“Aku dipanggil pimpinan, Pak Wi?”. Celetuk Kepala Perwakilan Kantor di Jakarta. Tiba-tiba, ditengah jadwal belanja perlengkapan Kantor dan makan siang. “Wes, bungkus. Kita langsung balik. Nanti Pak Sopir minta ambil makannya”. Saran saya. Panggilan pimpinan kudu diutamakan. “Nggak jadi Pak, Beliau cuma minta agenda dan kalender” Pungkasnya.
Kalender, daftar hari dan bulan dalam setahun. Dimulai dari 1 Januari diakhiri 31 Desember. Kalender Masehi. Atau dimulainya Muharram, diakhiri Zulhijah. Kalender Hijriah.
Kalender tidak bisa lepas dari kegiatannya perkantoran. Kegiatan Administrasi dan tentu saja ibadah. Tergantung jenis kalender yang digunakan.
Permintaan pimpinan soal agenda dan kalender itu tidak salah. Apalagi diakhir tahun begini.
Agenda dan kalender adalah buah tangan dengan manfaat setahun. Kalender juga merupakan pengeluaran konsumtif dengan manfaat yang cukup lama. Dua belas bulan, 365 hari.
Kalender — dan agenda– juga merupakan media promosi yang akan selalu dilihat. Sepanjang tahun. Selama sasaran tepat, dan waktu tidak terlambat.
Sayangnya, beberapa pihak terkesan meremehkan hal ini. Kalender diorder terlambat, pembagian lebih telat. Diterima personel yang bertemu pelanggan sudah lewat.
Sampai-sampai malu hendak memberikannya. Sudah terlampau besar diskon kalendernya. Atau sedih mendengar jawaban pelanggan: “haiyaaa..kalender sudah banyak“.
Perusahaan pendiskon kalender, kalah dengan toko kelontong yang sudah sejak Oktober menjajakan kalender. Sampai kapan kalender itu akan didiskon? Kalender harusnya menjadi panduan memberikan diskon (baca: promosi ) kepada pelanggan: seasonal marketing. Bukan, diberikan pelanggan sudah terdiskon 2 atau 4 bulan.
Sekian kali kunjungan ke Jogja. Bukan berlibur. Kerja. Dan seperti biasa: tidak ke mana-mana.
Saya tidak terbiasa –atau belum– dengan kegiatan yang disebut orang workation. Kerja sambil liburan. Mungkin saya masih ndeso. Masih belum bisa kerja sambil liburan atau liburan sambil kerja.
Karena itu, jika undangan rapat di tempat wisata, saya berseloroh: nggak asik. Mau liburan, beban moral. Di biaya perusahaan. Mau kerja, kok di tempat wisata. Tidak konsentrasi. Akhirnya, tidak kemana-kemana. Ruang rapat, kamar hotel, tempat makan. Ke masjid sekali dua kali.
Kali ini saya punya cerita. Dua tiga cerita. Bukan tentang Jogja. Tentang hal lainnya.
Pesepeda Edan
Kawan lama. Senior. Kawan diskusi tulis menulis. Bahkan kami pernah berkolaborasi membuat kelas menulis dengan pembicara kawannya: Kris Budiman.
Saya pikir sudah pensiun. Usia: 56 kurang 4 bulan. Pekerjaan: Karyawan. Hobi: bersepeda, Touring Bike. Hobi dan pekerjaannya saat ini bisa ditukar.
Sebelumnya bersepeda Gresik ke Mataram kalau tidak salah. NTB yang jelas. Kali ini ke Jogja. Dari Gresik. Lewat Kediri dan Pacitan. Uedan! mbatin tok ae aku.
“Bagi pesepeda, hal yang saya lakukan ini biasa saja“. Ungkapnya merendah. “Namun bagi kawan lain, capaian saya ini, tidak mereka bayangkan. Jadi saya bisa agak PeDe berswafoto saat bersepeda. Hehehehe“. Katanya berkelakar. Ia saat ini lebih aktif di FB saat bersepeda.
