu tani?”.
Jawaban pembicara Webinar dari BRI saya nilai tepat: ” Kartu tani sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi petani”. Demikian kira-kira jawaban beliau.
(Wiyanto Sudarsono)
Terbit pertama kali di opini gemahripah.co dengan judul “Peluncuran Kartu Tani, Momen untuk Membenahi Data Pertanian dan Petani”.