Posted on 2 Comments

Brainstorming Coffee

Ngopi saat ini jamak menjadi semacam gaya hidup sosial. Banyak yang terjadi di warung kopi. Obrolan positif sesama pria. Sampai yang berlanjut menjadi hal positif lainnya: garis dua. Bahaya.

Itu bedanya kopi dengan ngopi. Kopi adalah sebuah kata benda. Ngopi adalah kata kerja (mengopi: minum kopi). Kerjanya tidak sendiri, harus dengan orang lain agar bisa disebut ngopi.

Jika tidak ada iringan suara apapun saat ngopi, maka mengobrol adalah iringan yang paling menarik. Bukan ghibah –menggunjing– tentunya. Paling tidak itu harapan saya.

Di meja yang sama itu terjadi tukar pikiran. Tukar menukar ide. Atau belanja ide yang belum sempat kita miliki.

Itu yang terjadi pada kami. Rabu lalu. Saya, seorang Salesman Pertanian, Distributor juara, beberapa orang lain bertukar cerita. Bertukar inspirasi.

Saya kembali belajar bagaimana menjual. Bagaimana memanfaatkan jejaring.

Dua tahun ternyata cukup untuk menumpulkan sensitifitas penjualan. Saya benar-benar tercengang dengan diskusi itu. Seolah saya baru pertama kali menerima konsep-konsep itu.

Dan memang belajar dari pengalaman akan menajamkan pengetahuan. Memulihkan dan menambah kepekaan. Apalagi yang praktik penjualan saya sudah agak terpendam.

Ngopilah, ngobrol lah, berceritalah. Karena di sana banyak yang akan didapatkan. Hati-hati!! Tetap positifkan tujuan, agar ngopi membawa kemanfaatan.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Ledakan Rasa

Oleh Wiyanto Sudarsono

Dada ini rasanya sesak
Kaki ini susah diajak beranjak
Penat, buntu, bosan!
Ku bertanya pada diri: ada apa gerangan?

Apakah karena dia tak ada?
Berjarak tuk sementara
Hanya bisa berkirim warta suara
Sering kali gambar hidup melalui kamera

Ternyata itu tak cukup
Untuk hati yang merindu
Bertambah saat panggilan ditutup
Ternyata bukan obat rindu
Tapi candu….

Saat hendak bertemu
Ada dorongan ke dalam dada
Sebuah ledakan rasa
Berbeda…Bahkan dengan yang pertemuan pertama dulu

Ku berharap rindu ini bertahan
Menjadi bagian dari fithrah Tuhan
Sebagai hamba yang saling mencinta
Sebagai ibadah dan syukur kepada-Nya

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Melukis Hujan

Belakangan ini frekuensi turunnya hujan lebih sering. Membasahi setiap ciptaan di bumi yang dipayungi langsung oleh langit-Nya. Tanpa terkecuali.

Pengaruh hujan ini tidak hanya secara fisik dan indrawi -jadi lembab atau basah-. Pengaruhnya juga pada jiwa dan pikiran. Sejuk, adem, tenang. Pas buat berfikir -seharusnya-.

Musim hujan, waktu yang tepat untuk melukiskan cita dan tentu saja: cinta. Seharusnya banyak kita habiskan bersama yang tercinta. Termasuk cinta kepada diri sendiri saja.

Melukiskan kenangan tentang hujan. Bermain air bersama anak –hujan hujanan–. Atau minum secangkir kopi berdua di teras belakang. Atau menggerakkan jempol di gawai: menulis tentang rindu. Terlebih saat-saat sedang jauh dengannya atau dengannyi. Gula terasa pahit karena tercampur kopi single origin mandailing.

Awan hitam masih bergelayut di atas sana. Menanti saat tepat menyusul saudaranya yang telah turun pertama. Masih ada yang tersisa.

Apakah di desa atau kotamu sedang hujan? Apa yang kau lukis saat hujan itu?

(Wiyanto Sudarsono)