Posted on Leave a comment

Pilar Respek (3), Konsultan

Seri Keenam, Serial Jualan dengan Karakter

Zaman sekarang, pelanggan bisa mencari informasi hanya menggunakan jarinya. Dan gawai tentunya. Lalu, apakah Sales Person – Penjual – masih diperlukan?

Bahkan di sinilah peran Penjual. Yang baik dan benar. Penjual bertugas mengarahkan informasi dan pilihan, agar tidak tersesat di jutaan informasi yang berseliweran.

Prinsip #6, Pandu Pelanggan, Biarkan Mereka yang Putuskan.

Tugas penjual adalah memberi penjelasan. Menjawab pertanyaan pelanggan. Dan sekaligus memberikan keleluasaan pelanggan untuk memutuskan.

Penjual adalah pendamping, pengarah, dan konsultan bagi pelanggan. Bukan zamannya lagi penjual mendikte pelanggan. Penjual hanya memberikan panduan kepada pelanggan. Agar tidak terjebak dalam lautan pilihan. Penjual juga harus menghargai pilihan pribadi pelanggan.

Apalagi di pasar ritel. Pasar ritel adalah pasar layanan. Produk plus layanan. Pelayanan sifatnya personal. Maka person, individu pelanggan, adalah penting. Individu itu unik. Spesifik. Sehingga detail layanan adalah penting.

Penjual pupuk itu seperti Ahli Gizi. Penjual pestisida itu seperti apoteker. Ahli gizi dan apoteker anak. Mirip. Karena yang berkonsultasi orang tuanya -Petani-. Yang diberi nutrisi dan obat adalah anaknya – tanaman-.

Penjual Pupuk dan Penjual Pestisida harus paham. Kandungan hara dan bahan aktif. Manfaatnya. Dan kondisi pasien, eh tanaman. Dan kondisi petaninya. Sehingga rekomendasinya pas.

Foto : Penjual (paling kiri) menerima konsultasi dengan pelanggan, Petani.

Saya membayangkan kita memiliki penjual yang berperan sebagai konsultan pertanian. Menjadwalkan kunjungan – rutin- ke kios dan membukan klinik yang menerima konsultasi pertanian. Pasiennya eh pelanggannya adalah para petani di wilayah kerja kios tersebut. Yang berkonsultasi terkait anak asuhnya yang berupa tanaman budi daya. Bisa sambil ngopi atau ngeteh.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Hari Santri, Putih, dan Persatuan

Toko baju muslim dikunjungi banyak orang. Ibu dan anaknyi. Ayah dengan anaknya. Ayah dan ibu bersama putra dan atau putrinya. Malam tadi. Misinya sama. Mencari dan membeli baju putih. Baju muslim atau muslimah. Koko atau baju takwa. Atau gaun panjang.

“Besok hari santri.” kata salah satu ibu di sebuah toko baju muslim. “Ada instruksi Ibu gubernur.” katanyi. “Harus putih. Anak sekolah, guru, dan ASN.” Penjaga toko menjelaskan. “Bahkan ada imbauan mengheningkan cipta. Selama 1 menit.” imbuhnyi. Pada pukul 08.00 WIB. Mengheningkan cipta selama semenit. Sesuai Surat edaran Gubernur Jatim. Setelah saya mencari di internet.

Foto : Santri berangkat mengenakan seragam koko putih (istimewa).

Hari santri, 22 Oktober. Memperingati hari difatwakannya resolusi jihad oleh Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari. Yang mengatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan bangsa adalah fardhu ‘ain, kewajiban setiap individu muslim.

Santri. Orang yang mendalami agama islam. Demikian makna dalam KBBI. Berarti, seharusnya, setiap individu muslim adalah santri. Bukankah mendalami, belajar, mempelajari ilmu agama wajib bagi setiap Muslim? Wajib sampai meninggal dunia.

Putih. Warna dasar yang serupa dengan warna kapas. Murni, suci, tidak ternoda. Demikian makna putih. Menunjukan kemurnian cita-cita tulus ikhlas.

Foto : Santri tiba di lokasi belajar (Istimewa)

Hari Santri, berseragam baju putih. Seragam, sama. Diharapkan, kaum muslimin ikhlas (putih) , satu visi dan bersatu (sama). Tidak hanya fisik. Tidak hanya seragam. Apapun warna kulit dan bentuk rambutnya. Bersatu dalam keragaman.

