Posted on

Pernikahan Sahabat

Catatan Rabu Bahagia


oleh Rega Vionanda dan Sahabatnya

Gua punya temen
Malam minggu dia melongo
Soal cewe dia dongo
Tapi dia bukan homo
Dia cuma seorang jomblo

Itu bukan syair karya kami. Itu Saykoji yang punya. Tapi itu sering menginspirasi. Atau menyindir. Orang yang belum menikah.

Dan itu (sindiran, atau perundungan, bullying) yang membuat kita sedih. Masih banyak orang menyindir mereka yang belum menikah. Belum menikah – menikah. Padahal bisa jadi itu pilihan mereka. Yang jelas itu takdir mereka saat ini. Belum menikah.

Maafkan kami teman. Yang mungkin sering merundung kalian.

Ingin Sendiri

Seperti sahabat saya yang satu ini.
Salah seorang sahabat saya yang belum menikah. Ia pernah bercerita, Ia sangat terobsesi dengan film The Good Doctor. Edisi Amerika. Bukan yang Korea atau Jepang yang ia ceritakan.

Pada beberapa plot di serial TV Amerika itu, tergambarkan permasalahan kehidupan. Menampilkan seorang tokoh yang tidak mau menikah dan tidak mau punya anak. Ia sebenarnya menjalin sebuah hubungan. Problematika (tidak ingin punya anak) yang tabu untuk budaya kita — budaya timur.

Walaupun jauh dari daratan Barat sana, ternyata di dekat kita ada yang mengalami permasalahan yang sama. Mungkin mirip. Hanya saja mereka cendrung menutupi dan enggan bercerita.

Sahabat saya yang lain memiliki pandangan yang berbeda. Dia sangat senang menerima undangan pernikahan. Dia gembira dengan menghadiri hajatan pernikahan. Dia berbahagia melihat orang-orang terdekat menikah.

Tapi entah mengapa dia memutuskan untuk tidak menikah. Keputusan itu masih sama sampai saat ini. Mungkin karena dia pernah dikecewakan atau apapun itu. Kita patut menghargai keputusannya.

Ada yang lain lagi. Seorang mapan yang memiliki pasangan. Tapi sayangnya mereka sama-sama belum yakin dengan jenjang pernikahan. Mereka memiliki karir yang bagus. Uang yang berkecukupan. Kehidupan yang lebih dari layak hanya untuk membangun sebuah keluarga. Tapi, ego mereka sama-sama besar. Mereka masih belum memutuskan untuk menikah. Ya sudahlah, itu hidup mereka.

Ingin bersama

Ada juga seorang sahabat saya yang soleh, rajin ibadah, sangat ingin menikah. Bahkan dia sudah mendatangi Kota Mekah dan Madinah. Berdoa kepada Sang Khalik agar segera mendapatkan jodoh.

Dia mencita-citakan untuk segera menikah, segera berumah tangga dan membesarkan anak-anaknya. Namun faktanya, Tuhan masih menguji kesabarannya, dia belum diberkahi jodoh yang diinginkannya. Dia harus lebih bersabar dan banyak ikhtiar.

Ingin-Ingin

Dari berbagai cerita itu, kita bisa menarik hikmah. Ternyata beragam permasalahan yang dihadapi setiap individu lajang. Terutama untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Teradang kita terlalu latah mencampuri urusan orang lain. Seolah-olah ingin membantu. Ingin memberi solusi. Atau memang ada niat mengolok-olok.

Kita terlalu jauh melangkah ke ranah privasi orang lain. Jika kita peduli, doakan saja. Agar mereka lekas menikah jika itu terbaik untuk mereka.

Atau sekalian bayarkan uang gedung, katering, seserahan dan cendramata pernikahan. Bayari biaya WO-nya. Itu baru namanya Sahabat. Kalau ga bisa, menengo (diam saja), Cheers. Bercanda.

Itulah sahabat, bercanda kadang kelewat.

Itu belum cerita tentang sahabat yang lain. Yang ingin menikah lagi. Untuk kali kedua. Baru ingin.

(Rega Vionanda dan WS).

Posted on

Jangan Bicara

Seri ke-15, Catatan Seorang Penjual

“Penjualan dimulai ketika pelanggan mengatakan tidak”
– Jeffrey Gitomer

Para penjual adalah orang yang harusnya menyukai kopi. Bukan berarti harus selalu suka ngopi, minum kopi. Tapi suka dan siap merasakan rasa kopi tanpa gula. Dalam arti kesamaan rasa. Pahit.

Ya, proses penjualan tidak selalu mulus. Kita harus siap dengan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Ditolak. Mirip dengan menyatakan atau menawarkan cinta. Siap ditolak.

Jika pelanggan akhirnya menolak, paling tidak kita sudah menyampaikan penawaran kita. Dan setidaknya dia telah mendengar. Semoga tertarik, meski saat ini menolak. Tetap berharap suatu saat calon pelanggan dalam menerima tawaran kita. Mirip kisah cinta Cak Nun kepada Novia Kolopaking lah.

Berhentilah
Saat kita bicara kepada calon pelanggan. Dan dia atau Ia senantiasa melihat jam tangan, atau jam dinding. Wajah yang terlihat bosan, suntuk. Tidak tanya apapun. Bola mata berputar putar. Saat itu mari kita berhenti. Berhenti bicara. Bersiap mendengar.

Mari kita lebih banyak mendengarkan detail keberatan calon pelanggan. (baca : dengarlah).

Mari menjadi pendengar yang baik. Mendengarkan dan bereaksi yang tepat. Menunjukan perhatian (misal dengan ungkapan “iya Pak”) . Pengertian (dengan ungkapan” oh begitu, saya mengerti Bu”), dan penerimaan (“masuk akal Pak. Betul begitu Bu”).

(Wiyanto Sudarsono)