Posted on Leave a comment

Rindu Pulang

Perjalanan lagi
Penerbangan yang lain lagi
Mengarungi langit Ilahi
Sekejap, rindu mulai bersemi

Pulau yang indah
Kota yang megah
Kuliner menggugah
Orang-orang yang ramah
Hambar terasa lidah
Tanpa mu

Pengalaman penyusuri jalanan kota
Bertemu sejumlah teman dan kolega
Lusinan Inspirasi karya tulis nan kaya
Tapi aku hanya ingin pulang, saat ini
Seperti yang Engkau tahu, bertemu denganmu….

Ada rindu yang perlu diobati.l
(WS)

Posted on Leave a comment

Seks dan Penjual

Peringatan!
Tulisan kali ini adalah materi khusus Dewasa. Tidak ada kesengajaan untuk menyudutkan atau menyindir pihak tertentu. Juga tidak menunjukkan gambaran secara universal dunia penjualan. Ini hanya merupakan sedikit catatan pengamatan yang sulit untuk dibuktikan. Ini juga merupakan peringatan untuk pribadi, maupun pembaca yang berkenan mengambil manfaat. Kebijakan pembaca sangat disarankan.

Saya belum melihat ada hal yang dekat dan mirip dengan dunia penjualan -disebut juga bisnis- selain dunia politik. Baik dalam arti sempit maupun luas. Pernyataan ini sangat terbuka untuk didebat.

Hal pertama -penjualan -, yang diperjualbelikan: barang atau jasa. Sedangkan pada yang kedua adalah kebijakan, visi misi atau Janji: jika terpilih nanti. Organisasi penjualan dan partai politik juga mirip. Ada juga persaingan di antara penjual, atau kandidat. Atau persaingan antarpartai dan antarperusahaan, atau brand. Juga ada pelanggan dan pemilih yang harus dimenangkan. Omzet dan suara yang didulang sebanyaknya. Juga ada pemasarannya.

Tersebutlah tiga buah novel biografi politik. Trilogi Cicero (Imperium, Conspirata, Dictator) Karya Robert Harris. Menceritakan kehidupan Markus Tulius Cicero, seorang orator, pengacara, dan politikus Romawi kuno. Sangat menarik diikuti. Novel fiksi histori yang menggambarkan perilaku politik dan politikus. Zaman dulu. Saat ini, bisa jadi masih ada yang sama.

Dari novel-novel itu, dan sebagai orang di dunia penjualan saya tergelitik, tertarik, dan jadinya menyelisik lingkungan. Itu karena satu hal dalam politik di novel itu -dan mungkin di dunia nyata-. Yang juga lekat dengan dunia penjualan: seks.

Seks: Seperti Gajah di Ruangan

Menulis dan membahas ini seperti ungkapan: Elephant in the room. Ada. Disadari, gamblang tapi enggan dibahas. Tabu, mungkin. Malu. Kontroversi, membuat orang tidak nyaman. Atau mungkin ternyata dimaklumi: TST, tahu sama tahu.

Dunia penjualan, bahasan seks berkelindan. Obrolan ringan, hingga janjian. Dibalut hiburan, dan layanan kepada pelanggan. Seks menyelinap masuk di dalam dunia penjualan. Beriringan dengan jamuan. Adat kita, biasanya dengan agak malu-malu.

Yang dilayani, adalah pelanggan. Orang yang biasanya akan membeli produk. Atau merupakan pemimpin DMU (Decision Making Unit). Atau pengambil keputusan lain. Terkait orang yang memberikan fasilitas layanan.

Sebatas itu, seks di dunia penjualan  sebenarnya adalah bumbu dalam proses bisnis. Mirip seperti adegan seks dalam novel kategori 17+ (dewasa). Kategori ini yang tersemat di sampul belakang novel terbitan GPU, seperti Trilogi Cicero dan Nagabumi. Adegan ini, sebenarnya dihilangkan pun tidak mengubah alur cerita.

Seks dan Para Penjual

Penjual dan pelanggan (atau wakil organisasi pelanggan) adalah pria. Umumnya begitu. Dan objek seksnya ada wanita. Itu yang saya amati. Tidak ada maksud menyudutkan gender tertentu. Saya belum memperhatikan yang sebaliknya.

Wanita, pekerja seks komersil akan terlibat disini. Dengan berbagai kemasan. Dan perbedaan sejauh apa aktivitas seksual dilakukan. Tergantung selera dan keberanian. Atau bayaran.

Apakah hanya sebatas pelanggan (dari penjual) yang menjadi penikmat? Tidak, saya memperhatikan penjualnya pun akhirnya ikutan. Penjual menjadi penikmat. Meski dalam kondisi, waktu, tempat yang berbeda. Yang bisa jadi sebenarnya masuk dalam tataran pribadinya. Tidak terkait dengan pekerjaannya.

Saya menyadari sepenuhnya, bahwa seks adalah tataran pribadi. Namun, tidak sedikit hal ini masuk ke ranah profesional. Masuk ke organisasi penjualan. Cukup menganggu, dan jadi kasak kusuk. Yang seharusnya bisa diabaikan.

Saya pernah berseloroh kepada beberapa tim saya: “Bapak-Bapak, saya berbicara sebagai pimpinan tim, sebagai kawan, sebagai sesama pria: ‘jika Istri Bapak tidak mau diajak bertempat tinggal di lokasi bertugas, silakan menikah lagi. Saya siap jadi saksinya. Dari pada Bapak ‘jajan’ sembarangan. Risiko. Jika tidak mau, jangan sampai istri Bapak menangis dihadapan saya, atau datang ke kantor’.”. Alhamdulillah, sampai detik ini belum ada yang meminta saya jadi saksi pernikahan dengan istri kedua, ketiga atau keempat.