Satu visi di hati, pikiran, dan amal perbuatan. Visi memerdekakan diri, dalam tauhid. Merdeka dan bersatu dengan tauhid. Dalam ibadah, hanya kepada dan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak dijajah pula oleh harta, oleh jabatan, atau oleh dunia. Seperti beberapa ingatan saya terhadap kajian subuh pagi ini. Mencoba mengingat materi kajian tafsir Ba’da subuh. Mendengarkan sembar bertarung dengan rasa kantuk. Semoga bisa merdeka. Merdeka dari kantuk saat belajar ilmu. Bismillah.

Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada kita dan semoga kita termasuk orang-orang yang mempelajari dan mengamalkan ilmu.

(Wiyanto Sudarsono).

Posted on Leave a comment

Pilar Respek (2), Membaur

Seri kelima dari Serial Jualan dengan Karakter

Prinsip #5, Jadilah Inklusif, Rayakan Keberagaman

Inklusif lawan dari eksklusif. Eksklusif bersifat khusus. Spesial. Terpisah dari yang lain. Penjual tidak eksklusif. Tapi Inklusif. Dalam bergaul. Dalam cara pandang. Pun dalam memandang calon pelanggan. Penjual harus mampu membaur.

Penjual tidak boleh membedakan calon pelanggan. Atau orang-orang yang terkait dengan pelanggan. Ini orang penting, oh ini biasa saja. Bisa jadi, orang yang kita anggap biasa tapi lebih berguna bagi proses penjualan kita.

Pernah seseorang menceritakan kepada saya. Ia berhasil dalam intelijen pasar, dan mendapatkan pelanggan korporasi, karena hubungan baiknya dengan seseorang dalam perusahaan. Bukan pemiliknya. Buka direkturnya. Tapi dengan office boy. Tukang fotokopi. Banyak informasi yang ia dapat darinya. Sebulan sekali ia mengajak office boy tersebut pulang kampung bareng. Setelah sebelumnya mengobrol, ternyata dari kabupaten yang sama.

Penjual sukses tadi tidak pilih-pilih dalam bergaul. Dalam berbincang. Bisa jadi pemilik. Isteri atau suami dan anak-anaknya. Atau karyawannya. Atau sopirnya. Atau tukang bersih-bersihnya.

Mentor saya pernah menasihatkan, lebih pada instruksi sih. Bahwa kami harus tahu nama pemilik kios, nama istrinya, anak-anaknya, dan ulang tahun mereka. Serta ulang tahun pernikahan mereka. Oh… kami pikir. Ternyata itu berguna. Untuk membuat pelanggan terkesan, secara emosional. Perhatikan pula foto yang ia atau dia pasang. Ada bahan di sana.

Bahkan ada cerita, seorang penjual pada kunjungan pertama bertemu 10 karyawan dari perusahaan calon pelanggan. Berbagai level. Pertemuan kedua, dia menyapa 10 karyawan tersebut. Dengan nama mereka masing-masing. Mereka terkesan. WOW. Kunjungan ketiga, dia berhasil closing dengan perusahaan tersebut.

Mengingat nama adalah hal sederhana. Namun, tidak semua penjual punya “cukup waktu” melakukannya. Tapi saat ini, harusnya, dengan bantuan teknologi, kita bisa menuliskan kontak. Mencari di media sosial. Terkait dengan pelanggan dan orang-orangnya.

Pahami latar belakang budaya pelanggan. Karena pelanggan kita sangat beragam. Di Jawa saja, ada Sunda sampai Osing. Apalagi di Indonesia, dari Aceh sampai Papua. Tapi, tidak perlu terlalu detail, secukupnya saja, karena kita buka budayawan, antropolog. Kita seorang Salesperson.

Istilah setempat perlu tahu, makanan khas, tradisi, dll. Untuk bumbu obrolan.

Poinnya kita harus membaur. Memahami keragaman. Bahasa kerennya celebrate diversity, merayakan keragaman. Prinsip utamanya adalah persepsi. Jangan membedakan orang berdasarkan warna kulit, warna dan bentuk rambut, agama, suku. Samakan dalam pelayanan, dan pahami untuk memberikan pelayanan yang lebih baik.

Jika kita mampu memahami dan menyesuaikan diri, berarti main kita sudah jauh, tidur kita sudah cukup malam, dan kopi kita sudah cukup kental.

(Wiyanto Sudarsono).

Maklumat :

Seluruh Serial Jualan dengan Karakter diambil dari Buku “Selling With Character” Karya Hermawan Kertajaya dan Ardhi Ridwansyah, Terbitan PT Gramedia Pustaka utama Cetakan Kedua, 2012. Dengan penyesuaian gaya penuturan dan cerita.