Posted on Leave a comment

Levi’s Pertamaku

Cerita tentang penampilan

Peringatan :
Jika Anda bukan pembaca yang menikmati aliran cerita, silakan lompat ke paragraf 4.

Levi’s atau kami di desa dulu menyebutnya lepis. Yang kemudian saya ketahui bahwa itu adalah merek, brand. Untuk pakaian, khususnya celana, dari bahan Denim atau jins –Jeans–. Jangan-jangan jeans pun merek. Saya tidak tahu pastinya. Karena begitu kuatnya kekuatan merek itu. Menjadikannya seolah-olah merepresentasikan jenis produk yang di beri merek Levi’s. Seperti Aqua untuk AMDK dan Odol untuk pasta gigi.

Alhamdulillah, akhirnya pada suatu malam, tepatnya Rabu malam Kamis, saya berhasil membeli lepis pertama saya. Eh jins dengan merek Levi’s. Saya harus berterima kasih kepada dua sahabat saya (Bung Sukodim dan Bung Rohandi), yang mendorong saya untuk melakukan eksekusi pembelian Levi’s pertama saya. 505 Stretch. Setelah ragu-ragu beberapa lama. Yang saya pakai pertama kali pada Rabu, seminggu kemudian. Di acara pembinaan kios, komitmen tertib HET dan Administrasi Kios di Kediri. Setelah dipotong bagian bawahnya pada hari Ahad sebelumnya. Di Icon Mall. Mal terbesar di Gresik.

Malam itu, saya mengurungkan untuk membeli sepatu sport. Namun, seminggu kemudian saya membeli sepatu lapang Anaconda seri 2.5 di gerai Eiger. Dia – isteri saya- menilai tipe ini pas dan cocok bagi saya sebagai penggemar celana dengan potongan di atas mata kaki. Saya patut berterima kasih kepadanyi (“-nyi” adalah akhiran pengganti “-nya” untuk perempuan) yang mensupport, bahkan ketika saya menampakkan sikap yang sensitif terhadap harga.

Foto : Istimewa

Belakangan ini, saya sedang memikirkan untuk melakukan “grooming“, dandan, memperbaiki penampilan. Ketika bertemu pelanggan. Agar lebih sesuai. Sesuai ungkapan yang pernah dinasihatkan kepada saya. Oleh adik perempuan saya. Ajining diri ono ini busono, eh salah. Ajining diri ono ing lati, ajining rogo ono ing busono. Kualitas diri ada di perkataan, kualitas raga ada di pakaian. Kira-kira begitu.

Angan-angan saya melambung pada pertanyaan, “penampilan seperti apa yang pas bagi seseorang yang berkecimpung di dunia penjualan saprodi pertanian?” Sales pertanian. Ketika di lapang, bertemu petani dan Kios. ketika ke kantor pemerintahan, ke Distributor. Ke pelanggan B2B.

Saya mendapati benchmark-nya, pembanding yang menarik. Salah satu brosur produk pupuk dengan merek yang kuat, menampakkan beberapa tampilan Salesman mereka. Di media online. Kaos polo dengan logo perusahaan di dada kiri. Sederhana. Bukan baju spanduk dengan berbagai merek yang melekat. Celana jins, jam tangan lapang, sepatu lapang, rambut rapi, sedang menunjukan tablet-nya kepada petani, di lahan pertanian. Terlihat profesional. Kualitasnya, ditentukan apa yang dikatakan dan dihasilkan di lahan pertanian.

Pun, para salesman, eh banker dari perusahaan jasa keuangan. Pakaian mereka mirip. Pakaian lapang. Ketika menemui pelanggan funding, pendanaan, umumnya para kios-kios prancangan, kelontong. 3 hari dari 5 hari kerja. Itu pakaian mereka.

Berbeda jika bertemu pelanggan B2B, mereka berdasi. Untuk produk seperti payroll, penggajian, dan pembiayaan besar.

Grooming atau dandanan yang terstandardisasi, bagi seorang Salesman, menurut saya adalah hal yang penting. Menjadi penarik bagi pelanggan. Apakah anda pernah bertemu dengan sales yang dilihat saja tidak enak? Bukan soal ganteng atau cantik, tapi bagaimana menunjukan diri ke pelanggan.

Ternyata grooming ini, menjadi hal yang dibahas dalam sales force management. Paling tidak, demikian yang saya ketahui dari diskusi dengan konsultan pemasaran terkemuka di Indonesia.

Salah satu hal terpenting, dari tips pendekatan konsumen yang sukses adalah berpenampilan yang sesuai dan menarik bagi pelanggan. Menarik dalam arti yang positif.

Jadi, selamat ber-grooming.

(Wiyanto Sudarsono)

Posted on Leave a comment

Pilar Amanah (3), Ojo Mblenjani Janji

Seri Ketiga, dari Serial Jualan dengan Karakter

Prinsip #3, Jangan Menjual Yang Tidak Bisa Diberikan

Menjual berarti menjanjikan. Menjanjikan barang itu ada. Menjanjikan barang itu sesuai dengan spesifikasi yang disampaikan. Atau yang dituliskan. Dengan harga yang disepakati. Di waktu yang disepakati. Menjual barang atau jasa, berarti “menjual janji”.

Janjikan hanya sesuatu yang bisa kita berikan. Lalu berikan lebih dari yang kita janjikan. Itu prinsip sederhana dalam “menjual janji”. Menjual dengan memberi kepuasan kepada pelanggan.

Misalkan, berarti ini fiksi atau fiktif, atau khayalan. Kita menawarkan benih padi. Dalam proses penjualan, kita menyampaikan, “potensi panen 10 ton per ha, Pak.” Yang berarti kita menjanjikan panen 10 ton. Jika panennya hanya 9 ton. Pelanggan, Petani pasti kecewa.

Sebaliknya, jika kita menyampaikan bahwa,  “Pak di label tertulis potensi panen 10 ton, akan tetapi Pak,  dengan musim seperti ini insyaAllah kita bisa panen 8 ton per ha.”  Nah, ternyata panennya 9 ton. Saya memiliki keyakinan pada kasus yang kedua Petani akan lebih puas.

Sama-sama panen 9 ton, tapi kepuasannya beda.

Karena itu, ukur kemampuan diri. Ukur kemampuan perusahaan. Ukur kemampuan produk yang dijual. Jangan obral janji. Yang akhirnya diblenjani.

Seperti yang biasanya, ups kita janjikan. Sebelum kita tahu persis prosedurnya. Bisa atau tidaknya. Misal, dengan mengatakan,  “Jika barangnya jelek, sampaikan ke kami Pak. Nanti kami ganti.”

Padahal….. Ah sudah lah. Mari kita perbaiki bersama. Intinya, jangan janji jika tidak bisa menepati. Koreksi bagi saya pribadi juga.

(Wiyanto Sudarsono).