Mungkin, kita bisa apatis: itu urusan pribadi masing-masing. Mengapa mengurus rumah tangga orang?! Meski itu anggota tim kita sendiri. Biarkan saja. Selama kinerja penjualan baik-baik saja.

Bagi saya, permasalahan itu masuk ranah konseling. Sekadar mengingatkan tentu tidak masalah. Baik kinerja terganggu atau tidak. Karena berpotensi penurunan kinerja, atau fraud. Berisiko merusak kinerja (jika jadi obsesi) dan citra perusahaan (jika sampai viral). Karena itu saya mengungkapkan peringatan dan candaan di atas.

Kami, saya dan beberapa orang di tim, telah beberapa kali menerima tangisan, curhatan, dari pasangan (istri) penjual. Apalagi yang sudah diperingatkan jauh-jauh hari.

Ada yang menikah lagi. Jika istri tidak ikut, kami akan berargumen. Meski jika menikah lagi, bagi saya masalahnya lebih ringan.

Jika kemudian datang, mengadu, menangis, karena suami selingkuh. Cukup repot menyikapinya.

Misalkan, si suami yang tidak lain adalah personel penjualan kita, ada main dengan pelanggan: Distributor, staf Distributor, atau modus ‘jajan’ lainnya. Apalagi mencatut nama atasan. Dengan judul “Menemani” atasan. Ini sangat tidak elok.

Ada pula yang istrinya memergoki si penjual memesan PSK lewat aplikasi online. Karena memang ruang digital telah mendisrupsi bisnis prostitusi secara besar-besaran. Kini tidak ada lagi wisma yang dimiliki para mami. Sebagai gantinya, menyeruak dalam jagat maya yang justru akan sampai ke ruang privat melalui gawai dalam genggaman (Dian Widhiandono. Prostitusi dalam Genggaman, Disway, 1 Okt 2021).

Dan benar, seks di kalangan penjual ini tidak mengenal usia. Tua, Muda, senior, junior, tampaknya ada yang terkena.

Bagi saya, karena ini ranah pribadi, saya menasihati dan memperingatkan diri sendiri dan pembaca. Jadilah penjual yang amanah. Dapat dipercaya oleh konsumen. Dan keluarga kita adalah konsumen terdekat kita bukan?

Dan saya menilai, terlepas benar atau tidaknya aduan, Penjual yang istrinya mengadu sampai ke Pimpinan atau mengadu di media sosial terkait perilaku seks Si Suami/Penjual adalah penjual yang gagal. Paling tidak, gagal secara moral. Gagal mengelola organisasi kecilnya. Apalagi yang bermainnya dengan pelanggan penjualan produknya. Terlalu!

-WS-

Posted on Leave a comment

Target

Target: Kemana Arah Harus Memanah

Sasaran yang telah ditetapkan untuk dicapai. Serupa tujuan. Setiap kegiatan hendaknya punya tujuan. Punya target. Agar terarah. Agar jelas apa yang harus dilakukan. Sudah sampai mana pencapaiannya. Apa yang perlu dilakukan, jika belum sesuai arah yang hendak dicapai.

Penjualan adalah target. Meski saya kira, kita dapat bersepakat bahwa penjualan tidak melulu soal target. Bukan melulu soal angka. Tapi penjualan lekat dengan itu. Tak terpisahkan.

Saya beberapa lalu membaca sebuah kutipan. Kira-kira begini: “jika hasil tidak sesuai dengan target, jangan turunkan targetnya. Tapi perbaiki cara mencapainya“.

Sebagai penjual, saya setuju dengan ungkapan di atas. Penjual harus berjuang, kreatif, harus “die hard” –angel matine-, gigih dan pantang menyerah. Selain juga penjual juga harus yakin dan percaya kepada team leader atau pemimpinnya: target telah disusun sedemikian rupa sehingga bisa dicapai. Realistis untuk dicapai.

Sebagai manajemen yang mengelola Tim Penjualan, saya tidak sepenuhnya sepakat dengan kutipan di atas. Ada kalanya target itu meleset. Tidak realistis. Terlalu mudah, atau terlalu susah.

Di sini ada seni mengatur target. Konsepnya bisa sama. Rumusnya persis sama. Orang-orangnya sama berkompetennya, ketersediaan stoknya sama, namun hasil capaiannya bisa berbeda. Kompensasinya, sama menariknya. Atau sama tidak menariknya. Itu seni. Perilaku sama, hasil bisa beda.

Mentor penjualan kami waktu itu mengatakan: “target tidak akan pernah turun. Baik dari target sebelumnya atau dari realisasi sebelumnya”. Perusahaan butuh tumbuh. Tumbuhnya dari profit. Profit dari penjualan.

Pengalaman saya menunjukkan, bahwa, jika target tiga kali berturut-turut di bawah 90%, Atau terlampaui lebih dari 110%. Maka ada yang salah dengan target.

Salah pasang target. Terlalu mudah. Atau terlalu susah. Terlalu! Keduanya keliru. Target harus agresif (memotivasi) dan harus realistis. Plus minusnya 10%. Itu prinsip saya ketika merencanakan. Jika sedang sadar.

Semoga kita bisa mendiskusikan terkait target ini di beberapa seri berikutnya.

Edisi kali ini edisi Jumat. Pun, hidup kita di dunia. Ada target ada tujuannya. Tidak hanya lahir, tumbuh, kerja, hidup, lalu mati. Tanpa tujuan yang mulia. Tanpa tujuan hidup, samalah derajat setiap makhluk. Yang membedakan adalah kemuliaan tujuannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sang Pencipta telah membocorkam tujuan penciptaan. Yang harusnya jadi tujuan hidup kita.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya:

Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.
(Aż-Żāriyāt [51]:56)

Semoga bermanfaat.
-WS-