Kami bertemu di Jogja. Ditempat makan tentu saja. Saya rada menyesal, mengajak di tempat makan yang “biasa”. Tapi enak makanannya.
Kali ini, saya banyak mendengar. Kolega saya yang banyak bertukar cerita.
Ia sempat menanyakan tentang aktivitas menulis saya. Ah… Saya tidak bisa jawab. Tidak ada alasan yang bisa saya kemukakan.
Itu bedanya penulis “gaya wartawan” dengan “gaya sastrawan”. Sekira begitu tangkapan saya dari penjelasannya. Penulis puisi tidak bisa di target dengan tenggat waktu. Karena itu, penulis puisi, banyak yang menolak jika ditawari jadi wartawan.
Sebagai pesepeda yang menulis, banyak bahan yang ia bisa dapatkan. Tampak dari unggahan FB di akun “biasa”nya. Akun dengan kawan umum. Ada yang nggak umum. Kawan FBnya penulis, sastrawan, seniman, dan yang hebat lainnya. Saya harus nunggu buku bersepedanya.
“Bersepeda, bisa mencapai derajat ekstase. Sama enaknya dengan seks“. Demikian petuah rasa yang ia ungkapkan. Ia tampak memaknai sepeda tidak hanya untuk sehat badan, namun juga pikiran.
Perempuan Kuat
Bukan yang terkuat. Atau yang terhebat, dari sekian yang saya tahu. Tapi cukup menarik.
Nama: tidak diketahui. Asal: Rantepao, Toraja Utara. Pekerjaan: Guru SMK. Usia: 55. Anak: 4, 2 perempuan, 2 laki.
“Ada acara di Solo Bu, berarti diajak jalan-jalan di Jogja?“ “Anakku dilantik, TNI AU di Solo“. Jawabnyi. Itu terkonfirmasi dari salah satu tas yang dibawanya.
Kami bertemu di konter lapor di Bandara Internasional Yogyakarta. Dia agak bingung, karena anaknyi yang di Jogja tidak bisa mengantar sampai ruang lapor keberangkatan.
“Masih ada yang sekolah Bu?“. “Sudah tidak ada, saya pensiun 5 tahun lagi“. Dia seolah merencanakan bahwa saat pensiun anak-anaknya sudah mentas. Kata ganti “saya”, dan dia perjalanan sendiri, saya duga ia tulang punggung sekaligus tulang rusuk keluarga.
“Yang perempuan, nomor satu dan dua. Bidan dan Guru. Yang ketiga, kuliah di arsitektur UKDW. Yang terakhir ini Polisi” (mungkin maksudnya TNI).
“Dilantik Akmil?” Tanya saya yang tidak begitu paham ketentaraan. “Bukan, Bintara. Ia lulus SMK Penerbangan Makassar. Karena itu daftar TNI AU dan diterima di bagian mekanikal pesawat.” “Yang kuliah ini sudah tiga tahun. Belum apa-apa“. “Tidak mengapa Bu, yang penting selesai“. ” Betul, rezeki orang beda-beda. Bisa jadi lulusnya lama, tapi mudah dapat kerja“. Pungkasnyi.
Buku Hamka
Duduk di bangku 25A. Pesawat JT 644. YIA-UPG. Jurusan Jogja Makassar.
Mata saya tertuju pada penumpang 24C. Senior, berkaus garis dan berjaket, berkopiah. Ditangannya ada Tafsir Al Azhar karya Prof. Hamka. Saya duga ia adalah Ustaz, atau minimal simpatisan Muhammadiyah.
Saya tersenyum sendiri, lantas mengeluarkan buku: Buya Hamka, Ulama Umat Teladan Rakyat. Karya Yusuf Maulana. Saya baca satu dua Bab. Sambil berharap bisa foto bersama dengan Bapak tadi sembari menunjukkan Buku tafsir dan Buku Biografi penulisnya.
Ah, tapi tidak kesampaian. Mungkin lain kali. Dengan cerita berbeda.